Bersepeda dari Swiss ke Iran

Writer Klub, Patrick dan Martina


Sigit Susanto

ZUG, di gedung tua Industrie45, Industri Strasse 45, pada Jumat 28 Mei 2021 ada 2 pengontel sepeda bernama Patrick dan Martina, pacarnya bercerita sambil menunjukkan foto-foto perjalanan unik mereka dari Swiss menuju Iran. Yang lebih unik, perjalanan dengan sepeda ini juga diikuti seekor anjing hitam bernama Zora.

Acara ini diselenggarakan oleh Writer Klub, sekelompok penyuka menulis dari berbagai bangsa di kota Zug. Kebetulan aku sebagai salah satu anggotanya dan diberi tugas untuk mempersiapkan acara ini. Sedianya acara ini akan diadakan di kebun terbuka, mengingat di era pandemi, cuma di musim semi akhir ini, matahari masih mencorong walau sudah pukul 21.00. Sebab itu kami pilih di ruang tertutup.

Menjelang pukul 19.00, Patrick datang ngontel sepedanya yang dipakai keliling ke berbagai negara itu. Anjing Zora mengikuti dari belakang. Tak lama lagi, Martina datang dan disusul para hadirin. Dua teman Indonesia hadir di acara ini, yaitu musikus Rosidi dan jurnalis Krisna.

Ketika hadirin sudah duduk di kursi dan saling berjarak 2 meter sambil memakai masker, Rosidi naik panggung menyanyikan lagu Country Road. Sebetulnya, sebelum Patrick dan Martina berangkat melakukan petualangannya, perpisahannya juga di tempat ini. Lagi-lagi Rosidi kala itu juga tampil menyanyikan lagu No Woman No Cry.

Patrick dan Martina dengan santai sambil duduk di panggung, menjelaskan foto-foto di layar lebar. Foto pertama masih tampak bendera Swiss di perbatasan Italia. Ia menginap 4 hari di rumah temannya di perbatasan Italia itu.

Dilanjut foto membelah desa-desa di Italia dan tampak foto tenda di tengah ladang. Dilanjutkan foto dengan sepeda di tengah kota Roma. Wah, menarik sekali dua anak muda Swiss itu bercerita silih berganti terasa santai.


Foto berikutnya berada di kapal menuju Yunani. Nah, saat mereka di pulau Kereta di Yunani ini, Patrick sempat mengirim foto ke no WAku, sebuah plang bertuliskan, Bali. Aku tahu memang ada sebuah tempat di pulau itu bernama Bali. Ia juga tahu, aku pernah bekerja di Bali. Aku terharu di tengah repotnya perjalanan dengan sepeda masih ada waktu mengirimkan foto, walau lewat ponsel.

Kebetulan hadirin ada dari Yunani dan punya keluarga di pulau Kereta, maka ia diminta bercerita sedikit tentang pulau indah itu. Pada sebuah jalan sempat kesasar, karena jalan buntu dari bebatuan. Sehingga mereka harus kembali memutar, bahkan memanggul sepedanya. Di antara kesusahannya ada bonusnya. Di sebuah kota ada rombongan ibu-ibu bersepeda dan sekitar 30 perempuan semua bersepeda, bergabunglah Martina. Menurut mereka bersepeda belum menjadi kebiasaan orang Yunani.

Layar lebar menampakkan foto menyeberang ke Turki. Nah, di sini cukup banyak kisahnya. Pertama, di suatu malam, mereka menginap di hotel guru. Ternyata di Turki di banyak kota ada hotel yang khusus diperuntukkan para guru. Kebetulan Martina adalah guru bahasa Jerman untuk orang-orang asing di kota Zug.

Ketika mereka tinggal di hotel guru ini, Si Zora ditidurkan di tenda di halaman hotel. Tak tahunya, ketika sore ditengok di dalam tenda, Zora sudah kabur. Kontan mereka mencari keliling desa, nyaris putus ada tak ditemukan sama sekali. Ketika mereka sudah patah harapan, seorang anak muda di malam hari datang mengantar Zora.

Kedua, ada foto ribuan buah apel ditaruh di atas tikar. Rupanya di desa itu para petani sedang panen apel. Mereka ditawari membawa 10 kg apel, namun tidak bisa karena masing-masing sepeda beratnya sudah mencapai 28 kg.

Ketiga, perjalanan hendak mencapai perbatasan negeri Iran. Mereka menemukan tempat ladang pasir yang kosong. Ketika tenda hendak didirikan, datang polisi yang semi tentara Turki. Mereka diizinkan mendirikan tenda di situ. Ketika tenda sudah didirikan, tak lama lagi pasukan polisi-tentara datang memberitahu, mohon tenda diambil lagi, karena lokasi itu dipakai latihan gencatan senjata. Waduuh, cepat-cepat mereka kabur dan melanjutkan perjalanan, biar aman.

