Bagian 21: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan ketujuh dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
“Increscunt animi, virescit volnere virtus.”  (Nietzsche)

Sebagai prolog, mari mendengar lagu Holiday oleh kelompok musik Scorpions, sambil mengendus kalimat Nietzsche di atas. Saya menerbangkan ini atau tidak berkecamuk dalam kepekatan saja, namun telah tunjukkan luka-luka dari bagian I-XX, yang akan menjadi borok semua pelaku susastra Indonesia, dan saya cukup menikmati saat-saat belajar.

Pertumbuhan ini menyenangkan, setidaknya dari pengelana yang tinggal di desa, lewat sekali bidik melihat tipuan, bahasa halusnya sulapan di fakultas kesusastraan. Andai bola mata dan pikiran saya bisa ditransfer cepat ke para kritikus sastra, kemungkinan terbongkarnya kasus karbitan, tidak jujur setindak kebohongan, atau penggorengan istilah lainnya dalam dunia kesenian.

Lewat menyeruput wedang kopi pagi ini harapan saya, mata jeli yang waras tidak silap mudah percaya, dipakai untuk mengisari secara telanjang bungkus kemayu, atau yang menafsirkan ayat dengan ugal-ugalan. Terbukti bersama kesadaran membaca tempaan dari para pendahulu, para ahli terpercaya; maka tampak nyatalah mereka itu melenceng argumentasinya yang dekat permainan jemari tangan.

Ini hari agak mendung, pagi-pagi terlihat pelangi seolah dari kota Mojokerto, yang lengkungannya di atas tanah Lamongan ke pucuk lengkung satunya di kota Tuban. Umpama dedahan saya terdahulu mengkondisikan suhu udara atas derajat cuaca tertentu, dan wewarna kluwung muncul adanya penerimaan. Atau saya telah usahakan sesuatu, lalu kesaksian saudara penentunya; apakah sekadar turun dalam dongeng mitos atau ke puncak realitas? Saya percaya saudara lebih segalanya, dan sekecil ini selarik tangga seyogyanya dihadapi, kalau tidak ingin dianggap berlari tunggang langgang atau masih tiduran? Benarkah saya tidak berbuat apa-apa, dan kasus tersebut hawa udaranya, maka ini pelanginya?
***

Untuk meningkatkan tekanan angin disertai buliran keringat, kuping saya mengambil dengar musiknya Metallica ‘Enter Sandman,’ demi mengimbangi ungkapan sastrawan filsuf Jerman Nietzsche; “Jiwa bertumbuh, kekuatan dipulihkan dengan melukai.”

Anggap sehiburan istirahat, sementara saya menghentak-hentakkan kaki memompa detakan nadi debaran jantung, geleng kepala pun boleh tidak percaya. Seperti separuh hilang kepercayaan kepada pelaku sastra yang tidak bertanggungjawab atas langkah kekeliruannya. Terlalu jauh membandingkan SCB dengan Nietzsche, membaca konsep akidahnya yang dipetik pun tidak sanggup mencernanya?

Hantaman cadas pukulan keras, menjebolkan kendang udaranya, lengkingan pekat di langit ke ujung senjakala. Itu kesurupan, menyandingkan Sutardji dengan pengguncang jaman; adakah karyanya seampuh Kitab Sabda Zarathustra? Dengan sangat memalukan saya baca mitos itu berkeliaran, dan saudara yakin halnya sejarah sastra Indonesia sejenis gempa; di suatu wilayah tidak lama, hanya taklid buta terguncang keder olehnya? Semisal sarapan pagi dengan mimpi-mimpi? Bacalah berkecurigaan mawas, kedudukan sastra kita di belantara Kesusastraan Dunia?
***

“Kenapa Nietzsche membongkar kubur Socrates, lalu memakan daging busuknya, serta menelan tulang-belulangnya?” Socrates-lah dedengkot turunnya ‘nilai wahyu kesadaran’ yang mengajarkan kepada Plato, yang pada gilirannya menuju Aristoteles. Dapat dibilang dari mereka bertiga mencair ke belahan bumi Timur serta Barat, dan Nietzsche tidak ingin cairan racun yang ditenggak Socrates menjelma akal budi membusuk seperti daging yang barusan ia makan.

Nietzsche dengan ‘kedengkian’ menganggap kematian Socrates merupakan akal liciknya sendiri yang paling sempurna (baca: Senjakala Berhala). Atau ia berhasrat menghisap limpahan cairan mematikan yang sudah menyebar di kepalanya para filsuf dan sastrawan dunia dengan hantaman palunya paling keras, “Tuhan telah mati.” Sudahkan Sutardji melakukan? Karena sampai detik ini belum, sedang para peneliti membandingkan dengannya telah berkoar-koar, tidakkah mereka sulapan?
***

Apakah dengan perombakan “Kun Fayakun” yang dimaknai “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” termasuk cara-cara pembunuhan terhadap Tuhan? Bukan! Namun penghinaan di depan para hadirin Mastera di tahun 2006, DKR 2000, juga mengolok-olok diri sendiri, tersebab menampakkan kebodohannya, pula mempermalukan kritikus pendukungnya, tentu kalau sadar!
***

Memang sah mensejajarkan SCB dengan Nietzsche, wong menyepadankan penyair dengan Tuhan tidak masalah (baca buku gugatan saya sebelumnya). Begitulah para penelisik yang tidak pernah memakai timbangan, hanya menimang-nimang sejauh perasaannya keliru lantaran grusa-grusu, maka menjadi lelucon manakala dihadapkan kepada kewaspadaan ini.
***

Kenapa di bagian lalu saya sandingkan kesalahkaprahan SCB yang diamini kritikus, hampir sama dengan keberingasan watak bebal kaum Qaramitah yang menumpahkan darah di tanah suci di depan Ka’bah? Di batas tertentu, teks Kitab Suci al-Qur’an dan kiblatnya umat Islam sama terjaga, meski ada yang mengotori menghinanya. Namun Allah Swt tidak serta-merta mengirim ulang sekawanan burung ababil kepada serdadu Qaramitah, sebagaimana yang menimpai pasukan Abrahah.

