Bagian 25: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan ke empat dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Taufiq Ismail: “Enak jadi penyair daripada yang lain.”

A Mustofa Bisri: “Enaknya gimana?”

Taufiq Ismail: “Kalau orang baca syair sampean keliru, misalnya. Yang disalahkan ndak sampean, yang disalahkan dirinya sendiri.”

A Mustofa Bisri: “Wah saya ndak paham ini, terlalu tinggi.”

(Ceramah Gus Mus pada acara Haflah Seni dan Budaya dalam Peringatan Tahun Baru Islam 1428 H di Pekalongan).
***

Tengok Bagian 15 kejadian di Surakarta pada malam 4 November 2011, lalu baca petikan dialog Afrizal Malna bersama Heyder Affan (Wartawan BBC Indonesia), yang dimuat tanggal 24 September 2016 di bbc.com dengan judul; “Afrizal Malna, Politik Sastra dan Puisi Gelap.”

Jadi, inti alasan penolakan Anda (terhadap penghargaan Achmad Bakrie Award 2016) adalah Anda khawatir dari konstruksi media yang membuat Anda seolah-olah terkotak-kotak?

Ya, dan ini berkaitan erat dengan politik sastra di Indonesia. Politik sastra di Indonesia itu satu politik yang saya tidak tahu dikuasai oleh siapa, tapi kalau Anda melihat, misalnya, akhir-akhir ini bagaimana Majalah Tempo mengangkat lagi Chairil Anwar, ada lagi yang mengangkat lagi koleksi-koleksi Sukarno di galeri Nasional, ada lagi misalnya kita melihat lagi film-film di era Sukarno, sementara kelompok-kelompok agamawan, mengangkat lagi sastra sufi melalui Abdul Hadi dan Sutardji Calzoum Bachri. Semua itu untuk saya seakan-akan meniadakan perkembangan sastra sekarang ini. Jangankan generasi saya, generasi di bawah saya itu, mengalami kesulitan untuk terjadinya regenerasi sastra. Kalau misalnya sastra dijadikan semacam tombak, atau tonggak, atau bandul, untuk kita selalu diajak lagi kembali ke masa lalu. Seakan-akan kita tidak pernah punya wilayah yang kita bangun sendiri untuk di depannya.
***

20 Juli 2017 Marhalim Zaini menulis di status facebooknya “Di zaman ini, menjadi sastrawan itu, gampang kok….” Jika membaca kata-kata Afrizal, rasanya sangat sulit berbanding terbalik dengan perkataan Marhalim. Mungkin ungkapan itu disengajakan sindiran bagi para penulis karya sastra, yang betapa mudahnya kini naik daun, melesat tidak perlu waktu lama sudah kerap diundang dalam acara sastra sekaliber nasional, misalnya. Sementara karya-karyanya belum mapan kokoh, durung cukup teruji oleh pergolakan jaman.

Kehadiran manusia setengah matang itu berakibat gampangnya ditarik-tarik ke wilayah politik sastra. Ada yang menyebut mereka penggembira, sebab sebentar akan hilang ditelan para pendatang baru yang juga setengah matang (karbitan); ini dimanfaatkan seniornya menancapkan pengaruh serta pandangannya yang terlanjur mengikuti pendahulunya yang belum berhasil membangun sastra Indonesia secara terhormat ke mimbar dunia. Maka tidak heran orang-orang mentah jadi terkotak-kotak, sekaligus disibukkan ritual mengangkat patung tinggi-tinggi yang disangka pelopornya telah berhasil membangun tonggak sastra. Demikian kritikusnya betapa gampang terkurung ruang sempit yang barangkali didorong kepentingan pribadi (sesaat), atas hasratnya ingin lekas mengumpulkan laporan kejadian sampai perihal pokok terdekat sejarah yang ditelitinya lepas terlupa.

