Bagian 19: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan kelima dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Dunia pelajaran, ilmu pengetahuan, tidak mengenal perbedaan golongan-golongan tinggi-rendah, atau kaya-miskin. (Confucius).

I
Bismillahi-rahmani-rahim…

Bagian ini dan seterusnya, mulai mengalami pergeseran besar-besaran dari bebagian lalu. Meski tetap mendedah paragraf IK, namun porsinya menjadi sampiran. Ini tidak lebih karena kekecewaan saya oleh kesalahkaprahan akbar di beberapa tempat pandangan SCB, yang tampak terlampau dholim pada ajaran agama pun terhadap dalil akli ilmu pengetahuan, sehingga tidak menghasilkan keilmuan kecuali ditopang asap para spekulan. Sampirannya setitik tekan semata dan lebih lapang menyoroti hikmah para pendahulu Timur-Barat yang kerap berlainan pendekatan, maka saya di sini berikhtiar menyeiramakan perolehannya.

Dari Plato turun ke Aristoteles, diungkap al-Kindi dalam kitab “Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah” terbitan Dar al-Fikr al-‘Arabi, Cairo 1369 H / 1950 M, halaman 353-358, editor Muhammad ‘Abd al-Hadi Abu Ridah. Sampai kepada saya melalui buku “Khazanah Intelektual Islam,” editor sekaligus penerjemah Nurcholish Madjid, Penerbit Yayasan Obor Indonesia oleh Bulan Bintang, cetakan ke II tahun 1985, mengenai Risalah Akal.

Tulisan-tulisan al-Kindi dapat dikatakan rumit, meski terkadang sistematis pun tetap adanya kewajiban bersuntuk untuk memasukinya. Memang kejelian harus dituntut demi mendapati ketepatan, apalagi pada karya bersimpan filsafat. Beliau seperti para ulama’ lain atau setelahnya, sosoknya ialah salah satu peletak dasar sufistik. Kata-kata kunci pada kekaryaannya patut dipegang menerus oleh para penyimak, agar tidak membuyar sampai mengalami hal kebingungan. Para beliau membagi akal menjadi empat bagian; 1. akal aktual abadi, 2. akal potensial jiwa, 3. akal dalam jiwa beralih dari potensial ke aktual, 4. akal sekunder.

Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Sabbah al-Kindi menuangkan tulisannya dengan untaian kata-kata indah penuh kandungan makna, dan semoga penyederhanaan melalui jemari ini tidak mencederai yang sedang diikhtiarkannya. Namun menambah sejuk pandangan sekaligus empuk dirasakan jiwa, selembut benang sutra kilauannya, pun sebening salju meresapi sanubari lewat pemahaman lapang bijaksana, serta mudah ditelaah, gampang diingatnya.

Aristoteles membagi bentuk dua macam, satu kebendaan berada dalam jangkauan indera. Kedua; bentuk dalam jangkauan akal berupa kualitas benda-benda serta lebih tinggi darinya. Hal itu menyusupi tingkatan akal.

Akal sekunder mewakili akal indera, sebab kedekatannya pada sesuatu yang hidup, dan sifatnya meliputi sesuatu itu keseluruhannya. Bentuk adanya dalam kebendaan yang aktual terinderakan. Sewaktu jiwa menyadari bentuk, bentuk ada dalam jiwa selaras potensial. Sewaktu jiwa bersentuhan bentuk, bentuk ada dalam jiwa sejelas aktual, namun tidak seperti gambar hiasan di piring. Sebab jiwa bukan bersifat benda, tidak pula terbagi-bagi. Bentuk dalam jiwa beserta jiwa sendiri merupakan sesuatu yang tunggal, tak berlainan, pula tidak bisa dibedakan karena berbedanya muatan jiwa.

Potensi pengindera bukan sesuatu selain jiwa, ia juga bukan dalam jiwa misalkan anggota badan dengan badannya, jiwa itu pengindera. Demikian bentuk terinderakan tak berada dalam jiwa sebagai sesuatu yang lain, atau dapat dibedakan, tetapi yang terindera dalam jiwa adalah pengindera juga.

