Bagian 24 (VII): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013

(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang “Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” (I-VII)

VII
Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928 bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antar bangsa yang abadi. “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta 28 Oktober 1963. (Rudi Hartono, “Sejarah Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda,” berdikarionline.com 20 Mei 2011).
***

Yamin: “Krasan tidak, di tempat tanpa asap rokok?”

Nurel: “Be’tah, tapi agak sungkan Pak.”

Yamin: “Kau belum bisa menulis dengan lancar kan?”

Nurel: “Namun dampaknya seperti menyehatkan.”

Yamin: “Waw… kayaknya berlanjut ini.”

Nurel: “Saya mau ke Surabaya Pak, sambil baca buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.”

Yamin: “Buku itu juga bukti, sudah ada semangat nasionalisme sebelum Sumpah Pemuda.”

Nurel: “Soe Hok Gie keren.”

Yamin: “Baru tahu ya, telat!”
***

Mengenai bahasa Indonesia, dapatlah dimulai mengerutkan dahi lewat R.M. Djokomono, Bapak Pers sekaligus Pahlawan Nasional. Di sini secara nyata Pemerintah RI menyematkan suara bahwa telah terbit nasionalisme jauh sebelum Sumpah Pemuda. Pun para pahlawan di jaman kolonial seperti yang terkisah sekilas di atas, itu jiwa-jiwa menyala terbakar Merah-Putihnya perjuangan moyang, ruh pemberontakan kepada para penindas dari bangsa asing yang licik bersiasat adu domba, hingga yang bermental-mental tanggung turut berpesta dalam pembodohan bagi bangsanya.

“Dipandang sebagai teks puisi, Sumpah Pemuda tidak kalah kadar puisinya dibandingkan dengan sajak-sajak para penyair kita. Seperti halnya puisi, dunia yang diciptakan dalam rangkaian larik-larik Sumpah Pemuda itu ialah dunia imajinasi. Sesuatu yang pada waktu itu belum ada dalam realitas. Yang dalam konteks politik adalah teks untuk tekad membuat suatu imagined society.” (kalimat presiden penyair Indonesia, entah siapa wakilnya, siapa pula menterinya), mungkin sajak-sajaknya pun seperti kepunyaan SCB yang beraneh-aneh atau kata-kata dalam puisinya “depan-sadar” ngelantur serupa perkataan orang kesurupan, sampai ujung putusasa hingga Sumpah Pemuda (SP) disebutnya puisi. Sutardji merendahkan nilai-nilai SP sebagaimana puisinya yang masuk kelas ngelamun. Kian fatal tiba-tiba membaca teks SP betapa mudah terseret imajinasinya, tanpa mempelajari naik-turunnya suhu pergolakan sedari masa silam. Mungkinkah begitu pekerjaan tukang syair?

Kenapa mereka (saya gunakan kata ganti jamak, sebab sudah membeludak yang mengikuti gaya tidak habis pikirnya) menggunakan cara “depan-sadar” bukannya “belakang-sadar,” yakni mengeruk data-data sejarah yang benar-benar ditulis para ahlinya. Karena lebih kerap melamun dibanding merenung atau barangkali bukan in absentia, tapi ini amnesia yaitu kondisi terganggunya daya ingat terhadap riwayat bangsanya, oleh sukanya berhayal daripada iqra.’ Dan benar pandangan umum bahwa bangsa Indonesia cepat (musah) melupa atau tidak perlu lama menjadi mitos purba, semisal meletusnya Gunung Krakatau dikiranya dongengan semata.

Umpama para pengkritik pendukungnya sudi menelusuri jauh setekun M. Yamin meneliti timbulnya wewarna sang saka Merah-Putih, mengenai istilah Indonesia juga ketiga sumpah persatuan; “Satu Nusa, satu Bangsa dan satu Bahasa,” maka tidak perlu saya ngedumel semacam ini. Saya yakin mereka tidak ada waktu lantaran tiap harinya disibukkan oleh perangai “depan-sadar” atau menuntut pikirannya yang tidak terbiasa mempelajari masa silam, pergi ke angan-angan menggayuh bayangan di depan. Mereka tidak menyongsong matahari timur kesadaran dengan meninggalkan bayang lamunan, namun membelakangi sang surya menuju arah barat, demikian watak orang-orang pengejar bayang-bayang mimpinya!
***

Yamin: “Sepertinya ini pantas ditaruh di akhir atau sudah finis?”

Nurel: “Kemarin Agus Soetopo memberi masukan, agar tulisan punya rumusan masalah. Waktu itu saya jawab, agak-agak sulit sebab tergantung situasi tempat yang terpengaruh gairah langkah kaki berkelana.”