Sepertinya Tuhan membiarkan SCB merombak makna firman-Nya di depan para penikmat sastra, di sebelahnya mungkin saja Sutardji menyerupakan Abu Tahir pemimpin Qaramitah yang menyerang kaum muslimin kala bertowaf, dengan ayunan pedangnya berkata “Aku Allah… Aku Allah” Segelombang SCB tidak mengoreksi ulang catatannya, membiarkan saja kalau “Kun Fayakun” adalah “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” seperti ‘penguasa’ saat itu, sejurus lagi para kritikus bungkam, melempem!
***

Kata-kata saya tidak berharap lebih serupa burung ababil yang mencengkeram bebatuan panas yang didatangkan sedari neraka, hanya semoga sederas air hujan membanjiri Tanah Suci demi mensucikannya, selepas pembantaikan berdarah tersebut yang juga mencemari air Zamzamnya.
***

Di bagian XVII disebutkan, “anggap semua tulisan ini monolog semut-semut hitam merayap.” Jika ditarik ke dalam peristiwa di Ka’bah sebelum datangnya banjir besar pada wilayah Idam, teringatlah pasukan semut mengejar orang-orang Jurhum yang kepala suku terakhirnya al-Harits III, pergi menuju Ka’bah mengambil dua patung emas rusa, beberapa pedang serta perisai yang ada di dalamnya. Karena merasa sedang diawasi, segera melempar barang-barang rampasan ke sumur Zamzam, lalu menutupnya dengan pasir.
***

Seperti dituturkan Fathi Fawzi ‘Abd al-Muthi dalam bukunya “The Ka’bah,” jauh di lain masa …Abdul Muttalib dan anaknya al-Harits mengeluarkan dua patung emas rusa, beberapa perisai dan pedang yang dikubur oleh Madad al-Jurhumi ketika pasukannya kalah dalam perang. Abdul Muttalib yang sebelumnya mendapati firasat letak sumur Zamzam di antara sampah dan darah… diparuh burung gagak bersayap keputihan… dekat sarang semut.
***

Dan kita teringat Abdul Muttalib meminta kembali unta-unta yang dirampas serdadu Abrahah. Kepada Raja Abrahah ia berkata sepenuh yakin; “Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Rumah (Ka’bah) itu akan dilindungi oleh pemiliknya.”  Ini hampir senada Surat Al-Hijr (15): 9, antara kesucian al-Qur’an dengan Ka’bah yang terjaga: “(Sesungguhnya Kami-lah) lafaz Nahnu mentaukidkan atau mengokohkan makna yang terdapat di dalam isimnya Inna, atau sebagai Fashl (yang menurunkan Adz Dzikr) Al-Qur’an (dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya) dari penggantian, perubahan, penambahan dan pengurangan.”
***

Di padang gersang dibanjiri darah pertikaian, jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., sosok Abdullah ibn Zubair teringat yang dikatakan Ummul Mukminin Aisyah, tentang sabda Nabi Saw. Kepadanya; “Wahai Aisyah! Jika kaummu tidak berada dekat ke masa Jahiliah pra-Islam, aku akan menyuruh agar Ka’bah dirobohkan termasuk yang tersisa darinya, meratakannya dengan tanah, dan membuatnya dua pintu, satu menghadap ke timur dan yang lainnya menghadap ke barat; satu pintu untuk masuk dan pintu lainnya untuk keluar.”

Ibn Zubair membangun kembali Ka’bah sebagaimana yang dikehendaki Rasulullah Saw, namun selang beberapa masa kala Abdul Malik ibn Marwan diangkat jadi Khalifah Umayyah 65 H (685 M), ia merasa kalau kekuatan Ibn Zubair dapat mengancam kekhalifahan Umayyah, karenanya ia berupaya keras mengikisnya. Abdul Malik mengirimkan pasukan ke Makkah di bawah pimpinan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi.

Al-Hajjaj menghujani Ka’bah dengan bebatuan serta menyerang pasukan Ibnu Zubair hingga memperoleh kemenangan keji, namun tetap tidak merasa terpuaskan. Ia mengubah tampilan Ka’bah yang dibangun Ibn Zubair yang berdasarkan sabda Nabi Saw, al-Hajjaj berkeinginan menghapus ingatan orang-orang terhadap jejak Ibn Zubair yang terdapat di bangunan Ka’bah.

Al-Hajjaj mengirim utusan kepada Abdul Malik ibn Marwan di Damaskus, melaporkan perubahan yang dilakukan Ibnu Zubair kala merenovasi Ka’bah. Dirinya memalsukan fakta, membohongi majikannya. Kemudian meminta izin mengembalikan Ka’bah ke tampilan semula. Ia menutup pintu sebelah barat Ka’bah serta meruntuhkan dinding di sebelah Hajar Aswad dan membangunnya kembali. Sekiranya ia berkesempatan memangkas tinggi Ka’bah, ia pasti akan melakukannya.

Hari-hari berlalu, Allah Swt. menghendaki terbongkarnya perbuatan jahat al-Hajjaj, menyingkap muka kekejiannya. Tidakkah perombahkan yang dilakukan al-Hajjaj kepada Ka’bah, sebanding “Kun Fayakun” yang disalahartikan menjelma: “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!”?
***

Jikalau pengelanaan ini menempatkan filsafat amatiran, maka sudahlah menjawab pandangan Nietzsche (1844 -1900) yang mengatakan ‘filsuf tidak memiliki kesadaran sejarah,’ pada esainya yang bertitel “Nalar” di dalam Filsafat (: Senjakala Berhala). Kini kembali kepada orang Jerman itu, namun…
***

II
Tiba-tiba saya dipanggil Hegel (1770 – 1831), padahal tidak ada waktu untuk membaca ulang karyanya “The Philosophy of History.” Saya petik saja kalimatnya yang mengenai hakikat ruh: “Hakikat Ruh dapat dimengerti dengan melihat lawannya yang langsung -Materi. Karena hakikat Materi adalah Gaya Berat, maka di lain pihak, kita dapat menyatakan bahwa substansi, hakikat Ruh adalah Kebebasan.”
***

Sedari mula catatan ini atau pun sejak awal penalaran saya mengenai perangai kata ‘bebas,’ bukanlah sebebas lepas tanggungjawab, pula tidak bablas sedari beban makna. Namun seperti daun-daun runtuh ke tanah oleh kekeringan, atau kebebasannya tetap menyetiai hukum yang dikandungnya. Jikalau Hegel menyebut materi bergaya berat, maka ruh punya gaya bebas!