Berkenaan kebendaan, yang terindera tidak sama dengan jiwa pengindera; dari segi kebendaan, yang terinderakan bukan pengindera itu sendiri. Begitu juga perumpamaan akal, sebab apabila jiwa menyentuh akal, yakni bentuk-bentuk yang padanya tak terdapat sifat kebendaan, bukan hayal dan tersebut menyatui jiwa, yaitu bebentuk dalam jiwa secara aktual -padahal sebelumnya tak sesuatu pun berada di jiwa itu aktual, melainkan hanya potensial- maka bentuk padanya tiada kebendaan, bukan fantasi; merupakan akal perolehan (mustafad) pada jiwa berasal dari akal pertama, akal perolehan itu kualitas benda-benda aktual dan abadi.

Akal mustafad berfungsi memberi dan jiwa menerima, sebab jiwa berpikir potensial, sedangkan akal pertama berpikir aktual. Sesuatu memberi sesuatu lainnya, hanya hal dari dirinya, dan penerima memiliki sesuatu hanya secara potensial, tak ada kepadanya segarisan aktual. Setiap yang ada padanya potensial, tidak dapat beralih jadi aktual, seandainya dapat maka dirinya sendiri aktual abadi, karena dirinya sendiri itu adanya abadi. Jadi apa saja yang potensial beralih ke aktual, hanya sebab sesuatu yang lain, dan itu berkedudukan aktual. Jiwa berpikir potensial beralih ke aktual disebabkan akal pertama, sewaktu jiwa menyentuhnya. Oleh jiwa bila bentuk rasional menyatukannya, maka tak terbedakan dari bentuk rasionalnya, karena tak bersifat terbagi-bagi, sehingga bisa terbeda-bedakan.

Jika bentuk rasional menyatu jiwa, jiwa dan akal itu sama; pelaku pemikiran (‘aqil), sekaligus sasaran pemikiran (ma’qul). Dari sudut pandang jiwa, pelaku pemikiran serta sasarannya, merupakan kenyataan tunggal. Sedangkan akal yang ada secara aktual serta abadi, yang mengalihkan jiwa jadi pelaku pemikiran aktual, sesudah semulanya pelaku pemikiran potensial, bukannya akal aktual, dan sasaran pemikirannya itu suatu kenyataan tunggal. Maka sasaran pemikiran dalam jiwa dan akal pertama dari sudut akal, bukan suatu kenyataan tunggal. Ada pun dari sujud jiwa, akal dan sasarannya ialah kenyataan tunggal. Namun akal dalam kesederhanaannya menyerupai jiwa, tetapi lebih kuat dari jiwa, pada kaitannya dengan sasaran indera.

Jadi akal itu perantara atau pertama bagi segenap sasaran pemikiran beserta akal sekunder. Akal sekunder ada pada jiwa potensial, selama jiwa tidak merupakan pelaku pemikiran secara aktual. Dan akal ketiga sejelas aktual ada pada jiwa, dan telah dikuasai sepenuhnya, bagi jiwa sudah merupakan kenyataan; kapan dikehendaki, jiwa bisa menggunakannya, menampakkan realitasnya, seperti tulisan dan kemampuan penulisnya.

Akal keempat lahir dari jiwa, kala jiwa memproduksinya, sehingga akal menjadi adanya aktual oleh adanya hal lain berasal dari jiwa. Terangnya, akal ketiga merupakan penguasaan dalam jiwa telah lewat disaat permulaan penguasaannya itu, dan jiwa mempunyai kemampuan memproduksi kapan pun dikehendaki. Tegasnya, akal ketiga ada pada jiwa sebagai bentuk penguasaan, dan penguasaan itu telah lewat serta kapan saja dikehendaki, jadi kenyataan pada jiwa; sedangkan akal keempat yang muncul pada jiwa saat secara aktual dimunculkan.

Demikian penyederhanaan saya mengenai risalah akal seturut kepahaman para beliau.
***

Sebelum merambah, terlebih dulu mencoba melalui pendekatan agak primitif atau prakondisi temuan mereka, saya anggap paham para beliau didasarkan atas kejiwaan insan yang stabil sekaligus dinamis, padahal nalar dapat benar juga salah atau rusak, seperti perkatakaan Hassan Hanafi. Maka sudut pandang awam dikemukakan meski terlihat keras, tersebab langsung di atas kecenderungan sosok para pelakunya.