Yamin: “Agus Soetopo itu siapa?”

Nurel: “Ia orang yang sering menyemangati saya dalam kepenulisan ini.”

Yamin: “Ada benarnya juga, tapi mungkin kau punya jawaban lain?”

Nurel: “Nanti saya jabarkan Pak, semampu diri memenuhi saran yang cukup menggoda itu.”
***

Suatu hari Herakleitos (berasal dari Efesus di Asia Kecil, yang hidup sekitar abad V Sebelum Masehi; 540-480 SM) sebagaimana laku kebiasaannya memasuki waktu senja berjalan-jalan di tepi Sungai Cayster. Pada kejadian tersebut ia membasuhi kakinya dengan air sungai, lalu seperti ada suara menerangkan kepadanya, suara itu bergema di gendang telinganya, nada suara yang tidak asing bagi dirinya sepersis dikala ia berbicara, tetapi ia tidak membicarakan apa-apa, sendirian berjalan dengan membawa kebisuan nyata. Sepertinya kata-kata suara itu berasal dari hati nuraninya atau meluncur dari pikiran-pikiran besarnya yang telah terpendam lama atau entah dari mana. Jiwanya menampung luapan suara yang mengalir deras dan tiada keinginan terlepas pun berontak, pribadinya menerima serasa kita menikmati kalimat itu darinya apa adanya; “Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama.” Begitulah kata-kata yang kemudian hari menjelma sabda teruntuk generasi selanjutnya. (7 Pebruari 2013).

Sengaja saya menambahkan kisah fiktif di dalam kehidupan filsuf dialektis Herakleitos, agar di bawah ini tidak lagi menjumput referensi mengenai proses kreatif dari para seniman pun pakar penemu di bidang apa saja yang telah tersusun apik oleh peneliti sebelumnya, misalkan bukunya Brewster Ghiselin “The Creative Process.” Karna yang ditemukan Herakleitos sudah mencakup-mewakili keseluruhan, khususnya berguna bagi tulisan ini sebelum pula nantinya; ketika berkelana dengan badan kasar juga melewati kata-kata.

Sungguh ungkapan “Manusia merencanakan kehendak, namun Tuhan penentu jalan,” masih terserah ke belahan bebidang apapun, di lelembaran hidup apa saja, dalam harmoni yang tidak terbilang warna, dan itu tetap diyakini para insan yang menyusuri laluan hayati. Seperti uang di tangan mengikuti hukum perputaran, peredaran, penyebaran. Tiada sesuatu yang kekal, karena pergeseran ada meski tampak samar lembut terasa, barangkali enggan peduli, kurang tenang pun tidak ajek. Dan walau seperti seolah-olah tetaplah keistikomahan mengerjakan sesuatu, pasti mengalami aturan menambahan atau naik-turunnya semua di dalam proses “menjadi.”
***

Besok 10 April 2013 saya melewati hutan Kucur kembali, mungkin akan menjenguk Melki Tinggal lagi. Orang yang saya ceritakan di status facebook hari rebo pon waktu senja 20 Maret 2013 bulan lalu: ia telah menetap satu tahun di pinggiran jalan raya 18 Km arah menuju kota Ponorogo dari Wonogiri, tepatnya di tepian jalan hutan Kucur. Orang-orang berlalu lalang melihatnya mungkin menyebutnya gila. Ketika saya hampiri ia sedang membaca koran dengan nada keras, sampai hutan yang lebat menggemakan suaranya didukung gemerisik air mengalir di bawah sebelah timurnya jembatan, yang kurang kentara gundukannya.

Dirinya bilang asal Manado, tetapi saya tidak bertanya kenapa memilih hidup seperti itu, mungkin sedang lelaku atau jangan-jangan seorang penyair tulen yang mencari hakikat hidup sedari kesunyian hayat di antara carut-marut kehidupan. Tempat tinggalnya tidak beratap, jadi jika hujan turun pasti kedinginan, dan di sekitar letak duduknya berserakan botol-botol air mineral, kain kotor, berjenis-jenis sampah yang mungkin dipungutinya dari timur jembatan, karena terdapat tempat pembuangan sampah tidak resmi.