Saya kira Afrizal tahu politik sastra di Indonesia dikuasa siapa saja, dan kini kubu-kubu sastra kian membeludak tidak terhitung jumlahnya. Afrizal lanjut berujar: “Sekarang sastra Indonesia menarik ya. Saat ini muncul banyak kelompok yang menciptakan versi-versi. Ada versi hadiah Khatulistiwa Award, ada versi Hari Puisi Indonesia, ada yang kemarin agak ramai 33 sastrawan terkenal itu ya. Saya suka cukup banyak versi-versi ini ya, tapi yang menyedihkan adalah tidak pernah terjadi dialog antara versi-versi ini. Kalau misalnya terjadi dialog, versi-versi ini akan memproduksi pengetahuan. Kenapa mereka membuat versi ini, kenapa membuat versi itu. Karena tidak ada dialong, maka yang terjadi kontraproduktif.” Dan hal ini menjadikan kurang obyektifnya suatu penelitian, sebab hanya di gerbong masing-masing; terlanjur condong (mempertebal) keyakinan mereka sendiri-sendiri. Yang mempersulit untuk duduk bersama, lebih fatal kondisi tersebut melemahkan pertumbuhan sastra ke arah kematangan.

Sketsa tersebut barangkali lantaran kuatnya kaca cermin politik di tubuh pemerintahan yang terkotak-kotak partai, atau hal itu penjelmaan dari beberapa media massa yang mengusung sebagai corongnya kubu-kubu mereka, oleh berjubelnya kepentingan antar golongan karena nafsu para pentolannya yang sangat mudah membantai maupun rujuk atas dorongan perut ke bawah. Dan langkahnya semakin tidak rasional; meninggalkan rakyat ketika uang di saku membengkak, lalu berbalik menebarkan ranjau janji-janji saat isi kantongnya menipis.

Saya serasa bersama Janual Aidi di puncak Gunung Tambora, Rinjani pun lainnya sambil melontarkan kalimat; “Tidak mungkin alam ini tercipta sendiri, dan tidak mungkin bisa rusak sendiri.” Saya melihat kekacauan di atas akan menguntungkan pribadi suntuk belajar, tekun membaca jeli mengamati, cermat memilih dalam kebeningan pikir, yang tidak mudah terombang-ambil terperangkap situasi jaman edan. Namun betapa banyak orang setengah matang jadi tumbal, penggembira jadi sampiran, yang cepat puas menjadi korban; mungkin itu keinginan jaman demi memunculkan bibit mempuni, tidak goyah iming-iming, tidak gampang terpesona gula-gula, tidak lekas terpukau batiniahnya. Ini terbaca tidak dalam sesaat masa, namun bertahun-tahun pandangan terbuyarkan menemui kejelasan, ketika duduk jenak mengkaji keilmuan dengan sebenar-benar obyektif dari bebahan yang seimbang tentunya.
***

Baca paragraf 5-6 esainya Dr. Ignas Kleden, lalu ingat kritik saya dalam buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.” Hassan Hanafi berpetuah; “Bagaimana mungkin seorang yang bercuci tangan bertanggung jawab atas keramaian hidup ini? Bagaimana mungkin seorang yang membebaskan diri bertanggung jawab tentang dosa-dosa jaman modern dan tentang fenomena kemiskinan serta penderitaan?” Sementara para kritikus yang terkotak-kotak lekas cuci kaki, menganggap tugas mulianya sudah usai. Ini otomatis menindas generasi selanjutnya, seperti kata Afrizal.

Arah politik sastra yang carut marut hanya bisa membebaskan kreatifitas kelompok masih-masing, yang dikiranya telah memberikan makna pada kehidupan berbahasa dan berbangsa. Seandainya sikap Sutardji seperti wawancara Afrizal yang tidak terperangkap kelompok tertentu di kancah politik sastra, tentunya terbebas dari belenggu. Nyatanya malah memperkuat kelompok hingga jurang perpecahan kian melebar, menambah sulitlah menciptakan jembatan kesadaran bersama. Beban ini terus menumpuk, jika kritikus sastra tidak memiliki sikap bijaksana yang berakibat pembacanya tidak segan kepadanya, dan berimbas dianggap (seolah-olah) tidak ada kritikus sastra di Indonesia.
***

II
Alangkah indah saya kembali kepada Ibn Khaldun; “Pikiran bekerja dengan kekuatan yang ada di tengah-tengah otak yang memberi kesanggupan menangkap bayangan berbagai benda yang bisa diterima oleh panca-indera, dan kemudian mengembalikan benda-benda itu ke dalam ingatannya sambil mengembangkannya lagi dengan bayangan-bayangan lain dari bayangan benda-benda itu.”