Satu hal yang aku anggap baru yaitu ternyata cara mandinya sangat antik. Pengontel sepeda ini membawa semacam tas plastik yang bisa diisi air, lalu tas plastik warna biru yang sudah berisi banyak air itu digantung di pohon. Nah, cara mandinya, di tas itu ada semacam kran yang bisa dibuka, dan air mengucur seperti shower atau hujan buatan. Luar biasa. Tentu untuk orang Indonesia yang biasa mandi di bak kamar mandi, lebih senang mencari air di kali terdekat.

Di sebuah kota di Turki tampak rumah-rumah putih dengan menara masjid menjulang. Kebetulan ada hadirin dari Turki dan ia sebut, itu kota dia dulu berasal. Lagi-lagi, hadirin itu disuruh cerita sedikit tentang kotanya.

Sebelum masuk Iran, mereka sudah mengurus izin visa di kota perbatasan dan kebetulan di jalan beraspal panjang, mereka tak sanggup lagi mengontel, mungkin kepayahan. Kadang kalau jalan menanjak, Zora disuruh jalan sendiri, kalau jalan datar, Zora dinaikkan di kereta gandeng di belakang sepeda.

Berhentilah sebuah truk panjang dan setelah diadakan percakapan, sekiranya 2 sepedanya dan seekor anjing bisa diangkut? Rupanya sopir truk dari Turki itu sangat ramah dan bersedia membantu. Perjalanan dengan truk itu mencapai lebih 1000 kilometer memasuki Iran. Di luar dugaan, sang sopir tidak mau dibayar. Ia mengatakan, akan merobek hatinya, jika mereka harus membayar.

Buat pengontel Swiss yang biasa hidup di masyarakat individualis, terasa asing dan kisah dengan sopir truk ini semacam high light dalam perjalanan yang tak terlupakan. Ini awal kesan mendalam, ternyata Gastfreundschaft alias keramahan terhadap tamu luar biasa.

Memasuki Iran, Martina mulai sadar di sana semua perempuan berjilbab, ia pun menyesuaikan diri. Di Turki tidak seperti di Iran, cuma di Turki di jalan-jalan dan kedai kopi banyak lelaki terlihat, nyaris perempuan jarang kelihatan. Di Iran sebaliknya, perempuan banyak di luar.

Pada suatu saat Martina diajak bertemu dengan kelompok perempuan. Mereka ada profesor, doktor ada beberapa lulusan perguruan tinggi. Mereka sangat ramah dan mereka mengaku, mendambakan sebuah kebebasan dalam hidup sehari-hari.

Perjalanan dengan membawa anjing, sebetulnya sangat merepotkan. Di Iran secara umum anjing dilarang dipelihara, walau ada warga yang memelihara, namun Zora aman saja.

Pengontel ini membuat tenda di sebuah ladang, tampak kilang minyak dengan api berkobar di atasnya. Siang tidak menarik, namun malam tiba menjadi panorama indah. Suatu kali Martina, keluar dari tenda mencari sesuatu di warung dan lupa memakai jilbab. Lelaki yang melihatnya justru acung jempol. Barangkali para lelaki juga rindu melihat rambut perempuan di jalan.

Dari Turki menuju Yaman dan di sini mulai terasa ada perbedaan. Menurutnya di Iran pengaruh agama tidak tampak. Mereka tak pernah melihat warga berbondong-bondong ke masjid seperti di Yaman dan negara Arab lain. Mereka menlanjutkan perjalanan sampai di Abu Dhabi dan berpindah ke Maroko.

Sesampai di Maroko pecah pandemi corona. Perjalanannya sudah memakan 9 bulan. Mereka harus kembali. Sebelum mereka pulang ke Swiss. Mereka sempat 2 Minggu keliling Maroko dengan menyewa mobil.

Sampai di sini paparan selesai dilanjutkan tanya jawab. Rosidi bertanya, apakah tidak takut bertemu ular berbisa, karena kadang tidur di tenda di alam terbuka? Dijawab oleh Martina, ia sempat lihat seekor kalajengking. Patrick mengakui seumur-umurnya pernah alami buang air besar tanpa kertas toilet. Kontan para hadirin tertawa.

Sebagai penutup aku mewakili Writer Klub menyerahkan kenang-kenangan sebuah sepeda kecil yang kubeli di emperan Malioboro. Dengan dibungkus rapi, mereka membuka dengan hati-hati dan girang setelah melihat isinya, wao sepeda made in Indonesia. Sementara teman lain menyerahkan bunga dalam pot.
***


http://sastra-indonesia.com/2021/05/bersepeda-dari-swiss-ke-iran/

Tinggalkan Balasan