Manusia terlahir dari suatu kondisi yang bergantung pada kandungan lingkungannya, dan pengalamannya terolah dalam jiwa mempengaruhi corak pribadinya. Pada keadaan tertentu bisa berubah oleh tekanan luar dan dalam di sisi kepastian, sewaktu lawatannya belajar menapaki tangga kehidupan. Yang dapat diperas lewat jalur kecenderungan atas tempaan sekeliling yang menjadikan lebih peka penalaran-perasaan, juga kadang mencapai bentuk seimbang, ataukah menganggap ringan sesampiran yang tidak perlu disuntuki?

Yang condong pada akalnya menuju ke bentuk aktual, sedangkan dari perasaan membentuk potensial. Jika keduanya seimbang menghadapi sesuatu, akan memperoleh penyingkapan yang lebih di antaranya. Bentuk paling rendah dari semua itu, memandang permasalahan di depannya seringan menyepelehkan. Keempat contoh tersebut hampir serupa yang dikatakan para beliau, hanya saya melibatkan langsung meski terlihat kasar, tapi ini penting untuk mengetahui karakter seorang pembaca, misalkan. Apakah didasarkan akal terkuat, perasaannya, berkehendak obyektif, atau malahan menganggapnya enteng?

Saat akal didahulukan, diberi porsi luas mengudar permasalahan, akan melihat penampakan nalar atau pesona luar yang menentukan perangai kedalaman nilai. Dia menjadi hakim penentu, terkadang kurang mewaspadahi kesaksian terdalam (getaran jiwa), sebab mementingkan yang sampai ke indera dan kerap abai kemungkinan lain, hanya memegangi kausalitas secara taklid, hingga terperoleh hitungan pragmatis kaku. Sedang pendahulu perasaan atau lebih condong ke jiwa daripada akal, sering mengabaikan wujud luar atau kejuntrungan yang tampak kerap dicurigai, sebab penilaiannya ke inti masalah, malah kadang mengabaikan keindahan penalaran, meski sudah ditopang sebab-akibat jelas, baginya aura teks utama.

Jika keduanya seimbang atas temuan yang disesuaikan dengan dinaya yang dibacanya, atau mengikuti musikalisasi kalimat yang dihadapi, menggali potensi akal dan jiwa untuk meresapi maksud tujuannya. Tentu akan menemukan jalur lapang pengisi keseluruhan, mengetahui kelemahan menyeluruh pun bisa menentukan letak obyektif dan tidak terpengaruh siapa yang berbicara, tidak terperangkap pesona di luar teks, pula tidak terperosok atas kedekatannya pada teks. Ada kebalikannya yakni meremehkan teks, entah sebab penulisnya atau cara penyajian yang menurutnya kurang berbobot -kedangkalan itu tidak digalinya- yang membuat pembacaannya menjadi jeblok sebagai kecerobohannya sendiri. Di sebelahnya terselimuti kakaguman, walau terhadap uraian yang lemah, tetapi teracuni titel yang menjadikannya tertunduk, inilah mental yang dimiliki orang-orang penurut.

Yang terkagum sebelum memasukinya dalam, melihat teks membawakan jiwa berpotensi penampakan di hadapannya sebagai sesuatu yang aktual, lantas dilebih-lebihkan dari kedudukan yang semestinya, diberi ruang lapang sampai keluar dari kodratnya. Sedangkan yang mengecilkan, padahal belum memeluknya seluruh, meringkus kemungkinan yang beredar sebab sudah kadung (terlanjur) meremehkan, maka bacaannya di bawah bayang-bayang pengecilan, napas kalimatnya sengaja ditaruh pada ceruk sempit yang jauh dari jiwa potensial, olehnya tidak akan muncul bentuk aktual apalagi abadi, padahal belum tentu demikian.
***

Di dalam buku Plato “The Republic” terbitan New York: Quality Paperback Book Club 1992, terjemahan Sylvester G. Sukur, Penerbit Bentang 2002. Saya menemukan alunan kata-kata ini: Bagian paling buruk dari hukuman ialah orang yang menolak memimpin atau memerintah, besar kemungkinan dikuasai atau diperintah orang lain yang sebenarnya lebih buruk daripada dirinya sendiri.

