SASTRA INDONESIA DALAM KOMENTAR ORANG BERNAMA NUREL


Catatan kecil buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Taufiq Wr. Hidayat *

Orang-orang memberikan gelar dan penghargaan pada kenangan tua dari sosok yang tua dan uzur. Rasanya tak ada lagi orang lain yang sanggup membuat pencapaian baru. Tapi baiklah. Negeri membutuhkan pahlawan atau sosok teladan untuk diteladani, katanya. Itu boleh saja guru teladan, penyair teladan, atau ulama teladan. Agaknya hidup masih membutuhkan legenda hidup. Legenda itu tak harus fosil. Dan orang-orang menyediakan meja makan guna menyambut sang pahlawan, seorang teladan itu.

“Alangkah malangnya sebuah negeri yang tak punya pahlawan,” kata seseorang pada Galileo Galiliei dalam drama Bertold Brecht, “Leben des Galilei”.

Galileo tak setuju.

“Oh tidak! Justru negeri yang malang adalah negeri yang selalu membutuhkan pahlawan.”

Bertolt Brecht, sang Marxis itu, menyebut dramanya “Intrument der Aufklärung” di tengah khalayak. Pencerahan yang menyadarkan. Bukan menenggelamkan. Nama-nama pahlawan atau tokoh-tokoh teladan dimunculkan—meminjam istilah Brecht, supaya terbangun kesadaran terhadap kehidupan. Agar lahirlah generasi baru. Supaya hidup semakin baik. Dan kreatif. Tetapi “pahlawan tua” yang membawa kenangan tua, hidup di dalam ingatan suatu bangsa. Mungkin saja ia dapat dikenang di tengah makan siang, di antara android yang menyala dengan sekian juta warna berkelap-kelip memesona. Tetapi manusia yang “terlanjur” menjadi legenda itu, selalu konyol di kepala Borges. Mereka hanya menyejarah dalam fiksi, lantaran gemar menutup aib, dan menghindari segala yang mempertanyakan posisinya “yang menyejarah” itu. Sang tokoh teladan penyabet penghargaan malas meladeni atau mendengarkan sikap kritis “anak ingusan”, buang energi, dan tak berguna. “Ngawur! Tahu apa mereka?!” batinnya.

Namun pada puncaknya, “nama agung” itu hanya aib. Ia menemui sunyi lantaran menutup pandangan yang jujur terhadap kenyataan. Tak ada suara yang ia anggap melampaui dirinya. Tak ada orang lain yang perlu didengarkannya dengan saksama selain dirinya sendiri dengan segala “nama besar” yang dipikulnya itu. Ia pun bagai Don Quixote dalam wujud baru, terlahir di ruang waktu yang terlambat. Uzur dan menyedihkan. Bagai ampas yang tak menyimpan apa-apa lagi, lantaran tak mematangkan diri dengan kerendahan hati. “Sepa sepi lir sepah ngasamun,” ujar orang Jawa.

“Wahai anak ingusan, berhati-hatilah memakai terompah tinggi itu. Jangan sampai kamu terjatuh,” ujar Tuan Imam Hanafi dalam sebuah buku kuno khazanah pesantren.

“Baiklah, Tuan Hanafi yang agung dan mashur. Andai aku terjatuh dari terompah ini, yang mungkin terluka kakiku. Tapi jika engkau tergelincir dari nama dan gelar agungmu itu, engkau akan tergelincir hingga ke akhirat kelak,” jawab si anak ingusan.

Tuan Imam Hanafi terkejut. Ia segera menyadari dirinya.

Ilustrasi sederhana itu, sesungguhnya mencerminkan sikap hidup orang-orang yang hidup dalam tradisi keilmuan pesantren yang sesungguhnya. Dalam pandangan ini, segala pencapaian bukanlah segala-galanya. Orang harus “tawadhu’” (rendah hati), bukan rendah hati yang berwujud basa-basi pergaulan belaka tentunya. Melainkan belajar dan menggali ilmu-Nya sejatinya tak dibatasi oleh gelar atau nama besar.

Lupakanlah kisah dari buku kuno itu.

Ada dunia citra yang dibangun manusia sejak lama. Jean Baudrillard melihatnya cemas ketika ia menyandingkan dunia citra itu dengan konsumsi. Manusia tak aktif di hadapan benda-benda. Ia menghamba (pasif) pada benda-benda; membeli tidak untuk kehendak mendapat daya guna, tapi mendapatkan simbol dan nilai pamer. Orang-orang membeli semangka dari kulkas dengan merek tertentu. Semangka tanpa merek, bukan buah layak beli. Membeli model baju terbaru yang “bernilai pamer”, bukan baju penutup tubuh. Nilai nominal—atau yang harafiah, ditentukan oleh tanda atau simbol pada benda-benda yang dipoles politik, agama, atau budaya massa. Orang dianjurkan mengimani simbol tanpa harus mempertanyakan fungsi dan daya gunanya. Sebagaimana gelar yang melekat atau dilekatkan guna membangun citra terhadapnya.

