SENYAP YANG LEBIH NYARING

Eka Kurniawan *

Tugas seorang penulis, dan intelektual secara umum, adalah bersuara. Tapi sejarah memperlihatkan, ada kalanya penulis memilih pesan bisu. Satu waktu, Gabriel García Márquez dan Mario Vargas Llosa pergi menonton film di bioskop. Entah apa yang terjadi di dalam, keduanya terlibat adu jotos.

Kita hanya tahu melalui satu foto terkenal di mana Márquez keluar dari bioskop sudah dalam keadaan mata membengkak. Sampai akhir hayatnya, Márquez memilih bisu tentang apa yang terjadi, demikian pula Llosa sampai hari ini. Ada yang bilang itu menyangkut pilihan politik mereka (Márquez dikenal sebagai orang kiri, Llosa dari kiri kemudian menjadi kanan-liberal), tapi ada juga yang bilang itu urusan perempuan belaka. Tak ada yang tahu.

Kedua peraih Nobel itu memilih bisu. Seumur hidup mungkin tak akan ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan barangkali itu lebih baik. Kebisuan yang paling “mengharukan” bagi saya tentu saja kebisuan Albert Camus di tahun-tahun terakhir hidupnya, terutama menyangkut perseteruan dan pertengkarannya dengan Jean-Paul Sartre, orang yang pernah menjadi sahabat dekatnya.

Camus tak hanya berhenti bicara dengan Sartre, juga berhenti menulis tanggapan secara langsung, dan tak juga bicara tentang Sartre dengan orang lain secara terang-terangan. Kita tahu pertengkaran mereka dipicu oleh dua hal: perang Alzajair dan dukungan Sartre untuk Uni Sovyet. Kita tahu, Sartre yang pada dasarnya “intelektual belakang meja”, dari keluarga borjuis Paris, merupakan pendukung komunisme Sovyet dan perjuangan Aljazair membebaskan diri dari koloni Prancis (dengan kekerasan).

Di lain pihak, ironinya, Camus yang merupakan orang lapangan, yang bergerilya dan menerbitkan pamflet bawah tanah, si anak kere proletar, tidak mendukung Sovyet dan perang Aljazair dianggapnya hanya membuat rakyat Aljazair lebih sengsara (ia lahir di sana). Kita tahu pertengkaran mereka demikian meruncing hingga akhirnya Camus “ngambek” dan tak mau bicara lagi dengan Sartre.

Jika bermain Facebook dan Twitter, pasti mereka sudah unfriend dan unfollow. Ada tulisan Sartre yang mengharukan mengenai kebisuan Camus, yang ditulisnya sebagai obituari setelah Camus meninggal dalam kecelakaan mobil. “Enam bulan lalu, atau bahkan kemarin, kami bertanya-tanya, ‘Apa yang akan ia lakukan?’” tulis Sartre. Ia mengakui mereka bertengkar, dan menghormati kebisuan Camus. Tapi itu tak menghalangi Sartre untuk terus bertanya-tanya, buku apa yang sedang dibaca Camus. Jika ia membaca koran, ia bertanya kepada diri sendiri, apa komentar Camus mengenai topik ini? Kadang ia juga mengaku, kebisuan Camus menyakitkan. Ia yakin suatu hari Camus akan bicara, akan berubah sebagaimana dunia berubah.

Tapi Sartre salah. Camus tetap membisu hingga kecelakaan mobil menghentikan hidupnya. Kebisuannya terdengar menjadi sesuatu yang nyaring, dan saya rasa menggema panjang bahkan hingga hari ini. Saya baru membaca sepotong biografi, sejenis kesenyapan dan kebisuan lain dari seorang penulis bernama Djuna Barnes. Tinggal di Paris, di lingkaran para penulis semacam Joyce dan Pound dan Hemingway dan Fitzgerald, ia dikenal sebagai orang yang selalu diam di kerumunan, meskipun mereka juga mengakuinya sebagai “perempuan paling brilian di masanya”. Pamornya yang cemerlang, tapi kebisuannya yang misterius, bahkan membuat dua perempuan penulis yang memujanya “menderita”: Anaïs Nin dan Carson McCullers. “Senyap membuat pengalaman melangkah lebih jauh, dan, ketika itu mati, memberinya martabat sebagaimana terhadap sesuatu yang kita sentuh dan tak lenyap.” Saya suka kutipannya, dan membaca biografi dialah yang membuat saya teringat kebisuan-kebisuan lain dari penulis lain.