Di sebelah duduknya sisi barat, ia menanam bebijian, mungkin sekadar bagi syarat hidupnya berikhtiar, meski tidak pernah makan kecuali diberi oleh mereka yang lewat; katanya begitu. Ketika saya tawarkan rokok ditolaknya, ternyata ia sedang merokok dengan merek lebih mahal daripada yang saya hisap. Di sisinya yang lain ada selembar uang 50 ribu rupiah, mungkin juga pemberian seseorang yang berlalu. Yang mengesankan ada bendera merah-putih persegi tiga yang biasa dikenakan para anggota pramuka, di sebelahnya ia membakar abu basah yang sebelumnya saya kira dupa.
***

Hampir setengah tahun saya tidak melanjutkan catatan ini, tepatnya ke bagian 24. Bagian 23 terposting di fabebook tanggal 26 Oktober 2012, dan kini sudah 9 April 2013. Bagian XXIV sebenarnya tinggal edit dan sedikit tambahan, namun ada saja halangan atau belum mendapati irama indah untuk membenahinya menjadi nyanyian renungan. Padahal kehendaknya dipercepat keberangkatannya, nyata disusul persoalan baru adanya maklumat “Hari Sastra Indonesia,” setiap tanggal 3 Juli yang disamakan tanggal lahirnya sastrawan Abdul Muis (3 Juli 1883 di Bukittinggi), peresmian Hari Sastra Indonesia pun di Bukittinggi 24 Maret 2013 atas gagasan Taufiq Ismail sebagaimana dikabarkan republika.co.id

Menurut saya, para senior itu sudah habis amunisi semacam kebuntuan “akal” dalam penciptaan karya lebih ampuh dari sebelumnya, lalu mencari-cari jalan agar terus (ingin) dianggap keberadaannya, namun tidak melewati karya. Jangan-jangan batiniahnya telah garing buliran embun sastrawi, sehingga tinggal ampas tebu tidak sedap dihisap jiwa-jiwa dahaga para penerusnya. Ataukah dapat disebut Hari Plagiat Kesusastraan Indonesia bertepatan “si binatang jalang” Chairil Anwar lahir, atau Hari Kebohongan Sastra Indonesia ditentukan saat SCB merombak makna “Kun Fayakun” menjelma artian “Jadi, lantas jadilah!” serta “Jadi maka jadilah!” dan seterusnya untuk menghilangkan rasa kantuk bersastra di Indonesia.
***

Apakah Herakleitos, Melki Tinggal maupun saya, seolah-olah nasib arwah Sisyphos yang diceritakan Odysseus dalam karyanya Homer: “Aku juga melihat Sisyphos dan tugas beratnya yang membosankan. Ia harus mendorong batu besar dengan dua tangannya ke puncak bukit. Setelah batu itu tiba di puncak, ia harus menggelindingkannya ke bawah. Setelah itu ia harus kembali medorong batu besar itu ke puncak, kemudian menjatuhkannya kembali, dan begitu seterusnya.” (The Odyssey of Homer, translated by W.H.D. Rouse, Published by arrangement with Thomas Nelson and Sons, Ltd. Penerjemah A. Rachmatullah, penerbit Oncor Semesta Ilmu 2012).

Lalu jangka waktu setengah tahun antara saya bersama M. Yamin di atas catatan ini sepenantian tidak jemu, perputaran masa terus berlangsung pada aliran anak-anak sungai berbeda; batu selalu menggelinding atas nasib hampir sama di atas berat timbangan takdir berpisah. Di sini saya temukan proses itu pembelajaran diri kala membaca alam juga buku-buku disamping memantau peredaran realitas kekinian oleh kaki-kaki ditunggangi jaman pancaroba. Dari ruang bacaan (teks) di kertas terus ke layar-layar monitor kian melesat mengurangi daya renungan lama, para senior tua-tua keladi terlupa jalinan isi sejarah, hanya menengok sesampiran embel-embel, sebab merasa ketinggalan tetapi tidak melengkapi kekurangan sebelumnya. Serupa berlari berbaju compang-camping berhasrat mencanangkan wibawa, malah terjungkal ke tanah. Barangkali telah waktunya orang-orang seperti saya belajar sambil menghajar, dan penantian ini tidak sia-sia meski terlambat semakin memperoleh kemantabannya.
***

Yamin: “Sejak 4 Agustus 2013, kita putus berdialog Nurel?”

Nurel: “Ya Pak, kini tanggal 15 Juli 2017 Bapak saya undang kembali untuk menutup Bagian 24 Ranting ke (VII) yang waktu itu saya anggap belum rampung, yang kini sedang dalam editan.”

Yamin: “Lama sungguh perjalanan untuk menghasilkan buku ini?”

Nurel: “Laku sangat mendalam penuh arti. Tentu Bapak sudah tahu dalam masa-masa itu saya berpisah dengan ibunya Ahmad Syauqillah, kembara di bumi Ponorogo lalu menikah lagi tanggal 9 Januari 2015.”

