Bagian 16: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan kedua dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Gugatan untuk Anugerah Sastra Mastera (Majelis Sastera Asia Tenggara) 2006, dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000, yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun,” (yang dirombak oleh Sutardji ke dalam bahasa Indonesia dengan membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!, serta Jadi maka jadilah!”).

Awalnya masih menaruh pikiran positif, di kepala saya seakan tertera kata-kata, “pasti pidatonya mbeneh (benar), bukan awut-awutan (ngawur),” namun nyata tebakan itu meleset. Pun ingin husnudzon (berbaik sangka), mungkin tidak tahu sumber aslinya. Namun apakah mungkin, sastrawan terkenal yang banyak mendapatkan penghargaan, cuntel (dangkal) keilmuannya?

Bagian XVI ini berkehendak mengupas paragraf tiga dan empat tingkatan kedua esainya Ignas, dengan sengaja membabarkan kandungan terlebih dulu, sebelum lingkaran luarnya. Secara tidak sengaja menemukan tindak kefatalan sangat pada data yang saya telusuri. Terus terang saya agak canggung mengudar kesusastraan ke dalam wilayah agama, di sisi usia belum genap matang pun keilmuan durung mencukupi dalam mewedarkan. Lantaran ini soal serius, dan sepertinya belum ada ahli bahasa yang memperkarakannya, mungkin dianggap kesalahan ketik, kewajaran dari kenyentrikannya atau jangan-jangan takut keliru jika meluruskannya? Ataukah begitu, “Kun Fayakun” saat dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia, akan menghilangkah ruhaniah kata kerjanya, fiil amar (‘perintah’ pada kata ‘Kun’), sehingga tampaklah sulapan jadinya?

Saya kira sudah banyak pembaca bukunya Sutardji yang berjudul Isyarat, pun membeludak yang mengutipnya, mungkin juga telah berjubel-jubel buku turunan yang mengamininya. Tidakkah hal tersebut merusak nilai-nilai al-Qur’an dalam pemaknaannya, disaat benih-benihnya menyebar ke dataran subur (kreatif) di Nusantara? Jika hendak mengambil khasana luar, berhasrat mencawuk (menciduk) ujaran tertentu, sepantasnya tidak mengurangi pula tidak melebih-lebihkan, apalagi yang bersumber dari agama. Di sini saya singgung dengan ungkapan; asal tempel, asal njeplak!

Padahal firman Allah swt mengenai “Kun Fayakun,” telah mengispirasi para ulama’ dan tertera dalam kitab-kitabnya, ada yang dikhususkan tersendiri semisal Ibnu ‘Arabi pada kitabnya yang bertitel “Syajaratul-Kaun.” Dari beliau mewujudkan gugusan ilmu pengetahuan, bukannya alibi kata-kata. Yang sedari huruf ‘kaf’ dan ‘nun’ atas kata ‘Kun,’ merambahi dataran firman-firman-Nya, pula hadits-hadits pada tingkatan perciptaan awal, Isra’ Mi’raj di atas jagad alit serta besar, juga di luarnya dalam lingkup kekuasaan-Nya. Saya tidak sanggup membayangkan, kata ‘Kun’ diganti lain dengan ‘sambil lalu’ merangkaikannya!

Jika Majelis Sastra Asia Tenggara 2006 serta Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000, menghargai ayat-ayat al-Qur’an sebagai Kitab Suci. Sepertinya teks-teks pidato tersebut wajib direvisi, yakni mengenai “Kun Fayakun” [‘Kun (wujudlah), maka ia pun jadi (wujud), terjemahan “Syajaratul-Kaun” Ibnu ‘Arabi, penerbit Risalah Gusti, Surabaya 2001: “Syajaratul-Kaun dan Hikayat Iblis” (Mesir: Mushthafa al Babi al Halabi wa Auladuh, 1360/1941)] (makna ‘wujud’ atau ‘jadi’ di belakang, sebagai pemberhentian bacaan). “Kun Fayakun” [“Jadilah, maka jadilah ia,” di ujung Surat Yaasiin ayat 82, dan pada penghujung Surat An-Nahl ayat 40, dari terjemahan “Kitab tafsir Jalalain” karya Imam Jalaluddin Al Mahalli, dan Imam Jalaluddin As Suyuti, yang diterbitkan Sinar Baru Algensindo, Bandung]. Bukannya “Jadi, lantas jadilah!” atau “Jadi maka jadilah!” Inikah kesengajaan SCB demi menopang pahamnya?

Mari simak paragraf-paragrafnya: Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri, Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, “Isyarat” halaman 20).

Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri (“Bukan” Sutardji Calzoum Bachri, Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000, “Bentara” Kompas 11 Januari 2003, “Isyarat” halaman 22).
***

“Jadilah, maka jadilah ia” atau ‘Kun (wujudlah), maka ia pun jadi (wujud; pemberhenti dalam bacaannya) adalah kalimat sempurna, hukum ketentuan. Sedangkan “Jadi, lantas jadilah!” atau “Jadi maka jadilah!” Ialah bukan jumlah mufidah (tidak kalimat sempurna); cabangnya kering tidak berbuah, mentah merontok sebab batang pohon kejadian dihentakkan oleh tangan dengan memaksakan diri membebaskan, setelah kata ‘jadi.’ Mencerabut akar, kematian, bebijian kering, lebih tepatnya membusuk!

Presiden sungguhan RI misalkan SBY punya sekretaris, mungkin SCB yang melantik dirinya sendiri sebagai presiden penyair, punya sekretaris juga. Benarkah ini kesalahan fatal bawahannya? Karena “Jadi, lantas jadilah!,” dan “Jadi maka jadilah!” Masihlah gelap, jadilah apa? Toh sebelumnya sudah ‘jadi’? Kalau dalam permainan sulap bolehlah, sebab barang yang dimunculkan sudah ‘ada’ sebelumnya! Bandingkan dengan kalam mufidah (kalimat sempurna) dalam al-Qur’an: “Jadilah, maka jadilah ia,” sederhana lagi, “Jadilah, maka jadilah.” Di sini, jadilah apa? Yang terjadi, ‘keterangan kata kerja’ se-durung-nya (sebelumnya).

Kenapa SCB ngotot menyematkan kata ‘jadi,’ bukannya ‘jadilah,’ ini sengaja memegang ujung kata-kata yang selanjutnya berbunyi “kata adalah benda,” “Jadi adalah Jadi itu sendiri”? Seperti juga pada ungkapannya yang terkenal, karena didukung sebagian kritikus dan kalangan penyair, bahwa “Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera.” Padahal mantra itu suatu ritual, tidak patung atau mematung, pula bukan ‘puisi kongkrit’ yang pernah dipamerkannya!

Tuhan Allah swt berfirman mengenai “Kun Fayakun,” tidak dengan kata lain, dan setahu saya (pada awalnya) terdapat pada dua surat dalam al-Qur’an, berikut lantunan ayatnya. Yang dalam kurung terjemahannya, yang di luar tafsirannya dari Kitab tafsir Jalalain:

(Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya) artinya, Kami berkehendak untuk mengadakannya. Lafaz Qauluna adalah Mubtada, sedangkan khobar-nya (Kami hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah,” maka jadilah ia) artinya, maka sesuatu yang dikehendaki-Nya itu ada seketika. Menurut qiraat lafaz Fayakuunu dibaca Nashab, sehingga menjadi Fayakuuna, karena diathafkan kepada lafaz Naqula. Ayat ini menunjukkan makna menetapkan kekuasaan Allah di dalam membangkitkan mahkluk. [Surat ke 16 An-Nahl (lebah) ayat 40, termasuk surat Makkiyyah. 128 ayatnya, kecuali 3 ayat terakhir Madaniyyah yang turun sesudah surat Al-Kahfi].

