Proses kreatif saya bersama pelukis Tarmuzie (2 Agustus 1961 – 20 Februari 2019) *


Sanggar Lukis Alam, dusun Glogok desa Sumberwudi, Karanggeneng, LA **
Nurel Javissyarqi ***

Rentang perjalanan ke Yogyakarta, Ponorogo, Surabaya, dan Jombang. Malam ini, barusan dapat kabar dari pelukis Sahron, bahwa Mas Tarmuzie telah berpulang kepada-Nya 5 hari lalu. Innalillahi wainna ilaihi rojiun, semoga Allah Swt meridhoi segenap amal baiknya, al fatihah…(25/2/19).
***

Awal saya mengenal nama Tarmuzie, melalui selembar brosur kursus melukis. Selebaran hasil cetak fotokopi itu tertempel di dinding kayu luar ruangan sekolah Madrasah Tsanawiyah Putra-Putri Simo-Sungelebak tahun 1990, ketika saya duduk di bangku kelas satu. Brosur tersebut beralamat di Sanggar Lukis Alam dusun Glogok, jaraknya sekitar dua kilo meter arah utara dari rumah saya desa Kendal-Kemlagi, dengan kecamatan sama Karanggeneng. Setelah masuk, ternyata bukan semacam kursus pada umumnya, karena tiada keharusan membayar pun jam ketat terjadwal. Bisa dikata, kertas itu sekadar undangan bagi penikmat seni khususnya lukis, untuk bergabung dalam sanggar.

Di sini memulai belajar melukis memakai cat minyak, kemudian menjadi jarang menggambar di lembaran kertas dengan cat air. Melukis birunya langit atas kebiruan pegunungan di bawahnya, jalan setapak berliku menuju rumah mungil, mata air mengalir. Membubuhkan cat warna hijau dedaun pelahan, agar tampak dari kejauhan, lewat sentuhan rapat nan halus, oleh kuas bulu kuda mendekati titik kering. Bayangan temaram dari ketegasan siur melambai pepohonan bambu merimbun, batang-batang kelapa agak melengkung, serta menguas sepyuran terangnya cahaya surya nun terlihat rintik di pinggiran sungai, misalnya.

Waktu sore hari itulah, saya kerap bertemu calon-calon seniman arahan Tarmuzie, ada sekitar tujuh sampai sembilan orang dengan usia rata-rata di atas saya. Semuanya terlihat berbakat, setidaknya lukisan-lukisan realis garapan mereka bagus-bagus, namun sayang, kebanyakan dari kalangan keluarga kurang berada serta tiada daya melanjutkan kuliah. Karya-karyanya hanya mampu menopang hidup seadanya di daerah yang kurang menghargai karya seni. Sangat disayangkan pula, teman-teman sanggar kurang doyan membaca, jadi yang dipelajari sekadarlah mengamati detail gambar-gambar katalog pameran atau majalah, praktis kekisah seniman besar hanya terdengar dari cerita yang didongengkan Tarmuzie, padahal buku-buku berkaitan seni rupa, agama, sastra pun sejarah, banyak tersedia sekaligus berbobot tinggi, atas para pengarang ternama kaliber dunia.

Di situ juga saya akrab menikmati sentuhan musik keroncong. Atas iramanya bernada lenggak-lenggok kalem merambahi sukma, selaras merasai rumah-sanggar Tarmuzie berbalutan karya seni hasil gemulai jemari tangan lentiknya nan halus cekatan nun permai. Seakan tiada yang tersisa, seluruhnya peroleh perhatian sama baik ; dinding, tiang, jendela, pepintu, langit-langit, semuanya digarap penuh ketelitian rapi meski sederhana. Kelembutan itu, kerap kali mengundang imajinasi berkeliaran tanpa arah, seakan tidak lelah mencari lelapisan kemungkinan dari belahan lain, dan nama-nama tenar : Van Gogh, Picasso, Affandi, al-Ghozali, Hamka, M. Iqbal dll, lebih dekat daripada nama tetangga rumah saya.

