Obrolan penerjemahan karya dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia bersama Anton Kurnia (II)

Wawancara di bawah ini, diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia

Koekuh Djatmiko: “1. Mana yang lebih urgen, terjemahan yang setia dengan gaya bahasa pengarang atau yang penting pesan pengarangnya sampai ke pembaca? 2. Bila novel yang akan diterjemahkan aslinya non bahasa Inggris, misalkan Perancis, Spanyol atau Jerman, apakah bung AK memilih buku yang bahasa asli atau buku yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris? Bukankah bila memilih buku yang terjermahan Inggris, artinya bung AK sudah memilih buku terjemahan atas terjemahan? Terkait dengan itu, bagaimana kita sebagai penterjemah mau mengikuti gaya bahasa dan bercerita pengarang ybs?”

Anton Kurnia: “1. Keduanya penting. Tetapi, ada penerjemah yang lebih setia kepada bahasa asal (foreignization), tetapi ada pula yang lebih setia pada bahasa sasaran (domestication). Dalam penerjemahan teks sastra, pengalihan makna saja tidak cukup, tapi penting juga mendapatkan rasa bahasa dan nuansa yang tepat dalam bahasa sasaran. 2. Bahasa asing yang saya kuasai hanya bahasa Inggris. Pada tahun 2012 saya pernah diminta mengampu lokakarya penerjemahan di Erasmus Huis bersama David Colmer, penerjemah terkemuka dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris. Di situ diperbandingkan hasil terjemahan langsung dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia dan yang menggunakan “perantaraan” dari bahasa Inggris. Ternyata penerjemahan dari bahasa kedua tidak pasti lebih buruk daripada terjemahan langsung, jika memperhatikan rambu-rambu teknis penerjemahan yang baik, termasuk referensi yang tepat. Dalam hal ini, hendaknya gaya menulis penulis teks asli sedapat-dapatnya dapat diikuti.”

Ratih Kumala: “Lebih sering mana: menerjemahkan karena memang suka bukunya, atau menerjemahkan karena diminta mengalihbahasakan buku tersebut?”

Anton Kurnia: “Kalau untuk buku sepertinya lebih banyak karena permintaan penerbit. Tapi tentu saya harus suka buku itu. Kalau tidak suka, tapi dipaksakan, hasilnya tidak akan memuaskan.”

Sabine Müller: “Mas Anton Kurnia, salam hangat dari Köln! Bagaimana dengan terus mempelajari atau memperluas pengetahuan tentang sastra dan penerjemahan? Biasanya Mas Anton bisa dapat bahan2nya/buku/workshop dll. di mana? Ada semacam kursus di universitas/lembaga lain untuk advanced Training khusus untuk penerjemah? Danke.”

Anton Kurnia: “Salam hangat, Mbak Sabine! Saya terus belajar dan berupaya menambah pengetahuan tentang sastra dan penerjemahan antara lain melalui bacaan, baik dari buku-buku dan majalah maupun sumber-sumber lain. Saya misalnya mengikuti akun media sosial dan situs yang membahas sastra dan penerjemahan seperti Words Without Borders dan BCLT. Terkadang ada semacam diskusi dan lokakarya tentang penerjemahan yang diselenggarakan Himpunan Penerjemah Indonesia atau kampus-kampus. Bitte!”

Sigit Susanto: “Mas Anton Kurnia, selamat berpuasa dan untuk teman2 Apsas lain. Saya ingin bertanya 2 hal saja 1). Pada esai sampean sering sebut salah satu motivasi menerjemahkan adalah ingin belajar atau mencuri teknik pengarang yang karyanya sedang diterjemahkan, nah karena sampean banyak penerjemahkan karya banyak pengarang, maka pengarang mana yang sudah ditiru dan dalam bentuk karya apa? 2). Nama tokoh asing dijadikan nama khas Indonesia, dulu kita berdua pernah diskusi di miling list, kalau tak salah tentang nama gadis di Tunisia dari karya Tahar Ben Jelloun yang sampean terjemahkan menjadi nama khas Indonesia dan ini secara bunyi mirip, aku sudah lupa, seberapakah kepentingan mengubah nama tokoh2 itu ke dalam nama khas kita? Terus terang aku salut dengan Mas Anton dari jenis karya2 terjemahannya rata2 novel berbobot dunia, sebut saja, Miserable karya Victor Hugo dan Lolita karya Nabokov. Terima kasih.”