(Sesungguhnya perkara-Nya) keadaan-Nya (apabila Dia menghendaki sesuatu) yakni berkehendak menciptakan sesuatu (hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah,” maka terjadilah ia) berujudlah sesuatu itu. Menurut qiraat yang lain lafaz Fayakunu dibaca Fayakuna, karena diathafkan kepada lafaz Yakula. [Surat ke 38 Yaasiin ayat 82, termasuk surat Makkiyyah. 83 ayatnya, kecuali ayat 45 Madaniyyah yang turun sesudah Surat Jin].
***

Ibnu ‘Arabi dalam mengawali kitabnya “Syajaratul-Kaun,” memilih ayat yang terdapat di Surat An-Nahl, mungkin setindak kehati-hatian demi ‘mengurangi’ bentuk penguat pada hadits maudhu’ menurut sebagian ulama.’ Seperti berikut artinya, Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedangkan hatinya Al-Qur’an ialah Surat Yaasiin. Barang siapa membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qur’an sebanyak sepuluh kali. [HR. At-Tirmidziy di dalam As-Sunan (4/46), Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)].

Dapat pula pilihan itu, lantaran lantunannya berkelok serta tidak menohok seharum kembang yang menyengat aromanya. Atau didasari atas jiwa kesastrawiannya, yang napasannya lebih mudah dimengerti oleh semua kalangan. Lantas timbul pertanyaan; apakah ‘tanda seru’ pada kata-kata SCB; “Jadi, lantas jadilah!,” “Jadi maka jadilah!,” sudah mampu menggantikan kata ‘kerja awal’ pada kata ‘jadi,’ sebagaimana ‘jadilah’?
***

Ini sepertinya bukan soal salah ketik, pun bukan ketidaktahuan para kritikus. Itu sungguh disesalkan, kenapa para ahli kritik tidak memperotesnya, sedangkan mereka mengantongi keilmuannya, namun malah melapangkannya di beberapa tempat. Jika saya tidak meluruskan kasus Asy-Syura yang diselewengkan tafsirannya (baca buku: Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri), kayaknya akan lempeng juga. Kini marilah tengok Kitab Suci al-Qur’an di hadapan SCB, dikutip dari esainya A. Rahim Abdullah “Sutardji Calzoum Bachri: Penjatidirian Dalam Proses Pembangunan Negara Bangsa.”

“Sebagai penyair yang jujur dapat kita tangkap sikapnya pada sajak “Enso!” walaupun Sutardji dianggap semacam sangsi dengan peranan kita suci (al-Qur’an).

Di Qur’an kini hanya aljabar
Beratus persamaan-persamaan tersamar.

Aku tak mengurusnya lagi
Jemu. Cahaya sebentar datang,
Lalu hilang kembali.

Sebenarnya dia bukanlah sangsi terhadap kesucian al-Qur’an, tetapi disebabkan ayat-ayat dalam kitab itu juga tidak lebih daripada menyuarakan Tuhan secara samar-samar belaka (Nyoman Tusthi Eddy, 1980:4). Bagi penyair ini, kitab suci belum tentu mampu menjadi jaminan bagi hasrat manusia yang ingin menemui Tuhannya. Dengan sikapnya ini mungkin Sutardji dituduh murtad. Namun, esensi hubungan antar makhluk dengan Khaliknya tidak selamanya berlangsung dalam kitab suci. Setiap orang (sebagai makhluk) bebas mencari hubungan dengan Khaliknya. Dilihat dari aspek nilai spiritual, hubungan di luar kitab suci tidak berbeda dengan hubungan yang dijalin dengan kitab suci. Sebaliknya, hubungan yang bersifat bebas dan pribadi mungkin dapat menumbuhkan kenikmatan spiritual yang lebih besar (ibid). (halaman 224 – 225, buku “Raja Mantra Presiden Penyair,” terbitan Yayasan Panggung Melayu, Juli 2007).”
***

Lagi-lagi saya suka kaum sastrawan pun kritikusnya, sebab mereka lihai dalam bercakap-cakap; bagaimana SCB menghadapi firman “Kun Fayakun,” dirombak ke dalam bahasa Indonesia yang membentuk makna “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” Di bawah ini saya urai sedikit dengan harapan kelak ada sikap kehati-hatian dalam mengartikan ayat-ayat Kitab Suci al-Qur’an, dari segi alat baca (nahwu shorof), dan tak ada sedetik atau tidak sedikit pun maksud saya untuk mendangkalkan kesuciannya.

Kata ‘jadi’ sebelum kata-kata ‘lantas jadilah!,’ apalagi tanpa tanda koma, lalu ‘maka jadilah!,’ merupakan fiil madhi, artinya pekerjaan yang sudah terjadi, dan tulisannya tidak sebagaimana Kun, tetapi kana. Bayangkan jika kelak ada yang lebih ugal-ugalan dari SCB, merombaknya ke fiil mudhore (pekerjaan yang baru terjadi) seperti Yakuuna, makin rancu jadinya. Apalagi dipolitisir yang membentuk fiil nahi, yang bersuara La Yakuna (menunjukkan larangan), maka kacau kan? Padahal dalam kitab tafsir, pun kitab-kitab para ulama’ yang membahas ‘Kun,’ tidak hanya menuliskan ‘Kun’ semata, tetapi sering dibarengi tanda petik saat memasuki terjemahan Indonesia. ‘Kun’ adalah kata perintah, ‘Jadilah.’ Bukan ‘jadi’ yang merujuk pada kata benda!
***

Bandingkan kata ‘jadi’ dengan ‘puisi kongkrit’ yang saya singgung. Kalau SCB memperhatikan ‘teguran samar atau dukungan samar’ dari Dami, sedikit-banyak kemungkinan akan membenahi pandangannya, berhati-hati sebelum bukunya ‘Isyarat’ diterbitkan. Dami mengatakan: Sutardji pun kelihatan menghindari definisi itu, kecuali menerangkan soal proses kreatifnya, paragraf sebelum kalimat di atas, isinya hampir sama pada awal esai Sutardji yang bertitel “Sekitar Puisi Kongkrit:”

Kembali pada pokok yang disinggung pada awal pembicaraan ini, lalu apakah definisi “Puisi Kongkret” mereka itu? Seperti halnya penegasan Ikra Negara dalam sebuah koran ibu kota ketika itu, bahwa Definisi tidak perlu! Dengan kata lain, “definisi” karya-karya itu adalah sebagai “penampilan” yang begitu itulah. Tetapi mungkin tidak salah agaknya, kalau kita pun mendengar apa penegasan Sutardji Calzoum Bachri dalam pengantar pameran tersebut. Kata dia “salah satu elemen yang menyebabkan timbulkan puisi kongkrit ialah ide untuk membikin kata atau bunyi menjadi berwujud dan kehadiran kata yang tidak begitu saja menerima kehadirannya dalam gramatika, di samping huruf sebagai gambar dari kata yang diusahakan tidak bersifat netral untuk mengantarkan kata-kata. (‘Menonton dan Mendengar Puisi Kongkrit,’ dalam buku “Hamba-hamba kebudayaan” Dami N. Toda, terbitan Sinar Harapan 1984).