Ketika pelukis senior Affandi dirawat di rumah sakit, kami tergabung Sanggar ‘Lukis’ Alam, berkunjung ke Rumah Gajah Wong, melihat Gallery Sapto Hudoyo, serta Gallerynya Amri Yahya (14 tahun sebelum terbakar di tahun 2004). Di samping sudah kerap melihat pameran lukisan di Kota Surabaya pula menyelenggarakan pameran di Lamongan sendiri. Bayangan terekam kuat waktu itu, ingin menjadi pelukis, tapi pembaca boleh mengira wilayah Pantura, tentu benturan dari keluarga sangat berat jikalau menegakkan diri sebagai seniman tulen, mungkin di kota lain contoh Ponorogo agak berbeda, lantaran pamor seni reog berhembus lestari di buminya Batoro Katong.

Dalam rutinitas sinahu melukis di sanggar yang tidak di layar kanvas, namun kain bekas tepung teligu dengan cat minyak. Saya suka berlatih menggambar bunga-bunga, pemandangan alam, dan kaligrafi, ini setelah melihat karya-karya Amri Yahya yang sangat sederhana, namun kuat nun tegas goresannya. Saat mengingat kekaryaan Affandi, yang terlontar ialah kata-kata “gila, edan, dahsyat,” kalau terkenang Sapto Hudoyo, terlintaslah kata kemapanan. Dari dialog serta diskusi yang berkembang, tekat kian bulat di hari depannya harus hijrah ke Yogyakarta, namun sadar betul sebelum mengenyam pengetahuan seni, seyogyanya perdalam dulu agama, atau dari asuhan Tarmuzie, kerangka kerja pikir saya dalam berkesenian mulai tertata.
***

Pilihan ke Jombang masuk Madrasah Aliyah, tidak kurang karena pamor besar orang-orang kelahiran nJombang. Saya ingat betul ketiga tokoh tersebut : Gus Dur (Abdurrahman Wahid, 1940 – 2009), Cak Nur (Nurcholish Madjid, 1939 – 2005), dan Cak Nun (Emha Ainun Najib, lahir 27 Mei 1953 -).

Masuk MAN 4 Denanyar Jombang sambil bermukim di asrama Al-Aziziyah, tidak mungkin berlatih melukis membentangkan kanvas belepotan cat di Pesantren. Maka sejak 1994 kelas dua, ekspresi berkesenian di bidang lukis, saya dialihkan ke dalam bentuk tulisan berupa sajak, dikala itu Lautan Jilbab garapan Emha sedang meledak. Saat libur sekolah pun liburan pondok, saya manfaatkan menemui Tarmuzie, kadang bertemu teman-teman sanggar : Dahlan, Saroni, Anam, dll, peristiwa itu sebelum kenal Jumartono, yang bisa dikata pendatang baru namun rajin menyambangi Masji. Barangkali pertemuan awal dengannya di Lamongan saat-saat pameran, dan kala balik ke nJombang, dunia tulis kembali saya geluti secara otodidak. Kebetulan pangasuh pesantren seorang kyai penulis senior, penerjemah, serta penyusun kitab-kitab klasik, K.H. A. Aziz Masyhuri (1942 – 2017), beliaulah nyala semangat kami dalam ketekunan siang memalam belajar, bersuntuk-suntuk berkarya.

Dari ketiga tokoh disebutkan di atas, saya pernah berjumpa langsung dengan Kyai Abdurrahman Wahid. Kala itu para santri al-Aziziyah ke Ndalem Induk, di kediamannya pendiri pesantren Mambaul Ma’arif, K.H. Bisri Syansuri (1886 – 1980), dan Gus Dur seakan menanti kedatangan kami, beliau membaca buku tebal di teras rumah secara menempelkan lembar kertas buku seolah tidak berjarak dengan kaca mata tebalnya, sungguh ini pemandangan luar biasa. Tak banyak karya puisi saya hasilkan di nJombang, salah satunya berjudul Westernisasi, dan bentuk puisi awal saya seperti gambaran lukisan, atau masa itu adanya niatan melukis lewat kata-kata, yang dilain waktu ada kehendak dipindahkan ke dalam rupa lukisan.
***