Saya juga jadi teringat jurnal yang saya tulis beberapa bulan lalu: di tengah kebisingan, ketika semua orang bisa bersuara, apa tugas penulis? Jawaban saya saat itu dan saat ini tetap: diam. Ada kalanya kita memang harus diam. Tutup mulut dan berpikir lebih panjang. Sebab senyap seringkali memberi pesan yang lebih nyaring dari apa pun. Selamat Natal.

25 Desember 2014


Judul : Senyap Yang Lebih Nyaring Blog 2012-2014
Penulis : Eka Kurniawan
Penyunting : Tia Setiadi
Ukuran : 14 X 21 Cm
Tebal : 351 halaman
Penerbit : Circa
Cetakan I, II : April, Mei 2019

Daftar Isi:
Blog sebagai Remah Roti Hansel dan Gretel, Sebuah Pengantar

2012
-Beberapa Tesis tentang Judul Novel
-Mon Yan, Nobel Kesusastraan 2012
-3 Novel (Buku) yang Aku Berharap
-Aku yang Menuliskannya
-Bagaimana sebagai Penulis Pemula, Saya Menerbitkan Karya Pertama Kali?
-Bagaimana Penulis Mendaur Ulang Cerita Penulis Lainnya Menjadi Kisah Baru yang Memikat
-Seberapa Tua Penulis di Rak Buku Saya?
-IQ84, Haruki Murakami
-Manis Agak Pahit

2013
-Pangandaran
-Pasar Malam
-The Passport, Herta Muller
-Joseph Anton, oleh Salman Rushdie
-Penulis yang Mendesain Sendiri Sampul Bukunya
-Es Krim
-Tentang Terjemahan
-Harta Karun Kesusastraan Indonesia
-Abdullah Harahap
-Bartleby & Co, Enrique Vila-Matas
-Ayah dan Anak
-Ini atau Itu?
-Belajar Menulis Novel
-“Marry You”
-Etgar Keret
-Bagaimana Menilai Buku tanpa Membacanya?
-Belanja
-Apa yang Kamu Pelajari dari Novel?
-Sepak Bola
-All The Pretty Horses, Cormac McCarthy
-Hak untuk Disebut
-Ilustrado, Miguel Syjuco
-Mainan
-Lukacs
-Binatang Liar
-Glosarium
-Gerombolan
-Apa yang Saya Katakan
-Ketika Saya Bicara tentang Sastra
-The Map and the Territory, Michel Houellebecq
-The Invention of Morel, Adolfo Bioy Casares
-Apa Itu Klasik? Apa Itu Cult?
-Animal Farm
-Tiga Penulis
-Di mana Individu?
-Pesan Moral
-Sonora dan Impala
-Adakah Kebenaran dalam Fiksi?
-Satantango, Laszlo Krasznahorkai
-Atomised atawa The Elementary Particles
-Apa Sih, yang Dilakukan Para Penulis Hebat?
-Beberapa Penulis Hendak Menguasai Dunia
-The Naive and the Sentimental Novelist
-Ketika Semua Orang Bisa Bicara, Apa Tugas Penulis?
-Membunuh Samsa di Kamar Mandi
-A Heart So White, Jevier Marias
-Ahli Waris Kebudayaan Dunia?
-Selera
-The Hen Who Dreamed She Could Fly, Sun-Min Hwang
-Traveller of the Century, Andres Neuman
-Sepuluh Cara Meninggalkan Pacar yang Menjengkelkan Menurut Cesar Aira
-Out Stealing Horses, Per Petterson
-Death and the Penguin, Andrey Kurkov