Paragraf kedua dari akhir esainya SCB: Bagi saya mantera adalah puisi kongkret paling berakar dan orisinal yang kita miliki. Konstelasi kata-kata atau bunyi dari mantra menimbulkan bentuk yang unik yang hanya berfungsi dalam keutuhan konstelasinya sendiri dan bisa diharapkan menimbulkan komunikasi atau efek tertentu. Situasi (tempat) di mana mantera itu diletakkan (tertulis) atau diucapkan banyak menentukan sampai atau tidaknya komunikasi atau efek yang diharapkan. Mantera adalah puisi terpakai (applied poetry) yang pada masa kini peranannya antara lain diambil alih oleh puisi kongkret dalam periklanan.” (‘Isyarat’ halaman 110).

Jelas, kata ‘jadi’ yang diingini tumbuh dari kata ‘Kun,’ itu kesengajaan luar biasa nekat demi ‘menumbuhkan kenikmatan spiritual yang lebih besar’ (A. Rahim Abdullah), yang dipatenken seturut melanggengkan gagasannya: Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri atau “Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi.” (petikan paragraf pada dua pidatonya SCB).

Kenyataannya ngawur, merombak ‘kata perintah’ menjelma ‘kata benda,’ lebih serampangan tanpa perhitungan matang! Mungkin mending para orientalis yang licin sekali pun. SCB tidak sekadar menyelewengkan tafsir, juga dengan gagah merombak susunan Kitab Suci al-Qur’an demi kenikmatan berdalih di atas nama sastrawan! Pembikin ‘suara palsu’ yang menyesatkan pembaca yang tidak kritis mengamini karyanya, seolah dari kitab agamanya! Pada kesempatan ini, saya teringat ungkapan penyair sekaligus ulama’ Mustofa Bisri, yang mengistilahkan ‘bolo’ kepada sesama Muslim. Karena ini saya anggap masalah serius, olehnya diketengahkan di sini!
***

Lebih menyedihkan ‘pesulap kata-kata’ Sutardji Calzoum Bachri yang dikenal sebagai Raja Mantra, Presiden Penyair Indonesia, perombak sekaligus penghancur pesona “Kun, Fayakun” yang diturunkan rendah, dihapus maknanya sekelas permainan kata-kata: “Jadi, lantas jadilah!,” “Jadi maka jadilah!” Kenyataannya, SCB terpukau pesulap kelas dunia David Copperfield, yang tampan dan kaya, dibandingkan aura agung firman Allah swt. Simak di paragraf lain esainya A. Rahim Abdullah, halaman 132-233:

Sajak-sajak terbaru Sutardji sudah berubah bentuk tipografinya, ia seolah-olah kembali pada bentuk puisi konvensional. Ini terlihat pada “David Copperfield, Realities ’90”, “Tanah Airmata”, dan “Jembatan” (Horison, XXXII. Juni 1998:28-29), bagaimanapun sajak kedua dan ketiga dihasilkan sejak 1993-97. Dalam “David Copperfield, Realities ’90” Sutardji melahirkan rasa kagumnya setelah menonton pementasan “Illusion ’90” oleh tokoh silap mata itu di Jakarta, antara lain seruannya.

aku dipukau David Copperfield
aku dicekam Haudini
aku terkagumkan sama pesulap kakap.

aku terperangah melihat pesulap
ngubah derita jadi gedung gemerlap
aku tercengang menyaksikan
luka jadi waduk raksasa.

aku heran nonton pesulap
mampu mengkristalkan air mata kita
jadi etalase indah
di berbagai plaza.

aku kagum pesulap
yang bikin rimba
jadi emas
membuat hutan
jadi-pasir.

Allah
inilah tardji
terperangah takjub
heran daif
terasing tumpul dan takut
di negeri sulapan.”

Namun setidaknya SCB sudah berbahagia, sebab telah berhasil menyulap “Kun, Fayakun” menjelma makna “Jadi, lantas jadilah!,” “Jadi maka jadilah!” di muka dunia kesusastraan Indonesia, atas kritikus yang silap, di depan para penyair pengagum akrobatik kata-kata!
***

II
Secara umum terketahui, bahwa Kitab Suci al-Qur’an ialah firman Allah swt yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, yang lafaznya hingga kini masih menjadi bacaan pedoman bagi kaum Muslimin sejagad. Sejak wahyu-Nya turun ke bumi hingga akhir zaman mendatang, tetaplah mempertahankan bentuk keasliannya, yakni lafaznya tidak mengalami perubahan tambahan ataupun pengurangan, walau sehuruf pun. Sebenarnya kurang diperkenankan tindakan mensitir ayat-ayat Kitab Suci al-Qur’an dengan hanya menyebutkan arti dan maksudnya saja, tanpa menunjukkan lafaz aslinya. Tetapi rujukan ini saya kemukakan, setidaknya menjadi pegangan untuk ditelusuri ulang dan dibenahi kalau terdapat kesalahan. Juga sebagai tindak kehati-hatian, guna menghindari kekeliruan fatal dalam penulisan, sewaktu perubahan layoutnya di percetakan.
***

Lalu apakah MASTERA dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau dapat menjamin ungkapan SCB; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” bukan berasal firman Allah swt yakni “Kun Fayakun”? Bagaimana jika nanti dipakai para pengutip di Indonesia yang kebanyakan latah tidak mencari sumber rujukannya? Sebab telah begitu percaya pada ketokohan seseorang, misalkan: Menurut SCB, “Jadi, lantas jadilah!” Seperti yang pernah saya jumpai di salah satu buku yang mengambil kata-kata Sutardji, tetapi tidak menautkan akarnya. Andai persoalan ini dilepaskan dari agama, saya pikir lebih terhormat pelukis Van Gogh yang memotong telinganya sendiri atau tidak pengambil ayat-ayat kitab suci, apalagi lantas dipenggal seenaknya! Agak ganjil memang, mencari legitimasi kepenyairan dalam kitab suci. Namun alangkah fatalnya, ketika al-Kitab tidak sesuai dengan pandangannya, kemudian dirombak semaunya.

Kalau Sutardji menulis “kun faya kun” seperti pada esainya “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” agaklah aman daripada kedua pidatonya tersebut (tetapi sangat berlawanan juga dengan larik-larik berikutnya, yang ngawur itu menjadi kacau-balau). Dan jika dirinya memang berwawasan luas yang bisa dipertanggungjawabkan, tentu teksnya diperlebar semisal ceramahnya Mochtar Lubis, tanggal 6 April 1977 dalam bukunya “Manusia Indonesia.” Kita kerap memaklumi kesalahan para senior, membetulkan tempat duduk kita untuk disesuikan dengan mereka, sehingga terlupa kursi yang sebenarnya! Tidakkah ini racun mematikan kreativitas pula membebalkan kefitrian kalbu-pikir dari Allah swt? Nalar menjadi tumpul, otak membeku mengamini, karena menganggap lumrah semua kehilafannya? Yang sampai membuang susunan firman-Nya, demi segelintir manusia-manusia fana?

Ini bukan masalah kajian modern, postmodernisme, hipermodernisme, sampai mungkin transformer-post-hipermodern. Tetapi rujukan-rujukan tersebut tentunya tidak berbeda, tidak berubah daripada kemunculan awalnya. Kalau hendak menciduk kekayaan lain, seyogyanya memakmurkan lewat bacaan yang berkisar di antaranya, bukan asal njeplak serupa sulapan mak’ bedunduk! Coba misalkan ungkapan filsuf René Descartes (1596 – 1650), “Cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada” lantas dirombak menjadi “aku pikir maka aku ada.” Tentu seluruh dunia akan terpingkal-pingkal menertawakan anda sambil berkata-kata; “orang Indonesia sok cerdas ya!”