Anton Kurnia: “Terima kasih, Mas Sigit.
1. Ada banyak penulis yang berpengaruh terhadap proses kepenulisan saya sendiri. Saya tidak bisa menyebut satu per satu secara spesifik. Dari sekian banyak itu, antara lain adalah Kafka. Mungkin ada beberapa sisi dari hayat dan karya Kafka yang bagi saya menyentuh secara personal. Salah satunya bagaimana Kafka kerap memperhadapkan individu dan (norma) masyarakat/sosial dan konstruksi struktural yang mengerangkeng individu. Konsepsi saya tentang Kafka dan Praha saya tuangkan dalam sejumlah esai, antara lain di buku Mencari Setangkai Daun Surga (2016).
2. Menurut saya, nama dalam teks sastra itu penting dan kerap terkait dengan konteks. Itu sebabnya terkadang saya “menerjemahkan” atau mendomestikasi nama tokoh sesuai kebutuhan teks dan konteks. Ada satu cerpen karya pengarang Puerto Rico, Luis Rafael Sanchez, yang saya terjemahkan sebagai “Mata Biru”. Waktu cerpen terjemahan itu hendak dimuat di Koran Tempo, redaktur Nirwan Dewanto bertanya, kenapa saya mengubah nama tokoh pria dari Fortuna menjadi Fortunato (kebetulan ND memiliki buku yang menjadi sumber terjemahan, jadi dia tahu perubahan itu). Saya bilang nama Fortuna dalam konteks Indonesia itu dianggap feminin, sementara dalam teks itu Fortuna adalah sosok lelaki macho, playboy, badboy, berandal. Nggak cocok dengan nama Fortuna. Jadi saya ubah jadi Fortunato yang lebih macho dan cukup bernuansa Latin juga seperti Bebeto, Renato, Neto. Saya juga mengubah nama tokoh-tokoh di novel Haroun and the Sea of Stories karya Salman Rushdie, karena Salman menggunakan nama tokoh sesuai sifat dan konteks (dlm bahasa Ingris) di novel itu. Jadi, tokoh Buttoo yang selalu berkata “but… too”, misalnya, saya ubah jadi Tapipun yang suka bicara “tapi… juga” atau tokoh Page menjadi Halaman (konteksnya halaman buku). Jadi, perubahan nama itu tergantung konteks dan kebutuhan.”

Sigit Susanto: “Terima kasih banyak, jawaban yang sangat gamblang.”

Jamal OM Buku: “Mas, saya mau bertanya, kenapa terjemahan Lolita berbeda-beda teksnya? misal di satu edisi novel tertulis “Api Sulbi” tapi di edisi lain jadi “Api Kelangkang”, padahal sama-sama hasil terjemahan Mas Anton. Saya baru baca paragraf awal, belum baca semua, jadi edisi yang mana yang sebaiknya saya baca?”

Anton Kurnia: “Setiap edisi ganti sampul, teksnya saya baca ulang. Saya perbaiki. Kini sudah ada 5 versi sampul Lolita. Saya sarankan baca edisi terakhir.”

Anton Kurnia: “Ini yang terbaru.”


Jamal OM Buku: “Wah, saya kira 4x ganti cover mas. Sudah 5 ternyata.”


Anton Kurnia: “Sampul pertama ilustrasinya mirip sampul kedua, tapi tak ada stop press BESTSELLER. Dicetak hanya 1.000 eksemplar pada Maret 2008. Di luar dugaan ternyata sangat laris. Segera dicetak ulang sekitar sebulan kemudian dengan oplah 3.000 dan sampul baru di atas.”

