Bagian 18: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan keempat dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Sesuatu yang esensial itulah yang mengubah suatu potensialitas menjadi aktualitas, baik dengan maupun tanpa perantaraan. (Ibnu Sina)

I
Selalu saja saat mengawali tulisan, diri ini merasakan bergetar dan untuk mengurangi debarannya dengan kata-kata pengantar. Pada awalan kini bercerita tentang pertemuan saya dengan tiga orang gila (balutan fisiknya begitu); mereka merasuki jantung. Orang gila yang pertama sama yang sudah terceritakan di bagian VII, kali itu ia menuju ke arah barat seperti perjalanan saya, demikian juga yang kedua, hanya jarak antara yang pertama dan kedua, satu kilometeran. Yang ke tiga di kota Bojonegoro sewaktu tengah malam, dia meringkuk berlimutkan sampah plastik sebagai penghalau hawa dingin oleh rintikan hujan gerimis.

Beberapa hari sebelum ke Bojonegoro, saya menuju salah satu kampus di Surabaya, guna mengantar kakak ipar lama mencari bahan bacaan sebagai data Disertasinya, lantas ke Jalan Semarang mencari-cari buku bekas. Di sana bertemu Fahrudin Nasrulloh (almarhum di hari Kamis 30 Mei 2013), bersama Ribut Wijoto, tidak luput ngobrol ringan disertai ngopi bareng –tombo kangen. Ini mencairkan kepenatan dari ruang belajar di rumah, namun sayang tidak berjumpa orang gila di Kota Pahlawan yang biasa memberikan firasat. Ke bencah Bojonegoro berboncengan motor dengan Denny, berjumpa Gampang, Bonari, Ragil, Timur, disaat menyaksikan pementasan teater yang pemainnya Sabrank, Wong Wing King dengan komunitas Suket di Desa Jono. Oya, terima kasih untuk Mashuri yang membawakan buku pesanan saya, karangan Dami N. Toda “Apakah Sastra?” Kala ia membedah antologi puisi Kabar Debu di tanah Lamongan.

Jalan ke luar kota membuka denyar anyar, meski bacaan sama lewat pengamatan lain yang menghadirkan pengoreksian, ditambah fisarat yang meningkatkan drajad perolehan mawas. Siapa tahu bisa mengurangi tindak kecelakaan jika ada, sedari pandangan lalu ditetapkan sesuai timbangan yang tengah terlarungkan. Orang gila awal masih akrab di batin ini, munculnya orang gila kedua membuat heran, sekurangnya keberadaan atmosfir ganjil di jalan tersebut tercium olehnya. Orang gila kedua sewaktu saya berjalan hampir mendekati, di tangannya melecutkan sebuah pecut, maka dikala melihat pementasan di Bojonegoro, ada aktor yang memainkan cambuk bersuarakan kilatan, saya tidak heran. Orang gila ketiga amat berbeda, di batin ini penasaran, apakah orang atau makhluk halus yang sedang membentuk sosok, saya lihat sebagian mukanya tertutupi bayangan rimbun pepohon yang ditimpa gelap malam, seluruh badannya terselimuti plastik. Cukuplah itu membuat gemetaran, seirama debaran menujah niatan terdalam yang mengurangi waswas sepadan.
***

Sebelum pada paham Muhammad Iqbal, marilah simak ungkapan Sutardji saat pidatonya Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau tahun 2000. Karena pemahaman “Kun Fayakun” agak panjang di sini, olehnya saya kutip lumayan melebar untuk mengetahui apa saja kekisaran menurutnya soal tersebut:

Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri.

Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri.

Itulah yang ingin diraih penyair walaupun ia sadar sajaknya tak mungkin abadi. Walaupun tahu takkan sampai pada kebenaran mutlak kata, meski ia takkan dapat menggapai kemutlakan benar. Meski tahu walau hurufnya habislah sudah alifbatanya takkan sampai pada kebenaran mutlak, obsesi itu dilayaninya dengan girang, penuh antusiasme dan passion.

Sehubungan dengan kata, pada manusia -pada Adam- Tuhan mengajarkan pula nama benda-benda, merujuk pada pengenalan potensi benda-benda dan ihwal, mengakibatkan kehadiran ilmu dan penguasaan terhadap benda-benda dan ihwal.

Jika manusia wakil Tuhan di muka bumi, maka ia adalah khalifah kata-kata. Para penguasa dan pemuka (politik, sosial, ekonomi, militer) yang zalim cenderung sewenang-wenang memanfaatkan kata-kata untuk kepentingan sendiri. Itu sering mudah dilakukan, karena di samping mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan riil, juga karena kata-kata sebagai penanda sering sewenang-wenang.

Akibat tekanan kezaliman kata yang sebenar kata, kata yang benar, tergusur tidak muncul dalam permukaan luas masyarakat. Ia tampil dalam mimpi, jerit, gurau dan gelak igau yang tersembunyi dari para dhuafa.

Dalam bait-bait puisi, kata-kata yang sebenarnya mendapatkan tempat pelarian (asylum). Bukan sekadar untuk disimpan atau dilestarikan, tetapi lewat puisi ia akan bisa memberikan penyegaran, pencerahan, dan perpanjangan kreatif dari pemaknaan manusia dan kehidupan.
***

Untuk memasukinya perlu juga menyerapi perolehan yang lalu, terpetik satu paragraf bagian XVII dalam merambahinya, sebagaimana pantulan ini: “SCB menghilangkah kata kerja awalan dari firman tuhan sang maha penyair, dan tampak kata kerja perintah itu datangnya terlambat, dengan memunculkan kata-kata ‘lantas jadilah.’ Kemendadakan ini menciptakan keterkejutan, seperti dalam ruang tunggu atau firmannya menanti hadirnya kata benda itu jatuh; ‘kata adalah benda,’ menurutnya ‘adalah ikhwal’ (fenomena), fenomena itu sesuatu yang rumit, jamak yang selalu berubah. Perihal tersebut masuk ke dalam ‘adalah makna,’ yang otomatis makna ini sesuatu yang rumit dan jamak (banyak), serta senantiasa berubah, nilai yang bisa berkurang juga dapat bertambah, lalu ‘adalah diri ekspresi’ dari benda-benda, kerumitan pun tidak tetap masanya di dalam ruangan yang dapat berganda pula demi mewujudkan keberadaannya adalah jadi ‘adalah eksistensi.’

Kembali Sutardji menghadirkan Tuhan “Sang Maha Penyair” dengan firman ucapan” seperti sulapan; Jadi maka jadilah! Itulah kata yang paling hakiki dari puisi”. Kata yang paling hakiki dari puisi itu wujud, jadi, ada, dan bukannya yang berangkat dari napasan (kata) kerja perintah, tetapi benda itu hadir seperti barang tersebut ada. Misalkan wujud orang gila yang saya temui di jalanan kembara, yang menggembol ketidaknormalan akal menurut pandangan umum, yang tidak terketahui muasal kejadiannya, kenapa bisa gila? Sebab-sebabnya dihapus; Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri.” Tidak lain orang gila dengan sendirinya, atau bawaan sejak lahir? Ataukah bintang, rembulan, matahari serta benda-benda angkasa itu ada dengan sendirinya, yang muncul secara tiba-tiba oleh datangnya kata kerja perintah maka jadilah!

“Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Kata Jadi menerbitkan makna yang menghadirkan diri-nya. Benda itu atau orang gila pun yang normal ada seperti apa adanya, tidak ada jenjang sebelumnya, -yang takdirnya mendadak menjadikan “Sang Maha Penyair” kewalahan, kaget, bingung atas munculnya kata benda, jadi, makna, diri. Bagaimana Dia berlaku serupa pesulap? Melihat orang gila, namun tidak tahu kenapa bisa gila? Selaras menyaksikan bintang, rembulan, matahari, wujud bersama makna yang terkandung di dalamnya? Ini menempatkan Tuhan sangatlah rendah, menghadirkan sesuatu dari yang sebelumnya sudah ada? Yakni kata Jadi, wujud, ada, benda, orang gila atau waras, dan benda-benda angkasa seisinya. Seolah pelukis yang mengguratkan alam raya di kanvas, para penyair mengumandangkan keayuan malam penuh bintang. Senada penerimaan yang tanpa diperkenankan mengetahui tahap-tahap kejadiannya, sebatas mengolah yang sudah ada yang berasal dari kata Jadi.

Dengan terpaksa saya ambil terjemahan wahyu Allah swt yang pertama, Surat Al ‘Alaq (Segumpal Darah, Makkiyyah 19 ayat) dalam Kitab Tafsir Jalalain, ayat pertama sampai ke lima yang turun di Makkah (yang dalam kurung artiannya, yang buka kurung tafsirannya):

  1. (Bacalah) maksudnya, mulailah membaca dan memulainya (dengan menyebut nama Rabbmu Yang menciptakan) semua makhluk.
  2. (Dia telah menciptakan manusia) atau jenis manusia (dari alaq) lafaz alaq bentuk jamak dari lafaz Alaqah, artinya segumpal darah yang kental.
  3. (Bacalah) lafaz ayat ini mengukuhkan makna lafaz pertama yang sama (dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah) artinya, tiada seorang pun yang dapat menandingi kemurahan-Nya. Lafaz ayat ini sebagai Hal dari Dhamir yang terkandung di dalam lafaz Iqra.
  4. (Yang mengajar) manusia menulis (dengan qalam) orang pertama yang menulis dengan memakai qalam atau pena ialah Nabi Idris as.
  5. (Dia mengajarkan kepada manusia) atau jenis manusia (apa yang tidak diketahuinya) yakni sebelum Dia mengajarkan kepadanya hidayah, menulis dan berkreatif serta hal-hal lainnya.

***

II
Kini marilah menimba dari petikan pemikiran Muhammad Iqbal beserta beberapa ayat yang diketengahkannya, yang saya hidangkan seperlunya dalam kepahaman ini sedari bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (Bookseller & Publisher, Kashmiri Bazar, Lahore, Pakistan (1930). Diterbitkan oleh Tintamas Jakarta tahun 1982, alihbahasa Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad, dan yang diterbitkan Jalasutra Yogyakarta, penyuntingnya Muhiddin M Dahlan, 2002.

Terlebih dulu simaklah penuturan Dr. ‘Abdul Wahhab ‘Azzam, yang untaian kata-katanya kerap mengharukan saya di bukunya “Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Syi’ruh” terbitan Mathbu’at Pakistan 1373 H / 1954 M, diterjemahkan Ahmad Rofi’ Usman, Ammar Haryono, penerbit Pustaka Bandung, cetakan awal 1985, halaman 14:

Kedua orang tua Iqbal terkenal dengan keshalehan dan ketaqwaan mereka. Ayahnya adalah seorang sufi, yang bekerja keras demi agama dan kehidupan. Dituturkan darinya, bahwa pada suatu ketika, sewaktu ia melihat Iqbal senang membaca al-Quran, maka katanya: Bila kamu ingin memahami al-Quran, bacalah seakan ia diturunkan padamu.
***

Allama Muhammad Iqbal menuliskan, Jadi, berdasarkan al-Quran, bagaimana sifat alam semesta tempat kita tinggal? Pada tingkat pertama, alam ini bukan hasil titipan sekadar main-main saja:

Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta segala isinya yang ada di antara keduanya itu untuk bermain-main. Kami ciptakan keduanya itu dengan maksud tertentu; tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs. 44: 38-39).

“Nyatalah itu sama dengan: Sebenarnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berpikir. Mereka yang mengingat Tuhan ketika berdiri, ketika duduk dan berbaring, serta merenungkan penciptaan langit dan bumi itu seraya mengatakan:

O Tuhan kami! Tidaklah sia-sia Kau ciptakan semua ini. (Qs. 3: 190 – 191).

Begitulah alam semesta itu disusun demikian rupa hingga ia dapat diperluas:

“Ia (Tuhan) menambahkan ke dalam ciptaannya itu apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. 35:1).

Itu bukanlah sebuah alam cetakan, semua hasil yang sudah selesai, yang tidak bergerak dan tidak berubah. Jauh dalam wujud batinnya, barangkali terletak impian sebuah kelahiran baru:

“Katakanlah -jelajahilah bumi, lalu perhatikanlah betapa Ia memulai penciptaan itu; kemudian Tuhan menyusun sebuah ciptaan lain.” (Qs. 29: 20).

Sebenarnya ayunan dan tarikan alam semesta yang penuh rahasia ini, peredaran zaman yang dengan diam-diam menjelma di depan kita, makhluk manusia, juga peredaran gerak siang dan malam, oleh al-Quran dimaksudkan sebagai tanda-tanda Tuhan yang paling akbar.

“Tuhan memutarkan peredaran malam dan siang. Disitulah terdapat pelajaran bagi mereka yang luas pandangan.” (Qs. 24: 44).
***

Lebih maju Beliau menguraikan, “Tidaklah Tuhan akan mengubah nasib sesuatu kaum, kalau bukan kaum itu yang mengubah nasibnya sendiri.” (Qs. 13 :11).

Kalau ia tidak mengambil inisiatif, kalau ia tidak mau mengubah keadaan batinnya, kalau ia berhenti merasakan deburan batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada dalam dirinya pun akan mengeras menjadi batu dan dia merosot turun ke tingkat benda mati. Tetapi hidup dan kemajuan ruhnya itu amat bergantung kepada terbentuknya hubungan dengan kenyataan hidup yang dihadapinya. Yang membentuk hubungan-hubungan demikian itu pengetahuan, dan pengetahuan ialah cerapan penginderaan yang dipupuk dengen pengertian.

