Membo-membo Jadi Iblis di Kediri *

Nurel Javissyarqi

Dua tahun lalu pertengahan Ramadhan saya ke sini, tepatnya mengikuti kawan-kawan Kutub (para santrinya almarhum Gus Zainal Arifin Thoha); Muhammadun AS, Salman Rusydie Anwar, A. Yusrianto Elga, di antaranya agak lupa siapa saja pengisi pelatihan kepenulisan di Lirboyo, setelah itu ziarah ke makam Gus Zainal. Barangkali sepuluh tahun lampau saya di sini sekadar ngopi, seperti ke pesantren lain menikmati kedamaian alamnya. Ini mengingatkan saya ketika masuk Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang, dua belas tahun lewat dikala menghadap Mbah Mad (Kiai Ahmad Abdul Haq) saat beliau masih sugeng. Ditanyalah, “Kenapa ke pesantren?” “Ingin merasakan hawa pesantren” jawab saya. Dan tiga minggu lalu saya ke sana, untuk meresapi kembali ketenangan tersebut.

Kini saya di hadapan saudara, khususnya para penulis buku Jadzab. Ibarat pohon jati usia muda, perlu banyak kucurkan keringat memeras daya dalam kemarau panjang, serta mewaspadai banjir terlena. Saya kira keilmuan lahir-batin saudara menapaki tangga kepastian, seumpama tentara abadi siap kurbankan apa saja demi cita-cita. Hanya kelemahan bibit pohon jati kerap mengganggu batang asalnya, kecuali di lepas hijrah. Maka perlulah ditanam di ladang-ladang kembara berkesiapan membaja; sedari alunan kitab-kitab terbaca, susunan mutiara hikmah di kedalamannya, restu para guru, ketawadhuan, dialog badan kasar dan halus pula jenjang kesadaran bermuwajahah kepada-Nya, itulah alam maha kaya dibanding keterpukauan saudara ke dunia luar.

Agar membo-membo ini di jalur keselamatan atau menghindari persamaan Iblis. Maka marilah membaca Surah Pembuka kepada para nabi dan rasul, para sahabat nabi, para wali, para tentara Allah dalam Perang Badar, para imam, para ulama, para guru, para orang tua serta seluruh umat Islam dari jaman Nabi Adam sampai tamatnya dunia, Al-Fatihah…
***

Suatu hari terkisahkan; Iblis yang biasa berbohong, berdusta serta perihal buruk lain, berkata jujur lantaran terpaksa. Cerita ini diriwayatkan Mu’adz bin Jabal ra., dari Ibnu Abbas ra., dan peristiwa itu disaksikan sahabat Nabi saw., yakni Umar bin Khattab ra. Hadits tersebut banyak ditulis para ulama, sedangkan yang saya cuplik sebagian nanti dari Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya “Hikayat Iblis,” untuk membongkar antologi Jadzab, di mana saya membo-membo (berpura-pura) iblisnya.

Dikala memperkuat argumentasi, Iblis menunjukkan ayat-ayat dalam al-Qur’an, misalnya mengabarkan firman Allah swt; Q.s. al-Hasyr: 16, Q.s al-Isra’ :64, Q.s. al-Isra’ : 27. Olehnya, saya membawa ayat-ayat kitab suci demi mendalami kupasan yang semestinya terjadi. Ia datang sambil memberi salam, Assalamualaika ya Muhammad, Assalamualaikum ya jamaaatal-muslimin,kata iblis. Nabi saw. menjawab, Assalamu lillah ya laiin (Keselamatan hanya milik Allah wahai makhluk yang terkutuk). Saya mendengar engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluan tersebut wahai iblis? Wahai Muhammad, saya datang ke sini bukan karena kemauanku sendiri, tapi saya datang ke sini karena terpaksa, tutur iblis. Apa yang membuatmu terpaksa harus datang ke sini wahai makhluk terkutuk? tanya Rasulullah.

Iblis menjawab, Telah datang kepadaku seorang malaikat yang diutus oleh Tuhan Yang Maha Agung, dimana utusan itu berkata kepadaku, Sesungguhnya Allah swt. memerintahmu untuk datang kepada Muhammad saw. sementara engkau adalah makhluk yang rendah dan hina. Engkau harus memberi tahu kepadanya, bagaimana engkau menggoda dan merekayasa anak-cucuk Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Lalu engkau harus menjawab segala apa yang ditanyakan Muhammad dengan jujur. Maka dengan Kebesaran dan Keagungan Allah, jika engkau menjawabnya dengan bohong, sekalipun hanya sekali, sungguh engkau akan Allah jadikan debu yang bakal dihempaskan oleh angin kencang, dan musuh-musuhmu akan merasa senang. Wahai Muhammad, maka sekarang saya datang kepadamu sebagaimana yang diperintahkan kepadaku. Maka tanyakan apa saja yang engkau inginkan. Kalau sampai saya tidak menjawabnya dengan jujur, maka musuh-musuhku akan merasa senang atas musibah yang bakal saya terima. Sementara tidak ada beban yang lebih berat bagiku daripada bersenangnya musuh-musuhku atas musibah yang menimpa diriku.

Lalu Rasulullah saw. melontarkan pertanyaan-pertanyaan ke Iblis. Di sini saya tidak melanjutkan hadits tersebut, saudara dapat mencarinya karena termasuk ahli ilmu dan tidak hanya menanti-nanti datangnya laduny. Posisi saya serupa mengimbangi lewat membaca kemungkinan adanya terlepas, atau mengurangi datangnya kecelakaan pihak penafsir yang berangkat dari pandangan sepihak, yang berkepentingan di luar kondisi ‘Jadzab.’

Endosemen di buku itu saya sukai dari Ning Qurr; “Sebagian dari mutiara-mutiara dunia yang akan menyinari dunia dengan pantulan sinarnya, menembus cakrawala dengan keindahan kata dan keindahan pribadi nyata. Puisi ini adalah jeritan dan gambaran hati. Dan Allah-lah yang Maha Tahu. Wallahu Alam bishshowab.” (Ibu Nyai Lilik Qurrotul Ishaqiyah – Pengasuh Pon-Pes. Langitan). “Wallahu alam bish-shawab” menggetarkan saya!