Kita ingat di bebagian lalu mengenai perangai akal atas paham al Kindi sampai pengulitannya Majid Fakhry. Dan sebelum ke pendekatan Ibnu Khaldun soal berfikir, saya tuangkan buah pengantar bagi kesempatan merambahi kata-kata di tanah kelahiran. Sebab bebulan lalu belum sempat mengguratkan tinta di bencah Lamongan, maka anggap ini perayaan kecil serupa kangen keharuman kembang sedap malam, meski belum genap memalam.

Tahun 2004 saya menulis di buku Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga; “Makna jodoh ialah lebih ajaib dari mimpi.” Dan segerak perjalanan diri, rasanya batasan keajaiban telah terkuak. Saya memperoleh penyadaran mengimbangi kasmaran, dengan memandang puncak realitas. Keterjagaan memberi bulir pekerti mematangkan pendewasaan, bahwa semua di timbangan akal. Kadang tampak tidak mungkin lantaran belum menyibak kabut perasaan lama, atau jari-jemari nalar belum menyentuh tekstur hakiki.

Memang tidak dapat dipungkiri takdir misteri Ilahi, seperti air tenang sulit ditebak betapa halus seakan tidak sanggup meraup logika darinya. Pun seturut perjalanan masing-masing diri, tapi bolehlah edarkan kembara, misal menjelajahi sejarah mendapati pepundi bernilai senapas merawat kesadaran yang selalu terjaga, dan keajaiban menjadi biasa; sehembusan olahan napas-napas pekerti menuju pengertian hayati.

Lalu teringat semasa bocah, ketenteraman alam berbalut keriangan belia, menuntun kaki-kaki menghampiri kehalusan percaya, semua rahayu meski ada buah pahit maja. Kefitrian rasanya oleh ikhtiar mengimbagi gejolak jiwa, memuara ketentuan atas kehendak-Nya. Jika melihat laju catatan ini, tidak tersangka meski ada bayang sebelumnya, pilar rencana berkembang seolah sebutir jagung yang dilempar filsuf Thales ke lautan, kemudian berenang mengikuti ombak gelombang hidup berkejaran sebagai hukum penyebaran.

Bencah tanah kelahiran serta hawa udaranya berbeda dengan tlatah Ponorogo. Lamongan daerah Pantai Utara Jawa, berhawa agak panas dan letak saya tempati di dataran rawa-rawa, maka tidak banyak angin yang menyapa. Lain dengan wilayah Betoro Katong, desir bayu rahayu berhembus kencang bertumpuk menebalkan ingatan masa silam, menguatkan kesenian tradisi terus melestari, hingga para generasinya masih menghormati pilihan hidup berkesenian, dibanding di tempat saya berdiri.
***

Untuk mengimbagi pertemuan, saya masukkan yang tertulis di Bumi Reog mengenai filosofi Kali Tempuran, ataukah saya sedang menyatukan unsur kerinduan demi terbangun jalanan kebersamaan. Rasanya diatur oleh kehendak alam, naik-turun dihebuskan ketetapan-Nya, ini penjelajahan menuju perjumpaan yang mengekalkan persemaian.

Nenek moyang orang Jawa memiliki keyakinan, “Barang siapa yang bertapa di letak bertemunya dua arus sungai, akan mendapati kesaktian.” Mata air yang tumbuh dari pegunungan bersimpan magma pergolakan, memunculkan sumber air mengaliri kaki gunung pebukitan, curah hujan disimpan tanah diserap akar ke jantung pohon, tumbuhlah batang cecabang-reranting, mengisi lebat dedaunan. Ketika hujan deras mengguyur hutan segar terjadi letupan, dan mata air itu jalan panjang pernafasan di tubuh pegunungan.

