Skandal : cerpen Bidadari Bunga Sepatu karya Afrilia dan Pengakuan Terbuka! A.S. Laksana

Bidadari Bunga Sepatu


A.S. Laksana *
JawaPos.com, 6 Juni 2021

Satu kali ia datang ke dalam mimpiku, dengan paras cantik, seperti orang mati yang berubah menjadi bidadari, dan aku menyapanya, ”Hai.”

IA mengabaikan sapaanku dan pergi meninggalkanku, menyelinap di antara rumpun bunga sepatu di pekarangan. Ia dan bunga sepatu hilang pada saat aku membuka mata dan aku merindukan keduanya, ia dan bunga sepatu. Bertahun-tahun aku berharap mimpi itu muncul lagi, tetapi tak ada mimpi kedua tentangnya.

”Mungkin sekarang kita bisa meneleponnya, Nyonya Maria,” kataku.

Nyonya Maria melintas di depanku dari jalur berbatu-batu putih yang membelah warna hijau rumput-rumput pelataran, dan di pelataran itu batang-batang cemara tegak berjajar, dan Nyonya Maria berhenti sebentar.

”Ia yang akan menelepon. Ia bilang ia yang akan menelepon,” katanya.

Ia adalah Akina, wanita Jepang bersepatu merah tumit tinggi, sepatu yang berbunyi seperti tapak kuda setiap ia melangkah. Aku tak pernah melihat perempuan secantik itu datang ke rumahku.

”Kamu seperti bidadari!” kataku.

Aku sedang memetiki bunga sepatu di pelataran rumah, menyesap pangkal-pangkalnya, mendapatkan rasa manis pada tetes cairan di pangkal-pangkal bunga itu. Ia datang bersama ayah. Kuserahkan kepadanya bunga yang belum kusesap, bunga sepatu, semerah sepatunya yang berderap seperti kuda.

Ia tersenyum, ”Gushonu hana!” katanya.1

”Kau benar, Sani. Akina adalah bidadari!” kata ayah.

Saat itulah aku tahu namanya, dan aku senang mendengar persetujuan ayah, dua belas tahun silam, saat surga, bidadari, dan kematian hanyalah gambar di benak kanak-kanakku. Kupikir ayah mungkin telah melakukan hal yang Jaka Tarub pernah lakukan: ia mencuri selendang dan menghadiahi aku seorang ibu yang tak pernah kumiliki.

Akina adalah bidadari dengan sepatu yang berbunyi seperti derap kuda. Ia berbeda, sepatunya berbeda. Semua sepatu biasanya pendiam kecuali sepatu Akina. 2 Di kepalaku terdengar lagu ”Pada Hari Minggu” dan aku membayangkan suara sepatu kuda berderap dari kejauhan dan kuda meringkik ketika kereta menepi. Ayah sering tersenyum di sebelah Akina, seperti kuda meringkik dan menepi.

Akhirnya kami berkendara bersama, bukan pada hari Minggu dan bukan ke kota seperti dalam lagu, melainkan ke tempat jauh, terlalu jauh, tempat terjauh sepanjang hidupku. Aku tertidur karena setiap kali aku bersemangat mengajak Akina bicara ayah selalu menyela dengan meletakkan jari telunjuk pada bibirnya. Pengetahuan pertamaku tentang bidadari adalah fakta bahwa mereka tak bicara. Aku lelah memandang jalan yang kabur oleh hujan badai yang tak berakhir, dengan wiper mobil yang terus bergerak ke kiri dan ke kanan, seolah sedang menyihir mataku. Aku tertidur.

Saat aku bangun Tuhan sudah selesai menyapu bersih warna hitam pada langit dan aku bertanya pada ayah di mana kita dan ia menjawab, ”Di surga!”

Ayah pernah berkata, ketika aku bertanya tentang ibu, bahwa ibuku telah menjadi bidadari di surga. Ayah menceritakan surga seolah-olah surga adalah taman bermain bagi orang-orang yang sudah mati, dan ibu adalah bidadari yang menemukan surganya dan ia senang bermain di sana tanpa harus menceboki aku atau memberiku susu saat malam.

”Kita akan bertemu ibu?” tanyaku.

”Surga tak cuma satu,” katanya.