Ada larikan kata-kata yang membuat saya canggung membaca pengantar bukunya, Membaca Ayat-Ayat Lepas oleh Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. tepatnya; Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci. Saya yang sekadar lulusan MAN Denanyar, terganggu ujaran melangit itu. Olehnya akan mengupas terlebih dulu, sebelum memasuki kumpulan puisi dengan secukupnya, agar tidak memakan banyak halaman. Secara ilmu mantiq, kata-kata Suwardi sangat meyakinkan sebagai awalan, namun berbahaya bagi insan di luar lingkaran, yang dapat mendatangkan kedholiman. Lebih parah jika ada pengutip yang tidak mengetahui (sengaja tidak ingin tahu), sehingga bisa keluar dari kedudukan yang semestinya.

Membaca seluruh paragraf awal muqaddimah Suwardi sepertinya tiada masalah, tampak elok bersahaja di bidang yang digeluti; Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci. Puisi yang diantologikan ini, semula adalah ayat-ayat lepas, namun dirangkai dalam sebuah ‘wadah emas’. Ayat-ayat itu akan mengingatkan detak hidup manusia yang kadang-kadang serakah, kosong, zina, dan bercanda tanpa makna. Puisi-puisi antologi ini mungkin akan menjadi seberkas jawaban ketika kita ragu mengarungi bentangan hidup.

Umpama menggunakan asas universal pada fakultas hakikat, yang di kolong-kolong angkasa, lelembah hayat, semua suci sedeburan ombak lautan, pun yang bertebaran di keseluruhan tujuh sab langit, segerak galaksi yang diteliti para ahli falak. Pula sebatang pohon; akar, serat dan kulitnya, menanjaki batang berdahan, bercabang, meranting, membentuk daun berbuah, meski melewati penyangkokan awalnya ‘ayat suci.’ Tapi ketika sebuah jalur pengetahuan (puisi) mengerucutkan diri sebagai ‘ayat suci,’ seolah menutup kesucian di belahan berbeda. Sejenis mengkultuskan sesuatu dengan abai perihal lain, sedangkan puisi turun pada wilayah teks yang wujudnya dapat dibaca serupa ayat-ayat suci firman-Nya.

Kemiripan wujud teks bisa saja menggelincirkan, mengira sama dengan kadar tingkatan rendah atau turunan yang memicu watak bangga hingga terlepas dari kodratnya. Oleh sebabnya, Rasulullah saw. menggaritkan suatu pembatas; “Sesungguhnya sebagian dari perkataan yang fasih itu ada sesuatu yang mempesona laksana sihir. Dan sesungguhnya sebagian dari sya’ir itu terdapat hikmah.” ini pantas didedah, agak tidak lewar (keluar) dari kesadarannya?

Saya petik kelanjutan hadits mengenai Iblis, … Apabila (umat muslim) membaca al-Quran, maka saya akan meleleh (mencair) seperti timah yang dipanaskan dengan api. … ungkapan jujur Iblis kepada Nabi saw. Lalu bandingkan dengan puisi yang bisa jadi menulisnya dalam keadaan berhadats besar atau kecil. Mencangkok dahan pohon dengan nafsu menumpuk kekayaan demi kesenangan diri sendiri. Sedangkan kaum muslim sebelum memegang mushaf kitab suci untuk membaca firman-Nya, diwajibkan berwudhu atau terlepas dari hadats besar dan kecil, pula secara adab mengagungkannya.

Memang Dr. Suwardi tidak menyebut kata-kata ‘firman-Nya,’ tapi puisi serta sebagian perilaku penyair muslim, kerap memanfaatkan ayat-ayat mutasyabihat di dalam menopang gagasannya, yang sering abai asbabun nuzul-nya. Seperti yang terurai pada buku saya; Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (SastraNesia dan PUstakapuJAngga, 2011) mengenai Surat Asy Syu’ara ayat 225-227. Pula temuan lain di atas melencengkan makna Kun Fayakun ke dalam artian Jadi, lantas jadilah! dan Jadi maka jadilah! oleh SCB (Pidato di Mastera 2006, DKR 2000), yang sedang saya kritisi saat membaca salah satu esainya Ignas Kleden.

Bisa jadi para intelektual yang kurang pahami ‘tradisi pesantren’ ajaran Islam, menganggap kata-kata ‘ayat suci’ seperti firman-Nya pada larik itu. Sehingga jaraknya berlawanan dari ayat-ayat suci-Nya; “(Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini) dalam hal kefasihan dan ketinggian paramasastranya (niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”) saling bantu-membantu. Ayat ini memberikan sanggahan terhadap perkataan mereka, sebagaimana yang disitir dalam firman Allah Swt (QS, 8 al Anfal, 31): Kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini (Qs. al-Isra’ (17): 88).

“(Dan Kami tidak mengajarkan kepadanya) yakni kepada Nabi saw. (tentang syair) ayat ini diturunkan sebagai sanggahan atas perkataan orang-orang kafir, karena mereka telah mengatakan, bahwa sesungguhnya al-Qur’an yang didatangkan olehnya adalah syair (dan bersyair itu tidak layak) tidak mudah, ada yang menyebut tidak pantas (baginya). (Al-Qur’an itu tiada lain) apa yang diturunkan kepadanya, tiada lain (hanyalah pelajaran) nasehat -peringatan- (dan Kitab yang memberi penerangan) yang menjelaskan tentang hukum-hukum dan lain-lainnya.” [Qs. Ya’sin [36]: 69).

Kritik ini muncul lantaran dua kata ‘memang dan seperti’ dalam perkataan; Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci, yang memberi dorongan kuat memaknainya sebanding ayat suci firman Allah swt. Demikian membo-membo saya sebagai Abu Murrah (julukan Iblis). Kini kepada kumpulan sajak…
***

Agar radak adil pun mempersingkat waktu, saya telaah satu-persatu karya awal dari susunan setiap penulis puisi (penyair); pertama Usman Arrumy berjudul; Titik, yang lain Bersama Hujan, Aku Mencintaimu, Untuk Robi’ah Adawiyah, Al-hallaj, Jumat, Gua Hira, Kembang, Jadzab, Karena Aku Wayang dan Kau Dalang serta Pijar.