Perihal tersebut tidak sama derajadnya, tetapi sama sepantasnya tetap menghargai suara keasliannya. Pun dirunut ke dunia filsafat, adanya kata benda, sifat dan seterusnya kerap saling membuai, tetapi suara asli tetap sebagai kunci keluar-masuknya suatu gagasan! Jika kunci duplikat lurus atau tidak merusak lubang keasliannya, paling mentok dianggap pembobol! Celakanya, kunci duplikat itu merusak dan tidak bisa dipakai lagi. Maka pintu akan mengalami kejadian yang menyesatkan banyak orang, para pengunjung berjumpa jalan buntu! Kemudian, di mana letak kearifan khasana kesusastraan, melihat yang demikian serampangan tampak tertera?

Padahal sebuah teks pidato kebudayaan, teks pidato penghargaan sastra pun pidato kepala pasar sekalipun tetap ditimbang, dihitung dengan pengucapnya secara matang. Serupa catatan-catatan kesaksian, pandangan ideologinya, sikap berpendiriannya dari pergolakan proses kreatif. Entah itu dongengan perebutan wilayah pasar tradisional, peta kesusastraan dirambahnya, yang seruannya dihajatkan untuk gemilang, agar kelak tidak ada pemberontakan. Maka dipilih kata-kata yang kokoh berwibawa sebagai penanda capaian yang dilarungnya! Teksnya bisa diambil pedoman, rujukan asli, setidaknya keseluruhan laku terpancang pada ungkapannya. Senyawa dengan teks yang sudah membulatkan tekad membaja di keseluruhan jiwa-raga seperti janji suci setia, sumpah yang ditanggung di atas kepenuhan hidupnya. Saya teringat Sumpah Palapa yang diserukan dengan lantang oleh Gajah Mada, pada pengangkatannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, 1258 Saka atau1336 Masehi. Yang menelan tumbal seketika itu juga pada jiwa-jiwa tanggung yang mengejek tidak mempercayai maklumatnya!

Andaikan kaum kritikus pun para sastrawan pula MASTERA, mau menerima dengan hati jujur terhadap teguran nyata dari Sang Maha Realitas, atas kesembronoan yang disengajakan pada ketiga teks pidato SCB: 1. “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” mengenai Asy-Syu’ara, 2. “Sambutan Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera,” dan ke 3. “Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau” pada kasus Kun Fayakun, Insya Allah hikmah dari musibah tersebut akan terbuka lebar jalannya. Di sana terdapat gumpalan materi padat kegagalan diri SCB sebagai sastrawan, yang gagap meramukan konsepnya menjadi utuh, lantas mencari-cari kepurnaan lewat ayat-ayat dari kitab suci yang disunat susunan beserta maknanya! Hebatnya lagi, ketiganya lolos sebagai pidato bergengsi, lalu dimuat di Koran Nasional, kemudian dibukukan, sampai kaum kritikus, para sastrawan yang biasa menulis di koran, sudah merasa puas sebagaimana tidak pernah saya temukan sanggahan dari mereka, mengenai tulisan-tulisan keblinger tersebut.

Bolehlah di kelas-kelas SCB mengatakan bahwa kata ‘jadi’ di awal kata-katanya tersebut menunjukkan ‘kata kerja perintah’ meski bukan! Semisal lewat tekanan nada tertentu, kata ‘jadi’ di dalam lingkaran ataupun pada perkumpulan para penjudi dadu. Atau kata-kata ‘sim sala bim’ dalam dunia pesulap yang membuatnya terpukau pingsan, tercekam melotot, terkagum hingga terbirit-birit, terperangah mendelik, dan tercengang geleng kepala sampai heran se-puyeng-nya bintang toedjoe, umpamanya! Namun jangan samakan firman Allah swt yang agung mengenai “Kun Fayakun” di ruang-ruang kelas itu! Kalau memang sastrawan jempolan, tentunya dapat paham membedakan teks-teks dunia gelap di sebelah yang bercahaya.
***

Sebelum memasuki kilauan cahaya kekaryaan Ibnu ‘Arabi. Mungkin ada baiknya saya turunkan ungkapan dari dua teman, satunya kawan semasa di bangku Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Munib Junaidi, yang sama penuturannya dengan saudara Muflih Khoiri. Mereka berdua tidak bertitel Prof maupun Dr, jadi anda tidak perlu sungkan kalau ingin mendampratnya. Kata ‘Kun’ yang pertama menunjukkan azali, tidak ada kata depan ‘jaman’ di muka kata ‘azali,’sebab belum menunjukkan masa, sedangkan kata ‘Kun’ yang kedua, merupakan peristiwa di alam dunia.

Lalu saya rujuk pada Hadits Qudsi nomor 55, dalam kitabnya Muhammad Tajuddin Bin Almanawi Alhaddadi, dialih-bahasakan oleh H. Salim Bahreisy, terbitan Bina Ilmu halaman 38, tahunnya tidak tertera, sebagaimana berikut; Al-Umamah r.a. berkata: Nabi saw bersabda: Allah taala berfirman: Akulah Allah tiada Tuhan melainkan Aku. Aku telah menciptakan dan menakdirkan kejahatan, maka celakalah orang yang telah Ku-takdirkan kejahatan baginya dan melaksanakannya. (R. Albaihaqi). Yakni, yang ‘telah menciptakan dan menakdirkan kejahatan dapat dimasukkan dalam ruang azali, danmaka celakalah orang yang telah Ku-takdirkan kejahatan baginya ialah bentuk tarik-menarik antara tentara setan dan bala tentara malaikat di panggung dunia. Sedangkan kata-kata dan melaksanakannya.’ merupakan wujud kemenangan ataupun kekalahan di atas takdir tersebut. Wallahualam Bishowab.
***

Setelah melewati gerhana bulan total kedua di tahun ini, pertama 16 Juni 2011 dan kemarin 10 Desember 2011, sesuai perkiraan Hakim L. Malasan, atau baca bagian XIV: Babad Nuca Nepa (Flores). Lalu malam senin wage kini 16 Muharrom 1433 /16 Suro 1945, pelahan saya ingin memetik khasananya “Syajaratul-Kaun,” buah ilmu manfaat sedari Penghimpun Agama (Muhyiddin), Ibnu al-‘Arabi. Semoga Allah swt meridhoi hambanya yang hina ini, dalam meneguk hikmahnya.

Asy-Syaikh al-Akbar Ibnu al-‘Arabi pada kitab yang saya pegang ini, mengawali cahaya inspirasinya lewat firman Allah swt: Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertancap kuat dan cabangnya (menjulang tinggi) ke langit. (Q.s. Ibrahim: 24).

Atas keluhuran itu sepantasnya yang mempercayai tawadhuk berhati-hati dalam penuliskannya, apalagi lewat terjemahan, dan tidak membolak-balikkan ‘kata kerja’ menjadi ‘kata benda’ atau sebangsanya. Umpama di suatu bangsa yang kerap melihat kritik dianggap sebagai pujian, maka dengungan keras wajib disuarakan. Sekiranya yang luput terlepas kembali ke jalan keselamatan, dan bukan malah mencari-cari pembenaran melalui dalil akli demi menutupi rasa malu. Karena apalah perangai dunia, toh sebentar lagi semuanya binasa.

Beliau (Ibnu ‘Arabi) memuja-muji kebesaran-Nya, selantunan harum kembang melati suci, pula semerah mawar yang sedap dipandang oleh mata terindah, lalu diperdengarkan ke telinga: “Dia menciptakan segala di alam raya dengan kata Kun (Wujudlah), tiada pernah apa pun wujud kecuali keluar dari hakikat tersembunyi dari kata Kun, sementara tiada sesuatu pun tersembunyi kecuali dari rahasianya yang selalu terjaga.”