Tatkala Tuhan mengatakan kepada para Malaikat: Aku hendak menghadirkan seorang khalifah di atas bumi ini. Mereka berkata: Adakah hendak Kau tempatkan seseorang yang akan membawa bencana dan akan menumpahkan darah, padahal kami, dengan rasa syukur memuja-Mu dan menjunjung-Mu? Ia berkata: Akulah yang tahu apa yang tidak kalian ketahui. Dan diajarkan-Nyalah semua keterangan itu kepada Adam, kemudian semuanya itu ditunjukkan-Nya pula kepada para Malaikat, seraya kata-Nya: Sebutkanlah nama-nama semua itu jika memang kalian mengetahui! Mereka menjawab: Maha sucilah Kau. Kami memang tidak mengetahui, selain yang pernah Kau ajarkan kepada kami, Engkaulah sebenarnya yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Ia berkata: Hei Adam, sebutkanlah nama-nama itu kepada mereka. Setelah ia memberikan keterangan-keterangan itu kepada mereka, berkatalah Ia: Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa Akulah yang mengetahui rahasia-rahasia langit dan bumi, mengetahui semua yang oleh kalian dinyatakan atau disembunyikan?” (Qs. 2: 30-33).

Pokok dari ayat-ayat itu ialah bahwa manusia telah dianugerahi dengan kecerdasan pikiran untuk menyebutkan nama-nama benda, artinya untuk menyusun pengertian-pengertian tentang benda-benda itu, dan menyusun pengertian yang demikian berarti menguasai benda-benda itu. Jadi sifat pengetahuan manusia ialah konseptual, dan dengan bersenjatakan pengetahuan konseptual inilah manusia berkenalan dengan aspek Kebenaran yang bisa diselidiki. Yang perlu sekali dicatat adalah al-Quran menekankan semuanya terletak pada aspek Kebenaran yang harus diselidiki. (Halaman 37-38, 41-42 dari buku yang saya sebut paling awal).
***

III
Kini izinkan saya menuangkan gambaran dari pokok-pokok di atas. Karen Armstrong betapa indahnya memaparkan kedatangan Kerasulan Muhammad saw dalam bukunya “Muhammad: A Biography of the Prophet” Phoenix Press, London 2001, diterjemahkan Joko Sudaryanto, penerbit Jendela, 2004. Dengan tarikan berbeda saya menuangkan; sekitar tahun 610 dalam Gua Hira’ di lembah Makkah 17 Ramadhan, dikala Nabi saw terjaga dari tidurnya, didatangi Malaikat Jibril as yang menaburkan kalam fitri, firman Allah swt yang pertama, “Iqra’” (Bacalah). Hentakan keras datangnya sebuah kata kerja perintah, Fi’il Amar, seakan meringkus tubuh Sang Nabi saw hingga mengucurkan keringat dingin, demam tidak tertahan di sisi waswas mendera. Ada tiupan ruh lain dari biasanya, hembusannya bergema ke dinding seluruh gua, tidak sekadar sekujur jiwa raganya bersaksi, namun segenap hidup sebelum dan sesudahnya. Tidak hanya bintang kemukus memberi janji, seluas semesta raya tidak terketahui batasannya, kecuali Sang Maha Kuasa memahami hukum-hukumnya.

“Iqra’” selurus “Kun Fayakun” tidak dapat diganti oleh apa pun! Siapakah pendukung firman Allah swt yang dijelmakan dalam kata benda? Tidakkah sudah terpaparkan, dan kehilafan disengaja di mana saja bersembunyi ke sudut-sudut terpencil akan ketahuan / terketahui! Ilmu pengetahuan bukan tempatnya beralibi, tapi kelenjar sejarah berdaya tariknya selalu membuncah, memukul mental tanggung yang tidak meruhaniahi, menjadikan tempelan. Maka adalah sulapan, mensejajarkan para ulama’ dengan orang-orang terlena, namun tidak akan lama pengadaan semu segera menyeruak, dan para pendukungnya patut bertanggungjawab terhadap imbasnya? Para tukang syair mengamini kekaryaan sedari pusaran tidak sadarkan diri bukan lantaran tingkatan Jadab. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah makolah, ‘bahwa kezaliman yang terorganisir sangat membahayakan,’ meski berbentuk permainan jemari!

Bacalah dengan ruhmu dan jantungmu memompa segumpal dagingmu! Bagaimana bisa berleha-leha membetulkan kemengslean kalbu sekadar kesalahan ketik misalnya, padahal jelas-jelas keinginannya (hasratnya)? Kata mereka penyair sufistik, sehingga berani menyebutkan Allah swt bersifat “Sang Maha Penyair.” Yakni menambahkan kemuliaan kepada-Nya, yang ternyata punya maksud seperti menyuap Tuhan, menyogok kaum beriman, agar pensifatannya dapat meloloskan pengertian Tuhan “Sang Maha Penyair” juga membikin sesuatu yang telah ada, memunculkan barang yang tercetak, wujud, “Jadi maka jadilah!” Sungguhlah manis ungkapannya. Mungkin baginya, Tuhan seolah redaktur koran atau dirinya yang mudah meloloskan maksud tertentu, terlepas logika serta tidak Ilahiah.

Tak ayal Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri. Para penyair diserukan oleh Raja Mantra, Presiden Penyair Indonesia juga untuk dirinya sendiri menuju “Sang Maha Penyair,” obsesinya meraih kata yang bermakna hakiki, yakni sulapan pertama di dunia Sastra Indonesia. Puncak keblingeran tersebut menandakan penggerak angkatan susastra, tentu untuk menggenapi lipatan lusuh sejarah kesusastraan di Tanah Air, dan para pendatang baru tersirap manggut manut lewat pembetulan seadanya, tersebab sudah terpampang dalam buku pelajaran dan sebagainya.

Setelah menyematkan Tuhan “Sang Maha Penyair” lantas berucapan rendah, Jadi maka jadilah! Lalu melangkah, Itulah yang ingin diraih penyair walaupun ia sadar sajaknya tak mungkin abadi. Sutardji menempatkan Tuhan muasal hadirnya (bukan terciptanya) segala sesuatu, dan sebab penyair takkan bisa menerbitkan bulan, bintang matahari, tapi sekadar melukiskan dengan kata-kata. Para penyair dihimbau ke jalan keabadian sulapan di setiap ungkapannya, meski tidak abadi. Walaupun tahu takkan sampai pada kebenaran mutlak kata, meski ia takkan dapat menggapai kemutlakan benar. Meski tahu walau hurufnya habislah sudah alifbatanya takkan sampai pada kebenaran mutlak, Gaya naik-turun ini hampir sama melodinya dengan Taufiq Ismail di bagian X, pribadi penyair diangkat tinggi, tetapi oleh karena sadar tidak akan mungkin dan menjadi bahan tertawaan yang memperjelas maksudnya secara tiba-tiba. Maka diturunkan nyanyiannya, agar diterima khalayak seturut dendang ayunan.

obsesi itu dilayaninya dengan girang, penuh antusiasme dan passion. Ini tepat dengan menyelidikan sebelumnya, yakni Sutardji sedang membetulkan paham “Manusia diberkahi untuk bebas.” Pengertian insan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, dirombaknya sesuai kebutuhan dirinya dalam meloloskan paham, dan dianggapnya bisa menyenangkan; membuat girang berdaya antusias penuh gairah, serupa temuan-temuan pesulap David Copperfield yang dikaguminya, misalkan.