Usman lahir 6 Februari 1990 di Demak. Sejak kecil dididik di lingkungan pesantren ayahnya (Pon-Pes. Miftahul Ulum). Lalu mengembara di Pesantren Al-Ma’ruf Bandungsari, Grobogan, di Pesantren Fadhlul Wahid Ngangkruk, Grobogan, di Pesantren Al-fadlu, Kaliwungu, Kendal. Karya puisi-puisinya dimuat di beberapa majalah, dan sudah memiliki tiga antologi puisi tunggal.

Yang ditempa hidup nyantri dari beberapa pesantren, mungkin sampai tua suka kembara, menuntut berkah kepada para guru yang keilmuannya bersilsilah. Tidak sekadar di bangku madrasah, menghafal kitab, mendendangkan syair dalam kitab-kitab klasik karangan ulama. Juga tekun bertirakat, membaca wengi melarut dalam gelas kehidupan, suara bergegas hendak sholat, bercengkerama di makam-makam orang utama. Antara memaknai kitab kuning berbahasa Jawa juga, membuat syair-syair merekam tapak jejak hayat.

Sajak “Titik” saya suka kandungannya, bayangan Usman seakan disematkan kepada kisah para ulama pula para nabi yang tertuang di dalamnya. Hanya kurang sabar dalam pemilihan kata, nada, penulisan huruf, yang itu bisa meningkatkan wibawa suatu karya. Mungkin perihal tersebut terikat jenjang usia mudanya, yang semoga nantinya menemukan muara kebeningan didamba, kesantunan rahasia lewat pengudaran mewah. Di titik-titik persinggahan pribadi mengenal dunia, dilakoni merambahi detakan jantung memompa nafas, hingga seluruh kelenjar tubuh bekerja. Namun ada perih saya menyimaknya:

Maka akulah kembara yang mengelana mengendarai titik
Dibawah huruf ba menuju tuju pintu surga
Akulah yang mendamba kasroh menjadi perahu nuh
Yang kelak akan bersauh
Dan kepada miim aku melabuh
Akulah musafir yang hijrah
dari entah lalu mendiam dipasrah

Kala membaca sajak Titik, ada lompatan mengasyikkan sedebur ombak bersantapan cahaya, namun garam perasan peristiwa belum memutiara, ada yang terbang begitu saja. Pada prosesi saya berkarya, tidak malu merevisi jika dirasa perlu pun lebih sesuai meski sudah diterbitkan sebelumnya. Toh sebuah karya pantas punya peluang langgeng daripada usia pengguratnya pula dipertanggungjawabkan nantinya.

Karena perangainya melompat-lompat saya menduga; di larik terjumput itu kehendaknya melukis huruf-huruf Basmalah. Sayangnya cepat dituntaskan sampai terasai perih dibuatnya; huruf ba merupakan awal merendah andap ashor, kebalikan daripada huruf nun yang dapat dimaknai keangkuhan. Kalau dilukisan antara dipangku titik dan memangku titik. Ba pengertiannya ke Bismillah, sedangkan kebalikannya huruf nun dilesatkan ke nar artinya api atau neraka.

Jika Usman bersabar mengudar huruf sin, misalnya diletakkan untuk mensucikan nama Allah swt; Subhanallah, sebentuk huruf aslinya seperti orang bermunajad, tentu kehadirannya lapang sebelum memasuki miim-nya Muhammad untuk menemukan la-nya Lillahi taala, sampai kepada miim-muakhir sang Nabi saw. Saat dibaca ulang, kembali ke huruf ba sebagai pergumulan kasih sayang antara hamba dengan Sang Penciptannya; kasih-Nya pada seluruh makhluk, sayang-Nya kepada segenap umat Muslim sampai akhir jaman. Miim kehadiran Rasulullah saw. dan miim pemberi syafaat bagi iman yang meski sebutir zarah. Rahmat ini bisa diurai terus-menerus, sejumlah tingkatan pamahaman dalam jenjang yang diikhtiarkan, tentu atas kemurahan-Nya, pengertian halus budi ditaburkan golongan orang-orang di jalur mukhlis (laku murni).

Kedua; Devie Sarah Khan, nama pena dari Devi Maisarah. Lahir 23 Juni 1991 di Pesantren Buntet, Cirebon. Mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Syekh Nurjati. Mulai menulis sejak di bangku Tsanawiyah. Tidak hanya puisi buah penanya, beberapa cerpen telah dituangkannya. Salah satu redaksi kampus dan di bidang kesenian banyak menuai prestasi. Sajak-sajaknya; Dunia “Akan.” Engkau Wahai Aku, Sedetik yang Beberapa Hari, Sekelebat Sesalan, Gulma Membunga, Sarkasme terhalus, Senja di Penghujung Oktober, Nyanyian Lampu Merah dan Agama, Bukan Tanpa Cinta.

Dalam sajak “Dunia ‘Akan’,” saya menemukan corak abai, meski bangunan nalarnya lumayan. Terlihat kurangnya pembacaan ulang, sehingga bentuk ‘keluguan’ penciptaan pertama tampak terang. Mungkin Devie ingin menunjukkan keotentikan kilatan inspirasi awalnya dan menganggap sayang jika dirombak, atau terlalu percaya diri? Ataukah mengira suci pertemuan di alam puitik? Sampai tidak ada keberanian menempanya kembali sebangunan imbang kadarnya, yang secara fitri kelak mendapati peningkatan nilai.

Para pekerja yang menanjaki wilayah sastra, harus rela menyingkap kandungan misteri kehadiran karya sampai kedudukan nasibnya, seperti sedekah tanpa pamrih di waktu tepat atau menundukkan ego demi kelanggengan ciptaan di alun-alun semestinya. Ketidakberanian memangkas, meringkus daya ciptaan serupa batu berharga belum dibentuk, kala cahaya pembacaan tidak memantul seterang kodratnya. Atau bebatuan mutiara lebih berharga jika dipahat berbilang sudut oleh sang ahli yang bertekun siang-malam, meski kelak yang dikenal hanya karyanya. Setidaknya pembuat untaian mutiara berbahagia menyaksikan kalung ciptaanya melingkari leher jenjang putri raja, misalnya.