Barangkali apa yang dicemaskan Kundera memang bukan fiksi. Imagologi bukan fiksi! Rasanya Kundera menegaskannya seraya berusaha sangat waras menahan tawa. Ia tak sedang berlelucon! Begitu juga Boges. Imagologi bukan fiksi. Tetapi dapat “lebih canggih” daripada fiksi. Menjadi iman dan mitos yang dipastikan dalam aksi pada yang publik dan profan. Ia lahir dari kebakhilan yang tidak mau disetarai. Tapi gila menguasai atau berada di atas segalanya. Bagi Kundera, imagologi (sebut saja imej) yang dibangun dengan kekuasaan uang, politik, keyakinan, atau keahlian sanggup bertahta di atas realitas, ideologi, bahkan sejarah. Sesuatu yang sesungguhnya palsu. Tetapi yang tampak sangat asli.

Kemudian dalam sastra, orang bagai menulis serangkaian kata di atas telor angsa. Bersama angin musim kemarau. Ada negeri yang tak bersedia membuang uang demi kata-kata indah dan berguna. Aku pun membaca buku Nurel Javissyarqi “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”. Cukup asik. Bagi saya yang tak begitu perhatian pada para “sastrawan berprestasi”, “penyair teladan”, atau yang memanggul “nama agung”, itu buku punya judul yang sangar. Dan tampak “sangat akademik”. Kalau dalam dunia kitab klasik, judul itu seolah mewakili suatu kajian “ilmu alat” atau metodologi Fiqih yang rumit. Namun isi buku—sejatinya, tak sepenuhnya mewakili judul, atau mungkin ekspektasi penulisnya. Akan tetapi, ia setidaknya memulai sesuatu yang katakanlah baru (atau baru disadari) dalam sastra Indonesia mutakhir.

Buku Nurel agaknya hendak menyadarkan kita terhadap apa “mitos sastra”. Suatu istilah yang tampak asing atau tak wajar disebutkan dalam kritik sastra. Orang yang terlanjur dengan “nama besar” dalam sastra, kadangkala memang “jumawah”. Apakah itu disadari atau tidak. Seolah sastra yang bagus harus melewati tangan mereka, dibaca mereka, diperbincangkan atau sekurang-kurangnya pernah disebutkan oleh mereka, dan best seller. Seolah seorang profesor yang merasa lebih mumpuni, sehingga mengesankan sikap “ngajari” orang lain dengan kepakarannya, juga dengan sikap congkak dan “tak hati-hati”.

Baiklah.

Tapi lihatlah Sutardji Calzoum Bachri yang bicara perihal ayat suci tanpa gerbong keilmuan atau metodelogi tafsir di hadapan khalayak (yang dikutipkan dalam buku MMKI ini), seakan cuma demi mensahihkan kredonya itu. Dengan tanpa beban dia menyampaikan, bahwa “kun fayakun” itu ucapan Maha Penyair yang dipunyai seorang penyair. Tak ada makna. Melainkan “jadi” adalah “jadi itu sendiri”. Dalam bukunya, Nurel keberatan. Ia tak setuju. Ia pun berkomentar dengan 500 halaman. Lantaran baginya, ayat suci bukan alat pembenar atau komoditas untuk melanggengkan kepentingan praktis manusia atau sekadar mendukung “sebuah kredo”. Orang tak perlu menjadi rasul dalam sastra. Ia cukup mengemukakan karyanya terus menerus. Celakanya, sikap “merasulkan diri” dalam banyak sisi hidup pakai ayat suci itu diimani sebagai “hal baru”. Ia lalu bersifat politis. Dan tak lebih dari pencitraan belaka. Atau barangkali sekadar membangun imej, bahwa ia “orang suci” di dunianya.