Ruh merupakan kesatuan diri aktual, bisa masuk serta lepas dari materi. Tanpa adanya ruh, maka materi sekadar ‘mumi-mumi’ -istilah Nietzsche. Dan kita teringat ungkapan Valeri, “suatu upaya untuk menciptakan yang saya sebut ruh dari ruh.” atau “ruh,“ruh dari ruh” adalah kerja”: Derrida. Sedang gaya berat atas materi dalam kehidupan ini tidak lebih terhukumi atau tergantung gaya gravitasi. Limpahan materi tanpa ruh yang menyatukannya, tentu berserakan terpecah-pecah, sedari sini Nietzsche berani melangkah lepas berkabar bahwa ‘Tuhan telah mati.’ Saya memaklumi, tersebab ianya girang berjalan di depan, dirinya tidak ingin menjadi orang yang melihat orang, hanya berhasrat dilihat. Sejauh mengidam garis finis duluan, semisal mengungkap nilai baik, yang diplototi efeknya keseimbangan baik, dst.

Karena bagian ini akhir kupasan paragraf Ignas Kleden yang ke 3 dan 4, olehnya diunggah ulang: “Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.”

“Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.”
***

Tidakkah pandangan SCB yang diungkap IK di atas menginginkan perilaku kesurupan? Sebab naik-turunnya musik pergeseran makna adalah niscaya bagi pemilik ruh pengertian. Di mana kekisarannya menghadirkan dialektika atau perbedaan sedari perpindahannya terhadap sesuatu nilai tersebut memungkinkan tafsiran berkesadaran lain, yang menambah derajad ‘kata,’ sehingga memancarkan pelbagai kilauan mewujud dinamika peradaban.

Aturan bahasa, logika kebahasaan pun perhelatan sosial pula norma-norma, serupa sarana kata-kata memenuhi maknanya! Adapun efek-efek buruk yang menimpainya tidaklah harus kabur lepas tanggungjawab, tapi bagaimana caranya dikembalikan ke letak semula. Para peletaknya ialah orang-orang yang berkepentingan, pemilik kebulatan ruhani demi hawa harum kedewasaan yang mencerahkan.

Perihal materi, kita dapat melihat perselisihan pendapat suku-suku bangsa Arab dalam perebutan hasrat, siapakah yang terpantas memindahkan batu Hajar Aswad ke tempat semula? Menyoal ruh pengertian, seyogyanya waras lagi mawas membaca, mencermati-pahami pola-pola pergeseran, lalu memberi penerang darinya. Bukan malah menafsiri yang terlepas asbabun nuzul pada ayat-ayat al-Qur’an, apalagi merombak makna firman-Nya?

Bagaimana tidak disebut kesurupan, menulis puisi dari kata-kata yang tiada artinya dari bahasa atas bebangsa mana pun? Tidakkah itu kreatifitas kebablasan, kebebasan tanpa pondasi dari jiwa lemah yang mudah disusupi makluk halus? Lantaran oleh tingginya suhu badan berdemaman, sehingga mengoceh tidak karuan, yang kata-katanya terjadi melucuti maknanya?

Kredo Puisi SCB, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Tidakkah ini malah menyelewengkan konvensi sosial, kekuasaan politik, atau pun norma-norma moral? Membuat suara-suara kebebasan tidak manusiawi, terbuang dari kesadaran insani. Kata-katanya tiada ruh, ruh yang bekerja, ibarat batu mandek; tidak adanya perbuatan kecuali menumpuk kata-kata benda yang tidak bermakna! Hanya kritikus kesurupan pula yang mengandaikan ketinggian kesastrawiannya, sedari perangai kemandulan tersebut!

Untuk mengurai jauh, sepertinya sesuai paragraf IK ke 5. Maka mendingan balik ke Nietzsche, Hegel, atau orang-orang yang serius bekerja.
***

III
“A person cannot be God, certainly not replace God, and rule the world as a Superman; he will only succeed in creating more chaos and make a greater mess of the world. In the century after Nietzsche man-made disasters left the blackest records in the history of humankind. Supermen of all types called leader of the people, head of the nation and commander of the race did not baulk at resorting to various violent means in perpetrating crimes that in no way resemble the ravings of a very egotistic philosopher.” (Nobel Lecture, Gao Xingjian, Translation by Mabel Lee).

Jumputan paragraf kedua, kuliah Nobel Sastra oleh Gao Xingjian yang notabene kaum ateis itu, masih menunjukkan penghormatan kepada sesuatu yang tidak terketahui (Tuhan). Menganggap tidak mungkin manusia menjadi Tuhan pun menyepadankannya, -meski berperangai paling unik sekalipun! Ini pukulan telak bagi para pelaku yang sok, yang beberapa kritikus menggolongkannya sebagai penyair sufi, karyanya puisi sufistik, tetapi nyatalah ngawur!

Riak pemikiran Nietzsche masih terus bergentayangan, dan saya memasuki lewat composer yang ia kagumi pula sebaliknya. Sebab tanpa musik sepertinya mandul, atau ianya musik sastra yang berdenyut dari jantung filsafat, meski ada menganggapnya ricauan filsafat yang sangat angkuh.