Ketiga; Amna Milladiyah, nama penanya Aam Amna. Lahir di Sidoarjo 3 September 1993. Menempuh pendidikan SD TPI, MTs Islamiyah di desa Inggir. Tamatan SMA NU Malang yang kini belajar di PPSQ Asy-Syadzili. Kegemarannya menulis sejak sekolah dasar. Sajak-sajaknya; Dzikir Abadi, Sentuhan Kasih, Bahasa, Pemilik Rindu, Jejak-Jejak Sujud, Konser Musik, Aku dan Cahaya, Pelabuhan Rindu, Pusaran Bapak, dan sajak Ibu.

Komentar saya pada sajak “Dzikir Abadi” ;terkadang bacaan meluas serta pengalaman spiritual meresap dalam, belum tentu mampu menuangkan dengan ketepatan bahasa. Lebih parah cara membacanya keliru, tidak paham yang sedang dibaca atau tidak bersuntuk-suntuk menggali makna yang terbaca lewat laku. Di sini saya kutip kata-kata pembuka dalam “Kitab Adab Al-Muridin” karya Abu Al Najib Al Suhrawardi:  …Setiap orang yang mencari sesuatu harus mengetahui esensi dan watak sejati apa yang dicarinya, sehingga keinginannya akan hal itu dapat terpenuhi. Tidak seorang pun dapat mengetahui jalan para Sufi secara memadai hingga ia mengetahui keyakinan-keyakinan fundamental mereka, aturan-aturan tindakan mereka (adab), dan istilah-istilah teknis mereka. Karena besarnya jumlah pemalsu yang berpura-pura, keadaan Sufi sejati telah diabaikan. Namun, penyelewengan itu semestinya tidak meniadakan yang sejati. Saya tambahkan untuk Amna; bersunyi-sunyi sangat penting, berdiam diri itu baik. Dengan kesendirian teramat hening, seluruh bacaan meresapi kalbu menuntun ke jalan yang dirindu.

Keempat; Sekar Aisha Nahdhia lahir 2 Desember 1994 di Cirebon. Ia dikenalkan dunia buku oleh bibinya. Alam pesantren melekati dirinya membentuk religius unik. Ia terinspirasi gaya kepenulisan Leo Tolstoy, Vladimir Nabokov, begitu biografinya. Sajak-sajaknya; Secangkir Teh Kehidupan, Puisi kakak, Senja & Sehelai Padi, Dogma Petang & Sebutir Tomat, Satria, Padang Imajinasi.

Pada sajak “Secangkir Teh Kehidupan” kesan saya; pengulangan kadang membosankan dan kata-kata mengumbar, meluncur tanpa penggendalian diri di tiap kesadaran kata akan melemahkan peristiwanya. Andai keadaan meminum teh diulang-ulang, lantas setiap pengulangan dicatat berkadar seksama, maka penumpukan catatan terjadi kian matang. Seperti berulangkali jatuh cedera, rasa dengan perbedaan tipis menentukan lelipatan menuju pengertian lembut. Mengangkat kebeningan tangkapan panca indera ke alam puitik, laksana lamur pagi-pagi menghadiahi bulir embun di lengan, dedaun juga pegunungan.

Hawa ketinggian, uap mengepulkan aroma menyerapi persendian, kala pengulangan ditempatkan pada alur bacaan. Maka selain percaya diri, pengoreksian wajib bagi yang berjiwa maju, misal sebuah sajak yang disuntuki satu bulan lebih, di bulan selanjutkan diperiksa lagi. Sebab bertemunya formulasi terbaik berangkat dari ketekunan menyimak selain produktivitas, sekiranya hasil dapat terketahui jauh kemudian, kalau benar bersuntuk mempelajari kehidupan. Pula kudu dilayarkan, lantaran kesaksian selalu meningkatkan nilai-nilai; barangkali saksi pertama, kedua, masih terselimuti warna melenakan.

Kelima; Mawar Merah nama penanya. Ia sebutir debu yang diberi kesempatan hinggap dalam indah matamu. Kapan saja bisa kau sibak, kau hilangkan dari pandangan. Atau ada angin memaksaku enyah darimu, tetapi… kesempatan untuk mampir di alismu, dan merasakan sejuknya terbasahi linangan air matamu adalah anugrah terhormat sedari sebuah debu. Pecinta kopi sejati, belajar hidup dari pahitnya, pengagum senja dan malam. Itu biografinya, sangat percaya diri tidak menyebut nama asli, samarannya pun tersamarkan. Mungkin ini gejala kembalinya jaman lampau, tersematnya istilah anonim atau bisa dikatakan kebebasan pengarang, saat memasuki masa kekinian. Nama sajak-sajaknya; Rintik Rindu di Kota Sayu, Menunggu Langit Bicara?, Takbir Subuh, Senja di Ujung Malam, dan Aku Rindu Kopimu. Komentar singkat saya pada sajak “Rintik Rindu di Kota Sayu” ;lumayan, tapi saya belum berminat mendalaminya. Jika karyanya sekelas penyair tanpa nama pada link berikut, mungkin saya tertarik mengupasnya http://sastra-indonesia.com/2010/03/penyair-tak-dikenal-dari-yugoslavia/

Keenam; Cahaya Langit, nama pena dari Nur Ilmiyah, kelahiran 27 Juli 1991. Pendidikan di MI NU Maudlu’ul Ulum, MTsN 2, MAN 1 Malang, kini di STAIN Bengkulu. Berharap karyanya sekarang bukan karya pertama sekaligus terakhir, tapi lainnya segera menyusul. Judul sajak-sajaknya; Abu Perjalananku, Candu Ampunan, Senandung Retak Hamba, Lekat Mengingatmu dalam Hayat, Kabut Hitam Kehidupan, Telah Gelap Rinduku, dan Mengembara Makna.