Jika ditempatkan pada sosok pembaca, ianya menerima apa saja yang masuk dengan abai silsilah teks, lebih parah terkuasai suara luaran. Ini lantaran kurang curiga, analisanya lemah, mentalitasnya mencari kemapanan, menemukan bangunan rumah besar yang keropos penyangganya. Padahal suatu pondasi bisa kokoh, kalau menimba kepayahan, mengolah keterbatasan, serta semua ditaruh pada timbangan keadilan dalam dirinya. Sekali takut bersikap mencari letak tersendiri atau duduk di bangku aman secara umum, tengadahkan tangan meminta, berjalan di jalur terang, kerap tidak mendapatkan apa-apa selain warna senada, memperluas bangku yang tidak menciptakan tontonan sebanding dengan kesungguhannya.
***

Segaris lengkung ke belakang lalu berkehendak ke muka, dan ini titik tengahnya. Tulisan saya di atas merupakan gerakan mundur dari Aristoteles menuju Plato atas tragedi hukuman mati Socrates. Atau berakibatnya Plato meninggalkan dunia politik, lantas memasuki alam filsafat, yang diteruskan oleh Aristoteles sampai kepada al-Kindi. Sedangkan di bawah ini adalah uraian bebagian akal tersebut.

II
Kita kerap menggunakan akal sekunder yang dimulai dengan penginderaan aktual, ini rangsangan awal sebayangan sepintas, seperti kesimpulan paling cepat datangnya yang otomatis masih mentah. Membaca peristiwa-teks lewat tarikan napas kesadaran saat itu yang tidak dirunut mendalam, entah kesempatannya tidak ada, langkah tergesa serupa menyimak sekilas, sehingga informasi yang masuk aktual secara bentuk dan isi, atau pandangan umum yang tidak dilambari khasana penelusuran. Maka yang terjadi atas kondisi yang disepakati, menyimak buku dengan menerima apa adanya yang tertera, lalu bersikap menyanggupi untuk meneruskannya. Akal tersebut dimiliki semua insan, tidak terkecuali orang awam yang hasilnya tidak bisa digunakan lebih, hanya di ambang hawa hangat khalayak yang dekat dengan suara taklid.

Akal sekunder bagi yang sudah terlatih di bebagian akal lainnya, seperti pijakan awal, kesaksian yang cemerlang dalam mempengaruhi kesadaran lanjut, sehembusan angin berdesak-desakan hangat-dingin tergantung kabar yang dibawakan. Jika berupa cahaya pantul penglihatan, menyerapi keseluruhan yang tampak memudahkan ayunan berikut, atau lintasannya dapat direkam demi menerangi lawatannya. Dari kisaran permukaan, aktualnya bisa ditambah-dikurangi sejauh pengedaran akal tersebut, pengetahuannya mencapai apa yang diingini, sekiranya jarak penglihatan hadir atas pergeseran waktu sebagai pengalaman dalam menyikapinya.

Perwakilan akal indera bermanfaat ke dalam jiwa, dan di sanalah bebentuk terambil sedari penglihatan yang diolah secara potensial. Al-Kindi menyebut “Sewaktu jiwa bersentuhan bentuk, bentuk ada dalam jiwa sejelas aktual. Maka kemampuan terpendam menjelma aktor, selepas mengolah kekuatan wujud pun yang tidak, ke jenjang aktual, sehingga yang terserap sebahan pengetahuan dirinya serta yang lain. Inilah akal potensial jiwa, kesadaran bentuknya ke dalam jiwa yang bertenaga, kala menyentuh apa saja menambah dinaya. Bebentuk terindera mendiami kejiwaan tunggal serupa kenangan beberapa peristiwa serta perasaan terhadap fenomena.
***

Menyebut tragedi hukuman mati Socrates, menjadikan saya teringat Galileo. Di bawah ini ungkapan dalam kitabnya “Dialogue,” yang saya peroleh pada susunan Stillman Drake, bertitel Galileo (Oxford University Press, 1980) yang diterjemahkan Dean Praty R., Penerbit Grafiti 1991: “Camkanlah hai para teolog, bahwa kalau kalian berniat mempermasalahkan dalil-dalil yang ada hubungannya dengan posisi matahari dan bumi, itu berarti kalian mengambil resiko dengan mempermasalahkan orang-orang yang ingin mempersoalkan bahwa bumi diam di tempat dan matahari beredar mengitarinya -akhirnya, saya katakan bahwa suatu saat nanti akan terbukti baik secara fisika ataupun logika, bahwa bumi beredar dan matahari diam di tempat.” (D iii).