Dari gunung muncul beberapa mata air mengalir, bersebut anak-anak sungai ke lekukan bebatuan kaki bukit, lembah, tanah perkampungan. Sungai-sungai dari mata air pegunungan sama pun lain berjumpa menambah daya, pertemuan arus memperbesar penyatuan mesra. Peleburan penuh lika-liku perjalanan berpisah sedari stupa gunung atau pegunungan berbeda betapa lain pengejawantahannya dalam kodrati penurunan, ini percumbuan asyik bersimpan mara bahaya.

Perjumpaan dua arus berbenturan mengisi aliran lanjut dan letak wingit di pusaran awal. Di tempat itu orang dahulu bertapa menyelami perbedaan-persamaan arus-arus sungai yang menimbulkan pemikiran cemerlang. Ibarat sastra bandingan mengkaji antar teks dari sumber berbeda demi memperoleh putusan imbang. Wingit bisa dimaknai kekosongan sekaligus kepenungan. Yang kosong kembali mengantarkan arus menggelinjak terhalangi bebatuan, dan kepenuhan sebab hukum melengkapi sudah tercanangkan.

Anak-anak sungai seperti murid dan guru, meski kedudukannya berlainan sejatinya sama anak-anak dari ibunda kehidupan, yang mereguk nikmat pencarian keilmuan. Pada belahan lain pertumbuhan di dataran Timur-Barat; yang mampu menyatukan irama memperoleh pengertian kala mengurai sejarah peradaban, dan karya orang-orang besar itu bukti kesanggupan; mereka dalam kekaryaannya selaksa bersila antara beberapa arus sungai yang bertemu dalam pergolakan hidupnya, yang mewarnai ke punjer penciptaan.

Anak-anak sungai hayat antar gagasan dalam persinggungan sama berhasrat meleburkan kandungan yang dimiliki, kadang seimbang pula njomplang tergantung berapa dinaya arus mengalir dari sejarah panjang yang diarungi. Letak Kali (Sungai) Tempuran itu benturan terjadi di bangku sekolah, kursi pendiskusian, penyelidikan satu bidang serta persamaan, atas beberapa permasalahan di meja penelitian. Dan menanti timbangan peradilan demi memperoleh kondrat semestinya disandang pada bidang tertempa, sesuai takaran takdirnya.

Alamat perbedaan anak-anak sungai di antaranya, paham memegang hitungan nalar, berpangku di bawah kesadaran, serta sumber pengetahuan spiritual. Saya jadi teringat Kali Tempuran di daerah Magelan, kala musim penghujan arusnya berlipat-lipat penambahan, penjumlahan bermakna perkalian. Semacam fokus ke satu bidang dari beberapa energi pemikiran-perasaan, atas lawatannya ke langit pengembaraan. Ketika burung elang sudah kuasai ribuan gelombang angin tekanan suhu udara seperti penjelajahan anak sungai. Saat hinggap di gugusan batu atau ranting pohon, ia tampak tenang bak penguasa yang sudah mengetahui alur hukum perubahan.

Sumber mata air mengarus menjelma anak-anak sungai ialah kerinduan Adam-Hawa, kangennya sebab lama terpisah yang dulu bersatu di pegunungan firdaus. Tuhan menurunkan ke bumi tidak pada dataran sama saling mencari, atau rasa kehilangan laksana mimpi buruk ditinggal kekasih. Di siang kesadaran, anak sungai merintih ke reranting pohon menjulur ke permukaan air, kadang berputar mencipta lesung manis menghanyutkan. Di malam kayungyung berat memadati tubuh aliran terbius masa kelam. Lantas betapa gembira dua insan memandang bertemu kecupan, gairahnya bertubi-tubi sebesar Kali Tempuran menyenggamai tuntutan alam dari sepasang kekasih menjadi aturan pertumbuhan-penyebaran.

Iramanya membicarakan pengalaman saat-saat berpisah sebelum menyatukan paham dari pengelanaan masing-masing, sebagai timbangan demi aturan kelak bagi anak turunnya. Persamaan, ketika air Kali menggumuli perbedaan sebagai penyatuan pandang berlalunya arus pelan mengalir ke ladang tandus membasahi pesawahan gersang untuk kehidupan insan.