Nama pena penulis ini serupa anonim, namun mending menghargai tapak hayatnya. Semoga dirinya memikirkan lebih matang sebuah nama atas karya selanjutnya. Atau takdir bakal terjadi di masa datang oleh pilihan sekarang. Pada sajak “Abu Perjalananku” saya tidak memberi kupasan apa-apa, hanya jika boleh berpesan; perbanyaklah baca, tidak hanya membaca diri sendiri, merasai hembusan angin hayati, namun juga tarikan nafas dunia kata-kata. Mungkin sesekali perlu mabuk membaca berhari-hari, hingga berjam-jam, di kemudian hari dalam sinahu lebih terang pandangan dikala penyimakan. Serta menahan kantuk, membuang malas mengamati karya lain, sebab betapa tidak tahu tingkat kemajuan belajar tanpa berkaca kepada yang lain. Itu berulang-ulang ditingkatkan adalah kesuntukan setahun bisa melebihi yang berlehan-leha sepuluh tahun, senada makolah; Istiqomah lebih mulia dari seribu karomah. Hidup hanya sebentar, tanpa kesungguhan akan menyesal, dan sia-sia dalam beberapa masa, tidak terhitung jumlah kerugiannya!

Ketujuh; Nurul Farida Wajdi lahir 12 Mei 1992 di Sleman, Yogyakarta. Menempuh pendidikan di ndalem Bapak Muh. Dawami 1997-1999. Tahun 1999 hingga kini di Masjid Ash-Sholihin, dan sejak 2007 di Ma’had Islamiy Sunan Kalijaga, serta dimulai 2011 di Darus-Shalihin. Semenjak kecil suka menulis, buku teenlitnya “Say No To Pacaran” (2009), naskah komik Pahlawan Nasional ‘K.H. Zainul Arifin’ dan ‘Sultan Hasanuddin,’ kerjasama dengan G.Wu (2011). Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Jawa di UNY. Sajak-sajaknya; Eling Sliramu (Teringat Dirimu), Nalikaning Pajar (Ketika Fajar), Ibu (Ibu), Mungguh Wuyung (Tentang Rindu), Rama (Ayah), Ku Menerka, Aku Sadar, Marilah, Gadis Kecil, dan Si Mungil.

Membaca gurit “Eling Sliramu” mengingatkan diri saya semasa belajar kepada KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum) di bawah pohon sawo kecik Nagan Lor 21 Yogyakarta. Geguritan Farida lumayan memikat, namun perlu pilihan kata lebih lembut. Dalam penuturannya bisa dibilang rapi, tapi daya kesastrawiannya masih patut digali, agar bencah tanahnya menyubur merambahi khasana guritnya kian sumarah, sumekar laksana kuntum kembang melati mewangi, di sanding sendang hangat tirta dari pegunungan paling asri. Atau saya melihat ketegasan sang putri menapaki tangga Ilahi, semoga yang sumambrah dari ketinggian hakiki. Dan kelembutan bahasa sajaknya “Teringat Dirimu” sepantulan guritnya; Farida boleh memasukkan kosa kata bahasa Jawa ke dalam sajak yang berbahasa Indonesia, sekiranya itu menambahi bobot nuansanya, serupa kata ‘kemerlip’ di sana.

Delapan; Hasan ben Aly asal Parengan, Lamongan 15 Oktober 1995. Sejak kecil tinggal di Pon-Pes. Nuur Al Anwar. Awal pendidikannya di TK Muslimat, lalu di Ibtida’iyah ketika pagi dan siangnya di TPQ Manbauddalalah. Lulusan SMP Wahid Hasjim Parengan, lantas menekuni pelajaran pesantren. Menyukai dunia tulis saat membaca puisi karangan K.H. Musthofa Bisri di majalah. Sajak-sajaknya; Semacam Perasaan Rindu Padamu Muh!, Tuhan, Buat Kamu, Suluk Seorang Bodoh, Khidir, dan sajak bertitel Di.

Setelah membaca sajak “Semacam Perasaan Rindu Padamu Muh!” pun tidak mendedahnya. Karena Hasan warga Lamongan, maka saya tidak segan melancarkan masukan; coba suntuki karya Gus Mus yang kau sukai, kemana-mana dibawa, disimak berulang-ulang, sambil tubuh dimiringkan, tegak berdiri, tiduran, posisi berlainan; kondisi berbeda di atas teks yang sama, tentu mendapati temuan lain dari sebelumnya.  Dan mencoba menulis sajak kala hujan rintik, gerimis menderas, sebelum tidur, bangun malam, pagi buta, kesiangan. Membunuh kantuk dengan celak, makan buah asam jika perlu; orang-orang terdahulu lebih berani menaburkan garam lautan di mata. Teruslah berkarya diwaktu bergairah, saat kemalasan mendera, bosan, buntu, basmi semua sampai batas-batas memungkinkan sadar atau lebih.

Menyimak alam membaca buku, jika ingin mendapatkan tidak cuma atau sedang saja; itu kesempatan sangat tipis, hanya lewat bersusah payah serba kekurangan, ilmu pengetahuan akan terserap dari pelbagai penjuru, seirama Q.s 13: 11 : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa pada diri mereka. Lalu pegang Hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Muslim dari Amru bin Maimun r.a.; “Rebutlah peluang lima perkara sebelum datang lima perkara; masa mudamu sebelum datangnya hari tua, masa sehatmu sebelum dilanda sakit, masa kayamu sebelum jatuh papa, masa lapangmu sebelum datangnya sibuk, dan waktu hidupmu sebelum datangnya kematian.” Maka tempalah keyakinan sedalam penyelidikan!

Sembilan; Ella Ainayya, nama pena dari Ella Ainayya fz. Tinggal di Balekambang, Nalumsari, Jepara. Kegemarannya menulis sejak kecil, bermula dari coretan kata-kata yang dikumpulkan untuk dinikmati sendiri serta orang-orang sekelilingnya. Kecintaannya pada komunitas pesantren membuatnya ringan menyumbangkan sebagian karyanya di sini. Sajak-sajaknya; Tak Taunya Aku, Simpang Jalan, Kau dan Rasamu, Pujimu Padaku, Semuamu, Berteman Gelisah dan Gunda, Aku Kamu dan Rasa Itu, Laki-Laki Soleh Itu, Dalam Maya, dan A Piece of  Remember.

