SANG MAESTRO LAKSMI SHITARESMI

Nurel Javissyarqi *

(I)
Meski pun sejak kecil saya kerap menggambar dan menginjak sekolah MTs (SMP) pernah pameran lukis bersama teman-teman “Sanggar Alam” asuhan pelukis Tarmuzie (almarhum), kawan karib almarhum pelukis Harjiman. Setiap kali saya memasuki galeri lukisan, melihat pameran dan atau mengunjungi museum seni rupa; atas pamor karya-karya terbaik, jiwa ini senantiasa bergetar cemburu hebat, nalar menjadi bergolak mendidih.


Hal itu sering mengingatkan kondisi sewaktu dahulu di Jogjakarta; ketika kepala diserang sakit, cepat-cepat meluncur menuju Museum Affandi di tepian Sungai Gajah Wong, sebelah utara agak ke timur dari kampus IAIN (UIN) Sunan Kalijaga. Perihal itu saya lakukan, sebab dalam kondisi pening, bisa menangkap jauh ekspresi lukisan-lukisan Affandi, hingga terbawa tawa kecil sendiri seperti tengah menyaksikan kejadian penggarapannya.

Ada hal sulit ditangkap dalam secara kejiwaan, kala melihat lukisannya berkeadaan biasa, dan biasanya selepas keluar dari Museum Gajah Wong, sakit di kepala tersembuhkan pulih, hingga dimasa itu, “Museum Affandi” saya ibaratkan bodrex obat sakit kepala, terutama kala menulis sajak-sajak balada: Si Gila Menyapamu, Kegilaan Van Gogh, di atas plafon Sekretariat Teater ESKA, yang kemudian terbit dalam antologi puisi “Balada-balada Takdir Terlalu Dini,” 2001.
***


Perupa Laksmi Shitaresmi, kelahiran Yogyakarta 9 Mei 1974. Saya mengenalnya disaat-saat hendak dan selepas membaca Orasi Budaya dalam acara Andong Buku #3, akhir tahun bulan Desember 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta. Saya belum sama sekali mengenal hasil-hasil karyanya, bisa terjadi selepas acara tersebut baru mencari tahu gegurat lukisannya, dan sosok patung-patungnya serta wujud perangai instalasinya. Mungkin awal melihat capaiannya dari facebooknya, kata ‘mungkin’ lantaran masih diselimuti pekabutan lupa.

Terus terang saya kagumi karya-karyanya, barangkali ini juga pandangan mula kesan pertama, tapi rasanya tidak hanya itu, terutama kala menyaksikan karya patungnya bertitel “Self Potrait Sculpture, 2010.” Di dalam hati terus berdecak, ini bukan sembarangan, idenya melompat jauh dari tanah asal, nada musik yang seolah lepas dari tanah air. Atau jarang sekali perupa negeri ini mencapai gagasan besar serupa karya tersebut. Dan dari keagungan itu diri memulai memandang dalam atas karya-karyanya.

Di balik karya besar, entah siapapun senimannya, saya senantiasa mencurigai riwayat hidupnya, sebab diri ini lebih condong mengambil patokan: bahwa karya-karya besar tentu dihasilkan dari penderitaan hayat, daya-dinaya hidup memberat segaris benang lembut nun tajam perasaannya; kelandepan hati, sebilah belati jiwa, keris membetot sukma, batin selalu dipukul-benturkan palu nasib, dirajam takdir, dipermalukan suara-suara asing, sepaduan irama paling dingin yang dekat, tepuk tangan ganjil, suwong meramai diringkus himne kesendirian ke jurang maut keterkucilan, alam kesunyian mengkhawatirkan jiwa-jiwa, sehawa sepertiga malam pribadinya memecah batu-batu kemungkinan nyata.


Walau tak tahu persis besar ukuran Self Potrait Sculpture (diposting sebagai sampul facebook Laksmi, 5 Juni 2012), setidaknya temuan itu mengagumkan saya, walau melihat foto patungnya ada kemungkinan tipuan pengambilan gambar, jarak tumpuan ke layar bidikan, ‘kepribadiannya’ lensa potret, kecerdasan cara pandang. Andaipun ukuran patung banyak kaki tersebut kecil, bola mata ini sudah jauh membayangkan seukuran lima meret tingginya, jika berharap efek dramatis; susunan kaki-kaki di samping kanan dan kiri, seibarat tiang-tiang penyangga gedung misalkan museum. Meski sayang, impian besar ke ambang kenyataan belum terwujud, tidak lebih masih tetap berupa ide bayangan segar, yang tak semua orang bisa mencapai temuannya. Andai kelak mewujud, entah ke tahun berapa, penggarapannya patut dicermati, jika tak ingin wagu sekadar besaran, di sini barangkali repro patung lebih sulit dibanding lukisan pada batas kasus tertentu.