Yamin: “Saya ikut menyaksikan meski dari jauh, maskawinnya sebuah puisi kan, yang berjudul Sajak Maskawinku Demi Lathifa Akmaliya.”

Nurel: “Dan tentu Bapak lihat kalau saya sudah punya anak lagi, yang saya beri nama Wislawa Dewi.”

Yamin: “Nama depannya seperti nama penyair Polandia, yang mendapat Nobel Sastra tahun 1996.”

Nurel: “Saya sedang baca buku biografi Bapak yang disusun Sutrisno Kutoyo, pengantarnya ditulis sendiri tertanggal 2 Maret 1976 (enam hari sebelum kelahiran saya), yang dapat sambutan dari Dirjen Kebudayaan 1986, sementara tahun terbitannya 1985. Buku itu saya temukan di perpustakaan pribadi istri; sepertinya pernikahan kedua ini melengkapi segala diri, seminimal mempurnakan data dalam penelitian yang terus berlangsung beberapa tahun ini. Sedari buku tersebut akan saya rangkum demi mematangkan pendapat untuk menjegal paham mereka yang gegabah.”

Yamin: “Sebelum itu alangkah bijak ringkaskan biografi Chairil Anwar dari Wikipedia, namanya kan disebut dalam Deklarasi Hari Puisi Indonesia.”

Nurel: “Ya Pak; Chairil Anwar lahir di Medan 26 Juli 1922, wafat di Jakarta 28 April 1949 dalam umur 26 tahun. Ia dijuluki Si Binatang Jalang (dari karyanya Aku), merupakan penyair terkemuka Indonesia yang diperkirakan telah menulis 96 karya termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani, Rivai Apin, dinobatkan H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan 45 dalam puisi modern. Puisi-puisinya bertema pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme dan multi-interpretasi.

Ia anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya Bupati Inderagiri, Riau. Ia bertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama RI. Orang tuanya memanjakan dirinya, tetapi ia cenderung keras kepala. Pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), lalu di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usia 18 tidak lagi sekolah, ia mengatakan sejak usia 15 tahun telah bertekad jadi seniman.

Di usia 19 setelah perceraian orang tuanya, bersama ibunya ke Jakarta dan berkenalan dunia sastra; ayahnya tetap menafkahinya bersama ibunya. Meski tidak selesai sekolah, ia menguasai berbagai bahasa; Inggris, Belanda, Jerman. Mengisi waktunya dengan membaca karya para pengarang dunia; Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar du Perron. Ia terkenal setelah pemuatan puisinya Nisan 1942 dan hampir semua puisinya merujuk kematian. Awal mengirim puisinya di majalah Pandji Pustaka banyak yang ditolak, sebab individualistis atau tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Semenjak menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, ia jatuh cinta kepada Sri Ayati, tapi hingga akhir hayatnya tidak punya keberanian mengungkapkan. Puisinya beredar di kertas murah selama penjajahan Jepang, dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Menikahi Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946 dan dikaruniai putri bernama Evawani Alissa, tetapi bercerai akhir tahun 1948. Ia wafat di RS Dr. Cipto Mangunkusumo 28 April 1949, menurut dugaan sebab TBC, dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Chairil dirawat di RSCM dari 22-28 April, pada catatan RS karena tifus, menderita paru-paru, infeksi hingga penyakit usus membawa kematiannya. Makamnya diziarahi ribuan pengagum dari masa ke masa dan hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Kritikus A. Teeuw menyebutkan; “Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisinya Jang Terampas Dan Jang Putus.” Puisi terakhirnya Cemara Menderai Sampai Jauh 1949, karyanya yang terkenal Aku dan Krawang Bekasi. Tulisannya yang asli, modifikasi atau yang diduga diciplak, dikompilasi di tiga buku terbitan Pustaka Rakyat; Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, dengan Asrul Sani, Rivai Apin). Kemudian Aku Ini Binatang Jalang; koleksi sajak 1942-1949, disunting Pamusuk Eneste, kata penutup Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998). Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948) terjemahan karya Andre Gide, Kena Gempur (1951) terjemahan karya John Steinbeck.