Pada sajak “Tak Taunya Aku” saya belum mendapati apa-apa; apakah kata-kata puitik, nuansa puitis pun peristiwa makna puitika yang menggugah. Jika biografi Ella tercatat menulis sejak kecil; sebelia apa usianya kini? Sudahkan membaca puisi-puisi di majalah? Sajak-sajak yang ditulis pelajar Tsanawiyah pula Aliyah? Meski saya telah dan terus membaca karya-karya kelas dunia, masih suka baca puisi di majalah yang memuat karya anak Ibtidaiyah, misalkan di majalah Mimbar Pembangunan Agama. Pesan saya; kesungguhan itu satu cara menghormati atau menghargai diri sendiri, sebelum datang yang lainnya!

Sepuluh; Ufi Ishbar Noval terlahir 6 Desember dari keluarga sederhana. Menghabiskan masa belajar VI tahun di Sekolah Arrisalah, Kediri. Kegemarannya bersajak diawali menulis di Mading. Pernah menjadi wartawan, Pimred majalah di sekolahnya, sejak itu kemampuannya terasah. Sajak-sajaknya; Aku Masih Manusia, Orang Pesisir, Karena Aku Masih Mencintaimu, Getir-Getir Peluh, dan Demokrasi?

Meski sajak “Aku Masih Manusia” belum mapan, saya suka semangat pencariannya; upaya mengeduk dasar hening kemanusiaan, mendalami fitrohnya sebagai insan berpikir. Kesadaran terhadap bulan dan matahari, gunung pebukitan, sungai-sungai hempasan gelombang badai kemungkinan. Di atasnya, nalar puitika digerakkan dengan pijakan realitas, merasai tebal bayu menderu kencang menampar muka, hujan mencabik-cabik di badan kesakitan. Dan lewat resapan panca inderanya, manusia tangguh dimungkinkan hadir membelah samudra, mengendarai angin, mengebor kekayaan tambang kehidupan. Menyusupi cela-cela batuan terjal-ketumpulan; jiwa-jiwa mandiri tidak malu diperolok suara-suara sebrang, terus belajar menggali kualitas kedirian hingga sumber mata air keluar selaksa pahala tidak terduga. Sedang perasaan puas, merasa berhasil itu musuh bebuyutan yang patut digerus, didorong untuk memperlus kesadaran bacaan. Maka teruslah berkarya, hidup cuman sementara, sedang karya abadi dinanti semua bangsa!

Sebelas; Ita Rosyidah Miskiyyah gemar menulis sejak di bangku Sekolah Dasar. Menulis cerpen, esai dan puisi. Baginya, hujan selalu menghadirkan inspirasi, aroma tanah basahnya menyimpan makna. Hobinya menunggang kuda, dan menurutnya semua bisa dijadikan tulisan, selagi ada kemauan di hati. Antologi puisi pertamanya; “Menunggu Hatimu.” Begitu riwayat awalnya dan ini sajak-sajaknya; Asa Membiru, Candu Ilmu, Cinta Atau Iba?, Kata Kita, Merindu Dalam Bisu, Ruang Hati, Senyummu Melerai Derai Rindu, Tersangkar Asmara,  Tiada Mungkin Tanpamu, dan Bukan Bagai Sosokmu.

Pun pada sajak “Asa Membiru” tidak mengupasnya, namun saya tertarik temuan dua kata di dalamnya; “punggung jantung.” Saya bayangkan Ita memperoleh kata-kata itu kala mengendarai kuda, jantungnya berdebar di atas turangga. Saat tapak langkah kudanya berlari kencang, ia merasa hentakan pengalaman puitik, peristiwa termaknai, diwakili dengan bersitan kata-kata. Seperti ini patut digali, kesaksian murni menggugah kesadaran lain, ingatan kepada peristiwa sepadan yang dimungkinkan mencipta kandungan berbeda dari penulis sajak lainnya.

Sajak bukanlah hanya kumpulan kata-kata puitik, tapi perlunya ikatan rasa-penalaran yang dikandungnya. Misal berbicara senjakala; patut mengeduk warna, kondisi orang-orang kala senja, bebayang dedaunan, corak tanahnya, perasaan pada anginnya, pesona matahari pantaslah dihidangkan bertepatan dengan masa yang diinginkan. Penggalian ini butuh kesuntukan, kepekatan indera, merasai perpindahan perasaan dari lingsirnya surya, detik-detik terekam, mata menyimpan segenap yang direngkuh demi peroleh kepastian atas melesatnya daya penalaran ke jenjang penerimaan. Olehnya patas sebelum mengguratkan sesuatu, memegang ujung mula bayangan yang hendak ditangkap keseluruhan, semacam persiapan pemotretan, agar mendapati hasil maksimal, bukan tempelan dicari dari kondisi berbeda sejenis pengeditan berlebih pada gambar yang sudah dihasilkan.

Dua belas; Nabila Munsyarihah lahir di Jombang 27 Mei 1991, besar di Pon-Pes. Tambakberas, Jombang, dengan curahan kasih sayang dari Ibu Hj. Umdatul Choirot dan Ayah H. Ach. Hasan. Tengah menempuh studi di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM dan nyantri di Pon-Pes. Ali Maksum, Krapyak, Jogja. Titel sajak-sajaknya; Tanpa Sengaja Berdosa, A Voice, Peringatan Kesakitan Ibu, Sajak Untuk Mbah,  Rupa-Rupa Cinta, Tutur Ketiadaan, dan Musikalisasi Puisi.

Pada sajak “Tanpa Sengaja Berdosa” untuk kekurangannya saya abaikan, mengenai bentuk tulisan serta dinaya lebih bisa dilahirkan dari sana. Suaranya protes terhadap tradisi yang dibalut alur balada, teriakannya mengingatkan saya kepada sosok Nawal El Saadawi pula R.A. Kartini yang dikagumi Nabila; selantang “Sebilik Mihrab” karya Lilik Qurrotul Ishaqiyah. Serupa sajak protes lain, yang dikejar tidak hanya kata puitik juga peristiwa makna. Saya berharap perkembangannya menanjak membongkar kedirian menggali soal-soal yang dihadapi, ditantang dengan pelbagai bacaan yang dikuasai; menyimak bersegenap penalaran, kepekaan rasa oleh menanggung harkat kemanusiaan. Ada suatu makolah, wanita ialah tiang negara. Jika perempuannya kokoh, tangguhlah tatanan pemerintah, jika sebaliknya lembek bisa dibayangkan ambruk sebelum masanya. Darinya anak-anak bangsa dilahirkan, sejauh perhatian pada dunia pendidikan, memperkuat penggalian di ladang kemakmuran, dan fatal bisa terjadi merongrong hati demi kepentingan sesaat; kayu bakar ibarat kaum hawa yang sanggup matangkan air ataukah membakar kekayaan rumah tangga negara?

