K.H. M. Najib Muhammad (Gus Najib), Denanyar, Jombang


M’Shoe
Media Ummat Online, 14 Juni 2014

Berbekal Intelektual Raih Gelar Internasional

Haul KH. Bisri Syansuri di Pondok Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar, Jombang tahun 2014, menjadi wasilah bertemunya Media Ummat Online (MU) dengan para ulama’ di Jombang di dalam lingkungan Pesantren Denanyar. Satu diantarnya KH. M. Najib Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Al-Madienah.

Hampir saja kesempatan bertemu dengan seorang kyai muda penuh talenta akan sirna. Saat MU datang di teras rumahnya, tampak sosok kyai muda nan tampan, berjas kulit serban putih menempel di pundaknya, sudah bersiap berangkat memenuhi undangan pengajian. Jadwalnya memang padat, di Jombang sendiri, di Jawa Timur, bahkan luar Jawa.

Mengetahui kedatangan rombongan MU, kyai yang biasa disapa Gus Najib itu menyempatkan waktu untuk menerima silaturahim. Pertemuan pertama memberi kesan mendalam; beliau sosok yang ramah, santun, lugas, berwibawa serta intelek. Selama perbincangan yang tak sampai 30 menit, beliau berbagi kisahnya dengan penuh kehangatan.

Dipercaya Sejak Muda

KH. M. Najib Muhammad adalah putra pertama dari empat bersaudara. Beliau dilahirkan di Senori, Tuban, Jawa Timur, 1 Juni 1968, dari seorang ibu muslimah ugeman pesantren tulen yang bernama Hj.Umamah, istri sholihah seorang kyai pemangku pesantren, yaitu Romo KH. M. Muhyiddin Munawwar, Pengasuh Ponpes Mansya’ul Huda 02, Senori.

Sedari kecil, beliau dibimbing dan diasuh langsung oleh kedua orangtuanya penuh kasih sayang dan disiplin ilmu agama yang tinggi nan ketat, akrab dalam suasana pondok pesantren yang harmoni. Maka tak salah, jika mantan kader salah satu parpol ini tumbuh menjadi pribadi handal, baik intelektual maupun spiritualitasnya.

Sejak usia kanak-kanak, Gus Najib sudah memiliki tanda-tanda akan menjadi seorang ulama’ luar biasa di dalam keilmuannya. Di usianya yang ke 12 tahun (1980), ketika masih di bawah asuhan abahnya, Gus Najib telah jamak menghafalkan kitab-kitab karya ulama-ulama salaf, seperti Alfiyah, Imrithi, Balaghoh, serta masih banyak kitab-kitab matan beliau hafal.

Menginjak usianya ke 13 tahun, setiap hari bulan Ramadhan (Khataman Ramadhan), Gus Najib mampu mengajar kitab-kitab besar (seperti Ibnu Aqil, Kifayatul Akhyar, Jawahirul Bukhori dan sebagainya) pada pesantren asuhan ayahnya. Uniknya, jamaah yang mengaji kala itu kebanyakan para seniornya.

Meski dalam naungan abahnya hingga lulus Ibtidaiyah, dan berlanjut lulus MTs, Gus Najib tidak mau bermalas-malasan. Usai menamatkan jenjang MTs, beliau berhijrah ke Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah, guna menimba keilmuan di bawah asuhan Romo KH. Maemoen Zubair.

Dalam usianya yang relatif muda (23 th), Gus Najib direkrut oleh PWNU Jatim sebagai Tim Perumus Bahtsul Masa’il yang berjumlah 12 anggota, bahkan sempat menjabat sekretarisnya, sedang ketuanya saat itu KH. Hasyim Abbas. Pada saat yang sama, beliau juga menjadi Pengurus LDNU Jatim periode 90-an. Ketika berlangsungnya Muktamar NU di Cipasung, beliau salah satu yang ditunjuk oleh para kyai sepuh untuk menjadi bagian Tim Perumus bersama kyai-kyai sepuh lainnya se-Indonesia yang berjumlah 23 orang.

Gelar Al-Imam dari Cairo

Pada pertengahan tahun 1991, Gus Najib mengakhiri lajangnya dengan mempersunting putri kesayangan KH. A. Aziz Masyhuri, Pengasuh Ponpes Al-Aziziyah, Denanyar, Jombang, yaitu Ning Hj. Bariroh. Dari pernikahannya itu, dikaruniai putra-putri sebanyak lima anak, yaitu Ning Farah Madinah, Gus Fahrur Rizal Haq, Ning Faiqoh Himmah, Ning Fahira Az Zahra, dan Ning Fairuzza Naila Mumtazza.