Karyanya banyak diterjemahkan dalam bahasa asing; Inggris, Jerman, Rusia juga Spanyol; “Sharp gravel, Indonesian poems” oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California 1960), “Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca 1962), “Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam” (New York, New Directions 1963), “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets” oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets 1969), “The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” disunting dan diterjemahkan Burton Raffel (Albany, State University of New York Press 1970), “The Complete Poems of Chairil Anwar” disunting dan diterjemahkan Liaw Yock Fang dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press 1974), “Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch” oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag 1978), “The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar” oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies 1993), dalam kumpulan “Poeti Indonezii” terjemahan S. Semovolos. Moscow: Inostrannaya Literatura 1959, No 4 halaman 3-5; 1960, No 2 halaman 39-42., dalam kumpulan “Golosa Tryoh Tisyach Ostrovov” terjemahan Sergei Severtsev. Moscow 1963, halaman 19-38., dalam kumpulan “Pokoryat Vishinu.” Puisi penyair Malaysia dan Indonesia terjemahan Victor Pogadaev. Moscow: Klyuch-C 2009, halaman 87-89.

Karya-karya mengenai Chairil: “Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949” oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta 1953), Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff 1972)., Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar” (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin 1974), S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York 1976), Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Pustaka Jaya 1976), “Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar” Auckland 1976, H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45, disertai kumpulan hasil tulisannya” (Gunung Agung 1983), Husain Junus “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Universitas Sam Ratulangi 1984), Rachmat Djoko Pradopo “Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern” (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1985), Sjumandjaya “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar” (Grafitipers 1987), Pamusuk Eneste “Mengenal Chairil Anwar” (Obor 1995), Zaenal Hakim “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Dian Rakyat 1996), “Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar” Eko Tunas, sutradara Joshua Igho di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006).

Puisi-puisi Chairil sempat dituduh hasil plagiarisme oleh H.B Jassin. Dalam tulisan Jassin di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran dan Plagiat, membahas kemiripan puisi Karawang-Bekasi dengan The Dead Young Soldiers karya Archibald MacLeish, tapi Jassin tidak menyalahkan. Menurutnya, meski mirip tetap ada rasa Chairil di dalamnya, sedang sajak MacLeish menurut Jassin hanya katalisator penciptaan.” Lebih banyak lagi tengok bukunya H.B. Jassin berjudul “Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45,” disertai kumpulan hasil-hasil tulisannya, Gunung Agung 1956, seharga Rp. 22,50 saat itu.
***

Lalu saya harus bersikap bagaimana? Kepada para inisiator, konseptor dan deklarator Hari Puisi Indonesia, yang tidak mencermati jalannya nafas-nafas sejarah tanah air, bangsa serta bahasa Indonesia, ataupun yang benar-benar tidak menghargai kenyataan sejarah sebelum melambungkan imajinasi mereka?

Iqra’ (Bacalah!), pada tanggal 7 Maret 1915, Tri Koro Dharmo berdiri beranggotakan pelajar dari Jawa dan Madura. Dua tahun kemudian anggotanya diperluas dengan menerima pemuda pelajar dari Jawa, Madura, Bali serta Lombok, lantas nama organisasinya menjelma Jong Java.

Iqra’ (bacalah!), sejak semula Muhammad Yamin sudah percaya pada kekuatan yang menuju Indonesia Raya. Pada Lustrum I dari Jong Soematranen Bond yang diadakan di Jakarta pada tahun 1923, M. Yamin telah mengemukakan gagasan mulia dengan pidatonya berjudul “Bahasa Melayu pada masa lampau, masa sekarang dan masa depan.” M. Yamin telah melihat datangnya bahasa kebangsaan Indonesia yaitu berasal dari bahasa Melayu, walau pidatonya sendiri masih dibawakan dalam bahasa Belanda. Ia juga menggubah sajak “Indonesia, Tanah Tumpah Darah,” yang berisikan bisikan cinta suci murni terhadap Indonesia.

Menyongsong Kongres Pemuda I 1926, M. Yamin mengusulkan istilah mahasiswa bagi sebutan student, meski waktu itu belum dapat diterima oleh kalangan masyarakat pemuda, tetapi nyata hal tersebut dipakai di kampus-kampus seluruh Indonesia hingga sekarang, (di kemudian hari M. Yamin yang membetulkan hari wafatnya Pangeran Diponegoro tepat jatuh tanggal 8 Januari 1855 dan bukannya Pebruari 1955, ia juga berhasil melukis wajah Patih Gajah Mada, seperti gambar dan patung yang kita kenal dewasa ini). Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) berdiri di bulan September 1926 sesudah Kongres Pemuda I di Jakarta, merupakan perhimpunan para student atau para mahasiswa dari perguruan tinggi yang waktu itu sudah ada.