Dan ditulislah Surat An-Nahl ayat 40 yang menyebut “Kun Fayakun.” Beliau… “merenungi alam raya, pembentukannya, memperhatikan yang tersimpan.” Lantas bersaksilah… “keseluruhan tersebut suatu Pohon, pangkal cahayanya berasal satu benih ‘Kun’ dimana Kaf; al-Kauniyyah, dikawinkan dengan serbuk benih nahnu khalaqnakum Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (Q.s. al-Qamar: 49). Dari sini muncul dua dahan berbeda dari satu akar. Akar tersebut al-Iradah (Kehendak), sedangkan cabangnya al-Qudrah (Kuasa).”

Saya sendiri merenungi dalam, teringat gagasan Nietzsche pada ‘Kehendak Berkuasa,’ lalu evolusi Darwin yang mementingkan bentuk fisikal. Tapi semuanya lebur serupa keraguan saya yang ludes di ujung tahun 2001, satu jam sebelum berangkat ke Solo demi pementasan bersama komunitas Lapen 151. Terus ditempa pemahaman dikala membaca bulir-bulir mutiara Al-Hikam, buah karya Ibn Athaillah. Alhamdulillah, sewaktu itu saya mengungkapkan; “bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!” (“Balada di Bukit Pasir Prahara,” 21 September 2000, Parang Tritis, Yogyakarta), telah terjawab sudah.

Kembali kepada petuah Beliau… “‘Kaf’ dari kata ‘Kun,’ memunculkan dua makna. Pertama ‘Kaf’ al-Kamaliyyah (Kesempurnaan), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Q.s. al-Maidah:3). Dan ‘Kaf’ al-Kufriyyah (Kekufuran), “Maka di antara mereka ada yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kufur.” (Q.s. al-Baqoroh: 253).”

“Sementara dari jauhar (esensi) ‘Nun’ dari kata ‘Kun’ muncul ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan) dan ‘Nun’ Marifat (pengetahuan tentang Tuhan). Ketika ditampakkan mereka dari ‘Kun’ ketiadaan pada hukum yang dikehendaki oleh keqadiman, maka Dia memercikkan sinar pada mereka dari Sinar-Nya. Yang terkena sinar kemudian memandang gambaran “Pohon Kejadian (Alam)” yang tumbuh dari benih ‘Kun,’ akan bahagia di dalam rahasia ‘Kaf’-nya sebagai gambaran firman Allah swt. “Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Q.s. Ali Imron: 110). Dan tampak jelas ‘Nun’-nya pada (Q.s. aZ-Zumar:22).”

“Yang tak terkena sinar, lalu diminta mengungkap makna dari kata ‘Kun,’ maka akan salah dalam mengejanya dan nista dalam harapannya. Melihat bentuk ‘Kun,’ mengira ‘Kaf’ Kufriyyah (kekufuran) dengan ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan), karena ia termasuk kelompok orang kafir.” Beliau terus berujar… “nasib (bagian) setiap mahkluk dari kata ‘Kun,’ sesuai yang diketahui dari pengejaan hurufnya, disaksikan dari rerahasia terkandung di dalamnya. Sabda Rasululloh saw.: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Dia memercikkan kepada mereka dari Sinar-Nya. Barangsiapa terkena Sinar tersebut akan mendapatkan petunjuk, sementara orang yang luput dari percikan Sinar tersebut akan sesat dan menyimpang.” (Lihat H.r. at-Tirmidzi, Kitab al- Imron: 2566).”

“Tatkala Adam as. melihat lingkaran wujud, menemukan segala wujud berkisar di lingkaran kejadian; Satu terdiri api, yang lain tanah (thin). Adam melihat lingkaran berada dalam rerahasia ‘Kun.’ Bagaimana pun berputar tetap mengikuti, dimanapun terbang tetaplah (tidak kan lepas, tidak kan berubah). Satu di antara mereka menyaksikan ‘Kaf’ Kamaliyyah (kesempurnaan) dan ‘Nun’ Marifat (pengetahuan tentang Tuhan), yang lain menyaksikan ‘Kaf’ Kufriyyah (kekufuran) dan ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan). Sehingga kebijakan hukum padanya akan kembali di titik lingkaran ‘Kun.’ Yang diciptakan (al-mukawwan) tidak pernah melampaui yang dikehendaki Dzat Yang menciptakan (al-Mukawwin).”

“Apabila anda memperhatikan berbagai macam dahan ‘Pohon Kejadian’ dan jejenis bebuahnya, akan tahu sumber utamanya berasal dari satu benih ‘Kun’ yang jauh berbeda. Ketika Adam as. diajari seluruh nama, melihat misal Kun lalu menyaksikan yang dikehendaki Sang Pencipta melalui apa yang diciptakannya, menyaksikan Sang Guru dari ‘Kaf’-nya ‘Kun,’ ‘Kaf’ al-Kanziyyah (Gudang Rahasia) Aku adalah Gudang simpanan rahasia yang tersembunyi dan tidak dikenal, lalu Aku lebih suka diketahui.” (al-Hadits). Melihat rahasia pada ‘Nun’ al-Ananiyyah (Keakuan) “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” (Q.s. Thaha:14). Ketika pengejaan itu benar dan harapannya terealisasi, maka Sang Guru mengambilkan suatu intisari dari ‘Kaf’ al-Kanziyyah, suatu ‘Kaf’ al-Takrim (pemuliaan) “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (Q.s. al-Isra: 70) dan ‘Kaf’ al-Kuntuyyah (Keakuan) “Aku akan menjadi Pendengar, Penglihatan dan Tangan baginya.” (al-Hadits).”

“Dari ‘Nun’ al-Ananiyyah (Keakuan), Sang Guru mengeluarkan untuk Adam ‘Nun’ an-Nuriyyah (pencahayaan) “Kami menjadikan sinar untuknya.” (Q.s. al-An’am: 122). ‘Nun’ tersebut bersambung ‘Nun’ Nimah, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menjumlahnya dalam hitungan tertentu.” (Q.s. Ibrahim: 34). Sementara iblis -semoga Allah melaknatnya- selama empat puluh ribu tahun memahami huruf-huruf ‘Kun.’ Sang Guru telah memasrahkan segala padanya, menyerahkan segenap upaya, kekuatan pada kekuatannya sendiri. Maka iblis melihat bentuk ‘Kun,’ menyaksikan ‘Kaf’ Kufriyyah (kekafirannya), lantas sombong, membangkang dan merasa paling besar. Ia juga menyaksikan ‘Nun,’ ‘Nun’ Nariyah (api asal kejadiannya) “Engkau menciptakanku dari api.” (Q.s. al-A’raf: 12). ‘Kaf’ kekufurannya bersambung ‘Nun’ keapiannya, maka dimasukkan dalam neraka, “Maka mereka dijungkir-balikkan ke dalam neraka.” (Q.s. asy-Syu’ara’: 94).”

