Bagian 1: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


Nurel Javissyarqi

“Kritik itu semacam saudara tidak muhrim (boleh dinikahi), dan ketika sudah menikah (mengkritik) masih dapat membatalkan wudhu-nya (masih dapat digugat balik). Jikalau kritik dari sesama muhrim bisa disebut nepotisme (perkoncoan), bukanlah kritik (karena tidak boleh dinikahi), atau pujiannya tidak mampu mempengaruhi nilai. Dan kritik yang berhasil, sekali sentuh di manapun, sanggup membatalkan seluruh bidang tubuh yang dikritisi.” (Nurel Javissyarqi, 2011).
***

Sebelum mengudar jauh, saya ungkap mentalitas para pelaku sastra (sedikitnya diri saya mungkin). Kita kerap terpukau oleh kupasan-kupasan yang dinalarkan, dialog yang diandaikan memperkuat bangunan yang hendak dicanangkan, apalagi dari orang-orang bertitel (sekecilnya para senior), serta adanya ketakutan disaat menyuarakan langgam ketidaksesuaian kepada mereka. Rasa minder itu membentuk watak kepatuhan berupa mengamini apa saja yang dilayarkan, padahal belum mesti telah purna. Bisa jadi mereka bermain dengan embel-embel pelajaran yang pernah dikenyamnya. Sedangkan kedinamisan ilmu pengetahuan akan harum semerbak, jikalau menegakkan panji-panji agung; suara-suara sejati yang terbit tidak hanya hadir dari bangku sekolah semata, dapat juga dari taman-taman kembang kehidupan lainnya.

Perasaan takut tidak dianggap keberadaannya, hawatir dikira pengacau, culun membebek yang menggerus jiwa hingga tidak mampu mengeruk kehakikian kreatif pada dirinya. Maka yang muncul baju seragam, ini otomatis tidak mengindahkan fitroh hayatnya sebagai insan berfikir. Nalar tidak sampai bergolak mendidih, hanya sehangat kuku dipanasi kayu arang penalaran orang lain, karenanya kembali membeku dalam pencariannya. Seperti berdiam di kutub ketaklidan; nafas-nafas tersengal cuma mampu berselancar ringan, kalau para pendahulunya itu dianggap mentereng sudah menerangkan. Dan pengoreksian tinggal diam atau desas-desus tidak memiliki asas yang bisa dipertanggungjawabkan!

Terus terang saya lebih condong pada gagasan yang telah melewati satu abad misalkan, setidaknya sudah teruji atau adanya kemungkinan diterima nalar-kalbu sebagian insan. Dari pada berpegangan atas hasil-hasil belum teruji kebenarannya, meski dari corong berpendidikan tinggi. Kerap saya maknai isu, jika gagasannya belum benar-benar diuji (belum melalui tempaan pahit yang mendalam sekaligus menyeluruh) seperti kicauan gosip. Maka penggallah mereka para pembunuh rahmat-Nya (para pengancam atas hadirnya kemungkinan, para penolak semangat ijtihad) sedini mungkin, sebelum penalaran saudara pecah sendirian di atas usaha keras memeram gejolak jaman dalam diri sekalian.
***

Sejak belia, kita kerap dicekoki oleh bentuk-bentuk pengenceran otak agar pribadi menjadi lembut, santun dan patuh. Apakah pujian, penalaran masuk akal yang diperkuat dalil-dalil juga abstraksi miring, agar menerima jalan-jalan yang telah ada, maka berlengganglah (lempenglah) langkah sejarah bersegenap pembodohannya. Kemerosotan makin kentara, melihat permasalahan bertumpuk menggunung tidak diselesaikan bersamaan wewaktu pengujian yang dilontarkannya di muka. Laksana hutang negara takkan terbayar atau wabah korupsi di tubuh pemerintahan yang merajalela. Dan alam susastra kita dijangkiti wabah hama tersebut oleh terlena hanyut di atas daya memukau, tersebab tidak suntuk menelisiki akar masalah yang tengah terjadi!

Hal mencorong (terang benderang) itu memunculkan pemberhalaan di dalamnya, serupa artis ngepop sebab goyangannya, sosok kemayu mengandalkan olahan fisik, penampakan setubuh titel dibandingkan gema suara karya yang diluncurkannya. Hingga timbul pertanyaan yang kurang mendasar; siapakah yang berbicara? dan bukan yang dibicarakannya. Kasus ini menampilkan orang-orangnya dan tidak hasil-hasil karyanya, menerangkan nama-namanya dan bukan capaiannya. Andai yang terkenal gagasannya, hal itu berangkat dari nafas-nafas penyelewengan, mengada-ada yang direkatkan semangat jamannya dengan telaten sampai yang kurang teliti silau olehnya, lantas lekas-lekas mengamini, serupa mitos jendela awan di langit, dimasa-masa pengetahuan mengenai hujan belum terjangkau. Maka kesadaran di seluruh bidang pengetahuan wajib dilibatkan, di sisi menengok pergeseran sesuai, ataukah ngambang dekat keraguan, sebab hukum remang cepat tertelan jaman!
***