Kupikir hanya ada satu. Tapi aku paham bahwa taman bermain memang ada bermacam-macam. Dan sebuah tempat bernama surga pasti letaknya jauh, dari dulu aku meyakini itu, dan kami sudah pergi sangat jauh, dan itu bisa kujadikan alasan untuk memercayai kata-kata ayah bahwa kami tiba di surga. Aku memang selalu memercayai kata-kata ayah karena aku hanya hidup berdua dengannya dan ayahku tak pernah seperti ayah orang lain. Ia tak pernah merasa perlu berbohong, seperti ia tak merasa perlu menghiburku karena ia sendiri memerlukan hiburan untuk dirinya.

Kendaraan memasuki pekarangan dengan sebuah bangunan yang terlihat seperti kastil tua. Ayah dan Akina menggandengku masuk ke dalam bangunan yang dikelilingi oleh tembok pagar yang tinggi dan pohon-pohon besar yang menjulang. Kami melangkah di atas batuan putih yang berderik kala terinjak dan itu menambah kesan suram-muram pada tempat ini.

Seorang wanita paro baya dengan wajah kaku menyambut kami dengan menyebut namaku. Ia memaksakan suaranya terdengar ramah dan itu membuat ia terlihat tersengal oleh napasnya sendiri.

”Mari kutunjukkan tempat bermain!” katanya.

”Ikutlah dengannya, Sani!” kata ayah dengan jari telunjuk yang ia tekan pada belakang bahuku, mendorong aku maju.

Usiaku enam tahun lewat tujuh bulan saat itu, saat bidadari meninggalkan aku di tempat itu dan pergi membawa ayahku tanpa pernah kembali lagi.

”Nyonya Maria, bisakah kau menelepon ayahku?” tanyaku.

”Nanti, kau bisa menelepon ayahmu sendiri setelah cukup banyak belajar!” katanya sehari setelah ayah meninggalkan aku.

Sehari, seminggu, sebulan, aku tak pernah lagi mendengar derap kuda kaki-kaki Akina yang berwarna merah. Aku hanya menemui wajah kaku wanita tua, Nyonya Maria. Sepertinya Nyonya Maria bukan bidadari; ia tidak cukup cantik untuk menjadi bidadari.

Hari-hari kemudian adalah hari ia terus mengulangi kata-katanya di setiap jarum jam berputar kembali ke angka dua belas. Setiap kali aku bertanya, aku akan mendapatkan jawaban yang sama dan aku akan terus-menerus mencoba memercayainya. Kata-kata Nyonya Maria memang lebih baik dipercayai tanpa perlawanan, sebab tidak memercayai kata-katanya akan sama dengan menambahkan sesak napas setelah lelah menangis.

Setelah lima tahun kepergian ayah, aku kembali bertanya kepada Nyonya Maria.

”Nyonya Maria, bisakah kau menelepon ayahku sekarang?”

Kali ini Nyonya Maria tak menjawab. Ia tak lagi mengatakan kata-kata penuh harapan. Ia hanya diam. Aku berpikir tak mungkin akan mendapatkan jawaban lain dengan pertanyaan yang sama, maka aku perlu membuat pertanyaan lain.

”Nyonya Maria, bisakah kita menelepon bidadari?”

Nyonya Maria tetap diam. Ia masih melihatku dengan wajah kakunya.

”Sudah lima tahun, tetapi kau tak juga belajar sesuatu?” katanya.

Aku pikir aku telah cukup belajar tentang kematian setelah lima tahun dan, seperti bunga sepatu yang membawa kehidupan baik setelah kematian, aku rasa sekarang adalah waktunya. Namun, aku tak mengatakan apa-apa yang ada dalam pikiranku. Aku hanya memandang wajah Nyonya Maria dengan tatapan permohonan dan raut menyedihkan. Perempuan tua itu mungkin mudah tersentuh oleh wajah menyedihkan seorang anak, tetapi ia tetap tak peduli berapa ratus kali pun aku memohon.

”Ayahmu telah memilih surganya pada hari kau menginjak tempat ini, Nak!” kata Nyonya Maria.

Aku terdiam. Aku berharap Akina adalah bidadari yang sesungguhnya sejak semula aku melihatnya di balik perdu bunga sepatu pekarangan rumahku. Ia adalah bidadari dengan langkah seperti derap kuda, dan ia akan datang lagi menjemputku bersama ayah. Ia adalah bidadari yang akan membawa aku dan ayah bertemu ibu, agar ibu tak hanya bersenang-senang sendiri di surga. Aku memikirkan hal itu bertahun-tahun.