“Kala Adam melihat perbedaan terjadi pada Pohon ini, berbagai macam bunga dan bebuahnya, ia berpegang erat dahan, “Sesungguhnya Aku adalah Allah Tuhan semesta alam.” (Q.s. al-Qashash: 30). Lalu Adam dipanggil, “Makanlah dari berbagai buah tauhid dan teduhlah di bawah Naungan Yang Mahatunggal.” Selain perintah ada larangan, “Janganlah kalian mendekati pohon ini.” (Q.s. al-Baqoroh: 35 dan al-Araf: 19). Tapi iblis menginginkan Adam sampai ke dahan, “Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka (Adam dan Hawa).” (Q.s. al-Araf: 20). Mereka memakan buah terlarang, membawanya tergelincir ke tempat-tempat menggelincirkan, “Dan durhakalah Adam kepada Tuhannya dan tersesatlah.” (Q.s. Thaha: 121). Tetapi Adam tetap berpegang teguh dahan istighfar (Lihat Q.s. al-Araf: 23). Akhirnya merunduk dan turun untuknya buah dari Tuhannya: “…Allah menerima tobatnya.” (Q.s. al-Baqoroh: 37).”
***

III
Sebelum berlanjut menyimak untaian mutiara Ibnu ‘Arabi. Izinkan saya tulis beberapa paragraf, siapa tahu menjelma jembatan bagi yang mengatakan kekaryaan Beliau sulit dipahami. Menurut sebagian orang, karya-karya ulama’ ada yang berat dimengerti, sebab para beliau kerap menerapkan perbagai pendekatan, kaum terpelajar mengistilahkan bertumpuknya metodologi, seperti pada Syajaratul-Kaun ini.

Bagi pembaca berpikiran runut dapat deladapan lantas mengira karya tersebut gelap. Ringkasan alunan di atas saya penggal, karena pada letak itu Beliau membuat sambungan halus antara pandangan sebelumnya, menuju cara penglihatan berbeda yang bisa mengecoh, bila meniti pembacaan tanpa dilandasi keheningan.

Yang saya udar sekadar dinaya tangkap, lain soal pancaran hikmah yang butuh pengekangan lebih. Memang tidak semua karya para beliau berat, ini bukan berarti menganggap ringan; karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh atau yang berada pada keilmuan secara umum, para santri kaum terpelajar tentunya bisa mengendarai. Yang sulit bercampuran ‘filosofis sufistik’ dalam kekaryaan Ibnu Rusyd, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Atha’illah, Al-Hallaj, Mulla Shadra, Suhrawardi, dan ini bersifat kecenderugan serta perlunya kebeningan pengetahuan, yang tidak lepas dari keilmuan lain seibarat lingkaran.

Saat membaca karya-karyanya namun kurangnya buku-buku pendukung, boleh diperkirakan bernapas di ruang gelap. Ini bukanlah spekulasi, tetapi sesimbul terikat kedudukannya, yang kadang berbeda letak di hadapan mereka. Dan kesuntukan diajukan atas ingatan kuat pada kekisaran pemikirannya, serta meraba-pahami wewaktu khusus pula tiada beban selain menuntut keilmuan, demi peroleh kesaksian setangguh keinsafan terdalam.

Sebaiknya santun meski berbeda paham, serupa ke-tawadhu-an para santri bagi alat menuju pendekatan. Ber-wudhu sebelum mencecapi keilmuan, yang bulir-bulir airnya mengurangi kantuk meringankan lelah. Saat bersih-bersih, merapikan kitab-kitab pada raknya, atau seluruh gerak penuh nikmat sambil mengingat pelajaran. Yang mempercayai nalar sepantasnya membeningkan pikiran, guna yang masuk berkeindahan, dan kemauan keras demi tidak menganggap ringan, meski dalam perihal tertentu patut diseimbangkan.

Karya yang sulit dimengerti biasanya terdapat beberapa kata kunci untuk memindahkan soal. Ini bisa dicermati atas karya para ahli tafsir dikala mengurai sesuatu, kadang bukan kata namun huruf, semisal pada karya Ibnu ‘Arabi. Ialah kurang tepat karyanya dibebani benang metodologi, persisnya wewarna jenjang penyingkapan hijab dibukakan Sang Pemilik Ilmu. Marilah baca pendapat Masataka Takeshita terhadap karya Ibnu ‘Arabi:

“Sebagai seorang sufi sejati, dia menulis berdasarkan inspirasi. Kemudian ide memancar dari penanya, laksana air yang mengalir dari sebuah mata air. Sistematisasi yang sederhana dari sebuah karya yang sesungguhnya tidak pantas baginya. Sekali ia tersistematisasi, ia kehilangan dinamikanya dan menjadi sebuah mistisisme skolastik yang statis.” (terjemahan Moh. Hefni MR, “Manusia Sempurna, menurut konsep Ibn ‘Arabi,” terbitan Pustaka Pelajar 2005). Dan saya pikir, seperti Louis Massignon, William C. Chittick, Karen Armstrong, Sachiko Murata, Annemarie Schimmel, R. A. Nicholson… punya wewaktu khusus untuk menenangkan diri dalam menghargai ilmu yang diteguknya, sehingga merambahi dataran bencah pemikiran di atas kalbu hayatnya.

Atau kaum filsuf tiada jemu menggali hikmah, kadang sedari perihal sepeleh jatuhnya daun. Karena bacaannya meluas diperolehlah percik cahaya referensi yang saling bergesek. Pesonanya menguraikan pikiran, kemudian jawaban muncul berbeda dari sebelumnya. Saya condong menganggap meraka tidak terpengaruh langsung. Nyata punya jalan sendiri, oleh karena kesungguhan menggali kediriannya serupa para penyaksi lain. Kalau terdapat kesamaan ibarat berpapasan di tikungan, tampak tulisannya mengeduk pribadi keilmuan. Bukan sulapan bacaan, akrobatik kata atau mencari-cari bentuk di lembar penyesuaian.
***

Yang sulit dihimpit gelombang atau mengawali bacaan kurang elok dipaksakan, jika dirasa belum tepat masanya, ini berdekatan dengan kejiwaan. Maka seyogyanya memperkirakan reruang-waktu, kesibukan mengelilingi tidak mengganggu, atau menentukan yang dibaca pada kondisi tersebut. Itu berkaitan irama batiniah pikiran di atas percepatan, kelambanan, kepadatan, dan semua dihitung seperti saat naik bus ke suatu kota, membuka buku mana pun apa saja ke depannya. Merasai kehadiran mereka sewaktu belajar, pula di tempat lain yang memungkinkan berdialog dalam pikiran.

Dalam kekhusukan biasanya sanggup keluar-masuk gelombang di mana saja. Saat mendapati beberapa gelombang, maka ambillah demi meningkatkan ombak menuju debaran kepada taraf pemahaman. Dan kesimpulan ibarat tapak langkah dilanjutkan, sambil tidak lupa menyapa situasi; benda-benda diajak akrab merasai tekstur guratan nasibnya, misalkan kayu terkena hujan kedinginan. Maka kelembutan sedikit-banyak membantu mengelus batin memasuki batiniah teks-teks yang tertera.

Ada pula yang patut ‘diharuskan’ semasa gelombang jiwa dengan buku yang terbaca sesuai, maka sepantasnya dilanjutkan meski dipukuli kantuk diserang demam. Dalam kondisi tersebut pengetahuan berakar membekas daripada sekadar ingin tahu sejalan membaca pengantar. Mungkin merasakan cukup kebutuhan hidup dapat meringankan diri dalam pengoreksian bacaan. Selalu tenang, meski kurang waktu atas percepatan mewajibkan belajar, serupa keakraban merangsang terus haus membaca. Dan gesekannya menimbulkan kepekaan mendalam, di dalam memudahkan-memahami karya-karya yang sulit dimengerti.
***

Sambil menutup rajutan kata-kata, marilah masuk pelahan ke dalam karya Beliau kembali. Antara bagian saya penggal dan di bawah nanti, Ibnu ‘Arabi tidak memberi batasan jelas, yang dapat membuat pembaca kebingungan, jikalau tidak cermat sekaligus seksama. Padahal uraian sebelumnya dengan bagian belakang, terang berbeda. Sederhananya, awal menyebut dua dahan namun lanjutannya tiga, padahal dalam satu pokok masalah. Ini bukanlah menghapus atau menghilangkan pengertian semula, di antara keduanya punya referensi serta saling menopang kuat. Pula tidak berjalan pada dua arus, namun sejenis lelipatan penyingkapan atas jenjang kesaksian.