Bulan Maret 1861, Krug memberikan ceramah “Tristan und Isolde,” ini awal kali Nietzsche mendengar mengenai Wagner. Di tahun-tahun di Pforta itu komposer favoritnya Schumann (meninggal 1856, meski demikian ia komposer kontemporer, ‘moderen;’ sementara ‘Tristan’ saat itu belum dipergelarkan, merupakan musik masa depan). Ayahnya F. Nietzsche, Karl Ludwing Nietzsche, lahir 1813, sama tahun kelahiran Richard Wagner. (Kronologi Kehidupan Friedrich Nietzsche dari bukunya “Ecce Homo, How One Becomes What One Is,” terjemahan bahasa Inggris oleh R.J. Hollingdale, pengantar dan revisi edisi Inggris oleh Michael Tanner, Penguin Group 1979, 1992).
***

Agak sulit untuk memulainya, sementara para tokoh yang hendak saya tulis sudah mewakili jari-jemari; ada yang di jari kelingking, jari telunjuk, jari tengah, jari jempol pula jari manis. Maka sebaiknya saya mengambil perkataan pelukis Pablo Picasso (1881 – 1973):

“Sindiran dari seseorang yang menyatakan, bahwa tidak ada lebih berbahaya dari beradanya alat-alat perang di tangan para jenderal, dan kita dapat mengubahnya dalam arti yang disesuaikan lagi cocok bagi para seniman. Dalam artian yang sama, tidak ada lebih berbahaya daripada keadilan di tangan para hakim dan kuas-kuas untuk melukiskan di tangan pelukis! Bayangkan saja bahayanya bagi masyarakat.” Ungkapan Picasso itu tidak lebih sama dengan kata-kata dalam pidatonya Gao Xingjian yang terpetik. Dan saat membacanya terlintas wajah sang dikator Adolf Hitler (1889 – 1945) salah satunya, seniman lukis kapiran!

Jiwa seniman demikian purna penggagas buku “Mein Kampf” ialah jiwa tangguh melebihi karang. Pemampu mengolah kesedihan menjelma keriangan dan kemalangan ditatanya rapi. Terhinakan bagi tempaan hidup, atau semua dihadapi sealat tukar demi meningkatkan drajat mentalitas pencarian yang menambah jumlah pendapatan nilai-nilai yang dibangunnya. Tidak lebih mensyukuri derita melipat gandakan kesaksian, semacam cahaya yang melesat kemudian.

Setiap atom penderitaan memancari sinar terang bagi yang tidak ngelokro berjiwa loyo. Kesungguhan hidup, patriotisme kesemangatannya merebut kemungkinan mendatang, panji-panji kejayaan dari pemikiran dan pilihan matang sebelumnya, itu tapak langkah mengharuskan mewaspadai sambil menekan resiko sekecil-kecilnya. Sekalilagi sudah terlampau hafal kepahitan hidup, tekanan berat yang telah biasa dipanggulnya.

Jiwa seniman besar tidak cengeng mudah termakan waktu terhisap jaman, ia melayang terbang di puncak cakrawala penalaran, sekali tempo menyabet ikan-ikan bernasib sialan dari kedalaman lautan. Ia meletakkan dasar-dasar pemikirannya, tidak melupa memberi oksigen secukupnya, atau bebidang pengetahuan terus memompa gagasannya, meski musim kemarau tidak sampai sekarat! Bagaimana tidak ambruk, jika pertimbangan didasari iseng asal-asalan, coba-coba? Maka amburadul itu pantas bayarannya!

Demikian juga komposer ulung Wagner menurut Schopenhauer: “Tristan dan Isolde bukan hanya satu sintese dari Wagner tentang teori seni, ia lebih banyak menggambarkan sebagian dari drama Wagner yang hidup tragis dan bingung. Apakah yang direncanakan oleh otak si seniman diwujudkan dengan secara menakjubkan oleh hatinya.”
***

Wagner mengunyah buah maja kehidupan, lantas dicerna dalam ketenangan mempuni sehingga menghadirkan perbandingan pun penelusuran halus, antara pengembaraannya di pinggiran sungai hayati yang mencerminkan hasil-hasil karyanya. Kebeningan perangai nalarnya, keindahan hati mengelus soal, perkiraan tiang pancang harapan, yang menujah perut bumi laksana akar menyedot saripati. Dan sekelebat bendera kesegaran daun-daun adanya angin, sereaksi tegaknya hukum kausalitas yang memayungi jiwa-jiwa sentausa.

Di sela-sela menggarap karyanya ‘Nibelungen’ yang besar itu, atau Wagner amat terpaksa merampungkan ‘Tristan’ terlebih dulu. Yang menurut Ackere dalam suasana kebingunan, ia ‘melarikan diri’ ke Venesia demi melupakan Mathilde. “Sebagai manusia ia coba melupakannya, sebagai seniman ia tak bisa matikan perasaannya. Begitulah ia sambil bercucuran air mata dan dalam kesepian yang mencekik menulis “Tristan” yang baginya menjadi lambang dari kekecewaan hidup.”

Batin Wagner terlunta-lunda bersama raganya meninggalkan Mathilde. Kasih meminta jarak pandang tidak terlihat demi menerjemah getarannya; hal yang sudah meresap tidak mungkin terhapuskan, hanya tetumpukan peristiwa kadang terlupa sejenak. Saat kenangan ditingkatkan menjelma sebuah karya, seperti bayangan makna yang tengah dirasai, bergolak kian menguat menggetarkan pemahatnya, juga mereka yang menyaksikannya tertimpai beban hampir sama. Air mata berlinangan di sudut gelap kesepian, sambil menginsyafi perkara yang tidak mudah dielak. Jalan takdir telah tergurat dan atas lelangkah kesabaran menguatkan segala, tidak terkecuali setiap peraman wewarna melodi, menggayuhnya untuk terus bertabah.
***

Untuk opera Tristan, mengambil dengar komposisi atas komposer Wagner –Tristan und Isolde ‘Prelude’ sepengantar ringkasan menulis ulang kisahnya di atas J.Van Ackere; Tristan berkelahi hebat sampai membunuh Morold, tunangan Isolde. Tristan sendiri mendapat luka parah, dan sebab dendam, Isolde hendak membunuh Tristan dengan pedang Tristan. Kala mengangkat pedang dan sedang diayunkannya, matanya bertemu mata terdalam Tristan, hatinya terpaut jerat yang sama. Mereka berdua telah menjadi junjungan nasib untuk berjumpa. “Ia memandang mataku, Aku kasihan akan keadaannya dan mengobati lukanya.” kata Isolde. Tapi keduanya punya kewajiban yang menghalangi percintaan. Tristan mendapati perintah membawa Isolde berperahu kepada raja Marke, yang hendak menjadikan permaisuri, mengangkatnya sebagai bakal Ratu Cornwall.