Budi pekerti hukum kekekalan, kaidah terbit dari nasib aliran, yang dilakoni anak-anak sungai menggelinjak membentur ke dinding bebatuan. Merasakan uap menyapa ikan-ikan berenangan, menyembuhkan haus dahaga kembara yang berkaca. Semua direkam kuat, dijumputi satu-satu seperti kidung merdu tidak saja dikenang pula dihayati bagi penopang Kali Tempuran. Itulah mimpi (harapan) kemanusiaan; kelanggengan, nyanyian abadi, syair yang tidak lekang mengikuti perubahan jaman atas pasang-surutnya kesadaran mempelajari kehidupan.
***

Saya dipertemukan sesosok manusia yang secara balutan fisik ‘gila,’ seperti di Lamongan (wajahnya, ada kemiripan). Pagi di Ponorogo saya berpapasan di jalan yang biasa terlewati; auranya tidak lagi ganjil, tapi lumrah meski masih bersimpan kewibawaan sama. Jangan-jangan saya sudah masuk kegilaannya, sampai tidak asing terhadapnya? Pertemuan itu tetap asing, merambahi kewajaran tidak saling kenal? Masih ada getar memandangnya, namun tetap sebagai manusia asing seperjumpaan anak-anak sungai? Atau belum tahu persis, ini asing sekaligus kenal sebab mendialogkan jiwa? Ini tidak kenal jadi wajar berasa asing, tetapi di batas masuk akal karena sekadar berpapasan.

Dan sebelum perjalanan Lamongan ke Ponorogo, ada hal aneh. Orang itu biasanya dari barat ke timur atau sebaliknya, namun pagi itu dua kali menjumpai di tempat berbeda. Pertama biasa, kedua berpapasan di jalan lain, tepatnya dari arah utara menuju Selatan. Ini tidak pernah saya lihat, tapi masih merasakan jarak kedekatan, ataukah hanya saya yang merasakannya? Meski ia jalan ke selatan dan saya dari utara di belakangnya, sejauh pandangan ia balik menghadap utara melihat saya seolah menanti. Saya tidak asing, dan sepertinya mulai kini terasa biasa, meski pada perihal tidak wajar. Atau mungkin persoalan yang menimpa diri saya lebih asing, sehingga ke puncak kewajaran tertentu yang masih asing bagi mereka.
***

III
Sudah lewati seratus kali lebih bolak-balik Jogjakarta-Ponorogo pun sebaliknya. Dan saya tidak bosan membaca alamnya, meski jalannya ini-itu tidak banyak berubah, tapi seolah menyimak lembaran baru senantiasa. Peristiwanya sekuat membaca buku serius, karena sekali kantuk bisa berakibat fatal, misal membaca sambil lalu akan mendapat pengertian menyimpang, atau terjadi penafsiran mengsle mudah njomplang, maka nikmatilah perjalanan yang menyegarkan badan-jiwa, dengan persiapan yang baik.

Perjalanan jauh yang diulang-ulang semacam laku merevisi tulisan, pun menyuntuki kembali kitab berbobot dengan terus mematangkan pemaknaan yang digali, syukur dapat melebih cakrawala yang tersuratkan. Adalah kematangan pengertian yang dikenyam setua naik-turunnya jalan yang terbaca menerus, atau usia bacaan membumi sedalam tempaan hayat.

Membaca, menulis, dan perjalanan fisik yang dibarengi berfikir, akan menimbulkan kelelahan asyik, diam mengeja makna di depan pun yang terlewat. Kebisuan terindah selalu memperbaharui kesadaran, menanjaki tangga kedewasaan, ketekunan merambati puncak konsentrasi menajamkan belati pengertian, merumpilkan keraguan, karena hati kerap bolak-balik memegangi bara keyakinan.

Perubahan musim terpaan menerus menguji tumbuhnya pepohonan pula menentukan cabang rantingnya menjulur. Batang-batang kayu jati, mahoni, trembesi, randu diterpa hawa sama, bedanya ditanam di atas bukit, di lereng pegunungan. Dan perputaran musim itu musti, yang sanggup menjaga ketahanan sampai batas usianya. Demikian batuan gunung diguyur hujan lebat, rintik gerimis, dikurung mendung, dihardik mentari, semua terbebani waktu terus menua. Apa bermakna di saat hidupnya, setelah tumbangnya, atau kurang berfaedah bagi lainnya.