Jenis penulisan tersebut sangat umum, tinggal melihat yang terlebih dulu diayunkan, tentu mengetahui di mana letak pemberhentiannya, sedari titik-titik tenggang yang disebarkan di atas tempo yang diharapkan. Dan senandung umum dapat membentuk kenetralan, seperti warna putih pada cat yang memudahkan nilai-nilai apa saja masuk setelahnya, SCB menulis: Sehubungan dengan kata, pada manusia -pada Adam- Tuhan mengajarkan pula nama benda-benda, merujuk pada pengenalan potensi benda-benda dan ihwal, mengakibatkan kehadiran ilmu dan penguasaan terhadap benda-benda dan ihwal. Kesadaran di sana sungguh nyaring, lagi-lagi berbalik pada yang sebelum diketengahkannya. Sutardji menulis perihal Muhammad Iqbal yang bertitel “Mengenang Iqbal” di halaman 418 dalam bukunya “Isyarat,” ia tidak memberi sodokan seperti kepada Derrida, dapatlah dikata mengamini atau segan mengoreksinya, mungkin tulisan Iqbal terlalu terang. Jika berkehendak memengslekan akan ketahuan khalayak, tidak seperti tulisan untuk Derrida dan Ibnu ‘Arabi, tentu menimbulkan polemik dan syah jikalau lepas tangan, sebab telah banyak yang menyalahartikan.

Allama Iqbal berujar, alam ini bukan hasil titipan sekadar main-main saja.” Bukan sejenis akrobatik, namun mereka mengira seperti sulapan kejadiannya, dan semua peristiwa dianggap mak bedunduk, lalu “Sang Maha Penyair” kelelahan setelah berucapan “Jadi maka jadilah!,” maka dihadapanya seolah sia-sia, dari kesia-siaan itu disurunya gembira, girang beralibi. Dan untuk menutupi maksudnya SCB menuliskan, Jika manusia wakil Tuhan di muka bumi, maka ia adalah khalifah kata-kata. Sebagai khalifah kata-kata dari-Nya, seakan tidak masalah diganti sepadan kepentingan khalifah tersebut, seperti wakil Tuhan yang dikiranya seperti kedudukan wakil presiden yang bisa membelot presiden, mungkin semacam itu nalar Sutardji. Lalu ia melanjutkan, Para penguasa dan pemuka (politik, sosial, ekonomi, militer) yang zalim cenderung sewenang-wenang memanfaatkan kata-kata untuk kepentingan sendiri. Sepertinya ia mau membalas, dikarena kata-katanya kalah ampuh dengan para politikus, sosiolog, ekonom dan militer. Dengan berpribadi penyair, memakai cara-cara girang merombak “Kun Fayakun” bahkan merasa dirinya lebih hebat, sebab Tuhan saja manggut manut tinta hitamnya, Naudubillah!

Pada paragraf yang sama menuangkan, Itu sering mudah dilakukan, karena di samping mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan riil, Saya jadi heran, masak minder? Ternyata merombak lafaz-Nya menjadikan merasa bersalah, dan kemampuan berdalih merontoknya pula, juga karena kata-kata sebagai penanda sering sewenang-wenang. Tidakkah ini membalikkan fakta, Sutardji sewenang-wenang terhadap firman-Nya, mengganggap orang lain seenak udelnya? Tapi pemerintah mencium baunya, sewaktu Presiden SBY memberinya penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma. Ini terbalik namun yang diingini, sebab kalah dibandingkan para politikus, apalagi negarawan.
***

Di rujuk pada bonggol kefatalan di muka dan simak penurutannya, Akibat tekanan kezaliman kata yang sebenar kata, SCB sepertinya sangat menyadari “Kun Fayakun” yang pas menurutnya “Jadi maka jadilah!” yang sampai berani melanjutkan Kata yang benar, tergusur tidak muncul dalam permukaan luas masyarakat. Yang menurutnya paling tepat kata Jadi, ada, wujud, kata benda, cetakan, dan bukan ‘jadilah,’ tidak ‘wujudlah.’ Maka dirombak olehnya, alih-alih mengembalikan ke bentuk asalnya yang dianggap terkena penggusuran (kezaliman versinya), seolah mensucikan lewat mengembalikan, senada Jadi adalah Jadi itu sendiri. Kata ‘Jadilah’ atau “Kun” dipandangnya, Ia tampil dalam mimpi, jerit, gurau dan gelak igau yang tersembunyi dari para dhuafa. Padahal ajaran Islam Rahmatan Lil’alamin, semua umat boleh memeluknya dari seluruh lelapisan masyarakat di dunia, tidak membedakan kelas sosial, kulit, bangsa dll. Tidak harus membeli karcis seperti menonton sulap di bangku yang berkalas-kelas!

Sutardji teringat tulisannya yang lain, digaritlah, Dalam bait-bait puisi, kata-kata yang sebenarnya mendapatkan tempat pelarian (asylum). Ignas pun menunjuk pada paragraf awalnya tentang, “puisi adalah alibi kata-kata.” Saya harap pembaca teringat “Puisi Konkrit” yang diungkapkannya, dan… Bukan sekadar untuk disimpan atau dilestarikan, tetapi…” …Sutardji Calzoum Bachri menampilkan sebuah kanvas yang digantungi sekilo daging segar. Darah daging itu dibiarkan mengucur di atas kanvas. Ada tulisan grafis berbunyi Luka ha ha. Abdul Hadi WM menampilkan kertas poster dengan gambaran silhuet seekor sapi dan pengendaranya. Wujud silhoutte pengendara sapi ditulisi grafis: k sapi p/ jak sapi per/ ajak sapi pera/ jak sapi per/ ak sapi p/ sapi perah/ sapi perah sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ … dan seterusnya. Silhuet sapi ditempeli guntingan berita surat kabar, guntingan kepada berita (head line), foto-foto. Ada misalnya guntingan kepada berita yang berbunyi, Ancaman Komunis Pada ASEAN Semakin Deras, Jepang Ingin ASEAN untuk Bisa… (teks aslinya dicoret dan diberi tanda panah ke arah kepada berita lain yang berbunyi Terharu Memandang Wajah-wajah Lapar. (Dami N. Toda, “Hamba-hamba Kebudayaan,” halaman 105).

Pelarian (asylum), siluman atau alibi sudah terbongkar di bagian awal. Sejauh-jauhnya berlari membawa kekeliruan yang memengslekan lafaz-Nya dipastikan ketahuan, karena keshahihan Al-Qur’an terjaga serta terpelihara sepanjang masa (jaman). Simak ayat di bawah ini yang saya ambil dari Kitab Jalalain: “(Sesungguhnya Kami-lah) lafaz Nahnu mentaukidkan atau mengokohkan makna yang terdapat di dalam isimnya Inna, atau sebagai Fashl (yang menurunkan Adz Dzikr) Al-Qur’an (dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya) dari penggantian, perubahan, penambahan dan pengurangan.” [Surat Al-Hijr (15):9]. Mereka yang cerdik berseberangan pun menghindari pemalsuan, kebanyakan dipilih menafsirkan sejenis serampangan. Sebab akan mudah ketahuan merombak lafaznya, atas terpelihara kesuciannya, pula selalu terawat oleh para penghafiz Al-Qur’an. Mungkinkah sikap SCB sama persis dengan Abdullah ibn Sa’id, mantan juru tulis Kanjeng Nabi saw?