Dari Tarmuzie, saya peroleh tiket berkenalan dengan pelukis Harjiman di Yogyakarta tahun 1995 (1954 – 2005). Di tahun itulah kaki saya menyentuh debu tanah Ngayogyokarto yang kedua dan lama, mencari alamat Harjiman Alhamdulillah mudah. Saya dengar-dengar beliau ialah anak emas (murid kesayangan) Affandi, setidaknya ia pernah mendapat hadiah Prasitara Affandi Adikarya, selain Wendy Sorencen Memorial Awards dari New York. Beliau termasuk seniman tidak angkuh, bersahaja setiap harinya. Ketika mengenalnya, ia ngontrak di dekat Lapangan Minggiran, Suryodiningratan, sementara saya ngekos di Kadipaten Kulon 49 C. Kemudian secara rutin mengunjunginya, menimba segenap pengetahuan menggali pengalaman, demi peroleh tempaan terbaik dalam berkarya.

Ada kisah menarik bersamanya, pagi-pagi saya ke kontrakannya, ada dua lukisannya ditawar kolektor seharga tujuh jutaan, jadi genap empat belas atau lima belas juta. Tahun itu ongkos naik haji kurang-lebih delapan juta, namun entah kenapa tidak dilepas lukisannya, padahal hari itu tidak memegang uang sepeser pun, sekadar beli gula pasir pun tak mampu. Dari kejadian rupa-rupa itu barangkali, istrinya tak tahan lantas berpisah di tahun berikutnya. Sejak perceraian dengan istrinya yang asal Lamongan, saya merasa malu seakan ikut bersalah sebab sedaerah dengan mantannya. Tak lebih karena kabarnya masuk berita di koran-koran soal pembagian gono-gini hingga ada lukisannya yang harus digunting menjadi dua, namun Mas Harjiman tetap akrab meski agak kalut, di kemudian jauh saya pun mengalaminya. Dan lama berselang tidak menemuinya jua lantaran sungkan, karena lebih condong menggeluti dunia tulis, hingga ketika buku pertama terbit tahun 2001, bertitel Balada-balada Takdir Terlalu Dini, saya beranikan diri tandang ke museumnya di daerah Kalasan, dan beliau bercerita sedang melanjutkan pendidikan di Institut Seni Indonesia, namun sayang usia beliau tidak mencapai masa tua.
***

Di masa-masa saya mengenal Tarmuzie, ia mendekati posisi agak fakum, atau tidak banyak karya baru yang dihasilkan, sebagaimana petapa tidak lagi pedulikan pergerakan dunia, rasanya hanya ingin menikmati hidup sekeluarga dengan jiwa seninya. Namun jauh sebelum itu, ia sosok pemuda gigih penuh semangat, yang pernah memperkenalkan karya-karya Moses di televisi. Ketenangan batin Tarmuzie seolah-olah menghampiri putusasa, tapi limpahan gairahnya yang dulu ditularkan bagi murid-muridnya, ialah pemberi dorongan kuat, nyala obor tak kunjung padam oleh rupa pelbagai jenis tiupan angin, ada saja daya membangkitkan gairah anak didiknya. Meski saya beralih ke penulisan, ia tetap kaya membagikan segenap pengetahuan yang dimilikinya. Ia tidak hanya sang guru, kakak, orang tua, sekaligus pandita mengajarkan mental-mental baja. Ianya tahu betul, menyikapi watak para perupa muda dalam mengajarkan kedirian menyetiai jalan seni, dan kepribadian melekat di jiwa ini, segenggam tempaan dari beliau serta.

“Mugo-mugo sampean penak Mas Ji, nok kono” : ucapan pelukis Saron di makam gurunya (27/2/19), sebelum balik ke Kota Malang, saya diajak bernostalgia mengenang almarhum ke warung kopi yang biasa kami kunjungi di dusun Semperat. Oya, selama saya mengenyam pendidikan di Jogjakarta, bukan semata-mata kuliah, sebab kurang serius menekuri bangku kampus, lebih tepatnya menimba keilmuan seni di sana, karena hari-hari disibukkan membaca, merenung, jalan-jalan, melukis, menulis, mengunjungi para senior, para empu yang mewarnai Kota Yogyakarta. Ketika balikan sebentar ke Lamongan, tentu menyempatkan menyambangi Mas Tarmuzie, bersamanya, diri ini bercerita banyak mengenai hal perkembangan karya saya di kota pelajar itu, tak luput mengisahkan kedekatan dengan para penulis, kaum pelukis, pun sewaktu membentuk komunitas sastra bersegenap kegiatannya, atau hampir semua perihal terwartakan kepadanya, lantas peroleh pengetahuan lebih darinya demi tapak langkah berikutnya. Dalam kegiatan itulah, saling kirim salam para senior melalui saya terjadi, Tarmuzie ke Harjiman atau sebaliknya, dari Suryanto Sastroatmodjo (1957 – 2007) ke Zainal Arifin Thoha (1972 – 2007), dst.