Dalam Kongres Pemuda I, M. Yamin belum lagi berumur 23 tahun serta masih menjadi siswa AMS di Surakarta, betapa ia mampu memberikan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan hari depan bahasa Indonesia dan kesusastraannya secara teliti, teratur juga terus terang. Dengan tidak bermaksud mengurangi penghargaan terhadap bahasa daerah seperti bahasa Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Minangkabau, Rotti, Batak dll. Ia menutup pembicaraannya yang seluruhnya masih diucapkan dalam bahasa Belanda sebagi berikut, “Sejarah kini ialah menuju nasionalisme yang dalam serta luas ke arah kemerdekaan dan tujuan yang lebih luhur, yaitu kebudayaan yang lebih tinggi nilainya, agar Indonesia dapat mempersembahkan kepada dunia hadiah lebih berharga serta lebih indah, selaras dengan kebangsaan kita.”

Menurut M. Tabrani, sebenarnya pada Kongres Pemuda I secara aklamasi sudah dapat disetujui bahasa Melayu sebagai bahasa Persatuan. Tapi M. Tabrani berpendapat dan pendapatnya ini hanya diketahui Muhammad Yamin dan Djamaluddin (Adi Negoro), bahwa tujuan kita ialah mengarah pada tercapainya satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dan bahasa itu harus pula bernama Bahasa Indonesia, bukannya Bahasa Melayu walaupun unsur-unsurnya berasal dari bahasa Melayu. M. Yamin dan Djamaluddin belum dapat menerima pendapat M. Tabroni, karena itu masalah nama bahasa persatuan ditunda pada Kongres Pemuda II, dua tahun kemudian.

Prof. Dr. Hooykaas memberi komentar atas pidato Muhammad Yamin pada Kongres Pemuda I yang mengenai “Kemungkinan-kemungkinan untuk bahasa dan kesastraan Indonesia di kemudian hari.” Hooykaas mengatakan; “Pemuda dari Sumatera itu (M. Yamin) akan menjadi pelopor dari usaha pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar serta bahasa pergaulan di Indonesia. Sedangkan bahasa Belanda lambat laun pasti akan terdesak karenanya.”

Pada Kongres Pemuda II 1928 Muhammad Yamin memainkan peranan besar. Ia sudah bekerja di tingkat persiapan sebelum rapat-rapat dimulai, bahkan dua tahun sebelum Kongres ia ikut sebagai pemikir atau perancang. M. Yamin menyelenggarakan tugas-tugas sekretariat selama berlangsungnya Kongres Pemuda II, kemudian melaksanakan keputusan-keputusan serta akibat-akibat dari Kongres itu. Ia juga bertindak sebagai penerjemah pada pidato-pidato yang masih ditulis dalam bahasa Belanda, misalnya pidato Th. Pengamanan dari Jong Celebes (Manado). Ia tentu telah bekerja sepenuh hati dalam Kongres Pemuda II, yang selaras ucapannya sendiri; “Hina tabiat pemuda yang bekerja setengah sampai, takkan ada kehormatan bangsa lain kepada pemuda yang tiada tahu akan bangsa dan tumpah darahnya.”

Ketika Sunario SH sedang memberikan ceramah dalam rapat ketiga yang dipimpin ketua Sugondo, tiba-tiba M. Yamin selaku sekretaris yang duduk di sebelah ketua, menyodorkan secarik kertas kepada Sugondo sambil berbisik, “Saya punya rumusan resolusi yang lebih bergaya.” Sugondo membaca rumusan resolusi yang tertulis di secarik kerja itu lalu memandang M. Yamin yang juga memandang Sugondo dengan senyuman manis. Reaksi Sugondo spontan “setuju” dengan membubuhkan paraf pada usul rumusan resolusi. Selanjutnya Sugondo meneruskan usul rumusan resolusi itu kepada Amir Sjarifudin yang memandang Sugondo dengan mata bertanya-tanya. Sugondo mengangguk-anggukkan kepala dan Amir membubuhi pula perkataan “setuju” pada rumusan itu. Kemudian anggota lainnya dari Panitia Kongres Pemuda juga menyetujui usul resolusi. Demikianlah usul resolusi tersebut diterima secara referendum, naskah “Sumpah Pemuda” rumusan Muhammad Yamin itu akan dibacakan di muka sidang umum.
***

Yamin: “Nurel, alangkah santun kau memohon kepada mereka untuk membaca sendiri buku tersebut maupun buku-buku lain, biar tidak seperti menghujamkan belati di dada berkali-kali.”

Nurel: “Hematnya seperti itu Pak, namun lumayan untuk menambah beberapa halaman.”

Yamin: “Terserah kaulah, mungkin di sebalik itu ada manfaatnya pula.”