2014
-Droll Stories, Balzac
-Jacques the Fatalist, Denis Diderot
-Yang Berguna Sekaligus Omong-Kosong
-Kawin Silang
-Kritik
-Beberapa Tesis tentang Pu Songling (1)
-Coret-coret di Toilet dan Hal-hal Lain
-Tentang Cerpen
-Beberapa Tesis tentang Pu Songling (2)
-Kata-Kata yang Dibunuh
-Gabriel Garcia Marquez, Obituari
-Call of the Wild, Jack London
-Dua Tradisi
-Agamemnon
-Takashi Hiraide, Andres Neuman, Sjon
-Umur Berapa Seorang Penulis
-Menghasilkan Karya Pentingnya?
-Apa yang Harus Diajarkan di Kelas Menulis?
-Identitas
-Indonesia, Malaysia
-Aristoteles, Novel Sebagai Kehidupan Potensial
-Exemplary Stories, Cervantes
-The Corpse Exhibition, Hassan Blasim
-Apakah Bacaan Kita Tumbuh?
-Philosophy in the Boudoir, Marquis de Sade
-Di Sini Monologue Interieur Bermula
-The Double, Dostoyevsky
-Merdeka Memilih Sejarah
-Rumah dalam The Wind in the Willows
-Tsukuru yang Tidak Berwarna
-Apa yang Saya Pikir tentang Penyuntingan?
-Pembaca Kreatif
-Clarice Lispector, El Boom, Penerjemahan
-Bajingan di Dua Novel Picaresque Spanyol
-Tujuh Alasan untuk Tidak Membaca Novel
-Robert Musil
-Emma Bovary
-Tristram Shandy
-Maupassant
-Esai
-Honeymoon, Patrick Modiano
-Petualangan Alice di Negeri Ajaib
-Karakter-karakter Minor Shakespeare
-Apa yang (Asyiknya) Dibicarakan Penulis?
-130 Tahun Huckleberry Finn
-Menulis Aku
-Senyap yang Lebih Nyaring
-Homer
-Queequeg

***

*) Eka Kurniawan lahir di sebuah desa, dua jam dari Tasikmalaya, 28 November 1975, dan tinggal di sana dengan keempat kakek-neneknya. Desa itulah yang menjadikan pijakan awal O Anjing, dan beberapa bahan lainnya diperoleh dari tempat berbeda: ia mengikuti orangtuanya tinggal di perkebunan karet di Cilacap, sebelum mereka pindah lagi ke kota kecil Pangandaran. Di kota itulah masuk SMPN 1 Pangandaran dan keinginan menulis mulai tumbuh. Barangkali didorong perkenalannya dengan buku-buku bacaan yang disewakan oleh taman bacaan yang berkeliling dengan sepeda. Puisi pertamanya muncul di majalah anak-anak Sahabat. Ia juga menulis cerpen-cerpen lucu untuk dibaca teman-temannya. Sekolahnya dilanjutkan ke SMAN 1 Tasikmalaya dan tinggal bersama bibinya. Di sana dirinya lebih banyak di perpustakaan sekolah, dan menulis di rumah (ayahnya menghadiahkan mesin tik portable, karena berhasil meraih lima besar lulusan terbaik) hingga merasa bosan. Ia awali perjalanan selama berminggu-minggu melintasi kota-kota hingga Jakarta, kemudian berbelok ke timur melewati Cirebon, Tegal, dan Purwokerto. Ketika balik, sekolah telah mengeluarkannya, sehingga terpaksa ke Pangandaran, masuk SMA PGRI, satu-satunya sekolah yang mau menerimanya tanpa harus mengulang kelas. Selama 4 semester berhasil mempertahankan ranking pertama tanpa kehilangan kegemarannya membolos; ia suka menjelajahi daerah-daerah sekitar. Tempat favoritnya rawa-rawa Segara Anakan (tempat Nusa Kambangan berada), pelabuhan Cilacap, gua-gua peninggalan Jepang, dan mencoba menulis cerita tentang itu semua. Seusai sekolah melanjutkan ke Fakultas Filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat ia berharap bertemu banyak orang yang bisa mengajarinya menulis. Karyanya sudah terbit tiga novel: Cantik itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014). Empat kumpulan cerpen: Corat-coret di Toilet (2000), Gelak Sedih (2005), Cinta Tak Ada Mati (2005), dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015). Kumpulan esainya: Senyap yang Lebih Nyaring (2019), Karya non fiksinya: Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999).

***
http://sastra-indonesia.com/2021/04/senyap-yang-lebih-nyaring/

Tinggalkan Balasan