Ada beberapa teman sastrawan saya ajak ke rumah sekaligus berkunjung ke sanggar sebelum jalan-jalan ke Pantura, dengan pengantar Tarmuzie itulah guru lukis saya. Di antaranya : Teguh Winarsho AS, Satmoko Budi Santoso, Marhalim Zaini, Raudal Tanjung Banua dengan istrinya, mungkin Kirana Kejora juga, pelukis Rengga AP sudah, namun cerpenis Joni Ariadinata sepertinya belum saya ajak ke kediamannya, lantaran ia biasanya sekadar mampir dari saudaranya, seperti penulis Sutejo belum bertemu langsung, demikian pula almarhum Zainal Arifin Thoha dan para santrinya tak sempat berjumpa Tarmuzie, disaat memeriahkan acara ulang tahun pertama PUstaka puJAngga di Pesantren Sunan Drajat, tahun 2005.

Tarmuzie merupakan salah satu orang dibalik layar atas keberadaan saya di pentas kesenian di mimbar kesusastraan, meski ia bukanlah sastrawan, namun hampir dipastikan stategi yang saya jalani dalam susastra, terlebih dulu meminta pendapat beliau, darinya memberi banyak masukan nilai serta tanda resiko harus dihadapi, jika memakai cara berontak misalkan. Atau, dari diskusi bersamanya telah menjelmalah karakter kepribadian diri saya seutuhnya.

Perkenalan saya dengan alam lukisan menjadikan pengantar ke dalam dunia kesusastraan, dan kerap merasakan seluruh energi tulisan tidak lebih berasal dari gelora melukis yang tersalurkan lewat kata. Tidur di antara lukisan hampir sama nikmatnya tiduran di perpustakaan, meski jujur kenikmatan melukis lebih besar dibandingkan menulis, mungkin karena bentuknya visual. Tapi, kalau mengerjakan tulisan dengan tenang, kenikmatannya tidak kalah serupa memandangi lukisan sendiri yang telah finis.

Tarmuzie tidak hanya melukis di kanvas, ia juga memahat, mematung sekaligus seniman serbabisa, setidaknya bangunan rumahnya menjadi bukti nilai tinggi karya seni. Nama Sanggar (Lukis) Alam, bisa jadi oleh kedekatannya dengan lingkungan, akrab alam sekitar. Dalam lukisan, ianya memasuki beberapa aliran demi memuntahkan hasratnya berkarya, tidak sekadar realis, abstrak, impresionis, ekspresionis abstrak kaligrafi jua. Menurut saya, garapannya paling kuat, meski yang lain tidak bisa dianggap enteng, itu daya terbesarnya dalam aliran abstrak.
***

Di bawah ini hasil racikan dialog dengan Jumartono, Saron, dan lain waktu berbincang bersama istri almarhum serta sumber lain. Tarmuzie sejak kecil sangat rajin menggambar, saat remajalah darah seninya mengalir menderas, sebagai pemuda jejaka, ianya kembara ke beberapa kota, salah satunya Yogya. Saya tidak tahu persis apakah perkenalannya dengan H. Harjiman di Tamansari, atau perjumpaan dengan pelukis yang tekun menggambar alam Gunung Kidul itu ketika perhelatan pameran di Kota Pahlawan. Yang jelas, Tarmuzie tidak masuk di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia. Dirinya hanya menggelandang masuk-keluar sanggar, komunitas seni, sambil menyerap segenap energi magnetik Kota DIY. Setiap lepas melanglang jagad, ia balik merenungi daerah tempat tinggalnya, apakah bisa membumikan lukisan di sekitar atmosfir keras oleh sentuhan angin panas Pantura, lantaran para penduduknya kebanyakan disibukkan mencari nafkah ke pasar, sawah, ladang, tambak, dan menyang mencari ikan ke laut lepas.