Tiga belas; Violet Angel, nama pena dari Laily Dzatinnuha, lahir di Surabaya 31 Oktober 1986. Menjalani hidup di Pon-Pes. Langitan 12 tahun. Dalam dunia puisi diperkenalkan sang ibu, dan adik keduanya mendeklamasikan diberbagai even di pesantren. Mulai menulis kelas 2 MTsN Bahrul ‘Ulum, Tambak Beras, Jombang. Terlibat di berbagai media di Bahrul ‘Ulum, pada Pon-Pes. Manba’ussholihin, Suci, Manyar, Gresik, dan pada komunitas kepenulisan saat di Kairo; SAMAS, SaPi, FLP Mesir dan FLP Depok. Sajak-sajaknya; Hari dan Waktu, Pasang Gendang, Tuan!, Rasa dan Karsa, Mimpiku di Antara Kuasa-Mu, Curhatku Padamu, Di Suatu Malam, Inikah Malam?, dan Simfoni Lautan Pasir.

Membaca “Hari dan Waktu” saya menikmatinya: // Hari yang menjauh / Kini bersiap-siap melabuh / Lalu kembali ke pangkuan ibu // ;sajak ini tekun menyimak masa sejauh misteri perputaran ke muasal penyebabnya. Ada olahan pikir pada baris kesadaran sejarah, waktu kerap membentuk pelbagai rupa dan Violet Angel menemukan di antaranya. // Waktu pun menyuram / Menunggu ketakpastian / Kapankah hari untuk pulang? / Bedug bertabuh / Bisik peluh memutar kelu / Lalu hari menyapa dengan senyum bisu // ;sajak soal waktu tidak lepas dari kebisuan, kesuraman, penantian, pertanyaan, ngambang, menggantung atau tanda hadirnya sesuatu yang masih terselubung. Waktu yang bisa loncong, panjang, bulat, abstrak, kadang pelahan sealiran sungai pula dihempaskan badai, sedaun-daun menguning malas. Pada hembusan angin pembawa waktu menentukan jatuhnya takdir, seranting patah ditelan arus, berlayar memunculkan hitungan matematis, filosofis, kimiawi, biologis atau Sunnatullah mengatur seluruh alam.

// Buku lima basah terbuka / Sambut tunduk sembah luka / Waktu menengadah cipta asa // ;catatan peristiwa, ingatan kehilafan, pantun hidup kemendadakan, ketidaksabaran mendatangi kecewa. Hari dibangkitkannya jiwa dari kemalasan, keras menghimpun tenaga demi menutupi kekurangan, dan doa menaikkan drajad ke gugusan kemilau. Lalu diperoleh waktu semakin larut, // Hari mulai menjauh / Sembunyi harap waktu menyendu / Usik karsa waktu ingin tahu // ;sekiranya kegaiban takdir atas tumpukan masa, ikatan usia merenggang-lepas, benang halus digenggaman jemari berhadap tidak luput sangkaan atau praduga terhadap keilmuan. Dan // Pagi bagi waktu ia senja / Tanpa lambai tanpa sapa / Hari berlalu tanpa kata // ;semisal datang-pergi sama, kelahiran-kematian atau pagi dan senja; kelupaan menemui muara, kesadaran mendapati muasalnya. Tiada siapa-siapa, sendiri dalam kebisuan nyata, beku dalam arus paling rahasia.

Empat belas; Nada Haroen, nama pena dari Qotrun Nada Haroen, kelahiran Temanggung 6 Juli 1992. Pernah di Pon-Pes Raudhatut Thulab, Tempuran, dan SMAN 1 Magelang. Selain menulis, semasa SMP menjuarai baca puisi setingkat propinsi dalam Pekan Seni Ma’arif Jawa Tengah 2004. Kala di bangku SMA, cerpennya yang berjudul “Saat-saat Itu” juara I Lomba Penulisan Cerpen tingkat Nasional yang diselenggarakan majalah KaWanku 2009. Mahasiswi Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, yang kini berdomisili di Surabaya. Sajak-sajaknya; Gedung, Rumah dan Gubuk, Namun Kamu, Dusta, Kunang-Kunang Kau Ku Kenang, dan Percakapan Dua Manusia Lewat Saya.

Sajak “Gedung, Rumah dan Gubuk” menyuarakan kesenjangan sosial, kritik halus seperti memukul dengan tenaga dalam lewat kesederhanaan kata-kata. Sayang belum mengaduk soal-soal yang melingkupi kedalamannya, tapi dari sketsanya bisa dimasuki dengan penelusuran, oleh kehalusannya merambahi alam nalar ke dunia puitika. Sisi lain, mengajak merenungi diri serta kedirian mereka yang berada di gedung perkotaan. Seperti pilihan hidup sunyi dalam menata masa depan, antara keramian langkah di kota; bait ketiga / terakhir. Bait kedua menampakkan pamor metropolis sedang menelanjangi mereka yang haus berharap juga watak konsumtif yang mengeruk isi nurani hingga kosong (haus) kembali. Di bait awal, ia mengudar alam nalar dengan perasaan, bentuknya terdapat pada pilihan kata ‘gedung’ dan ‘kotak’ menuju kata ‘kota’ serupa kata ‘gedung’ dan ‘bulat’ pada kata ‘bulat-bulat.’ Ini lumayan beresiko, tetapi saya menyukai keberaniannya dalam menentukan kata-kata.

Lima belas; Lizam Kafie, nama pena dari H. Izam Kafie, Mc. Lahir di Grobogan 21 Agustus 1982. Pernah nyantri di berbagai pesantren dan kini mengajar di Pon-Pes. Salafiyah Al Marom Menduran, Purwodadi, Grobogan, Jawa tengah. Aktif mengikuti seminar, halaqoh diniyyah serta beberapa kali menjadi juri musabaqoh seni, terutama kaligrafi anak-anak tk.Asia di Jeddah, KSA. Sajak-sajaknya; Kosong, Jati Diri, Pengantin, Kelana, Sendiri, Kedewasaan, Sahabat Angin, Muhasabah, Hikmah, dan sajak yang bertitel Cinta.