Isolde jadi dengki oleh acuh tak acuh Tristan, memerintah pengiringnya Brangaene supaya menyuruh Tristan datang dan memujanya sebagai bakal ratunya. Tristan bawaan raja Marke, dengan sendirinya menjadi bawaan Isolde. Tristan membungkuk di hadapannya, lalu berkata, “Hamba bersedia menjalankan segala perintah Paduka.” “Adakah hutang jiwa antara kita?,” diterangkan Isolde. “Ini pedangku, bunuhlah aku sekarang juga!” jawab Tristan dengan pahitnya. Setiap perkataan mereka merasai saling mencintai. Tetapi mereka mempunyai kewajiban, ia bawaan dan Isolde permaisuri raja Marke. Hanya kematianlah yang bisa menghentikan keadaan menyempitkan dada ini.

Isolde menyerahkan kepadanya beker dengan racun yang disuruh disediakan Brangaene. Keduanya tahu, bahwa setiap saat mereka bisa mati, tetapi mereka ingin menghentikan hidup tiada gunanya. Betapa kuatnya, betapa beraninya Isolde kala menyerahkan beker sial itu kepada Tristan. Suaranya berapi-api menuduh Tristan berhianat, karena hendak menghabiskan isi beker, dan membiarkannya ia hidup sendiri. Betapa manis penandaan ini penuh tanggung jawab yang terkurung, tapi sudah menentukan cintanya. Namun Brangaene silap. Daripada menyuguhkan beker racun, ia memberi beker cinta untuk raja Marke. Mereka tidak berdosa lagi, dan sudah demikian.
***

Kita berada di suatu tempat terbuka di rimba, memasuki wilayah kekuasaan raja Marke. Malam menjalin bajunya yang biru pada dedaunan, dan menara-menara dari istana raja. Isolde menunggu penuh ketakutan di depan pintu dengan obor di tangannya menyala, ketika raja Marke berangkat bersama pengiringnya untuk pergi berburu di malam hari. Kalau lampu-lampu telah dipadamkan, ini menjadi tanda untuk Tristan. Cinta asmara Isolde semakin meluap… Hatinya berdebar-debar kalau ia melihat di sela-sela pohonan suatu bayangan. Itu dia! Dengan penuh hasrat mereka berpeluk-pelukan. Ketakutan dan ketidaksabaran hawa nafsu, semua diucapkan oleh orkes dan sungguh menyatakan pergolakan batin. Suara-suara terjalin lembut mendebarkan, teks kata-kata melebur, satu perkataan saja dinyatakan membumbung nafsu tidak kenal batas.

Tristan!
Isolde!
Di sini kita merasakan detik detakan jantung Tristan,
lalu keluhan Isolde…
Apakah ini mata kakanda?
Apa ini mulutmu?
Ini tanganmu?
Ini Hatimu?

Kedua suara itu saling bersengkarut memotong perkataan, kemudian bersatu. Melodi terus mengalung tanpa bentuk tak berakhir, menandai Wagner lambang hasrat romantik yang tiada batas, Tristan dan Isolde menjanjikan kebahagiaan, harapan mereka supaya hari bertambah siang, dan bukan kematian menyusul malam ini.

Tristan kembali sebagai buangan ke kastil nenek moyangnya. Di atas bebatuan karang berlumutan, dalam kesepian di tepi lautan yang tenang, berdirilah benteng akan runtuh itu. Di sela-sela batu tumbuh rerumputan subur. Di dinding-dinding yang pecah, Tristan sedang sakit melihat ke gulungan ombak, di sampingnya berdiri pengiringnya yang setia, Kurnewal. Seorang pengembala akan memberitahu datangnya Isolde di perahunya dengan lagu girang. Tapi semakin menitik lagu sial itu ke dalam hati Tristan mengerang, menipis harapannya serta bertambah keinginannya.

“Das Schiff! Siehst du es noch nicht?” keluhnya. Tiada layar satu pun yang datang memecahkan kebosanan air, yang hijau biru serupa keragu-raguan menyiksa. Hasratnya kian kuat seperti laut mengalun di depan matanya. Akhirnya, muncul kedua perahu berbendera putih di tiangnya, tanda Isolde di perahu. Turun ke darat dan buru-buru naik ke atas batu karang. Ia menerima Tristan dalam pelukannya sedang mati. Kini menyanyikan “Mild und leise” yang terkenal itu. Pada ciumannya terakhir, Tristan memberikan juga nafasnya yang penghabisan. Isolde mematikan kematian cintanya menuju mayat Tristan.

Raja Marke datang mengampuni dan mendekati mayat keduanya. Ia tahu, pasangan itu hanya didorong minuman sialan, dan bukan oleh kemauan mereka sendiri. Tristan dan Isolde ialah musik abadi, yang terus berlaku sebagai ayunan ombak tiada habisnya, dimana pandangan Tristan sia-sia mencari pembebasannya. Sebagaimana ibundanya Malin Kundang, atau suara burung penyesal yang setiap pagi dan petang menjerit-jerit lemas menyebut induknya, sambil menyusuri pinggiran sendang.
***

IV
Pada esai ‘Religiositas dalam Sastra Kristen Barat,’ dalam buku “Sastra dan Religiositas,” Penerbit Kanisius 1988, Y.B. Mangunwijaya berkata: “Isolde, dan sekian banyak peran-peran putri-putri istana balada-balada kala itu adalah jenis wanita fatal, dambaan murni, maut murni. Tepatnya, dambaan fana belaka, maut siklus alam raya belaka, lahan dasar manusia biologis, sadar rimba belantara negeri-negeri Utara.”