Perburuan mencari jati dirinya terhenti sementara, saat menikahi perempuan dambaannya, meski dari pihak mempelai kurang menyetujui, jika kelak anak gadisnya berkeluarga dengan seniman. Namun takdir tak dapat ditolak, untung tak bisa dicegah, akhirnya berkawin dengan putri pujaannya yang satu desa dengannya, yakni Sri Mulyati pada 1 April 1986, sambil membawa mimpinya menuju hari depan membangun keluarga seniman. Orang tua lelaki Tarmuzie sendiri seorang perantauan dari Pacitan, sedang orang tua perempuannya asli Lamongan, Dusun Glogok. Selepas muda-mudi saling jatuh cinta itu bercampur, tidaklah tinggal di desa orang tuanya, dipilihnya Perumahan Tangjung Kodok, peristiwa ini jauh sebelum adanya Wisata Bahari Lamongan. Di sanalah ia tancapkan harapannya lebih besar. Perlu dicatat, ketika prosesi pernikahannya berlangsung, para seniman dari luar kota memberinya dorongan semangat, pelukis senior asal Jogjakarta yang tinggal di Surabaya, Rudi Isbandi pun turut menyaksikan. Masa itu, Tarmuzie telah mencapai kematangan karya, pemuda berbakat yang pantas peroleh perhatian lebih dari kawan-kawan seniman.

Pantai Utara Lamongan bersebut Tanjung Kodok tempo dulu merupakan pantai terindah pada deretan Pulau Jawa Pantura, tanjung-tanjung batu karang kokoh menjorok ke laut, dengan nyanyian lara deburan ombang samudra, menyadarkan makna kesederhanaan alam, itulah maha karya istimewa yang diberikan Tuhan, tetapi sayang kini masyarakat luas, khususnya penduduk Lamongan harus merogok saku dalam-dalam untuk menikmati indahnya. Begitu jadinya, kalau pembangunan mementingkan pemodal besar, warga setempat pun tersisikan, hanya beberapa orang saja, kebanyakan dari luar kota, dan luar negeri, yang dapat merasakan kecantikannya. Di bawah inilah gambaran Tanjung Kodok yang saya tulis tanggal 29 September 2017:

deburan ombak pantai utara pagi ini
masih sama suaranya 29 tahun lalu,
namun hati ini rasanya menangis
sebusa ombak menderai tragis.

tersebab tiada lagi aku temukan
para warga masyarakat Lamongan
yang dulu biasa menikmati batu tanjung
dengan biaya murah dapat berjalan-jalan
merasakan kemewahan serta keagungan.

karena telah ditongkrongi hotel berbintang
dikangkangi konglomerat entah dari mana,
merampas hak warga sampai tahun berapa?

serupa ada dinding tebal antara penduduk pesisir
dan bangunan yang dipaksa menyatu alam pantai
di atas hasrat nafsu keinginan segelintir manusia.

mereka pun tidak jenak tinggal berlama-lama
seindah dulu berbaur kelakar kaum jelata
sungguh ini memilukan, menyedihkan.

yang dulunya sebagai wisata rakyat
kini hanya menjadi persinggahan
bagi orang-orang berpangkat.

Oya, ketika Tarmuzie bersama keluarga kecilnya di pantai utara, akhir tahun 1980-an sebelum mendirikan Sanggar Lukis Alam, ia nekat berpameran tunggal di depan salah satu goa Tanjung Kodok, mungkin itu cara mengundang para rekan serta para seniornya, agar datang menikmati karya-karya lukisannya di dekat kediamannya.
***