Terdapat ayat suci yang berbunyi “kun fayakun”. Kalimat itu sejatinya tak dapat diucapkan manusia, lantaran kata “fa” adalah “waktu Tuhan”, bukan “waktu manusia” yang membutuhkan proses kesejarahan. “Kun” adalah fi’il amr (kata perintah) dari “kaana” yang memaknakan pada “fa-yakun”. Kata “fa-yakun” yang berasal dari “fa-yakuunu” (memakai huruf wau), tetapi huruf wau tidak dipakai dalam kata “fayakun” pada teks ayat suci tersebut. “Kun” itu masdar-nya: “kaunan: kaana-yakuunu-kaunan”. Bentuk dasar yang menyembunyikan pelaku pada kata kerja. “Fa-yakunu” kalimat fi’il (kerja). “Fa” (maka, jeda waktu) kepada “yakunu” (terjadi/jadi). Jeda waktu itu pun merahasiakan pada pelaku. “Kun fa-yakuna” ber-athaf (terlimpahkan, bukan dilimpahkan) pada “yaqulu” (yang berkata), huruf ya’ mengandung dhamir (kata ganti) “huwa” (subyek yang tak terdefinisi). Maka kalimat “kun fa-yakun” sebenarnya tak bisa diucapkan manusia, sebab jika pengucapnya manusia akan berbunyi: “kun fa-kana” (jadi, maka akan terjadi). Nah “kun fa-yakun” berbentuk fi’il amr (kata perintah) dan fi’il mudhari’ (perfect-present-future), yang berarti “jadi, maka (pasti) terjadi dan terus-menerus jadi”. Ada jeda bagi makhluk (yang bukan pengucap), tapi tidak mutlak bagi pengucapnya (yaqulu).

Bukankah dalam konteks ini perlu dimengerti sebagai kata yang bukan kata itu sendiri, atau mantra? Apakah ayat suci itu mantra? Alangkah dangkalnya jika ayat suci dianggap atau diperlakukan sebagai mantra. Bahkan yang tak berbentuk kata—misalnya: “alif-lam-mim”, pun membuka peluang adanya tafsir atasnya, juga arti. Tanpa begitu, ia mustahil dioperasionalkan dalam realitas kesejarahan sebagai petunjuk Tuhan. Dalam hal ini, tentu pandangan terhadap ayat suci tak setara dengan pandangan terhadap diksi. Keduanya memiliki landasan keilmuan yang berbeda. Tak dapat disamakan dan diperbandingkan secara membabi buta. Memerlukan sebentuk “alat” untuk melihatnya. Meski ayat suci tak lain adalah bahasa manusia. Ayat ialah “tanda”. Ia adalah kata. Dan ia pun bahasa. Cukup jauh dari apa yang dibicarakan dalam pidato Tardji yang dikutip dalam buku Nurel itu, bukan?

Buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” Nurel Javissyarqi, tentu tak mungkin kupandang dengan argumentasi yang dilandasi referensi lengkap sebagaimana pola pandang akademik atau yang memakai pola seperti itu. Saya hanya sejauh mungkin memberikan sebentuk komentar atasnya. Hanya catatan kecil dari orang yang pemalas. Lebih sebagai pembaca atau penikmat yang tidak kritis. Bagi saya, buku ini kaya nutrisi. Penulisnya pembaca buku yang tekun. Dan pengelana, walaupun ia memang gemar mengelana atau tidak. Ia mengawali—meski dengan segala keterbatasannya, perihal kritik sastra yang mesti memerhatikan “paralatan lengkap” dan melibatkan rasa—meminjam istilah HB. Jassin—membongkar “wilayah politis”, citra, dan “nama agung”. Buku ini, dalam perpustakaan kitab kuning—menurut saya, mirip “kitab syarah hadist” yang sering ditulis misalnya oleh Imam Nawawi al-Bantani yang mashur. Ia berisi komentar-komentar subyektif (kadangkala juga berusaha obyektif) perihal hadist atau ayat-ayat. Apakah komentar-komentar tersebut memakai metodelogi keilmuan yang lengkap atau tidak, kurasa itu bukan syarat wajib, meski hal itu pun perlu. Ia mengurai dengan wawasan penulisnya, pengalaman, analisa peristiwa atau pustaka. Namun ia adalah teks yang seringkali menjadi pertimbangan—bahkan mungkin acuan, dalam melihat sesuatu secara metodelogis. Ia membuka pintu pertama pada suatu wilayah yang dapat menjadi tema lebih luas lagi. Gaya bahasa Nurel mengalir asik. Sebagai sekumpulan komentar, ia menakjubkan, dengan wawasan atau modal bacaan yang tak main-main. Adanya komentar dan kritik terhadap buku tersebut, mengingatkan saya pada “perdebatan sastra kontekstual” yang pernah dilungsurkan Ariel Heryanto dan Arief Budiman sekitar 1984.

Telor-telor dalam sastra Indonesia itu pun dierami. Orang tak pernah mengira, ada sebutir atau tiga butir telor ayam di antara puluhan telor-telor bebek. Ketika menetas, si anak ayam tak menyadari—atau tak sepenuhnya sadar, ia harus “meng-ayam” atau “membebek”. Oh kenangan tua. Usia yang tua. Museum ingatan. Dan kebanggaan-kebangaan yang terkubur android dan belantara suara, gambar, warna. Tak cukup digjaya mengusik makan siang di antara lagu dangdut atau jazz.

Banyuwangi, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2019/09/sastra-indonesia-dalam-komentar-orang-bernama-nurel/

Tinggalkan Balasan