BAJAK LAUT, BAJAK SAWAH, BUKU BAJAKAN


Gol A Gong *

Sewaktu kecil, saya sesekali mengenakan topi bajak laut dan mencegat Emak atau Bapak di halaman rumah. Saya periksa tas oleh-olehnya. Saya bajak dulu oleh-olehnya. Pokoknya saya senang jika berhasil menjadi orang pertama yang mendapatkan oleh-oleh.

Di hari lain, saya sering menyendiri di Banten Utara. Membayangkan jadi Sultan Ageng Tirtayasa; dia memandangi persawahan yang membentang di hadapannya. Para petani membajak sawah dengan kerbaunya. Tapi kenapa Banten Utara masih jadi daerah miskin seperti ketika Multatuli mengabarkannya di novel Max Havelaar?

Kini saya duduk gelisah. Kawan-kawan sesama penulis mengabarkan tentang Tere Liye yang marah-marah kepada para pembajak buku dan mengkategorikan pembeli buku bajakan itu “goblok”. Eka Kurniawan juga memrotes. Kurnia Effendi dan masih banyak lagi. Di tahun 90-an, ketika Tere dan Eka masih jadi pembaca, buku-buku saya juga dibajak. Belum ada internet, sehingga saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menulis buku yang baru.

Kemudian apa yang harus saya lakukan sebagai Duta Baca Indonesia? Ya, menulis.


Sudah 4 hari saya membagi-bagikan buku motivasi “Gigih” (Republika) karya Diday Tea alias Dedy M Sugiharto dan novel Balada SiRoy karya saya kepada orang-orang yang berkunjung ke stand Rumah Dunia sambil menghimbau jangan membeli buku bajakan. Ini seperti gerakan “mengganggu”. Anda membajak buku, saya membagikan buku secara gratis. Moral combat.

Saya juga menyaksikan bagaimana warga Banten membelanjakan uangnya di Festival Hari Buku Nasional, yang digagas IKAPI Pusat dan Banten. Lokasi di auditorium Untirta Banten, kampus baru Sindangsari, Pabuaran, Kabupaten Serang, tidak membuat patah semangat. Mereka berdatangan dari pelosok Banten, bahkan dari Lampung, Jakarta, Bekasi, dan Bogor.

Mereka rata-rata membeli buku yang diskonnya gila-gilaan di zona kalap. Tapi di zona diskon hingga 25% juga ramai. Orang-orang mengantre. Pemandangan di depan saya ini seolah-olah sedang ada perlawanan terhadap fenomena buku bajakan di toko online.

Sementara itu selain fenomena buku bajakan, kita juga dihadapkan pada fenomena rendahnya minat baca orang Indonesia. Menurut UNICEF, dari 1000 orang Indonesia hanya 1 yang membaca. Atau PISA (2016) meneliti kemampuan membaca, matematika, dan science pelajar Indonesia di urutan ke 60, satu tingkat dari negara Wakanda di urutan 62.

Saya akan membahasnya. Antara minat baca yang rendah dengan buku bajakan itu terjadi tarik-menarik.

Anda percaya minat baca orang Indonesia rendah? Saya: tidak! Saya hampir setiap hari berada di lapangan. Saya menemukan jawabannya. Ternyata lebih kepada sulitnya mengakses buku-buku. Di Indonesia tersebar belasan ribu taman bacaan masyarakat, perpustakaan desa, komunitas literasi dimana koleksi buku mereka tidak variatif. Terutama di Indonesia Timur. Forum TBM, 1001Buku, dan Pustaka Bergerak mencoba mencarikan solusi dengan membagi-bagikan buku secara gratis. Maman Suherman secara pribadi – bekerja bersama jasa pengiriman JNE – mengirimkan buku-buku ke NTT dan Papua.

Anda percaya orang Indonesia senang membeli buku bajakan? Saya: tidak. Saya lebih mempercayai, jika orang-orang lebih memilih buku yang harganya murah. Kenapa harus membeli yang mahal, jika ada yang murah? Fenomena itu sering kita jumpai di mana-mana. Jika ada pesta diskon gila-gilaan seperti di Festival Hari Buku Nasional ini, orang-orang menyerbu.

Pertanyaan menarik adalah: kenapa bisa ada harga buku terjun bebas, yang kemudian sering juga dikeluhkan penulis? Atau penulis A mengunggah foto di medsos: Buku lu parah, harga murah! Buku gua nggak ada, berarti best seller, dong!

Saya tidak bisa bisa menyalahkan pembeli buku bajakan, apalagi dengan embel-embel: goblok. Hukum pembeli adalah mencari barang dengan harga semurah mungkin. Tapi menyalahkan pembajak buku juga tidak cukup. Mereka melihat permintaan tinggi, maka mereka memenuhinya. Hukum dagang.

Lantas: bagaimana?

Pemerintah sudah mengeluarkan UU nomor 3/2016 dan turunannya PP Nomor 75/2019 tentang Sistem Perbukuan. Tapi belum ada satu provinsi pun yang meresponnya dengan membuat Perda serupa di daerah. Itulah yang disebut “hulu literasi”; mereka adalah para gubernur dan anggota dewan. Kita di “hilir literasi” sudah jungkir balik mengurusi literasi masyarakat secara swadaya.

Hulu Literasi di daerah seharusnya segera membuat Perda Perbukuan, agar ekosistem perbukuan sehat. Penerbit, penulis, toko buku, dan pembeli terlindungi. Di Banten, Andi Suhud Trisnahadi (Ketua IKAPI Banten) dan Dr. Firman Venayaksa, M.Hum (Direktur Untirta Press) sudah memulainya dengan Maman Fathurrohman , Ph.D (Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan), Kemdikbud RI, menginisiasi “Sosialisasi Perda Sistem Perbukuan” di awal puasa lalu. Semoga tidak lama lagi Perda Sistem Perbukuan di Banten terbit.

Saya yakin, jika Perda Sistem Perbukuan di semua daerah di Indonesia dibuat, kita akan bersepakat bahwa buku murah yang kita sebut buku bajakan itu bisa diproduksi para penerbit. Para pembeli akan berduyun-duyun ke toko buku dan mengantre di kasir, karena buku jadi murah harganya. Buku akan semakin tinggi derajatnya.


Jadi, kamera para penulis diputarbalikkan sekarang. Arahkan ke para gubernur dan DPRD di wilayah masing-masing.

Bagaimana menurut Anda?
Jika berbeda pendapat, tetap satu tujuan. Yaitu: harga buku jadi semurah buku bajakan.

Serang 30 Mei 2021

*) Gol A Gong, Duta Baca Indonesia 2021-2025, Berdaya dengan Buku.
http://sastra-indonesia.com/2021/06/bajak-laut-bajak-sawah-buku-bajakan/

Tinggalkan Balasan