Sebelum perjalanan, seperti membaca judul buku dan daftar isinya. Ketika dikerjakan berulang akan meremajakan pikiran, sambil membuka lelembarannya untuk mengingat yang pernah lewat, demi nanti menanjaki jalan memperoleh wawasan mapan. Kerap saya melewati Gunung Kidul sesekali mampir ke Desa Ngelipar di rumah teman Indarto, salah satu daerah di mana saya membenamkan diri “Kitab Para Malaikat” tepatnya di Bukit Ngerempak.

Laluan berliku naik-turun berkelok yang kanan-kirinya dihiasi pohon jati serta lainnya, mengabarkan suatu musim sedang menerpa. Kadang melalui pebukitan yang ditanami rumput pepadi, dan langit memberi isyarat cuaca yang diberitakan awan melayang di udara. Bayu sepoi-sepoi keindahan bahasa terhampar, sedang sang surya men-yepyur-kan butiran cahaya ke relung-relung semesta seolah menaburkan buliran nyawa bagi kekayaan dunia. Lalu nafas-nafas menyatu hangat menandakan nyanyian alam memeluknya, seperti persahabatan guyub sentausa.

Kepayahan di perjalanan hampir sama sesuntuk belajar, dan khusyuk berdialog dengan buku-buku atau mengerjakan tulisan; perlunya mengatur nafas, emosi, merawat kegelisahan. Ini terasa indah senikmat pelesiran ke taman-taman kemungkinan dengan diam-diam, atau bacaan yang kelak tampil di panggung pelajaran. Semua boleh bersuara, kala bobot yang dirasakan sama.

Ketika melalui Waduk Gajah Mungkur serupa memasuki bab berikutnya dari bagian buku yang terbaca, keayuan alam memesona yang ditawarkan menghibur, sejenis kajian dalam kitab yang mulai menyeruak dalam. Adanya melodi rayuan menyemai lembar-lembar berikut, senada simfoni ketiganya Beethoven. Perasaan merinding mengundang gemetar, nyanyian halus di jalanan berliku, pepohonan di kanan-kiri jalan memayungi orang-orang lewat melalui dua jembatan panjang, dan batin ditarik berhenti sejenak demi merasakan badan waduk yang menghampar luas.

Perjalanan jauh sebulan sekali dan lebih seperti perokok yang beberapa jam tidak merokok, maka memulai hisapan terasa menyandu yang mengembalikan segenap kebugaran, sikap tampan nalar mapan seolah memanggil semua bacaan yang pernah tersimak, seakan hidangan bersusul-susul saling berebut ingin diincipi. Tentu pembaca sudah bayangkan jalan Wonogiri menuju Purwantoro naik-turun tajam berkelok, seirama simfoni kelimanya Beethoven. Ada keseriusan menantang ketika mengendarai motor sambil menggembol beban berat tentunya menyuguhkan keutamaan perhitungan, dan pertimbangan jernih memeriahkan puncak kebahagiaan.

Ketika diawali pagi-pagi setelah subuh, rasanya menyongsong hari baru. Berangkat ke arah timur sambil menanti mentari siuman dari tidur panjang, lamat-lamat bayangan remang pelan memudar membentuk keterjagaan. Ada perbedaan, antara yang semalamnya tidur dan terjaga; jika malamnya terlelap pagi hari terasa anyar, suatu yang pantas diucapkan selamat, seperti kerling mata jelita pandangan pertama. Jika malamnya terjaga dan paginya melangsungkan perjalanan, seakan menguak bagian hidup dalam perputaran, semisal menyaksikan persiapan hingga pentas digelar.
***