Namun, kata-kata Nyonya Maria hari itu meresahkanku. Ia mengatakan surganya. Akhiran ”nya” berarti sebuah kepemilikan, sama dengan rumahnya, ibunya, ayahnya. Ayah pergi ke surganya seperti ibu pergi ke surga miliknya sendiri.

Aku terkenang pada kehidupanku dahulu saat bersama ayah. Saat aku mengompol tengah malam dan ayah marah karena harus mengalasi kasur dengan alas plastik agar bisa melanjutkan tidur. Ia mengelap kasur sambil memaki ibu dan aku bertanya kepadanya, ”Kenapa ibu lebih suka di taman bermain surga daripada bermain bersama kita, Ayah?”

Aku takut oleh pikiran bahwa ayah juga akan memilih bersenang-senang di taman surga seperti ibu dan tak ingin mengajakku.

”Aku juga akan ke taman surga, Ayah!”

”Ya, nanti pergilah setelah kau berumur delapan belas tahun!”

Suaranya terdengar marah; ia juga memandangku dengan mata marah dan pergi malam itu walau aku menangis. Ia mengatakan akan pergi ke taman bermain mencari bidadari yang tidak pergi meninggalkan anak dan tidak pula menyewa pengacara yang memaksa dirinya membesarkan anak hingga berumur delapan belas. Ayahku tak pernah berbohong.

Di usia delapan belas, aku mendengar lagi derap kaki kuda. Nyonya Maria menemuiku dan menemukanku lagi dengan Akina. Ia mengatakan bahwa Akina adalah pengacara ibuku.

”Gushonu hana!” kata Akina. Ia memberiku banyak sekali kertas yang harus aku tanda tangani.

”Bisakah aku ke taman bermain?” tanyaku.

”Apa pun yang kamu mau!” Nyonya Maria menyahut dan ia tertawa dengan wajah kaku.

Diiringi suara sepatu merah Akina, kami keluar dari kastil dan berpacu jauh ke sebuah taman bermain di kota yang lain. Di sana aku hidup bersama ibu yang terasa seperti orang asing bagiku, dan aku masih merindukan ayah ada bersama kami meski suaranya kadang keras.
***

Catatan:
1) Gushonu hana merupakan penyebutan kembang sepatu di bagian selatan Okinawa yang berarti bunga kehidupan sesudah mati.
2) Inspirasi berasal dari cerpen Sepasang Sepatu Tua Sapardi Djoko Damono.

*) A.S. LAKSANA, Penulis buku Bidadari yang Mengembara (2004), Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu (2013). Alumni Ilmu Komunikasi UGM.


Pengakuan Terbuka!

Teman-teman, hari ini cerpen saya dimuat di Jawa Pos, tetapi saya harus berterus terang bahwa itu bukan cerpen saya.

Ia betul-betul seperti bunyi kalimat dalam paragraf penutup “Otobiografi Gloria”: “Kau mungkin mengira bahwa cerita ini ditulis oleh A.S. Laksana. Sesungguhnya bukan, ia sudah lama tidak menulis dan kurasa ia sedang tidak memiliki gagasan apa pun untuk ditulis.”

Beberapa waktu lalu saya menyampaikan kepada para peserta kelas penulisan bahwa dimuat di koran adalah urusan mudah. “Jika cerpen kalian saya kirim ke koran dengan nama saya sebagai penulisnya, cerpen itu pasti dimuat,” kata saya.

Yang lebih penting dari sekadar pemuatan sebuah cerpen adalah kesediaan melatih diri untuk mendapatkan kecakapan menulis dan selalu mempertahankan keinginan belajar, sehingga ketika kita mampu menulis bagus satu kali, kita mampu mengulanginya dan tetap mampu menulis bagus di waktu-waktu selanjutnya.

Saya bisa memahami gairah mereka untuk mengirimkan tulisan ke media-media. Mereka sudah menyiksa diri beberapa bulan berlatih menulis; mereka ingin menguji apakah tulisan mereka sudah cukup bagus; menerbitkan tulisan di media-media massa hanyalah salah satu cara untuk melihat bahwa ketekunan mereka melatih diri tak pernah sia-sia.