Iqra’ (Bacalah!), Putusan Kongres Pemuda susunan Muhammad Yamin itu kemudian disebut “Sumpah Pemuda,” yang kian menjiwai semangat pemuda Indonesia dalam masa-masa berikutnya. Sebagai tindak lanjut dari SP, pada tanggal 23 April 1929 atas undangan Pedoman Besar Jong Java wakil-wakil pemuda Indonesia, Pemuda Sumatera dan Jong Java mengadakan rapat pertama di gedung Indonesisch Clubhuis, Kramat Raya 106 Jakarta. Keputusannya; mereka menginginkan segera didirikan perkumpulan baru yang sejalan dengan kemauan persatuan Indonesia dan berdasarkan kebangsaan Indonesia serta membentuk Komisi Persiapan yang dinamakan Komisi Persiapan Indonesia Muda (KBIM). Dalam rapat tersebut M. Yamin hadir mewakili pemuda Sumatera. Selanjutnya dalam Komisi Besar itu M. Yamin dipilih sebagai Wakil Ketua, sedang Ketuanya Kuntjoro Purbopranoto.

Iqra’ (Bacalah!), Komisi Besar Indonesia Muda menyelenggarakan Kongres atau Kerapatan Besar Indonesia Muda I untuk mendirikan badan fusi yang bernama Indonesia Muda (I) di Surakarta (Solo) dari tanggal 28 Desember 1930 – 2 Januari 1931. Dalam Kongres ini akan selesailah pekerjaan Komisi Besar, lalu nama-nama perkumpulan pemuda daerah seperti Jong Java, Pemuda Sumatera, Jong Celebes dan Sekar Rukun, segera dihapus tidak dipakai lagi. Akan tertutuplah jaman pergerakan pemuda kedaerahan dan diganti dengan jaman baru; jaman kebangsaan nasional Indonesia.

Muhammad Yamin (waktu itu masih berusia 27 tahun) dalam Kerapatan Indonesia Muda I di Surakarta pada pergantian tahun 1930-1931, telah pula mengucapkan pidato penting berjudul “Kebangunan Bangsa Indonesia.” Kemudian dalam Kongres II Partindo yang diselenggarakan tanggal 23 April 1933 di Surabaya, M. Yamin dengan berkobar-kobar telah mengeluarkan semboyan yang sangat keras; “Indonesia Merdeka Sekarang.” Pada Kongres itu juga memutuskan bahwa seluruh pergerakan kebangsaan akan menuju kepada pembentukan Republik Indonesia.
***

K’tut Tantri (1898–1997) kalau tidak salah alamat, pernah menyetarakan Pangeran Diponegoro seperti Abraham Lincoln dalam bukunya “Revolusi Di Nusa Damai.” Dan tidak salah kalau pemuda-pemuda di tahun 1920-1930 menyamakan Muhammad Yamin dengan tokoh Mirabeau. Ialah bangsawan Prancis yang memihak perjuangan rakyat pada jaman pra Revolusi Prancis dalam perputaran abad 18 menuju abad 19. Mirabeau mempunyai banyak kesamaan dengan M. Yamin, kedua tokoh tersebut bercita-cita luhur, tidak menyukai sistem penindasan dan menghendaki kebebasan dari kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, di Indonesia.

Dari tulisan M. Yamin 15 tahun kemudian, tahulah kita bahwa yang dimaksud dengan Bangsa Indonesia adalah semua suku-suku bangsa yang mendiami tanah air kita Indonesia. Dalam tulisan-tulisan yang kemudian itu ia mengatakan, sejak 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia baru dalam pengertian Cultur-nation yang berarti bangsa-kebudayaan, yang masih bercita-cita menjadi bangsa yang bernegara. Barulah sejak 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menjadi Statesnation.

Dan dalam Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, terdapat nama Muhammad Yamin yang disebut pada daftar urutan anggota nomor 2 sesudah nama Ir. Soekarno. Badan ini melewati dua kali persidangan; Pertama dari tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945, yang Kedua dari tanggal 10 Juli 1945 hingga 17 Juli 1945. Dalam Sidang ke I, M. Yamin mengucapkan pidatonya tertanggal 29 Mei 1945 yang bertitel “Asas dan Dasar Negara Republik Indonesia.” Sebab M. Yamin seorang sastawan berfikir dengan hati yang besara di jantung, ia menutup pidatonya lewat syair berjudul “Republik Indonesia.”