Bersama Rudi Isbandi (1931 – 2016), Tarmuzie masuk dalam Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika di Surabaya, yang sejak 1987, Rudi menggantikan almarhum Khrishna Mustadjab sebagai supervisor kebudayaan PPIA. Sangat mungkin Tarmuzie kerap tandang ke kediamannya, di Jalan Karang Wismo I No. 10, dan kantornya di Jl. Dharmahusada Indah Barat I No. 3, Surabaya. Tarmuzie juga akrab dengan Amang Rahman (1931 – 2001), pelukis kelahiran Kampung Ampel yang masa kecilnya dihabiskan di Sidoarjo, Surabaya, dan Madura. Selain dikenal sebagai pelukis, Amang seorang penyair, dramawan dan pemusik. Karya puisi pula cerpennya tersebar di berbagai media, diantaranya masuk Antologi Puisi 25 Penyair Surabaya 1975. Keluarga Amang tinggal di Jalan Kali Kepiting 11A Surabaya.Tentu sedikitnya, kedua sinor tersebut mempengaruhi pola perjalanan nalar perasaan kalbu Tarmuzie di dalam berkesenian.

Bisa lantaran pergaulannya dengan kaum seniman, Tarmuzie mencari kabar siapa saja pelukis di tanah kelahiran orang tua laki-lakinya, kemudian akrab dengan Dibyo (dikenal Mas Dibyo, lahir di Mangunharjo, Arjosari, 7 September 1962, Pacitan). Dapat pula terjadi kedekatan dengan Dibyo lantaran unda-undi usianya. Menurut Jumartono, Tarmuzie dikala itu sudah terkenal, tempat tongkrongannya di Surabaya dalam kalangan papan atas, sedang Dibyo masih menggelandang sebagai pelukis jalanan, sambil merajut impiannya suatu kali pameran bersama Tarmuzie. Ataukah di sini, Masji menyusuri genetika darah seni tanah Pacitan, dan di awal tahun 1990-an, Dibyo pindah ke Tuban, maka semakin dekat mereka berdua, dalam mengembangkan derajat nilai seninya masing-masing.

Menengok buku “Riwayat yang Terlewat, 111 Cerita Ajaib Dunia Seni” ditulis Agus Dermawan T, Penerbit PT. Intisari Mediatama, November 2011, Cerita yang ke 103 halaman 161-162, berjudul : Juara “Paruh Waktu” dan Juara “Penuh Waktu,” kisah mengenai pelukis JB. Iwan Sulistyo dan Masdibyo, Dibyo hanya dikupas satu paragraf akhir, bisa dikata berbanding terbalik dengan Tarmuzie soal gairahnya, Masdibyo lebih meledak-ledak berkarya serta rajin pameran, sedang Tarmuzie laksana mengikuti aliran air tenang nan damai, dimana kerap diajak kawan-kawannya pameran, dirinya enggan, dan untuk pameran tunggal pun tidak lagi menjadi impiannya. Istilahnya Jumartono dan Sahron, Masji sudah purna memandito, atau telah menjadi pendeta dalam seni rupa.
***

Sikap bersila kepanditaan Tarmuzie bisa ditelisik setelah kedekatannya dengan Moses (kelahiran 14 Desember 1941) yang pada tahun 2000 membangun Mozes Misdy Museum di tanah lahirnya, Banyuwangi. Seperti disebutkan sebelumnya, Tarmuzie menerjemahkan karya-karya Moses di layar TVRI Nasional sebelum adanya televisi swasta, bisa jadi tidak cuma kurator, mungkin manajernya pula, dan selepas dari Jakarta, mereka berpisah. Menurut tuturan istri almarhum, Tarmuzie mulai kerap ke tanah dewata Bali, sejak 1993 hingga masa penanda tahun Reformasi 1998, kami tak tahu persis apa saja yang dikerjakan, yang jelas bolak-balik Lamongan-Bali tetap dijalur kesenian ; melukis, berpameran, dan menjualnya demi menopang kehidupan berkeluarga. Sayang, saya tidak bisa jauh menyebutkan siapa saja kolektor karya-karyanya, di biografinya yang singkat dalam katalog pameran bersama, hanya tertuliskan : “Telah beberapa kali mengadakan pameran tunggal maupun bersama, selain melukis juga senang mematung. Karyanya banyak dikoleksi oleh kolektor baik di dalam dan luar negeri.”