Serupa bayangan mimpi barusan, pengakuan dari orang-orang yang dianggap besar, kelak menjelma monumen (tugu). Melihat-mengingat, betapa dan berapa banyak berhala di tengah-tengah kota tidak mampu berdialog dengan jaman yang terus menemui perubahan. Seorang tua penjaga pintu, tidak menyadari datangnya senja, orang-orang yang diangkat sebagai sastrawan dari generasi tertentu, tetapi kecelik tidak berkreasi lagi (mandul), lebih parah di antara karyanya palsu alias njiplak. Di sini pengujian, bukan malah salah kaprah pujian dimaknai sindiran itu dijadikan pegangan, semisal HB. Jassin disindir sebagai pausnya Sastra Indonesia, maka apa saja yang keluar darinya seolah benar semua, lalu merasa aman jikalau mengutip tulisannya, seakan sudah sejalur rel kereta. Sepadan judul bukunya Hudan Hidayat, Nabi Tanpa Wahyu (Penerbit PUstaka puJAngga) ialah sindiran kepada Taufiq Ismail, namun patut disayangkan juga HH pula lantas terperangkap mentalitasnya ‘orang mapan’ dengan bukti ianya menyematkan kata ‘Tuhan’ di sebelah namanya, seperti jurnal yang sempat digagasnya Jurnal Sastra Tuhan Hudan. Titel presiden penyair SCB pun jikalau si penyandangnya mawas, lebih dekat cemoohan, sebab peranannya tidak ada sama sekali dalam pemerintahan susastra di Indonesia, alias lucu bin wagu yang membikin menjamurnya badut-badut di daerah, yang baru kacung bisalah disematkan namanya sebagai bupati penyair, juga keculunan lain.

Semenjak pangkat ditaruh di pundak, maka kokohlah. Lalu (entah mengapa) mereka silap cepat-cepat mengangguk hingga analisanya (kritiknya) menuju ke bentuk pembenaran, meski bersusah payah mencari padanannya; di antara gagasan keblingen penyair dengan pola-pola penalarannya, yang sebelumnya jeli menyusupi rongga cipta pengarang. Ini kentara saat mencermati tulisannya di meja bedah, berpola apa dan berkehendak mengaburkan, mencocokkan jalannya nalar dipunyai dengan yang diteliti. Maka membaca ulang sangat perlu (wajib), barangkali anggukan awal itu semacam rasa kenyang (puas), atau suka cita yang keluar dari kesadaran termiliki dikala itu. Dan keterpukauan atau kerap menganggap benar terlebih dulu, di mana saat baca sudah menurunkan beban kewaspadaan, yang secara langsung mengikuti pola yang di-gembol-nya, seumpama berbondong menggandol angkutan umum meski itu membahayakan, tetaplah ikut grubyuk.

Dan bebentuk penyimpangan contoh diberikan lewat bebahan kajian yang kita terima, laksana petuah dukun kepada seseorang yang berkeadaan kalut, lantas kepercayaan yang terbit tidak lebih kemerosotan dari jiwa-jiwa yang terkunci oleh kilauan pamornya. Juga yang melingkupi pengalaman hidupnya seperti prestasi diterima, padahal jikalau meneliti bahan perbandingan -belum seberapa, tapi kita sudah demam duluan di atas kehawatiran kurang beralasan yakni ketakutan. Serta sulit jika sudah banyak yang telah menerima, tetapi saya sangat optimis lantaran hati mudah berbolak-balik mencari-cari letak dataran di atas kebutuhan jaman. Setindak langkah keganjilan perubahan agama atau sistem kepercayaan yang tumbuh di tanah Jawa; yang pergeserannya mampu menggerus keimanan mereka pelahan-lahan seolah sulapan di dalam diri para umatnya, dibandingkan dengan kokohnya hukum dagang, seperti perlawanan kaum Sudra disaat-saat Kerajaan Majapahit di ambang kehancuran, dan pola tanam tembakau yang terus dikuasai para pemodal.

Pergeseran nilai yang pelan namun pasti tersebut semakin jauh dari permasalahan, sehingga fungsi daya cipta yang diteliti hampa dari gerak perubahan jamannya. Hanya mendiami wajah teorisasi yang terlepas dari akar muasalnya, jadilah bayangan ilmu-turunan yang bernafas di bangku perkuliahan semata, karena tidak punya nafasan lebih yang sampai menapaskan dinaya ciptanya keluar dari tubuh gagasannya. Tanpa segan saya sebutlah akal-akalan permainan, latihan bernalar agar dikira sudah purna hasil pendidikannya, dengan tidak memiliki (meninggalkan) kecurigaan capaiannya. Jangan-jangan ada perasaan ketakutan di dalam membongkar ulang, atau hawatir dianggap mencla-mencle semacamnya. Dari sana kekeliruan itu tetap bertahan, malah ada yang menghembuskan berlebih, tentu berasal dari anak-anak turun yang sudah siap mengamini, meski sekadar kerenyutan ringan di dahi.

Agar tidak berlama-lama saya turunkan saja kajiannya Dr. Ignas Kleden yang berjudul; “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri.” Dan mari menyimak esainya yang saya dedah pelahan-lahan;

15 Juni 2011 / 23 Malam 24 Juni 2015 / 26 Oktober 2015.

Tinggalkan Balasan