Dengan jujur Beliau mengawali benang sambungan lewat memunculkan kata “hari kesaksian” dalam paragraf depannya. Ini jalinan lembut sedari kata-kata “berbagai macam dahan” dikala menerangkan Adam as di muka. Selain “hari kesaksian,” Beliau menaburkan pengertian lembut di dalamnya yang saling memperkokoh demi memasuki penyingkapan berikut. Jika pada filsafat materialisme ilmiah, bagian pertama seperti inti atom terdiri dari dua jenis nukleon; proton dan netron. Maka bisa dimengerti selanjutnya ialah partikel-pertikel quark yang diawali munculnya tiga dahan. Di bawah ini benang halusnya, meski sebentuk ringkasan semoga tertangkap bagi pembaca.

Beliau berkata,… “Ketika dipanggil di hari kesaksian di depan mata para saksi untuk dimintai kesaksiannya, “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” (Q.s. al-A’raf: 172). Masing-masing memberi kesaksian dengan kadar ia saksikan dan ia dengar, semua menjawab, “Benar, tentu Engkau Tuhan kami.” Tapi perbedaan terjadi dari sisi kesaksiannya. Yang menyaksikan ber-Keindahan Dzat-Nya, memberi kesaksian tiada sesuatu pun yang sama dengan-Nya. Yang menyaksikan-Nya ber-Keindahan sifat-sifat-Nya, bersaksi tiada Tuhan selain Dia, Yang Raja lagi Mahasuci. Yang menyaksikan-Nya di atas keindahan pada makhluk-Nya, kesaksiannya berbeda akibat berbedaan yang mereka saksikan. Sekelompok orang menjadikan-Nya terbatas, yang lain menganggapnya tiada, lain lagi menjadikan-Nya batu karang yang keras. “Katakanlah, Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (Q.s. at-Taubah: 51). Kebijakan hukum ini hanya dapat diketahui rahasianya tersimpan dalam kata ‘Kun,’ yang akan berputar di titik lingkarannya, tertanam kokoh di pangkal benihnya.”

“Sebutir benih ini bibit Pohon Kejadian, cikal bakal buah, dan makna bentuknya, saya (Ibnu ‘Arabi) berkeinginan menjadikan yang dibentuk suatu misal diwujudkan menjadi gambaran. Berbagai ucapan (firman), pekerjaan dan kondisi muncul di dalamnya kita jadikan jalan mencari pengertian. Kemudian saya mencontohkan sebatang Pohon tumbuh dari sebutir benih ‘Kun.’ Yang terjadi pada alam ini dari berbagai fenomena baru; kekurangan, kelebihan, pertumbuhan, yang tak bisa disaksikan (ghaib), yang dapat disaksikan (syahadah), kufur dan iman, muncul sedari berbagai kegiatan, pembersihan tingkah laku, atas ucapan indah, kerinduan, perasaan, berbagai pengetahuan rumit, yang tumbuh oleh kedekatan terhadap Tuhan (al-muqarrabin), kedudukan orang-orang bertaqwa (al-muttaqin), derajad kejujuran (asy-shiddiqin), berbisik (munajat) para arif (al-arifin), ‘musyahadah-nya kaum pecinta Allah (al-muhibbin). Semua itu buah dihasilkan Pohon ini dan mayang serbuk yang dimunculkan Pohon Kejadian ini.”
***

(Saya ucapkan terimakasih, kepada penerjemah buku terbitan Risalah Gusti, Wasmukan. Meski tidak memberikan kata pengantar, namun hasil terjemahannya mampu menunjukkan kata-kata penting yang Alhamdulillah dapat saya telusuri).

Beliau Ibnu ‘Arabi menghadirkan istilah “hari kesaksian,” setibanya dibukakan lelembar makna dari Sang Pemilik Ilmu. Pelahan bergeser, pastinya merasai perubahan besar di dalam batinnya terangkat secahaya kepastian. Saya ibaratkan gambaran yang lalu; pohon memunculkan dua dahan sedang berada pada kaca cermin, serta diperlihatkan lelukisan sejati yang berasal dari kasih sayang Sang Maha Realitas, sehingga ‘penglihatan’ tersebut bertumpuk mematangkan imannya; mengudar lelapisan cahaya pula tidak terkena goncangan keraguan sedari pancaran awal. Seumpama mengendarai percepatan, mempertebal pengertian mengisi relung-relung jiwa.

Adanya ‘perpindahan’ yang Beliau olah dari penyesuaian dalam jiwanya atas karya para ulama’ terdahulu, dan alur yang tenang berketetapan nikmat setanggungjawab para kekasih. Raga-batin yang menempa dibeningkan air memberkah; kitab-kitab yang terbaca bercahaya memberi terang jalan keberadaannya. Seperti memperoleh kebugaran yang menggetarkan sedari mengawali karangannya, dan keringat dingin dengan keharuman bertuah atas perangai firman-firman-Nya, lalu teringatlah masa-masa kembara di tanah kelahirannya Andalusia, menuju Sevilla, Córdoba, Maroko, Mekkah, Romawi, Mesir, Syria, Aljazair, Baghdad, Mosul hingga Asia Kecil. Bersamaan tarikan bayu yang bertakbir, daun-daun bertasbih, iklim yang rukuk serta burung-burung bersujud, kala melihat rembulan teringat Rasulullah saw. Semua mewarnai pelajaran kalbu kediriannya, bersahadat dalam penciuman damai pada tanah yang dipijaknya.

Makna kata-katanya bersap-sap ditopang rujukan akurat, ingatannya memadat mewujudkan keyakinan menyelubungi setiap arti yang diguratnya. Umpama daun diterbangkan bayu tidak terasa membuat para pembacanya melarut hingga kerap membingungkan. Pribadinya bukan sebagaimana al-Ghazali yang menerangkan lekukan detail pada tetingkatan penyingkapannya. Barangkali, kelancarannya bertutur menyamai ilmu laduni-nya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang tidak ada penyangkalan namun setatapan khidmat tertunduk di hadapan kata ‘Kun.’ Sebuah kata kerja besar perintah atau prosesi agung yang tidak pantas dibolak-balikkan dinaya suara serta wujud keasliannya. Nafasnya teratur sedari sejarah panjang peribadatan yang memaklumatkan denyar mericik tidak terdengar, selain dalam gelombang yang sama. Berkali-kali terpancari hikmah surat pembuka, menggenapi kesilapan dari bisikan lain, dipukul mundur atas kursi keilmuannya.

Hafalannya pada kitab suci segembelan mushaf emas memantulkan cahaya, huruf-huruf kecil laksana stambul ajaib yang terbuka dalam mimpi berkeadaan suci. Komunikasi yang terjaring tidak cuma dari orang-orang yang masih hidup, sebab cinta tidaklah mampu menampung jasad bernyawa. Dan cinta sucinya kepada para pendahulu, direstui jalan-jalan tidak tersangka, ini memudahkan langkah kasih pemikirannya menguliti bulir-bulir masalah. Raganya memasuki lautan hikmah, gayuhan jemarinya memberkah melajui sampan hayati. Gelombang demi ombak diarungi, karang memamah kandungan makna dirasuki sesikap pembenahan. Maka diudarlah misal-misal manusia dari rimba belantara ke padang kejahiliaan, hingga awan-gemawan memayungi setebal hujan memberi pengertian di ladang kemakmuran jiwa. Melapangkan pilihan yang bukan berasal kemauannya, namun atas dorongan gaib yang mengetahui kerahasiaan.