“lewat puisi ia akan bisa memberikan penyegaran, pencerahan, dan perpanjangan kreatif dari pemaknaan manusia dan kehidupan.” Seperti daging segar yang darahnya dibiarkan mengucur di kanvas, lalu setelah pameran dikonsumsi tentu mencerahkan pandangan, perpanjang proses kreatif menjaga tubuh kemanusiaan di dalam kehidupannya. Atau pembaca tidak perlu kaget para kritikus Indonesia kebanyakan latah, mungkin istilah ‘latah’ berasal dari salah satu dewa (Lata), yang kepalanya dipenggal oleh Nabi Ibrahim as. Latah mengkritisi dengan angin analisa musiman, jika musim puisi konkrit, maka konkritlah gayanya, kalau musim puisi sufistik, sufistiklah dedahannya, dan mungkin juga karyanya bersimpan nilai-nilai universal; ini hebat, tetapi dalam naungan mitologi Susastra Indonesia!

IV
Sebelum jauh menjalar saya beri garis tebal Sartre, “Manusia dikutuk untuk Bebas” dan merujuk kepada sejarawan perempuan asal kelahiran Wildmoor, Worcestershire, Inggris, Karen Armstrong yang berkata:

Dalam sebuah ayat yang luar biasa dalam al-Quran, Tuhan menawarkan kebebasan kepada seluruh makhluk-Nya, namun mereka menolak. Hanya manusia yang memiliki keberanian untuk menerima:

Sesungguhnya, Kami telah mengemukakan amanat pada langit, bumi, dan gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan bodoh. [Surat (33) al-Ahzab: 72].

Akan tetapi, Tuhan tidak membiarkan manusia tanpa bimbingan. Dia mengutus banyak nabi kepada setiap komunitas di bumi sehingga mereka mengetahui apa yang Dia maksudkan bagi mereka. Namun semenjak Adam, nabi pertama, manusia menolak untuk mendengarkan wahyu-wahyu tentang kehendak Tuhan tersebut . (Halaman 286 – 287).

Menukik lebih dalam, selepas melihat paragraf-paragraf SCB. Lalu menengok ayat-ayat ini:

(Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini) dalam hal kefasihan dan ketinggian paramasastranya (niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain) saling bantu-membantu. Ayat ini diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan mereka, sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya (QS 8 al Anfal, 31): Kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini (al-Quran). [Qs. al-Isra’ (17): 88]

(Dan Kami tidak mengajarkan kepadanya) yakni kepada Nabi saw (tentang syair) ayat ini diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan orang-orang kafir, karena mereka telah mengatakan, bahwa sesungguhnya al-Quran yang didatangkan olehnya adalah syair (dan bersyair itu tidak layak) tidak mudah, ada yang menyebut tidak pantas (baginya). (Al-Quran itu tiada lain) apa yang diturunkan kepadanya, tiada lain (hanyalah pelajaran) nasehat -peringatan- (dan Kitab yang memberi penerangan) yang menjelaskan tentang hukum-hukum dan lain-lainnya. [Qs. Ya’sin [36]: 69).
***

Setahu saya pada karya penyair Muhammad Iqbal maupun sebelum dan sesudah Beliau, tidaklah saya temukan himbauan yang senada paragraf SCB untuk mencari inti Kun Fayakun di dalam memanjati pengetahuan mengenai puisi atau syair dari al-Kitab-Nya, yang serasa dekat dengan kedua ayat tersebut. Namun para ulama’ menggali nilai-nilai terkandung di dalamnya yang Insya Allah tiada niat sekecil pun untuk mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri dari kata “Kun.” Nada-nada syair dan karya para beliau, menebarkan syiar sedari ayat-ayat-Nya, dan bukannya meringkus yang dijelmakan ke dalam syair. Lebih kacau mempereteli alunan lafaz-Nya, demi kepentingan ‘mitos puisi mantra’ yang dibelanya?

Jadi tidak perlu abang-abang lambe, Meski tahu walau hurufnya habislah sudah alifbatanya takkan sampai pada kebenaran mutlak.” Padahal perihal itu dekat dengan keterlenaan. Mari perhatikan Surat Ath thur dan Qa’f berikut ini (saya rujuk ke Kitab Tafsir Jalalain) atas urutannya Ibn Taimiyah dalam tulisan Beliau yang bertitel “Tangga Pencapaian.”

(Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun) tanpa ada yang menciptakannya (ataukah mereka yang menciptakan) diri mereka sendiri. Dan tidak masuk akal ada makhluk tanpa penciptanya, dan tiada sesuatu yang Ma’dum yakni yang asalnya tiada, dapat menciptakan. Maka makhluk itu pasti ada yang menciptakannya, yaitu Allah yang Mahaesa. Mereka tetap tidak mau mengesakan-Nya dan tidak mau beriman kepada rasul dan kitab-Nya.” [QS. Ath Thur (52): 35].

(Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama?) maksudnya, Kami tidak merasa letih / lelah dengan penciptaan yang pertama itu, demikian pula Kami tidak merasa letih untuk mengembalikan mereka. (Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu) yakni berada dalam keragu-raguan / kebingungan (tentang penciptaan yang baru) yaitu membangkitkan mereka menjadi hidup kembali pada hari berbangkit nanti. [Qs. Qaf (50): 15].
***

Untuk mendaki lengkungan dinding-dinding yang terpancang juga sebagai kupasan paragraf muakhir Muhammad Iqbal yang telah tertancapkan. Diri yang penuh dosa dekat kebodohan ini, akan berikhtiar menggapainya melalui Surat Ath Thu’r (Bukit Thu’rsina, 52): 29-31:

(Maka tetaplah memberi peringatan) tetaplah kamu memberi peringatan kepada orang-orang musyrik dan jangan sekali-kali kamu mundur dalam hal ini hanya karena mereka mengatakanmu sebagai seorang penenung lagi gila (dan kamu disebabkan nikmat Rabbmu bukanlah) karena limpahan nikmat-Nya kepadamu (seorang tukang tenung) menjadi Khabar dari Ma (dan bukan pula seorang gila) lafaz ayat ini diathafkan kepada lafaz Kahinin.

(Bahkan) lebih dari itu (mereka mengatakan:) Dia (adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya) malapetaka menimpanya lalu ia binasa sebagaimana nasib yang dialami oleh para penyair lainnya.