Tarmuzie pun dekat dengan pelukis Sidoarjo, Harryadjie BS (Bambang Haryadjie, Bambang Thelo, 1947 – 2011). Dalam catatan penyair kelahiran Lamongan yang tinggal di Sidoarjo, Mashuri dengan judul esai : “Pameran Mengenang Almarhum Harryadjie BS,” tertulislah : “Bambang Thelo (sapaan akrabnya) juga dikenal sebagai seniman serbabisa. Dia tidak hanya melukis di atas kanvas, tapi juga media apa saja. Dalam 10 tahun terakhir Harryadjie lebih banyak memanfaatkan ‘sampah’, pelepah kelapa, buah-buahan untuk menghasilkan karya seni.” Dan Tarmuzie memahami Harryadjie BS, dalam mengakrabkan melodi kedirian sunyi berkesenian dengan alam sekitarnya.
***

Ada tiga tokoh dunia lukis yang mempengaruhi pola gerakan nalar insani Tarmuzie saat menjelajahi cakrawala gagasannya, asyik masyuk menyetubuhi bentangan kanvas-kanvas belepotan warna cat minyak, setelah berjarak dengan keayuan alam tropis nusantara, kesegaran udara di lintasan hijau katulistiwa, adalah : Affandi, Willem de Kooning, Paul Jackson Pollock, sementara deretan nama Van Gogh, Picasso, maupun Andy Warhol, tentu tidak dapat diabaikan begitu saja oleh para seniman di seluruh penjuru planet ini.

Affandi (1907-1990) seorang pelukis Indonesia yang terkenal di dunia internasional dengan gaya aliran lukis ekspresionis, serta romantisme khas. Affandi di tahun 1950-an, kerap mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, dan dataran Eropa ; London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma, juga di negara-negara benua Amerika Serikat ; Brasil, Venezia, San Paulo, serta Australia. Koran International Herald Tribune menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, di Florence, Italia, ia digelari Grand Maestro. Dianugerahi Bintang Jasa Utama oleh Pemerintah Republik Indonesia 1978. Sejak 1986, ia diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun Institut Seni Indonesia di Yogyakarta. Kurator terkenal Magelang, Oei Hong Djien pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de Janeiro. Itulah sepak terjang Affandi yang kemudian hari menjelma acuan bagi para seniman lukis khususnya di Tanah Air NKRI.

Tarmuzie menikmati karya-karya Willem de Kooning, pelukis kelahiran Rotterdam, Belanda 24 April 1904, yang meninggal 19 Maret 1997 di East Hampton, New York, Amerika, merupakan salah satu eksponen terkemuka daripada aliran ekspresionisme abstrak dalam lukisan. Tarmuzie pun mengagumi dalam karya Paul Jackson Pollock (1912 – 1956), pelukis Amerika Serikat, tokoh utama gerakan abstrak espresionis yang meninggal pada sebuah kecelakaan mobil di dekat rumahnya di Long Island, New York. Ketiga tokoh inilah yang memiliki andil besar dalam gaya lukisan Tarmuzie memasuki aliran ekspresionisme abstrak.

____________
15 Maret 2019
Pilang, Tejoasri, Laren, bencah tanah subur yang dikelilingi aliran Bengawan Solo di Kabupaten Lamongan.

*) Tarmuzie, salah satu pelukis senior Jawa Timur kelahiran Lamongan 02 Agustus 1961, meninggal pada 20 Februari 2019. Dengan istri tercintanya Sri Mulyati, ia menurunkan tiga anak : Sri Tanjung Lukisanti, Hayu Ajeng Ciptawarni, dan Sungging Bintang Pamungkas.

**) Sanggar Lukis Alam didirikan Tarmuzie akhir tahun 1980-an di dusun Glogok. Setelah dirinya jenak kembara, berkarya, pameran lukis bersama maupun tunggal di kota-kota Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Bali, dll.

***) Salah satu murid Tarmuzie yang lebih dikenal sebagai penulis karya-karya sastra, buku terbarunya : Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, Cetakan Pertama: Desember 2017, Cetakan Kedua: April 2018, diterbitkan Arti Bumi Intaran, PUstaka puJAngga dan Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo.

Tinggalkan Balasan