Kesadaran Beliau menginsyafi gambaran masa lalu diperolehnya hikmah, laksana turunnya wahyu kepada para nabi yang tidak langsung ke bentuk hukum. Dan lukisan di kaca cermin semakin jelas, serupa pohon rindang di tengah malam yang dikelilingi gemintang. Dedahan, reranting, serta dedaunannya bercahaya sepohon kayu putih penghasil minyak, yang di sekitarnya bebatuan memantulkan cahaya purnama. Kembali Beliau digetarkan oleh perenungan, dirasakan akar-akar Iradah bertenaga besar menyapa cabang-cabang Qudrah dari sebutir benih ‘Kun’ di genggamannya. Lewat susunan kalimat yang bercahaya sambung pada dua paragraf, terguratlah sayap-sayap sholawat menduduki pengertian berkelembutan, longgar lagi menjulang kesaksiannya di bawah nilai keyakinan. Olehnya, mari mengaji pancaran dari penglihatan yang terlepas dari lirikan pandang.
***

Beliau malanjutkan… “Pertama kali yang dimunculkan Pohon berasal dari benih ‘Kun’ ini tiga dahan; satu mengarah ke kanan (ashhabul-yamin), kedua ke sebelah kiri (ashhabusy-syimal), sedangkan dahan ketiga lurus menjulang tinggi, mereka para pendahulu memiliki kedekatan dengan Allah (as-sabiqun al-muqarrabun). Kala dahan kokoh batang menjulang tinggi, muncul dari ranting-ranting bagian atas dan bawah, suatu alam bentuk dan alam makna, kulit dan tutup bagian luar yang tampak alam al-Mulk. Isi terpendam, inti makna-makna tersembunyi itu alam Malakut, sementara air mengalir melalui jaring-jaring urat nadi penunjang hidup tumbuh serta tingginya Pohon, memunculkan putik bunga, memekarkannya, mematangkan buahnya adalah alam Jabarut, yang merupakan rahasia dari kata ‘Kun.’”

“Pohon ini dikepung dinding dibatasi oleh bebatas, gegaris tertentu, batas tersebut arah; atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang. Yang atas pembatasnya bagian atas, yang bawah batasnya bagian bawah, sedangkan gegaris pembatasnya ada di dalamnya, dari berbagai orbit serta bebenda langit, segala hak milik, berbagai ketentuan hukum, jejak para pendahulu juga para tokoh, maka tujuh lapis langit ibarat daun digunakan berteduh, gemintang bersinar ibarat bunga di atas ufuk, malam-siang ibarat dua helai selendang; satunya hitam kelam dikenakan menghalangi pandangan mata, yang lain putih dikenakan menampakkan diri (tajalli) pada orang-orang sanggup melihatnya. Arasy rumah menyimpan segala kekayaan juga senjata Pohon ini, darinya diperoleh berbagai manfaat yang dikendalikan pelayannya; “Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat melingkar berputar di sekeliling Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya.” (Qs. az-Zumar: 75).”

“Allah swt mewujudkan Arasy hanya untuk menampakkan Asma dan sifat-sifat-Nya.” Beliau mengudar panjang lebar sebelum-sesudah kalimat itu, lalu berujar; “Dia menciptakan Lauh Mahfuzh dan al-Qalam ibarat Buku Sang Maha Raja, di dalamnya terdapat berbagai keputusan hukum. Yang dibatalkan, ada pula ditetapkan, ada yang diwujudkan, ditiadakan, yang keluar dari kebaikan-Nya, pemberian nikmat, pahala, siksa. Sedangkan Sidratul-Muntaha ibarat batang dahan dari dedahan, di bawahnya malaikat yang mengabdi-Nya, “Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan tertentu.” (Q.s. ash-Shaffat: 164). Dan Sang Maha Raja memerintahkan mereka untuk dikirimkan ke salah satu dari dua gudang penyimpan buah Pohon ini. Gudang itu antara lain surga dan neraka; buah yang baik di simpan di surga, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam surga Illiyyin.” (Q.s. al-Muthaffifin: 18), buah yang jelek dimasukkan ke neraka, “Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang durhaka tersimpan dalam neraka Sijjin.” (Q.s. al-Muthaffifin: 7).”

Lelembaran yang saya lalui tidak tertuang di sini, sampai filsuf Andalusia terus berkata; “Orang yang pertama kali berbuat di sekitar Pohon ini untuk mencapai asal benih Kun -ia memeras unsur terbersih, menyarikan, memunculkan buihnya, menyaringnya hingga murni dari unsur-unsur yang membahayakan itu hilang. Sari sangat murni ini ditambah Sinar Hidayah-Nya, menerbitkan jauhar-nya, lalu ditenggelamkan dalam lautan ar-Rahman sehingga keberkahannya merata. Dari proses ini diciptakan Nur (cahaya) Nabi Muhammad saw, lantas dihiasi sinar alam arwah seterang mulia. Dijadikan-Nya Nur Muhammad sebagai asal-muasal segala cahaya -dialah orang pertama tercatat dalam Kitab-Nya, yang terakhir kali muncul, pemimpin di hari Kebangkitan, pembawa kabar gembira, menemui para manusia bersenang hati. Ia dititipkan di kebun, damai menggembirakan. Nilai-nilai spiritualnya ditutupi fisiknya, alam Syuhud ditutupi alam wujudnya. Ia dilahirkan ke alam dunia yang juga karenanya alam ini diwujudkan.”

Beliau terus men-gudar panjang lebar melalui firman-firman-Nya dan hadits-hadits, sampai menerangkan Nur Muhammad yang diciptakan di kening Nabi Adam as, hingga ke puncaknya mengisahkan Isra Mi’raj. Alunan kisahnya seirama langgam yang telah ditakdirkan kepada Asy-Syaikh al-Akbar tersebut, melewati titian panjang di bawahnya jurang neraka, pada jalan lurus munuju surga. Di sana tanggungjawab mengsle ataukah selamat ialah pertarungan iman, serta rayuan menjerumuskan ke tempat-tempat menggelincirkan. Baktinya tulus terhadap ilmu, dan tidak menakar sejumput pun debu duniawi, karena apalah kejayaan fana pastilah lenyap tertelan.

Jika boleh menarik benang simpul, mungkin Beliau ialah pancaran lain sedari Ibnu Rusyd, yang agaknya condong kepada Imam Tirmidzi, seperti dalam penelitiannya Masataka Takeshita pada bukunya “Ibn ‘Arabi’s Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History.” Mungkin juga Syajaratul-Kaun ini, waktu penggarapannya antara penulisan kitabnya yang terkenal, al-Futuhat al-Makkiyyah yang mulai disusun di Mekkkah tahun 598 H / 1202 M dan selesai di Damaskus pada tahun 629 H / 1231 M. Atau lentikan ilhamnya sedurung Kitab Fushush al-Hikam, yang mengetengahkan dahan ketiga nan menjulang tinggi.

Akhirnya, kalau ada kesalahan mohon ditegur keras, namun tentu dengan sumber lebih meyakinkan! Dan jikalau ada kebenarannya, kenapa tidak ditindaklanjuti? Saya pikir, semua berharap hasil-hasil pembacaan dapat bermanfaat, yang tidak ‘saling sikut memangfaatkan!’

16 Desember 2011/ 28 Desember 2015.

Tinggalkan Balasan