(Katakanlah: Tunggulah) oleh kalian kebinasaanku (maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu pula bersama kalian) menunggu kebinasaan kalian; akhirnya mereka disiksa oleh Allah melalui pedang dalam perang Badar. Makna Tarabbush adalah menunggu.
***

Dalam batas-batas tertentu saya kerap berdoa kala menulis semacam kritik ini: Ya Allah, jikalau tulisanku menimbulkan fitnah, hentikanlah jemari ini melangkah, tentu Engkau berkuasa apa saja untuk menghentikannya. Namun jikalau ada hikmahnya, atau Engkau menghendaki menunjukkan ke jalan lurus, maka mudahkanlah untuk menelusurinya.Dan ini tidak tersangka seperti saat menulis “Babad Nuca Nepa,” menggali masa prasejarah bertemu bebayang masa depan, serta kini seolah tidak terhindarkan berjumpa ayat-ayat suci sejalur yang harus dilewati. Hanya kemurahan-Nya melalui para pendahulu, saya berikhtiar menulis beberapa hal yang meski pun para beliau berbeda pendekatannya, al-Kindi, al-Asy’ari, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghozali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, al-Afghani, Muhammad ‘Abduh sampai Muhammad Iqbal misalkan. Olehnya, saya haturkan al-Fatihah sebelum meneruskan langkah ini…
***

Dapatlah ini menggenapi lakon sebelumnya, kisah Nabi Musa as sebagai melodi luarnya, dan getaran cerita yang dihadapi seelusan uraian masalah yang dikandungnya. Sebelum Musa di Jabbal Thur (Bukit Thu’rsina), lahir di Mesir dalam tekanan jaman jahiliyyah, bayi-bayi yang terlahir lelaki harus dibunuh atas perintah Raja oleh bisikan para penujum yang dipercayai Raja Fir’aun, inilah periode diwajibkannya membunuh bayi laki-laki, lantaran kelak akan menghalangi kewibawaan kekuasaan kerajaannya. Namun takdir menyelamatkan bayi Musa yang dihanyutkan ibundanya dalam peti di Sungai Nil, yang alirannya menuju pemandian istri Fir’aun, sedangkan ibunda Musa menanti-nanti cemas, apa yang akan terjadi?

Bayi mungil Musa mentautkan hati istri raja, Fir’an sendiri terpesona oleh paras tampan sang bayi. Lalu datanglah sayembara menyusui, para ibu di Mesir dikumpulkan, tapi tiada dimaui bayi mencecapi puting mereka, hingga tiba ibunda Musa sendiri mendengar kabar, dengan hati takut anak serta dirinya dibunuh jika ketahuan. Diberanikan langkahnya ke Istana dengan alur indah, Fir’aun tidak curiga dan Musa bisa menyusui ibunda tercintanya.

Lambat laun beranjak, bocah digendong sang raja menjambak jengget Raja Mesir yang membuat geram, kala menginjak remaja, kerap bersinggungan paham dengan ayah angkatnya. Suatu hari dikisahkan, Musa melerai dua penduduk yang tengah berselisih pendapat, yang salah tidak mengakuinya, ditempeleng orang itu dan seketika mati. Para penduduk mengetahui tiada yang berani melapor ke pemerintahan, desas-desus berkembang sampai Fir’an mendengar, maka dikerahkan bala tentaranya untuk menangkap Musa saat itu.

Dalam pelariannya jauh ke tengah padang gersang, dilihatlah berdesak-desakan manusia demi mengantri air, diamatinya ada dua gadis yang kesulitan dalam kerumunan guna menjemput giliran, pemuda Musa menawarkan tenaga, sehingga hewan-hewan gembalaan dua gadis itu serta mereka tidak kehausan lama. Pulanglah kedua gadis tersebut melamporkan kejadiannya kepada orang tuanya, Syu’aib as memahami yang terjadi, lantas diperintahkan anak gadisnya menjemput Musa untuk bersinggah di kediaman mereka.

Musa di tempat pelariannya pada Negeri Madyan, selalu teringat ibunda serta saudaranya Harun, meski setiap hari melihat paras-paras rupawan anak Syu’aib. Musa muda dipekerjakan tuan rumahnya untuk mengembala, dan diberikan tongkat yang biasa dipegang Syu’aib manakala mengembala semasa dulu. Ketekunan, kejujuran di sisi ketampanan Musa yang membuat mereka terpikat, Nabi Syu’aib as tidak ragu mengikuti rencana Tuhan, melamar bagi suami dari salah satu anaknya. Musa dibilang kesepian selain gundah merindukan keluarganya, dan mulai sedikit terobati.

Maharnya mengembala selama delapan tahun, karena Musa rajin diketahui Syu’aib kerap menambahkan sesuatu pekerjaan yang baik, maka diperintahkan menambah sendiri jumlah mahar sampai sepuluh tahun. Waktu berjalan, siang-malam berputar, jatuh tempo diselesaikan indah oleh Musa, Nabi Syu’aib memberi pilihan tetap di Negeri Madyan ataukah kembali, dan dipilih mengunjungi orang tuanya bersama istrinya.

Di tengah perjalanan bersama belahan jiwanya kemalaman di kaki bukit, mereka mengalami kebingungan arah ke kota Mesir. Setelah melewati senja menggenapi gelap malam, bintang-gemintang berbiak di langit. Waktu yang sulit dipahami serupa sepertiga malam, dilihatnya di ketinggian bukit ada cahaya berkilauan, disurunya sang istri tidak beranjak ke mana-mana, Musa ke atas bukit mendatangi muasal Cahaya.

Melalui jurang terjal bebatuan cadas pada ceruk dalam, ia hampiri pohon zaitun yang rindang di sisi Cahaya yang sedari tadi disaksikan dari kaki bukit Tur’sina. Kelak pohon itu bersebut “Syajar Musa.” Alhamdulillah saat penulisan ini beriring-iring menyambut hari kelahiran Nabi saw (12 Rabiul Awal) yang mengalir senada ingatan di masa kecil, dan sebentar lagi merayakan Maulud Nabi di Jawa demi memuliakan kelahiran Sang Nabi saw.

Istilah Syajar Musa dapat dimaknai sejarah awal kenabian Musa as, pada dinaya tertentu seperti Nabi Muhammad saw di Gua Hira.’ Dalam al-Qur’an disematkan peristiwa di bukit Sina dalam Surat Ath Thur, saya kutip ayat 1-4 berikut:

  1. (Demi Thur) Thur nama sebuah bukit tempat Allah berfirman secara langsung kepada Nabi Musa as.
  2. (Dan demi Kitab yang ditulis).
  3. (Pada lembar yang terbuka) yakni kitab Taurat atau kitab al-Quran.
  4. (Dan demi Baitul Makmur) yang berada di langit ketiga, atau keenam atau yang ketujuh, letaknya persis berada di atas Kabah; setiap hari diziarahi oleh tujuh puluh ribu malaikat yang melakukan thawaf dan shalat di situ, dan mereka tidak kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya.