Nyata tampak mewah, tetapi tetap tidak meninggalkan kesederhanaannya, fitroh muasal kaki itu sendiri. Di situ penghubung antara dunia realitas serta tidaknya, jembatan angka-angka logis dan nilai-nilai tak ternalarkan; kaki-kaki meja, kaki-kaki kursi, kaki-kasi raksasa, kaki-kaki kelabang; ada bentuk-bentuk kekerasan, nakal sekaligus anggun dari kelahirannya yang pertama. Sayang, saya kurang mengetahui proses kreatif Laksmi, sehingga timbul pertanyaan mendasar; apakah ciri-ciri yang menempel pada karyanya kini (prosesi awal hingga sekarang) sudah ada, ataukah melekat sedari mula tampilan pertamanya?

Misalkan bentuk lengkungan, gambar garisan benang panjang, maupun potret dirinya. Ataukah kekhasan tersebut datang bertahap, muncul perlahan-lahan tidak serempak. Di sini penting dicari jejaknya, demi memahami seberapa jauh ke dalam pergolakan atas pencarian jati dirinya dalam berkarya. Demi pahami sejumlah guncangan hebat keraguan menerpanya, sebab ini berbanding lurus terbalik atas ketebalan keyakinan yang terus ditempanya. Prosesi itu sudah dikhatamkan, hingga memiliki daya menggedor jantung pemirsa; pahala dari kepekaan membaca perubahan, mengamati pergeseran melompati setingkap situasi di antara seniman di sekitar lingkungannya.


***

(II)
Hampir semua karyanya: sketsa, lukisan, patung dan instalasi, digarapnya secara purna, atau dari kepurnaan mentalitas jiwanyalah hadir laksana kaca cermin, dan tiap hasil ciptaannya bersimpan himpunan gairah terpendam purba; waktu-waktu ditata sedemikian rupa, bahasa komposisi jarak, pilihan warna sangat dihitung dalam, yang barangkali itu terbit dari pancaran kematangan melodi batiniahnya. Atau hampir semua ruangan terisi, panggung-panggung kosong pun bersimpan arti, tetaburan makna tidak habis digali, sehingga orang datang dengan kondisi apapun, apakah lewat jalur logika, melalui lorong perasaan, dengan sambil-lalu pun masih siap menerima perbincangan atas karya-karyanya. Sejauh itu tentunya tak pernah iseng main-main, atau derita batinnya sudah merancang embrio-embrio kepada karyanya, kesunyian lara otomatis menjadwal bentuk-bentuk bayangan suramnya, seperti angin menerbangkan layang-layang hitam, kincir air secepat air terjun dari ketinggian; titik fokus itulah yang melahirkan jauh perangai menawan sekaligus menteror di segenap sentuhan karyanya.

Dan patung lain ciptaannya tak kalah ampuh, tengok saja yang bertitel: Teruslah Melangkah Kaki Kecilku (2014), Kapalku Beraksi Sudah (2013), Laksmi Tapa Yoga (2010), Big Biyung (2010), dll… (sekadar menyebut beberapa judul). Hampir semuanya mengagumkan, sejelmaan sukma kaum wanita yang dipersatukan dalam sebuah keagungan. Laksmi seperti telah direstui menghisap seluruh daya-dinaya kaum hawa, yang dijelmakan ke dalam karya-karya besarnya, atau dapat ditarik garis lain; himpunan seluruh daya perangai perempuan penuh pekerti, ulet, lembut, atas tempaan nasib begitu keras menimpa, selaksa kelembutan air bersimpan energi kekuatan, sehalus angin menyimpan mara bahaya, bagai petapa turun gunung di setiap jengkal jejak langkah karyanya sulit tertandingi. Barangkali itulah berkah olah batin di berbagai dimensi terhadap karyanya, atau ketidakpuasan di satu media seni rupa melayarkan indrawinya, kembarai kecerdasan alur nalarnya demi menjajal berolah rasa, yang mematangkan sepak terjangnya kian mempurna. Kesempurnaannya bukan datang dari tanah warisan, tidak turun dari langit hitam keserakahan, tidak jatuh dari impian rendah, tetapi oleh perjuangannya dalam pengabdiannya kepada al-hayat, seumpama menenggak anggur suci paling manusiawi di antara manusia abadi.
***

Laksmi Shitaresmi ialah nama tercetak di lembar-lembar sejarah sebagai pemegang tongkat estafet emas dari para tokoh seni rupa Tanah Air dari sebuah Negara Indonesia. Aura gurat-gemurai karyanya telah malampaui jamannya, atau ia pencetus gaya-gaya revolusioner, yang diambilnya dari langgam-langgam pekerti atas nilai-nilai kekayaan Nusantara; keluhuran budi, kesahajaan nurani, keberanian berlapis yang ditempa dalam goa kesunyian paling lara nan lama. Dan kejayaan inilah meyakinkan pandangan, bahwasannya dengan kondisi keterbatasan, segenap perbendaharaan Ilahi yang tersembunyi dapat dihadirkan pada khalayak secara mewah, sewujud persembahan makna atas sesembahan yang pantas terus direnungkan, dilestarikan bagi generasi setelahnya, tersebab apa saja yang terbit darinya, sangatlah layak dipetik bagi kuntum-kuntum pelajaran demi pengajaran di masa mendatang.