Sewaktu Galileo Galilei menginjak usia 17 tahun, senada yang diceritakan Roger G. Newton 2004, dalam “Galileo’s Pendulum” Viva Books Private Limited 2005: Ia bosan mendengar Misa yang diselenggarakan di Katedral Pisa, kemudian pandangannya beralih memusat ke sebuah kandelar yang berada tinggi di atas kepalanya, yang tergantung di rantai panjang dan tipis, berayun pelan ke kiri ke kanan dalam angin sepoi musim semi. Pikirannya menjalari goyangan tersaksikan, yang dapat dikatakan tengah menggunakan akal sekunder. Dan perdebatan dengan kaum teolog, yang telah berakal jiwa potensial merambahi detakan akal aktual abadi atau tersingkapnya akal perolehan.
***

Akal sekunder segambaran paham Alexandrov yang diolok-olok Zhdanov atas kutipan Barthes, lihat bagian XIII, tepatnya pandangan John Langshaw Austin, baca bagian VI. Dan akal potensial jiwa ialah kelanjutannya; jiwa pengindera menerobos kualitas bentuk-bentuk sehingga terangkat potensial seorang dalam wujud aktual. Atau suatu pagi kepekaan penyair mendapati embun terpelanting sedari menjulurnya ujung daun, ini hukum gravitasi, cahaya surya menyelimuti kebeningan buliran air. Lalu teringat jatuhnya air mata, mata air tercurah, dan apa yang tergerak dalam dirinya menjelma penglihatan seksama. Ketika semua terekam dalam kalbu akan membekas keayuanya. Dan sewaktu yang seirama dituangkan melalui pena di lelembaran kertas, maka akal indera menjumpai muara, “sebab kedekatannya pada sesuatu yang hidup, dan sifatnya meliputi sesuatu itu keseluruhannya.”

Hal itu terkuasai penuh, melebarkan sayap kesadarannya memperluas jangkauan pengindera pada tahap keahlian. Merambah naik-turunnya hayati menuju kisaran sekeliling penyelidikan, serta terus keyakinan yang terangkat laksana awan mengembara. Yang dapat menjatuhkan buliran air kapan saja atas dorongan angin, tamparan cahaya surya disertai suhu udara oleh tekanannya ke bumi, maka hujan turun segambaran akal mustafad. Atau keayuan pelangi dari rintik gerimis pada ketinggian danau oleh pancaran siang yang membiru langit, maka terjadinya beberapa warna lengkungan panjang berkeindahan, seakan memperoleh kesungguhan pemikiran sebagai karomah dari lelaku istiqomah.
***

Suatu hari Mencius bosan mendengarkan pelajaran dari gurunya, cepatlah ia pulang sebelum waktunya, lalu didapati ibunya sedang sibuk menenun, menanyakan sebab kepulangannya, dan dijawabnya dengan seksama. Tiba-tiba ibunya mengambil gunting serta memotong kain yang sedang ditenun itu menjadi dua helai. Mencius bertanya, “Mengapa kain yang bagus itu ibu gunting menjadi dua?” Maka dijawab ibunya, “Anakku yang manis, aku berbuat demikian sebagaimana kau memotong kemajuan hidupmu sendiri, seperti aku telah menggunting kain tenunku yang bagus itu.” Semenjak kejadian itu, ia tidak pernah meninggalkan pelajaran sebelum waktunya.