Opera “Tristan dan Isolde” yang didengar Nietzsche dari kawannya; Gustav Krug, saya sedari Ackere, mungkin dianggapnya kuno, selawas “Romeo- Juliet” William Shakespeare; setidaknya di masa-masa berikutnya, ia berhadapan langsung dengan Wagner.

“Siapakah yang benar-benar meragukan bahwa aku, prajurit artileri tua aku ini, memiliki kemampuan untuk mengangkat senjataku yang berat melawan Wagner? — Untuk diriku sendiri kusimpan segala hal yang menentukan dalam hal ini — aku dahulu mencintai Wagner. — Pada puncaknya ini adalah sebuah serangan terhadap sesuatu yang ‘tak dikenal’ yang subtil yang tidak dapat dengan mudah dideteksi oleh orang lain, dalam arti dan arah tugasku…” (‘Kasus Wagner, Persoalan Seorang Musikus,’ terjemahan Omi Intan Naomi, “Ecce Homo Lihatlah Dia Friedrich Nietzsche,” terbitan Pustaka Pelajar, Cetakan III 2004). Lantas marilah dengar salah satu karya komposer favoritnya, R. Schumann “Manfred (Kakak Faust).”

Kalau tidak keliru, saking sialnya tokoh ‘Manfred,’ tidak ada pada karya terbesarnya Goethe yang bertitel “Faust.” Dalam diri Manfred, Schumann menemukan dirinya sendiri. Pada tokoh Faust masih ada cahaya pertolongan, sedangkan pada Manfred tiada jalan keluar. Kakak Faust itu selalu diganggu kegelisahannya, dikejar-kejar pikirannya sendiri. Ia punya kastil di Jungfrau atas pegunungan Alpen, jauh dari orang-orang, hidup dalam kesunyian hati kecewa dan tersiksa. Pagi-pagi melepaskan pandangannya melalui batu-batu karang, mata mengutuki menyingsingnya fajar, kalau ia bisa meremukkan perasaan -penjelasannya ke bebatuan karang ini. Bumi pun laut, angin pula pegunungan, sedang kemauannya yang dahsyat tidak bisa memenuhi keinginannya; melupakan segala-galanya. Itu hanya bisa diberikan maut kepadanya, dengan maut untuk jiwa, dan kejahatannya yang tidak terkikiskan.
***

Di tempat lain J. Van Ackere menuturkan singkat hal komponis Johannes Brahms (1833-1897), yang tidak mengabdikan seorang kekasih. Dalam seluruh hidup mencintai istri kawannya yang akrab, cinta yang tragis dan sia-sia. Brahms bekerja sama dengan penampil utama di masanya, termasuk pianis Clara Schumann (istri komponis R. Schumann). Gambaran simbolis hidup Schumann ialah tragis, dua jurang dimana hanya terdapat tumbuh beberapa bunga bahagia yang halus. Jurang awal pergulatannya memiliki perempuan yang dicintai, pergolakan lama serta sulit yang hanya bisa dimenangkan di depan hakim. Jurang lain lebih kelam, setelah perkawinannya yang berbahagia datang lantas menghancurkan keelokan hayatnya, musik datang pun tidak dapat menghibur, penyakit gila, mundurnya otak yang gemilang, puncaknya pada tanggal 27 Februari 1854, ia meninggalkan rumah, pergi ke sungai Rhein lalu menerjunkan diri di tengah arus, untung dapat ditolong pelaut-pelaut yang kebetulan lewat, namun otaknya sejak itu semakin terganggu.

Schumann sebelum menjadi musikus mulanya penyair, menulis dua buah roman, naskah-naskah drama dan syair, ia memuja penyair Inggris Lord Byron, saya jumput saja petikan sajaknya yang bertitel “Darkness” pada tulisan Goenawan Mohamad di majalah.tempointeraktif.com 06 Oktober 2008, “In the Wee Small Hours.” Judul tersebut sama persis label album studio kesembilan American, vokalis Frank Sinatra, filmnya dirilis bulan April 1955 di Capitol Records, yang diproduksi Voyle Gilmore atas pengaturan Riddle Nelson. Goenawan mengambil dari nyanyian Sting, “In the wee small hours of the morning.” Di sini saya hanya mengenai sajak Byron atas terjemahannya:

…dan bintang-bintang
menggelandang di ruang kekal
tanpa sinar, tanpa jalur,
dan Bumi yang dingin
bergoyang, buta…

Dalam kesendirian panjang Robert Alexander Schumann (1810 – 1856) berkata-kata: “Kalau aku Senyum itu sendiri gerangan, aku mau menggelepar di sekeliling matanya; kalau aku Kegembiraan aku diam-diam akan mengalir dalam nadi-nadinya.” Schumann seperti Manfred, lebih jauh adalah Nietzsche, dan Lord Byron mula segalanya. Kata Nietzsche “… To die proudly when it is no longer possible to live proudly.” (The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro).
***

…dan bintang-bintang
menggelandang di ruang kekal

Manusia-manusia yang bernyali besar, kelebihan gairah, yang sudah terbiasa merasai kepahitan hidup, rasa ampang atas segenap persoalan mendera, mencintai waktu-waktu kesunyiannya, menyingsingkan semangat tinggi, paras wajahnya terus bertambah cahaya oleh kepercayaan diri. Keyakinan yang diimani, menggelandangkan seluruh kepemilikannya, mempertaruhkan dalam kepenuhan pencarian, hidup yang tidak hidup bagi mereka, tetapi baginya sebagai luapan abadi kekekalan masa, atas restu Sang Pemilik Masa.