V
Kalau tidak luput dalam Kitab Talim Mutaalim karangan Syekh Burhanuddin Az Zarnuji, terujar bahwa seorang ahli ilmu tidak akan bosan menyimak keilmuan meski diulang-ulang, sebab dalam bacaan yang serupa selalu menemukan penyingkapan yang bertambah. Dan saya berharap ini pun terjadi pada kekisah Nabi Musa as di atas. Ibn ‘Arabi dalam Kitabnya Fusus al-Hikam memaknai ruh Musa sebagai kumpulan dari ruh-ruh bayi yang terbunuh di masanya:Musa ialah suatu peleburan setiap kehidupan yang diambilkan manfaatnya, dan segala sesuatu disiapkan untuk setiap anak menurut penerimaan spiritualnya, lalu, diletakkan pada Musa. Bagi Musa, ini suatu anugerah Ilahi khusus yang tidak diberikan pada seorang pun sebelum beliau.” Dalam tulisan saya yang lain menyebutkan, anak yang selamat dari bencana akan menyelamatkan bangsanya. Walau Allah swt membentangkan alur Musa sangat elok, tidak lepas hukum alam (sunnatullah), dalam bahasanya Muhammad Iqbal: Pengetahuan manusia ialah konseptual, dan dengan bersenjatakan pengetahuan konseptual inilah manusia berkenalan dengan aspek Kebenaran yang bisa diselidiki. Yang perlu sekali dicatat adalah al-Quran menekankan semuanya terletak pada aspek Kebenaran yang harus diselidiki.
***

Tindakan ibunda yang memasukkan bayinya ke dalam peti merupakan kasih sayang paling ganjil demi menyelamatnya nyawa Musa, meski segaris firasat penyelamatan itu ada dalam keyakinannya, seperti keputusan Nabi Muhammad saw pergi berhaji dari Madinah ke Makah, yang menghasilkan Perjanjian Hudaibiyah, yang membuat para sahabat nabi mengalami keraguan, tidak terkecuali Umar bin Khattab. Mungkin bagi sebagian peneliti, perihal itu bukan didasari wahyu atau Sang Nabi bertindak bersandarkan rabahan kemanusiaannya, dan Allah swt mengabulkannya yakni berhaji di tahun depannya, sisi lain sikap Umar dianggap cerdas, tapi dalam Kitab Suci menyingkapnya sebagai kemenangan, yaitu sesuai jalannya sejarah. Situasional yang tertekan kerap mendatangkan keputusan yang menghawatirkan, dan dengan satu langkah terbuka pintu lain, pilihan yang mengurangi sekecilnya kefatalan, jalan yang diperhitungkan tetap diamati, jeli diselidik di balik peristiwa yang tengah berjalin, sebab berjalannya hayat laksana timbangan.

Peti pembawa bayi Musa. Ada riwayat yang menyebutkan saat melaju di atas air melawan arus dan mengelurkan sinar menuju ke Istana Mesir, di waktu pembantaian bayi-bayi laki-laki terus dilakukan. Dalam pertimbangan jaman yang masih mempercayai keajaiban, istri Fir’aun terpikat bayi mugil di balik darah kian mengucur atas perintah suaminya, demikian juga yang dialami Fir’aun terperdaya suasana dan melupakan ucapan penujum. Di suatu makolah disebutkan, informasi penujum terperoleh dari bisikan jin yang mendengar rencana Tuhan. Namun ini dapat dikembalikan bahwa segenap sesuatu ditentukan oleh-Nya, tidak laksana sulapan, tengok QS. Ath Thu’r (52): 35 di atas. Elusan Ilahi yang sangat manusiawi ialah memasukkan bayi Musa ke dalam lingkungan kerajaan yang sangat ketat laksana nyamuk tidak sanggup menembusnya. Di dalam didikan sepadan para pangeran, Musa yang diberkahi kepandaian menangkap situasi, terus mempelajari kejadian, apalagi ibundanya sendiri menceritakannya, makin terkuak merasa beruntung di antara bayi-bayi semasanya. Kepercayaan diri meningkatkan indranya mencium peristiwa jadi bertumpuk nilainya, kala menginsyafi keterbatasan sebagai anak angkat raja.
***

Saya percaya para pembaca dapat mengambil hikmah yang terudar ke dalam permasalahan sastra. Terbentuknya angkatan, pelopor susastra yang dilanggengkan kritikus pada berita tulisannya, kerap kesampingkan orang-orang sekitarnya. Periodenya selalu disebut, namanya diperbesar dengan istilah semangat kepahlawanan-kebangsaan, ini mengukuhkan beberapa gelitir nama sekaligus menyingkirkan yang lainnya, lebih fatal dengan usaha mengada atau saat dibenturkan kepada kekisaran sejarah tidaklah sebanding, tengok bagian XI. Penggalian kekaryaannya pun lebih ke bentuk pujian yang menumpulkan kekritisan para generasi selanjutnya. Ini seperti yang dialami orang-orang tua yang bayinya diserahkan atau menguburnya sendiri, ide-ide besar yang tidak sepaham ditumpas di meja redaktur laksana algojo yang membantai bayi-bayi. Saya jadi teringat peristiwa Perang Badar atau kekuasaan yang menyimpang mendapat balasan setimpal, kalau tidak membenahi keadaan, semisal kasus sulapan dangkalnya Sutardji: “Jadi maka (lantas) jadilah!” bersama orang-orang yang menyaksikan dan mengamininya!

Pada volume tertentu, kintir-nya peti pembawa bayi Musa membentuk takdir lain semasa dirinya dalam pengejaran tentara dan mendapat tempat bernaung di kediaman Syuaib. Lalu ringan tangannya menolong anak-anak gadis yang mengambil air dalam antrian panjang, sejelas keputusan orang tua Musa yang menghanyutkannya di Sungai Nil, itulah irama kehidupan yang diurai setarikan hidup sungguh berharga meski dalam ‘kutukan,’ Adam diturunkan ke Bumi bersama Hawa, Tuhan menurunkan para nabi sambil memberkati secahaya penerang (paham ini bukan sepakat mengenai dosa turunan, namun demi kehati-hatian bersikap). Allah swt menundukkan daratan serta lautan agar manusia mengembangkan fitrohnya, begitulah naik-turunya melodi hayati dapat dirunut muasalnya, seturut timbangan masa yang ditentukan-Nya, mukjizat Nabi Musa as mengimbangi keahlian para penyihir Raja Fir’aun, sedangkan mukjizat al-Qur’an juga sebagai jawaban jaman di depan.

Dia menganugerahi keistimewaan pada tongkat Musa pun dengan sebab-musabab, tidaklah asal-asalan sebatang kayu ditemukan di jalanan. Silsilahnya dari Nabi Syuaib as, yang mana tongkatnya setiap hari untuk menggiring gembalaannya. Para petani pun pengembala dapat disebut berikhtiar dalam hidupnya secara langsung dari-Nya, yang bergantung turunnya hujan atau sunnatullah, sejenis firman yang tampak bergerak, yang mendorong perubahan alam ciptaan-Nya. Dan kesabaran Syuaib mendidik putri-putrinya dengan laku hidup yang halal lewat beternak ialah keuletan sungguh di gurun pasir yang menuwai berkah, sehingga diangkatnya menjadi utusan-Nya juga kepada menantunya, Musa as.
***