Jika kisah Nabi Musa as dilanjutkan, maka sampailah bertemu Nabi Khidir serta memperoleh pelajaran berharga atas persahabatannya yang sementara. Di tengah perjalanan, Khidir membunuh pemuda tampan tanpa alasan, membuat Musa terperangah geram sekaligus menyangkal sikap semena-mena. Mereka terus berjalan dalam kesepakatan Musa tidak diperkenankan bertanya juga marah, dan sampailah di tepi lautan, Khidir merusak kapal yang paling bagus di antara kapak-kapal, Musa tidak sabar ngedumel, tapi Khidir tetap diam seribu bahasa. Di akhir cerita, Khidir menegakkan bangunan hampir ambruk yang membuat Musa hilang kesabaran sampai putuslah bersahabatan mereka. Sebelum berpisah, Nabi Khidir memberi penjelasan mengenai kejadian yang barusan dialami. Alur kisah Mencius dengan ibunya, Musa bersama Khidir, dapat dikatakan sebuah peristiwa yang sama penampakannya tapi berbeda dalam penyikapinnya. Satu dengan akal sekunder aktual benda-benda, satunya lagi telah merasai penyingkapan akal perolehan.

Seumpama merambahi dataran awam, Musa menyaksikan kejadian yang dilalui bersikap menyepelehkan keilmuan Khidir; membaca teks tidak memakai akal potensial jiwa, menutup kemungkinan mengecilkan lawan bicara. Sedangkan jiwa Khidir as tetap menganggap Musa seorang Nabi, maka ditampakkan yang sebenarnya akan terjadi. Fenomena memberi informasi ke jiwa atau jiwa menyatu dengan benda-benda; kedekatan terdalam yang bukan hayal, khusyuk membeningkan penglihatan, tidak meringankan perihal yang terkecil sekalipun terbangnya debu. Di saat penginderaan jiwa, dan jiwa berpasrah menyeiramakan getaran hayat sekitarnya, tentu memperoleh kedamaian jawaban. Ibunda Mencius tidak sayang memotong tenunan yang indah, dari pada kelak cita-cita anaknya yang terpenggal.
***

Hakikatnya, setiap insan berkemampuan mendayagunakan tingkatan akal yang sebagaimana telah dibagi-bagikan oleh para beliau, yakni sebagai alat bernalar sekaligus sasaran penalaran. Hanya perbedaannya terpengaruh syarat mendudukkan perihalnya ke dalam sifat-sifat yang mendiaminya; naik-turunnya ombak masanya serupa corak yang ditemukan Dr. Wilhelm Fliess mengenai Bioritmik. Di sini saya akan mengurainya ke batas minimal serta batasan maksimalnya, sebagai kemungkinan yang biasa terjadi.

Kala menengok lembar sejarah, kerap atau wajar suatu bangsa, apakah Arab, Cina, Jepang, Jawa, Yunani, Rusia, India, Prancis, Jerman misalnya. Manakala mengalami jaman kegelapan, awan nasib hitam kelam memayungi datarannya, jalan-jalan gulita, pertikaian merajalela sebencah lumpur rawa-rawa bersimpan marabahaya. Tumbuhlah bunga teratai rupawan, ada yang menyebut nabi, rasul, utusan, juru selamat sejenisnya. Situasi yang tertekan menggencet nalarnya kian cerlang memantabkan permenungannya dalam gua, lembah, cawan pebukitan; mereka merapalkan kitab lama, dongengan purba, dan hikayat moyang digalinya demi mengucurkan mata air perolehan. Mereka sadar hawa pergerakan jaman di dalam tirakatnya, memaklumatkan tekad menerobos gemawan yang hendak mengutuki ketumpulan bangsanya. Begitulah alam memberikan keseimbangan, sehingga kehidupan dapat tercium indah sampai sekarang.