Demikian waktu menghadiahkan insan yang selalu bergumul mengikuti irama, memberi tempat tidak disangka-sangka, dan begitulah nyanyian semesta; bintang-gemintang menembus lapisan cahaya, menerobos masa lampau pun yang datang. Salah satu cara bertahan pada lawatan tersebut mengatur nafas, disimpannya dalam lambung perencanaan, lambat laun mendapati cara lain. Awalnya menahan nafas lalu bernafas dalam kedirian terdalam, permenungan, penghayatan dari waktu sebelum dan mendatangnya. Mempelajari kepadatan angin bebisikan bayu, kemudian berseluruh daya terbang menuju ruang hampa, letak segenap kerja ditaruh pada lapisan langit kekekalan terbuka lembarannya atas magnit yang sama, ketika bumi berputar pada porosnya.

tanpa sinar, tanpa jalur,

Meski sudah memamah wawasan berkesadaran gemilang, bebentuk kelebihan gairah selalu terbentur rahasia kehidupan, lontang-lantung seakan tiada tujuan, lantaran jalur yang ditempuh tiada lain kepasrahan. Ketundukan pada hukum besar alam, seolah buta arah menggembarakan naluri, hatinya merambahi alam-lama yang disaksikan dalam keimanan. Namun begitu mereka memandang matang lelangkahnya, ini tidak lebih sudah tergariskan, yang harus mengembarai ruang-ruang kekal;

Wewaktu tidak dapat ditembus kecuali lewat kesuntukan mempelajari hidup atas benturan tekat, dan sebab kasih sayang-Nya pada bebintang itu, dipertemukannya orang-orang yang mengemban nasib ganjil, lalu sama menerobos kegelapan. Perpisahan mencipta jarak rindu, dan dengannya menanjaki kedewasaan menawan, keampuhan bersegenap kemauan abadi, kecintaan terhadap kekekalan. Tanpa sinar sebelumnya, tanpa jalur yang sudah-sudah, karena dirinya perintis salah satu jalur kelanggengan, pengungkap jaman kejahiliyaan.

dan Bumi yang dingin
bergoyang, buta…

Siapa yang peduli di masa hidupnya? Gairah Lord Byron? Kesialan Manfred? Kegilaan Nietzsche? Bumi lebih dingin dari ribuan tepuk tangan panjang dengan telinga tuli; lama-lama ruangan bergoyang hebat, kian waktu bertambah frekwensinya dan meletus. Pada materi ini saya ambil misal letusan gunung berapi dalam menafsirkannya;

Ada meloloskan lava cair secara merata, muntah tumpah ke mana-mana, ada letusan interval serta terus bersambung-sinambung, ada lavanya mengental sampai menyumbat mulut kawah, lantaran tersumbat tekanan sedari dalam kian meningkat memecahkan sumbatan lava, sehingga keluarlah lahar dingin yang mengalir disertai awan panas, ada darinya keluar material padat pun cair berkekuatan erupsi besar yang tinggi sedari perut magma dalam gunung, ada yang wataknya hampir sama penyumbatan kawah sebab lava padat kental, menjadi letusan kecil beruntun, lalu keluar lava berpijar laksana air mancur karena sumbatan, ada letusanya dahsyat sampai puncak gunung hancur dan kawah menjadi rendah, ada kawah memiliki danau lantas meletus berakibat danau kawah berubah menjadi lahar panas ikut meluber, menyerang daerah-daerah sekitar serta lebih.
***

V
Serasa cukup menghirup udara segar di luar, setelah membedah bukunya Aguk Irawan Mn “Penakluk Badai, Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari” di Pon-Pes Sunan Drajat, lalu mengisi seminar di STITAF Siman, Lamongan, kemudian mengikuti seminar Internasional “Budaya Asia Tenggara” di UNESA, lantas mengikuti bedah karya yang berjudul“Baju Bertuah Nabi Yusuf” karangan M. Fathoni Mahsun, dan ikut serta bedah kumpulan puisi “Balada Lelaki Tua di Pamatang Sawah” Karya A. Rego Ilalang di Jombang. Yang membikin cemburu berat mendapatkan buku kritikus sastra dari Maman S. Mahayana yang bertitel “Pengarang Tidak Mati” disaat menginap di hotel Singgasana kota Pahlawan Surabaya, setidaknya saya terbakar oleh semangatnya, tatkala balik memijakkan kaki di Bumi Reog, tempatnya pujangga R. Ng. Ronggowarsito dulunya nyantri di Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, kepada Kyai Ageng Hasan Besari.
***

Saya lanjutkan catatan ini demi menggenapi langkah ke muka, terpetik saja ungkapan Simuh di bukunya “Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita” terbitan UI-Press, 1988, hlm 47: “Melalui hasil-hasil karya seni dan sastra, istana merupakan barometer peradaban dan kebudayaan Jawa. Walaupun wibawa istana melalui hubungan kekuasaan kenegaraan telah hilang, namun istana berhasil memperbesar wibawanya melalui hubungan kebudayaan dan kesenian.”

Dan saya mencium gelagat sejarawan Hegel, “Bila satu jiwa yang agung membuat dirinya menjadi terkemuka -bagaikan sebuah gelombang besar dalam lautan yang bergelombang.” (G.W.F. Hegel, Bab II Agama Islam, dalam bukunya The Philosophy of History).

Walau dalam Seksi I, ‘Unsur-unsur Dunia Jerman Kristen’ pada bab saya kutip di atas, Hegel menghentikan kalimatnya lewat ungkapan, “Islam telah lama hilang dari tahap sejarah pada umumnya, dan telah mengalami kemunduran di dalam ketenangan dan ketentraman Timur.” Namun… “…bintang-bintang / menggelandang di ruang kekal / tanpa sinar, tanpa jalur, / dan Bumi yang dingin / bergoyang, buta…” (Lord Byron).
***

Ronggowarsito menggelandang ke tengah-tengah malam pergolakan jaman ke hutan Ponorogo. Nama ‘Ponorogo’ berasal dari kata ‘Pono’ dan ‘Rogo;’ “Pono” dalam bahasa Jawa berarti ‘melihat, tahu, mengerti, wasis, mumpuni,’ atau ‘dinaya perasaan yang mengandung indera keenam di dalam mengetahui peristiwa yang kan terjadi.’ Dan “Rogo” bermakna raga, diri atau orang. Menurut versi lain, “Pono” sedari serapan bahasa Arab yang berasal dari kata “Pono / Fana” artinya ‘hancur, hilang, lenyap, rusak, tidak terlihat.’ Sedangkan “Rogo” adalah tubuh / jasad manusia. Maka “Ponorogo” dapat dikatakan, insan yang memiliki kekuatan supranatural di dalam mengetahui peristiwa masa depan, rusak atau lenyapnya badan. Tepatnya, kepribadian manusia yang mempunyai kesadaran berfikir jauh, mengingat bahwa kehidupan ini ialah fana.