Karya-karyanya merupakan harta kekayaan keabadian yang takkan khianat pada nama besarnya, tak membikin ‘pangling’ para pengamat ataupun tertipu ‘kecelik,’ lantaran kesetiaanya terhadap laku pencarian jati dirinya terus mematangkan seluruh siklus dilalui, setiada kemarau di setiap proses kreatifnya kala dihadapkan musim senantiasa berganti. Inilah bukti pengendalian emosi sudah tanak di dasar pusaran watak pancaroba perubahan, sebagaimana pengendara sekaligus ‘turangga’-nya, sangat lihai oleh hembusan angin, turunnya air, kobaran api, dan berdiamnya tanah menyatu dalam jiwanya.
***

Banyak seniman; pelukis, perupa, yang berjarak dengan karyanya, malah ada seolah lepas dari alur perjalanan hidupnya, tapi Laksmi tidak sekadar dekat, tetapi lekat menyatu nan lebih, atau ianya kanvas-kanvas hidupnya, segenap lakon hayatnya tertuang ke seluruh karyanya, apakah pada lukisan, patung dan lainnya. Itu semua berasal dari padatan waktu tumpukan peristiwa, di sisi penggalian biji makna, masa terus bergerak dan kesempatan bagaikan batu mutiara di antara gelombang bersusul-susulan, seperti perang maha dahsyat di medan hati, dan tertanam kokoh di sekujur ciptaannya. Sudah dilampaui segala teknik segenap teori seluruh hukum pencahayaan, dan letak komposisi yang tak mengurangi nilai terkandung, sehingga tampak kecantikan air terjun, lengkungan pelangi, senjakala sempurna mematangkan malam-malam demi kelahiran gemintang, dan paras ayu rembulan menunjukkan keseimbangan di antariksa sketsa-sketsanya.

Karya-karya Laksmi, apakah lukisan, patung, dan instalasi, selalu saja nikmat dibincangkan di segenap situasi, barangkali juga senantiasa segar dibicarakan di setiap perubahan jaman. Ini tak lebih lantaran dirinya telah sesuai betapa piawai menghidup-maknai pranata lambang-lambang tradisi, dengan menyapa wewarna modern sekaligus mengundang daya kontemporer. Dan meski begitu, karyanya tak menghamba pada pasar, tapi pasar-pasar seni dimasukinya dengan identitas karya-karyanya. Di sini ruang-ruang pasar melebar, sehingga peradaban nilainya dimungkinkan berkembang; napas-napas cerah kebaharuan, dan sosok-sosok anyar cemerlang yang terbit oleh kejeliannya, kecermatannya, kesuntukannya menyinauhi dunia-dunia paling sunyi di batinnya.
***

Rupa, bentuk, serta kematangan goresan-warna ditampilkan terus saja mengajak dipamerkan, lebih-lebih secara tunggal, atau karyanya sudah jadi ajang berita, media nun pantas dipandang disiarkan. Dan unsur subyektifnya begitu kuat tidak menjadikannya kelemahan, tapi di situlah bobot pencarian sekaligus pencapaiannya menggali budi pekerti mengaduk bulir-bulir pertiwi, menghadirkan nilai-nilai tidak tunggal, sebagaimana daya perempuan tidak habis dipunggah, misteri tak kering ditimba berkali-kali. Pada gilirannya, identitas kuat perlambang perlawanan, pemberontakan, kemabukan segar, dari yang selama ini mengungkung kaumnya (perempuan).

Gaya, pesona, keanggunan, tarian balada, dan drama dalam karya-karyanya sangat kaya atas perasan kuat perasaan mengenai ukuran, bolak-balik di antara rentang wewaktu penggarapan, sehingga betapa mencengangkan. Keputusan tanpa rasa takut, pepilihan warna, bentuk, corak perangai, jalan-jalan terjal dilalui, setelah ruang-waktu dihabiskan dalam diskusi kesunyian ganjil di sisi membaca ribuan kemugkinan lain sejauh tidak terpahamkan; kegilaan berkarya. Adalah terus berproses itu salah satu cara menghargai keahlian, menggerus perangai lembek terlena, lantaran merasa kebiasaan yang tidak sampai menghujam dalam, dibasminya dengan prosesi di pelbagai dimensi. Makin berjejalan dimensi, maka reruang napasan makna kian elok berkembang, sebaik kepurnaan berasal pecahan-pecahan proses panjang yang sudah meringkus arti keraguan!
***

*) Pengelana yang mengelola website Sastra-indonesia.com. Tinggal di Dusun Pilang, Desa Tejoasri, Laren, Lamongan. Atau di pulau terpencil yang dikelilingi aliran Bengawan Solo; yakni setengah lengkungan bengawan sebelah utara aktif arusnya, sedang lingkaran di sisi selatan tidak bergejolak arusnya.

Tinggalkan Balasan