Melatih diri adalah menyiksa diri. Itu fase paling tidak menyenangkan tetapi harus dilalui dalam pemerolehan kemahiran–dalam bidang apa pun. Pada fase itu orang tak bisa melakukan sesuatu semau-maunya. Kalimat harus diperhitungkan ketukannya, detail harus dipikirkan relevansinya, metafora harus dipertimbangkan penalarannya, dan sebagainya. Ada sekian teknik yang perlu dipelajari, sebagian menjadi pengetahuan, sebagian lainnya pelan-pelan menjadi bagian diri, menjadi kecakapan baru hasil dari melatih diri.
Enam atau tujuh atau tiga belas bulan menyiksa diri dengan urusan teknis adalah waktu yang singkat dibandingkan dua puluh tahun mengerjakan sesuatu dengan kecakapan yang mandek di tempat. Seseorang yang bermain badminton tiap hari di kampung dengan gairah sepenuh-penuhnya selama lima tahun pada suatu malam dikalahkan dengan mudah oleh anak yang baru tujuh bulan berlatih di klub. Itu pengalaman pribadi pada pertandingan tujuh belasan.

Untuk cerpen yang dimuat Jawa Pos hari ini, ia adalah cara kami bersenang-senang di tengah kesuntukan berlatih menulis. Penulis sebenarnya adalah Afrilia.

Saya hanya menyumbang paragraf pertama: Cerpen itu memang lahir setelah saya memposting satu paragraf pembuka di grup WA dengan pesan: “Ada yang berminat melanjutkan paragraf pembuka ini menjadi cerita?”

Ini paragraf pembuka yang saya sampaikan:

“Satu kali ia datang ke dalam mimpiku, dengan paras cantik, seperti orang mati yang berubah menjadi bidadari, dan aku menyapanya, “Hai.” Ia mengabaikan sapaanku dan pergi meninggalkanku, menyelinap di antara rumpun bunga sepatu di pekarangan. Ia dan bunga sepatu hilang pada saat aku membuka mata dan aku merindukan keduanya, ia dan bunga sepatu. Sampai sekarang ia tak pernah lagi mengunjungi mimpiku.”

Afrilia menulis cepat. Ia merampungkan cerita pada hari berikutnya. Saya mengirimkannya ke Jawa Pos dengan nama saya sebagai penulisnya.

Apakah Jawa Pos kecolongan? Tidak. Ia memuat cerpen bagus. Saya mengedit cerpen itu dan menjadikannya lebih bagus, sebab memang itu urusan editor. Dan dalam hal ini, saya editor. Dalam urusan penulisan dan penerbitan naskah, saya sering mengatakan kepada teman-teman: Kita beruntung jika naskah kita ditangani oleh editor yang cakap dalam urusannya, atau yang jauh lebih baik pengetahuannya ketimbang kita. Naskah kita berpeluang menjadi lebih bagus di tangan editor seperti itu.

Para penulis bagus punya editor hebat. Biografi Max Perkins bisa menjadi bacaan menarik untuk memahami kerja seorang editor.

Saya tahu ada inspirasi dari cerpen Garcia Marquez “I Only Came to Use the Phone” dalam cerita Afrilia itu. Saya tahu ada inspirasi dari novel Ken Kesey “One Flew Over the Cuckoo’s Nest” dalam cerita Marquez itu. Cerita-cerita bagus memang cenderung menginspirasi lahirnya cerita-cerita bagus berikutnya.

Terakhir, pengakuan ini saya sampaikan demi mengembalikan cerpen “Bidadari Bunga Sepatu” kepada penulis aslinya, Afrilia. Juga sebagai ucapan terima kasih kepada Jawa Pos yang telah memuatnya.

Salam,
A.S. Laksana

NB. Saya tentu hanya akan satu kali melakukan hal seperti ini. Satu kali pun sudah lebih dari cukup. Namun, saya terpikir juga untuk membantu meringankan pekerjaan redaktur: Jika saya kelak mengirimkan cerita karangan siapa pun kepada mereka, mereka boleh meyakini bahwa saya sudah menjalankan fungsi editor untuk tulisan itu sebaik-baiknya.
http://sastra-indonesia.com/2021/06/skandal-cerpen-bidadari-bunga-sepatu-karya-afrilia-dan-pengakuan-terbuka-a-s-laksana/

Tinggalkan Balasan