Jamal OM Buku: “Terimakasih jawabannya, Mas…”

Muhammad Fajrin: “Kapan lanjut nerjemah seri terakhir novel Tariq Ali, night of the golden butterfly, bang Anton Kurnia ? hehehe”

Anton Kurnia: “Kapan-kapan.”

Ida Fitri: “Saya ikut menunggu.”

Ida Fitri: “Saya sedang membaca My Name is Red apa Hitam itu nama orang Turki atau nama yang diterjemahkan? (Ini buku Pamuk yang ketiga yang saya baca dan saya merasa ini lebih baik dari dua buku Pamuk lainnya meski ada aroma As I Lay Dying. Tapi Pamuk juga meninggalkan jejaknya sendiri.”

Anton Kurnia: “Dalam edisi asli bahasa Turki, dia bernama Kara. Dalam terjemahan Inggris bernama Black. Keduanya bermakna Hitam. Nama-nama miniaturis juga “diterjemahkan”.
Nama-nama Shekure dan Orhan adalah nama Turki yang dibiarkan apa adanya. Menurut Pamuk, model untuk Shekure adalah ibunda Pamuk sendiri. Orhan adalah Pamuk kecil.”

Ida Fitri: “Ini hal baru untuk saya, karena nama ternyata juga wajar diterjemahkan. Kalau judul buku memang lazim diterjemahkan. Menerjemahkan itu menurut saya cukup rumit, tidak cukup bermodal kamu cuma paham bahasa Inggris. Terima kasih sudah menerjemahkan buku buku babon, sehingga orang macam saya bisa ikut menikmatinya.”

Esti Nuryani Kasam: “Menurut Mas Anton, penerjemah karya sastra oleh penerjemah yang tidak kompeten dalam dunia sastra, artinya Si Penerjemah biasanya menggeluti akademis, sekalipun sastra misalnya, seberapa besar prosentase keberhasilannya?”
Anton Kurnia: “Saya tidak tahu. Tentu sulit menentukan persentasenya. Tidak bisa digeneralisasi. Keberhasilan dalam penerjemahan ditentukan banyak faktor. Kompetensi dalam arti kemampuan teknis dan wawasan adalah salah satunya. Penerjemah karya sastra yang berlatar akademis belum tentu lebih mampu menerjemahkan ketimbang yang tidak.”

Esti Nuryani Kasam: “Terima kasih Mas, terus berkarya dan produktif.”

Sigit Susanto: “Terima kasih Mas Anton Kurnia atas waktu dan tenaga untuk berbagi pengalaman berharga dalam terjemahan. Buatku sampean the most important indonesia literature translator, sayang belum ada penghargaan besar dari lembaga bergengsi ya. HB Jassin nerjemahkan Max Havelaar tahun 1972 diundang pemerintah Belanda. Kalau Pamuk bertemu sampean, kukira ia akan merangkulnya. Aku sendiri pernah minta tanda tangan Pamuk pada novelnya saat bedah buku Museum of Innocence di kota Lucern, Swiss. BRAVO Mas. Apsas hanya bisa meminta pengalaman sampean, tak mampu memberi apa-apa.”

Anton Kurnia: “Terima kasih, Mas Sigit. Banyak penerjemah lain yang lebih layak mendapat penghargaan ketimbang saya. Dan terima kasih atas tanggapan kawan-kawan semua. Satu kebahagiaan dan kehormatan bagi saya dapat berbagi sedikit pengalaman di sini. Salam takzim.”
***

Sebagian buku-buku terjemahan karya Anton Kurnia:


http://sastra-indonesia.com/2021/04/obrolan-penerjemahan-karya-dari-bahasa-inggris-ke-bahasa-indonesia-bersama-anton-kurnia-ii/

Tinggalkan Balasan