IV
Untuk mencerna pelayaran-pelayaran di atas, saya turunkan perkembangan daya pikir seturut pandangan Ibnu Khaldun (1332-1406) dari bukunya Muqaddimah, yang diterjemahkan Ahmadie Thoha, terbitan Pustaka Firdaus, Cetakan ke tiga, September 2001, pada Bab VI halaman 522-523. Membagi penalaran ke dalam tiga tingkatan, yang diperkuat landasannya dengan Al-Qur’an, Surah al-Mulk ayat 23. Berpikir, fikr, ialah penjamahan bayang-bayang di balik perasaan, dan aplikasi akal di dalamnya membuat analisa dan sintesa. Inilah arti kata af-idah (jamak dari fu-ad) pada firman Allah ta’ala: “Dia yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan akal. Tetapi amat sedikit kamu bersyukur.” Fu-ad ini yang dimaksud pikiran, fikr dan kesanggupan berpikir ada beberapa tingkatan:

“Tingkatan yang pertama ialah pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tata yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat mengadakan seleksi dengan kemampuannya sendiri. Bentuk pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah akal pembela (al-‘aql ut-tamyizi) yang membantu manusia memperoleh segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, memperoleh penghidupannya, dan menolak segala yang sia-sia bagi dirinya.”

“Tingkatan kedua ialah pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan prilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dan mengatur mereka. Pemikiran semacam ini kebanyakan berupa appersepsi-appersepsi, (tashdiqat) yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya. Inilah yang disebut dengan akal eksperimental, al-‘aql at-tajribi.”

“Tingkatan ketiga, pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Inilah akal spekulatif (al-‘aql an-nadzari). Ia merupakan persepsi dan appersepsi, tasawwur dan tashdiq, yang tersusun dalam tatanan khusus, sesuai dengan kondisi-kondisi khusus, sehingga membentuk pengetahuan lain dari jenisnya yang sama, baik perseptif atau apperseptif. Kemudian, semua itu bergabung dengan hal-hal lain, lalu membentuk pengetahuan yang lain lagi. Akhir dari proses ini ialah supaya terlengkapi persepsi mengenai wujud sebagaimana adanya, dengan berbagai genera, diferensia, sebab-akibatnya. Dengan memikirkan hal-hal ini, manusia mencapai kesempurnaan dalam realitasnya, dan menjadi intelek murni dan memiliki jiwa perseptif. Inilah makna realitas manusia (al-haqiqah al-insaniyah).”
***

Akhirnya saya sampaikan; jauh sebelum buku ini dimulai, dari kemunculan awalnya kurang tertarik ikut cawe-cawe, pun saya memandang dunia sastra melalui jendela di kamar belajar, dan ketika hadirnya kritik sebab perihalnya sudah kelewat. Tentu para pembaca karya saya sudah paham, bahwa kelembutan ini menegakkan kebenaran sekaligus memukul habis yang sewenang-wenang. Ada kawan yang bilang gaya tulisan kritik saya lugu, tapi dengan keluguan pun mereka yang tertohok bungkam tidak mampu bersuara. Begitu pula alur ini berangkat dari autodidak nekat di atas ketampanan referensi yang tidak gampang diganggu atau coba saja; karena saya belajar sambil menghajar!

Ketika memulai urusan ini, setelah baca tulisan kritikus sastra Ignas Kleden dan menyaksikan catatannya membawa angin segar, di samping pemapar berdekatan emosional dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kata lain, larik-larik kalimatnya halus bijak dengan takaran sesuai porsinya, sejenis sentuhan lembut penuh cahaya rasa seperti gerimis di Jogja. Namun masalah pengklaiman dari sebelum masehi sampai jaman mendatang, terus mencederai sekeliling, meski dilakukan hati-hati tanpa tendensi selain menyiarkan secara bajik, apalagi jika dikerjakan atas maksud lain lagi serampangan, bisa dipastikan mengundang protes. Hal itu wajar, atau jangan-jangan mereka ingin adanya penggugat? Sepertinya, jika menengok langkah kecerobohannya, tapi semuanya kembali ditimbang perjalanan masa, yang senantiasa menguji pandangan anak-anak jamannya, serta mengikuti derap langkah kaki-kaki sejarah.

Di tengah-tengah pulau dikelilingi Bengawan Solo, Pilang, Tejoasri, Laren, Lamongan 6 Agustus 2017.

Tinggalkan Balasan