Mereka akrab kuntum-kuntum kembang bermekaran, kelebatan wewarna alam, rintihan tangis para jelata, kelaliman penguasa, ini keluar-masuk napasi keadaban, dituntun gravitasi semesta raya, dan pergolakan dalam dirinya yang sama mendidih. Lalu ucapan, tindak-tanduknya secermin penglihatan atas pantulan yang senantiasa beredar. Pada kekhusyukan tertentu, bebagian akal menundukkan jalan takdirnya atau memunculkan kebaharuan ciptaan oleh kehendak perluasan-Nya.
***

Akal pertama aktual abadi, yang sebelumnya sebatas aktual. Fenomena perubahan itu ditelitinya, menjaring persamaan menyemai penyesuaian, mengelompokkan informasi alam aktual. Dikajinya menerus seumpama mendayung perahu sambil mengamati permukaan gelombang air. Di kala perangai aktual dirasai sedalam dayung melaju, pengertian pergeseran dan pantulan cahaya mendiami letak-letak makna, seperti ungkapan Hassan Hanafi, Perasaan adalah perkiraan rasional yang dapat dianalisis dengan akal, sebab obyeknya adalah berbagai makna, dalil-dalil yang berdiri sendiri, dan esensi-esensi.

Ayat-ayat, curahan rahmat-Nya yang langsung pula tidak, menumbuhkan akal kedua potensial jiwa, tersebut menapaskan penafsiran ke jenjang perbuatan berbaur mempengaruhi tradisi, bersama tarikan bayu ikhtiar menyebar sejauh ijtihadnya. Akal jiwa berpotensi memaknai karunia, meninggikan batang penalaran di atas kesadaran bumi. Muncullah cabang pengetahuan, dedaun pengertian memayungi hati. Laksana zat hidup sang surya menyentuh ujung-ujungnya, kualitas aktual diserap mengisi relung-relung panca indera, dipantulkan ulang seperti akal ketiga; akal dalam jiwa beralih dari potensial ke aktual.

Sejauh mencapai akal perolehan, tentunya berkekhusukan dalam keintipan setampan permenungan. Sebab ke lelapisan bumi, pengedukan paling rawan menemukan tirta abadi, atau kalbu memanjati langit seperti embun menjatuhkan kecupan hujan, serupa air zam-zam berlimpah menuntut pertapaan lembut daripada air kehidupan, lebih santun dari angin pegunungan. Dan iqra’ diulang-ulang menyingkapkan tumpukan cahaya, mengelus partikelnya, merasai elemen padat dan cair atasnya. Ini membutuhkan waktu lama, di sisi kesucian pergolakan dalam jiwa produktifnya. Sedangkan penjumlahan masa di antara mereka pada pancangan tersebut berbeda-beda.

Pada gelombang berbeda-beda tingkatannya, berlainan kadar penerimaan di atas jenis akal terpengaruhi kesuntukan daya singgah pun dinaya serap terhadap karunianya. Serupa lamanya cahaya tersimpan pada benda padat, ada perbedaan masa tergantung ketundukan ihwal terlewat, sekemampuan ingatan berlainan detak jangkauannya. Ia membuai segenap pengetahuan, mengandung pelajaran serta pilahan terpengaruh kecondongannya, maka perbedaan yang terbit ialah rahmat terindah. Sebatas tidak menyalahi hukum yang sudah ditentukan, seiramanya detakan nadi semesta mematuhi peredarannya, kalau tidak terjadi benturan mata. Namun gulungan gelombang yang insyaf mengembalikan semuanya, ke jantung hayati oleh kuasa-Nya.

Sejenis akal sekunder kalau menggunakan runutannya, merupakan jejak lelah dari ketinggian waktu sehabis menimba dimensi kekhusyukan; juga awal membuka tenaga baru, karena bebagian akal dalam kesatuan diri anak manusia, senada bioritmik irama hidup. Pula, kemampuan dapat ditingkatkan sedari getaran samar dinaikkan terang, tentu membutuhkan syarat penyeimbang dan pelestarian kualitas di sisi goda yang melingkupi. Bentukan itu terpengaruh naik-turunnya keyakinan, pergesekan di luaran yang selalu berpusar bagi menginginkan pencerah, juga banyak terlepas seperti cerita sisyphus. Dan hanya orang-orang yang terlindungi sampai seperti mereka, sebagai penggerak peradaban dunia.
***

Kemudian simaklah paragraf IK yang ke 3 dan 4: Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.

Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral. Lantas mengingat Kredo Puisi SCB, alibi-nya, Jadi, lantas jadilah!, dan Jadi maka jadilah! Maka apa yang akan anda lakukan, jika memakai bahan-bahan di atas?

24 Pebruari 2012 / 25 Maret 2016.

Tinggalkan Balasan