Antara tanggal 22 Juni 1945 menuju hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, M. Yamin sibuk dalam rapat-rapat demi menyempurnakan rencana Undang-undang Dasar. Dalam Sidang ke II merupakan rapat-pleno, Muhammad Yamin (beserta Drs. Muhammad Hatta) masih suntuk mengadakan penambahan-penambahan yang penting dari bagian hak asasi manusia.
***

Iqra’ (Bacalah!), Kisah yang berakhir dengan kesedihan di dalam ragam cerita desa ini akan kita lihat lagi berulang pada karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka, khususnya pada roman Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar dan Siti Nurbaya (1922) oleh Marah Rusli. Di dalam Azab dan Sengsara (1921) yang dianggap sebagai roman asli yang pertama dalam bahasa Indonesia… (Subagio Sastrowardoyo “Sastra Hindia Belanda dan Kita” halaman 34, Balai Pustaka 1983).

Iqra’ (Bacalah!), Muhammad Yamin membuat sandiwara sejarah berjudul “Ken Arok dan Ken Dedes.” Kisah itu dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1930 untuk pertama kalinya. Menurut catatan, cerita sandiwara ini sampai tanggal 17 Agustus 1950 sudah dimainkan 39 kali. Sementara jauh sebelum puisi Nisan (1942), dan Aku (1943) karya Chairil Anwar, sudah lahir puisinya M. Yamin bertitel Andalas, Tanah Airku (1920). Sebutan Andalas di sana dapat dipahamkan sebagai Indonesia; menurut Sutrisno ini wajar, sebab M. Yamin baru berumur 17 tahun atau belum luas daerah penjelajahannya, baik geografi pun sosial, intelek dan kultur. Lagi pula guru-guru Belanda terutama pengajar sejarah dan ilmu bumi selalu melontarkan semboyan; “Maluku masa lalu, Jawa masa sekarang dan Sumatera masa yang akan datang.”

Secara ringkas, penerima tanda jasa tertinggi Yugoslavia “Star of the Yugoslavia Flag” Kelas I untuk urusan luar negeri serta kebudayaan, tertanggal 24 Desember 1958 adalah Muhammad Yamin; dalam dirinya terhimpun persyaratan seorang intelektual Indonesia yang gigih dan rajin, tekun berstudi dan belajar sepanjang hidupnya. Sebagai sastrawan dan budayawan, ia termasuk angkatan perintis Pujangga Baru. Sebagai sarjana, ia mencapai tingkat tertinggi dan diangkat menjadi Mahaguru juga giat memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi. Sebagai sejarawan ia berhasil mengarang berbagai macam buku baik di bidang sejarah lama pun modern. Sebagai parlementaria, bertahun-tahun duduk di Dewan Rakyat, baik di jaman penjajahan Hindia Belanda pula di Dewan Perwakilan Rakyat sesudah Indonesia merdeka. Sebagai ahli hukum tatanegara, ia telah banyak mengarang berbagai buku hukum negara, dan sebagai politikus ia telah mencapai puncak pengabdiannya atas kedudukannya sebagai menteri di berbagai kabinet dari negara dan bangsa Indonesia. (jumputan-jumputan dari bukunya Sutrisno Kutoyo, disunting Drs. R.Z. Leirissa MA. yang berjudul “Prof.H. Muhammad Yamin S.H.”).

Dalam buku tersebut disertakan beberapa hasil maha karya M. Yamin, baik berupa risalah maupun buku, sejumlah 44 judul. Bagi saya, Mr Muhammad Yamin banyak kesamaannya dengan Sir Muhammad Iqbal dalam pembentukan Negara Pakistan, oleh karena para sastrawan serta kritikus Indonesia banyak yang cemburu mungkin, menjadi agak enggan mempelajari secara mendalam hasil-hasil karyanya atau malah condong pada penyair kemarin siang. Kini pembaca dapat membandingkan, apakah penyair si penyadur jalang Chairil Anwar ataukah nama sastrawan Muhammad Yamin yang sepantasnya disebut di dalam teks Deklarasi Hari Puisi Indonesia?

Maka saya ungkap perkataan Adolf Hitler bagi diri pribadi juga bisa sebagai saran untuk mereka; “Aku adalah serdadu tanpa nama, satu di antara delapan juta orang serdadu! Sehingga lebih baik aku menjaga lidahku dan melakukan tugas di sepanjang parit perlindungan sebaik mungkin.” (Hitler “Mein Kampf,” VII: Revolusi). Maka perbaiki parit-parit kalian, karena saya akan melewatinya tanpa basa-basi, lantaran ini tuntutan jaman kalau belajar dari kebodohan. Sinahu kewarasan adalah melangkah kritis tanpa terlalu sungkan dan tiada takut memantabkan langkah kebenaran. Karena sejarah berada dalam kepalan tangan, dan perlindungannya pada kejujuran berita yang tersiarkan!
***

19 Juli 2017 Lamongan.

Tinggalkan Balasan