Pernah suatu ketika setelah melalui tes yang ketat tahun 1996, beliau ditunjuk mewakili Jawa Timur menjadi peserta PPWK LAKPESDAM yang diselenggarakan PBNU. Dan menjadi koordinator para alumninya hingga dua periode. “Dosen saya disaat itu adalah Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Nurkholis Majid, Harun Nasution, Jalaluddin Rakhmat, Yusril Ihza Mahendra, dan Munawir Sjadzali, sedangkan senior saya dikala itu, KH. Said Aqil Siradj dan KH. Masdar Farid”, kenangnya. Sayangnya, kegiatan-kegiatan tersebut cukup menyita waktu, apalagi kegiatan tabligh dan ceramahnya memenuhi undangan, pun mendekati ummat telah menyita banyak waktu. Akhirnya pasca Muktamar di Lirboyo, beliau tidak bisa aktif kembali di dua bidang lembaga NU tersebut.

Begitu pula dalam karier dunia politiknya, tahun 1998 beliau sempat menjabat Wakil Ketua Dewan Syuro di sebuah partai. Pada usianya yang cukup relatif muda 30 tahun, beliau sudah mendapatkan posisi penting, namun 18 bulan kemudian beliau mengundurkan diri. “Setelah saya terjun dalam politik praktis, saya baru tahu bahwa itu bukan habitat saya. Saya lebih cocok dalam dunia dakwah” kilahnya.

Sebelumnya, pada tahun yang sama 1998, beliau merintis dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Madienah, yang terletak di Jl. Imam Bonjol (sebelah timur MAN 4) Denanyar, Jombang, Kode Pos: 61419, Telepon: (0321) 872206, kemudian pembangunan yang kedua di Jl. KH. Bisri Syansuri (sebelah barat MAN 4) No. 81/83, Kec. Jombang, Kab. Jombang, Jawa Timur. Kode Pos: 61419 Telepon: (0321) 87220.

Pada tahun 2003, Gus Najib mendapatkan Beasiswa Utama dan berkesempatan mengikuti Dauroh Aimmah di Masyikhoh Cairo, guna memperoleh gelar Al-Imam. Dan dari 59 peserta yang ada, utusan dari 9 negara, beliau berhasil mendapatkan peringkat terbaik kedua setelah Dr. Abdurrahman dari Damaskus, Syria.

Dakwah dan Pondok

Hingga saat ini, selain mengasuh pesantrennya, Gus Najib banyak disibukkan kegiatan ceramah. Jadwalnya begitu padat, dan hampir seluruh wilayah di negeri ini sudah pernah beliau kunjungi dalam berdakwa, seperti di Kaltim, Kalbar, Sumsel, Sumut, Merauke, Batam, Riau, dan Papua.

Meski demikian, beliau masih dapat membagi waktu untuk pesantren yang dipimpinnya. Ini dibuktikan dengan hampir semua kitab yang diajarkan di Pesantren Al Madienah, -khatam tepat waktunya. “Sesibuk apapun beliau, selalu punya waktu untuk para santri yang diasuhnya” kata Ustadz Jasmani (salah satu pembina pesantren).

Saat bersilaturahim dengan MU, Gus Najib memberikan pandangan pemikiran seputar perkembangan kehidupan masyarakat di zaman modern:
“Masyarakat saat ini dihadapkan pada problema dunia modern yang tidak dapat diselesaikan dengan pemecahan-pemecahan teknis. Tampaknya terdapat suatu history dementalitiy baru yang menjadikan mainstream kesadaran insan, yaitu keinginan manusia untuk melihat kembali dunia transendental atau spiritualisme yang selama ini tersingkirkan. Aspek inilah yang sesungguhnya menjadi ciri utama kecenderungan masyarakat modern. Manusia mencoba kembali pada agama untuk mengisi kekosongan hati, dan tujuan hidupnya dari perspektif agama. Kecendrungan manusia kembali pada pangkuan agama ini, terartikulasi pada berbagai macam praktek keagamaan. Agama yang hanya mementingkan keutuhan atau kemapanan ortodoksi teologis, dan tidak memberi peluang yang proporsional pada pemberdayaan akal untuk menginterpretasikan pesan-pesan teologis Tuhan sesuai dengan perkembangan yang ada.” begitulah pesannya sambil mengakhiri cerita.


***

Tinggalkan Balasan