Pada sajak “Kosong” saya membaca Lizam masih dalam pada pencarian bentuk atau belum pahami penuh alam puitika dengan capaian puitik. Penalarannya sebatas hitungan kasar, seumpama tumpukan batuan bata durung dipoles sedinding keindahan rumah. Belum tampak wewarna terobosan sesiratan cahaya dan ada keterputusan di beberapa tempat. Namun saya yakin, kalau berlatih keras akan menemukan kekhasan di kemudian hari, dalam menimbang ikhwal makna di sebalik kata antara kata serta perasan atas materi-materi yang diunggahnya.

Enam belas; Azzqie Adawiyah, nama pena dari Azkiyah Nur Adawiyah, kelahiran Miji, Mojokerto 16 Juli 1989. Awal kegemarannya menulis, sejak memimpin redaksi di Asrama al-Khodijiyyah Pon-Pes. Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Beberapa kali menerbitkan buku serta mengisi kolom sastra di majalah sekolah juga di pesantren. Sajak-sajaknya; Menggores Bayang Tetes, Seper Sembilan Puluh Sembilan, Suasana Duka Gerhana, Rindu Meruang, dan Yang Maha Sajak.

Pada sajak “Menggores Bayang Tetes” kehendaknya mengungkap misteri hayati; apakah dambaannya kelak serupa orang tuanya? Dengan bahasa lembut mengaburkan aku lirik, serta kisah kekasihnya kurang menonjol seperti monolog prosais. Tapi di balik itu saya temukan bibit unggul yang nantinya merambahi dunia esai, cerpen, novel pula puisi panjang. Sejenis bersimpan dinaya melimpah, gairah berkesungguhan meluas atau berbakat. Tentu wajib berlatih keseimbangan, menyimpan energi demi nafas-nafas ke depan lewat tekun sinahu; ada wujud tidak kurang dari impiannya. Maka rawatlah kesangsian mengintriki jiwa atau keraguan menderai rasa, waswas menggerogoti sukma, serta meyakinkan perolehan pada kesaksian di jalan kembara.

Tujuh belas; Awy’ A. Qolawun, nama pena Alawy Aly Imran. Menghabiskan waktu dengan membaca-menulis; karyanya sekitar 30 buku (14 berbahasa Arab), beberapa di antaranya terbit secara nasional. Ratusan artikelnya di berbagai media, di samping kerap sebagai endorser. Kelahiran 16 Agustus 1983,  berasal dari Pon-Pes. Nurul Anwar, Parengan, Lamongan. Koordinator staff FLP wilayah Saudi Arabia. Mengambil studi di Masyru’ Al-Maliky Lid Dirosah al-Ulya, Makkah. Begitu biografinya, dan sajak-sajaknya; Bisu dalam Deru, Ruang Suara Belulang, Tak Perlu Takut, Teriakan Bisu, Senyum Soreku.

Membaca sajak “Bisu dalam Deru” komentar saya; sering kali bacaan luas referensi melimpah serta keahlian merakit kata, malah menganggap enteng kala menulisnya. Ini bisa fatal saat memasuki alam puisi, di mana kehadiran puitik yang terpendam di dalamnya bisa kurang mengental. Kegiatan bersajak beda dengan menulis esai, cerpen pun lainnya. Dalam berpuisi yang dituntut kepekaan ruhani menangkap peristiwa puitika, bukannya peristiwa dipuitikkan, atau diucapkan lewat kata-kata puitik yang bertumpuk. Namun peristiwa puisi muncul, kala penulisnya total menerima, memasrahkan segenap kediriannya, dan lewat lelaku itu diharapkan bermunculan bulir-bulir mata air kesadaran; tetesan air mata terhadap dosa, sesenggukan di kamar sempit mengisyafi keegoan. Tepatnya, alam puisi itu kesadaran jernih melewati pikir-perasaan dengan pertimbangan halus, selepas menggenggam soal atau masalah yang diungkap tinggal intisarinya.

Akhirnya, anggap buku ini pula buku-buku sebelum atau selanjutnya sebagai kurban proses kreatif guna jenjang terbaik; hitung kerugian waktu, keluguan konyol, rasa malu di jalanan nantinya. Tiadalah faedah merawat bangga jika tergelincir lena, maka tingkatkan kesuntukan ribuan kali lipat daripada yang sudah. Karena memalukan kalau tidak sampai ke drajad dialog para imam, para ulama tempo dulu, sang peletak dasar keilmuan dari al Kindi hingga Muhammad Iqbal, misalnya. Tengok Ibnu Rusyd betapa rajin belajar semenjak belia sampai usia menua, tak ada waktu lowong demi membaca-menyelidiki, kecuali pada dua malam saja; malam meninggal ayahnya dan malam pertama perkawinannya.

Waktu bertumpuk padat penelitian, rapat merenung ulang membaca tanda perubahan, menyimak nafas-nafas hayati, kepalan tekat atas kurban yang dilayarkan. Mengurangi istirah, memaksakan diri mencebur ke kawah candradimuka; pergumulan dalam paham-paham berbeda, bergulat dalam kecamuk pencarian hingga tiba malaikat pencabut nyawa. Jangan terlena kelebihan, tetapi manfaatkan sebagai tumbal di dalam kehidupan. Ialah sedap maut demi pencarian keilmuan; berilah ruangan darah setimpal, air mata sepadan, keringat mendidih bercucuran. Congkel pepintu mata benturkan kepala dari kemalasan, kepada kitab-kitab yang purna kedudukannya. Pesan saya; jika tidak sungguh-sungguh, berhenti saja secepatnya!

Lamongan-Jombang, Malam Jum’at Wage 20 April 2012.

*) Bahan bedah kumpulan sajak lintas pesantren “Jadzab” 21 April 2012 di Gedung Aula Pasca Sarjana Institut Agama Islam Tribakti, Kediri.

Tinggalkan Balasan