Santri Tegalsari tersebut bagaikan bintang kutukan dari keraton Surakarta, bergaul dengan para bandit, warok, bermain judi, sabung ayam sebangsanya, mengumbar senang sebelum menilik kandungan pekerti lama, sedurung wahyu kapujanggaan menempa dirinya. Seolah alam telah menyiapkan kedatangannya, sehingga di masa yang sudah direstui semesta raya, ianya mudah menyerap petuah-petuah para wali (baca karyanya yang bertitel Wirid Hidayat Jati), demikian pun budi pekerti sedari pelbagai kepercayaan yang tumbuh subur di tanah Jawa.

Setidaknya ini menjawab Hegel; “‘diam-diam’ di dalam ketenangan dan ketentraman Timur” yang dibius oleh politik adudomba atas penjajahan Belanda, ajaran Islam menyusup begitu indah, menyenggamai tanah yang dipijaknya, nafas-nafas rerumputan bersatu ke dalam peluk denyutan kasih mesra bumi Jawa.
***

Lalu merujuk pada kalimat Sutan Takdir Alisjahbana “…dalam tiap-tiap kebudayaan itu yang terpenting adalah jiwanya, sikap hidupnya, cara berpikirnya, dan nilai-nilai tujuannya. Adapun bahan-bahan dan alat-alat boleh saja berasal dari mana saja, apalagi dari kebudayaan tradisi itu sendiri.” (Menutup Polemik Kebudayaan, Tempo 21 Juni 1986). Maka buku ini jawaban atau membuka tutup polemik kebudayaan, sebagaimana STA menyebutkan dalam esainya yang sama:

“Sebenarnya kalau saya mengatakan kebudayaan tradisi itu harus diintegrasikan dalam kebudayaan baru, hal itu artinya kebudayaan tradisi itu mesti mengalami transformasi. Dalam hal yang demikian yang diambil dari kebudayaan yang lama itu adalah unsur-unsur lahirnya, bentuk dan caranya. Tapi semuanya harus berubah menjadi penjelmaan jiwa kebudayaan modern yang, seperti kita tahu, dikuasai oleh kemajuan ilmu, ekonomi, dan teknologi. Di sini kelihatan bahwa Sutardji kurang memahami pengertian kebudayaan sebagai suatu struktur.”

“Tiap-tiap kebudayaan itu mempunyai konfigurasi nilai-nilainya yang menentukan struktur dan arahnya sendiri, dan kebudayaan modern adalah kebudayaan yang berbeda sekali nilai-nilai dan strukturnya, bukan hanya dari kebudayaan Abad Pertengahan di Eropa, tetapi juga dari segala kebudayaan tradisi yang bersifat keagamaan. Kebudayaan modern yang bersifat sekuler itu mementingkan tanggung jawab manusia, hasil pemikiran dan pekerjaan manusia dalam usahanya menguasai alam.”
***

Lantas kita tengok pendapat Adolf Hitler, sebelum memanasi Perang Dunia ke II: “Keduanya berbahaya. Pembicaraan palsu terjadi karena ia tidak pernah bisa menembus pusat masalah, sementara sentimentalitas salah terjadi karena ia terlewati begitu saja.”

Saya ambil dari bukunya “Mein Kampf,” Edisi Lengkap, Volume I & II, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit Narasi, 2010. Kalimat Hitler itu tidak lebih menyerang bayangan musuh-musuhnya, sebab ianya sebelum memegang tampuk kepemimpinan Nazi atau dapat dibilang masih waras, bagi yang menganggap gerakan kesadarannya menumpasi nilai-nilai kemanusiaan, tetapi saat memakai cara licik dan ini diperbolehkan di dalam peperangan (pada peraturan peperangan di dalam Islam, tidak boleh membunuh anak, para orang tua serta kaum wanita yang tidak membahayakan, juga tidak ingkar terhadap perjanjian). Sayangnya Hitler kebablasan, dipakailah kalimat di atas untuk mengelabuhi atau berpropaganda, sedikit banyak memalsukan data gambar pun kata-kata, demi membikin sentimentalitas atau nasionalisme ‘buatannya’ yang tidak berakar sedari realitas perjuangannya.
***

Jika saya memakai kalimat Hitler di dalam membongkar teks SCB, tidakkah merupakan “Pembicaraan palsu terjadi karena ia tidak pernah bisa menembus pusat masalah?”  Membentuk “sentimentalitas salah terjadi karena ia terlewati begitu saja?” Kemudian para kritikus terpukau hingga silap mengikuti gayanya, kalau “Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantra.”

Atau “Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” atau “Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri.” “Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri.”
***

Jelas-jelaslah itu suara palsu, sentimentalitas salah kaprah! Sejauh pengembaraan saya menghadapi tetumpukan masalah serta peristiwa tidak main-main, sebagai jawaban soal-soal yang tidak mereka sentuh secara sungguh, pada kasus yang terang-terangan tidak berpijak dan tidak memiliki akar sesungguhnya! Atau saya teringat kata penutup Ayu Sutarto dalam seminar, “Prek!”

25 Juli 2012 / 6 Ramadhan 1433 H Lamongan-Ponorogo / 8 Maret 2017 (tahun baru usia penulis, ke 41).

Tinggalkan Balasan