Dalam tahun 1980-an di bencah tanah Jawa pinggiran Pantura, para kyai masih mencari menantu yang ahli di bidang keagamaan, berapa kitab yang sudah dihapal, berguru kepada siapa saja, dan ke-tawadhuan terhadap keilmuan dipetik setiap harinya, yang tidak mementingkan bentuk lahiriah demi kelanjutan syiar yang diyakini. Kekhusyukan tersebut tercermin pada sikap Musa terhadap Nabi Syuaib, orang yang diselamatkan dari pengejaran tentara Fir’aun serta merasa berhutang budi, maka sebaik-baiknya berserah kepada-Nya. Pada suatu makolah disebutkan, laku istikomah (ajek, tekun, kontinyu) lebih baik dari seribu karomah. Dan nalar yang hidup, istilah yang kerap dipakai KH Abdul Ghofur, Pengasuh Pesantren Sunan Drajat, akan senantiasa berkembang. Ini sejauh manusia memekarkan kesadaranya di setingkap persoalan yang dihadapi, seperti petani mengolah tanah menuai hasil dengan tidak melupakan syukur Alhamdulillah.
***

Nabi Syuaib as mewariskan tongkatnya kepada Musa, pun tidak sekenanya berucap; ini tongkat keren! Tapi hukum-Nya beriringan dengan siklus alam yang diciptakan-Nya. Musa mungkin tidak menyadari, bahwa tongkat yang setiap harinya digunakannya mengembala, kelak menjadi penentu jalan takdirnya. Saya percaya Musa tidak picik berpandangan kalaulah tuan rumahnya seorang penyihir, namun bebulir nilai kebeningan dari pancaran pikirannya menaburi pengertian sehingga benderang, limpahan karunia hadir atas ketabahan dari dua generasi pengembala, yang berikhtiar langsung di hadapan-Nya. Kejadian makin jelas di puncak Bukit Sina dikala melihat Cahaya-Nya, versi cerita Tuhan bertanya kepada Musa, “Apa yang kau bawa?” “Tongkat yang biasa saya gunakan untuk mengembala” jawab Musa. “Lemparkan ke tanah!” Setelah dilempar, tongkat itu menjelma ular besar sampai Musa ketakutan sangat, lantas Tuhan menghiburnya dengan memerintahkan ular tersebut untuk dipegangnya, yang kemudian berubah menjadi tongkat seperti semula.

Lalu Nabi Musa as memohon kepada-Nya, agar Harun juga diangkat-Nya sebagai utusan. Dikabulkanlah doanya dan meneruskan perjalanan bersama istri tercintanya ke Mesir menemui ibunda, serta menjumpai Nabi Harun as untuk memerangi Raja Fir’aun, sedang kekisah berikutnya seperti terdapat di bagian XVII. Untuk mempersingkat waktu, saya petik Hadits yang berkenaan dengan permasalahan ini, yang kerap kali beriringan mendampingi Surat Asy Syu’ara ayat 225-227, kala para ulama’ mengetengahkan pembahasan syair pun sastra. Hanya saja saya belum menemukan jalur perawinya, para beliau kebanyakan menyebut langsung dengan Sabda Rasulullah saw. Dan yang terjumput ini sedari sambutan Sayid Ali Al-Bablawi, Guru Besar di Universitas Al-Azhar dalam kitab “Jawahirul Balaghah,” karya Sayid Ahmad Al-Hasyimi, diterjemahkan Drs. M. Zuhri Dipl. TAFL. dan K. Ahmad Chumaidi Umar, terbitan Darul Ihya’ Indonesia bersama Mutiara Ilmu Surabaya, Mei 1994. Haditsnya berbunyi: Sesungguhnya sebagian dari perkataan yang fasih itu ada sesuatu yang mempesona laksana sihir. Dan sesungguhnya sebagian dari syair itu terdapat hikmah.”

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak segan memberikan misal kesabaran Majnun Layla dalam salah satu pegajiannya yang bertitel “Cinta Allah” yang terkumpul dalam kitabnya “Al-Fath al-Rabbani wa al-Fayd al-Rahmani,” diterjemahkan oleh Kamran As’ad Irsyadi, diterbitkan Pustaka Sufi, 2003. Pun menuturkan ungkapan yang indah seorang penyair, “Ketika nafsu mendorong pada cinta (hawa), Maka ia menjadikan manusia seperti besi yang dingin.” Kemudian Hassan Hanafi dalam karangannya “Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah” mengamini para cendekia mengenai syair, merupakan amal saleh yang mendorong ketakwaan.

Adalah tidak ada larangan mempelajari syair, bertekun-tekun menciptakan karangan pun tiada anjuran secara khusus bersastra kecuali sebagai alat menuju ketakwaan, lantaran di sisinya ada arus yang mudah menggelincirkan laksana sihir yang mendorong keterlenaan. Tantangan besar diberikan Al-Qur’an dalam Surat al-Isra’ (17): 88 teruntuk para penyair yang bernafsu menyaingi ketinggian-Nya dengan menggapai kehendak menyepadani kesucian al-Kitab, tentu sudah diwaspadai oleh para beliau agar tidak terperosok ke jalan tersebut. Lebih tegas Surat Ya’sin [36]: 69 Allah swt berfirman: Dan Kami tidak mengajarkan kepadanya tentang syair, dan bersyair itu tidak layak baginya. Al-Quran itu tiada lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan. Maka kiranya perlu sangat berhati-hati mendedahnya, yang jelas para beliau serta Rasulullah saw sendiri tidak memerintahkan langsung. Nabi saw dan para sahabatnya dalam beberapa riwayat, suka dengan alunan syair yang di dalamnya menunjukkan ke jalan keagungan-Nya, menggambarkan kecantikan ciptaan-Nya pun kerinduan terhadap kota suci Makkah dst.
***

Maka sungguh disayangkan SCB mengungkapkan perihal ini: Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri. dan Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri. Alhamdulillah persoalan tersebut sudah saya udar di bagian XVI, XVII dan XVIII ini, kiranya uraian saya terdapat kekeliruan, sungguh senang mendapat teguran, namun alangkah elok jikalau ada kebenaran juga dikumandangkan. Kekeliruan disengaja, setengahnya pun tidak disengaja, semoga menuju ke jalan keselamatan, serupa pertaubatan di masa akhir hayatnya Abdullah ibn Sa’id, yang pernah merubah Firman-Nya, “alimun sami’un” menjadi “alimun hakimun” yang dikisahkan oleh Karen Armstrong.
***

Sebagai pengelana, saya tidak pantas menuangkan ini, namun terdorong suara-suara para beliau seakan terpaksa menulis beberapa ayat-ayat dari Kitab Suci untuk menerangi paham kelewat berani terlampaui nekat yang sampai-sampainya merombak lafaz-Nya. Yang mana tulisan saya kebanyakan dapat dibilang jarang mencantumkan firman-Nya kecuali terpaksa mendedah tulisan yang menyebut (terkait) dengannya. Kebanyakan tulisan saya mengutip pandangan para beliau sebagai rasa hormat, karena tiada keberanian menilai kandungan al-Qur’an secara langsung atau berpedoman dengan langkah sendiri, tapi juga tidak menutup rahmat bahwasannya ini teguran bagi saya sebagai langkah awal lebih baik. Hanya dengan izin-Nya lelembaran ini terlaksana dan saya bukan hakim penentu, semuanya saya serahkan kepada pembaca yang memiliki kepahaman lebih. Kini saya tutup dan umpama ada batasan yang belum jelas, Insyaallah di bagian berikutnya mendekat kembali.

6 Pebruari 2012 / 25 Pebruari 2016.

Tinggalkan Balasan