SASTRA Versi Iklan Kecap INDONESIA *

Nurel Javissyarqi

“Nun, demi kalam (pena) dan apa yang mereka tuliskan.” QS. al Qalam (68) ayat 1.

Judul di atas mengambil olok-olokkannya kritikus Dami N. Toda kepada kritikus A. Teeuw dalam esainya “Mempertanyakan Sastra Itu Kembali” di bukunya “Apakah Sastra?” (Cetakan Pertama, Indonesia Tera 2005), yang termasuk versi iklan kecap menurut saya. Dan oleh karena kebetulan saya sedang menggarap buku kritik yang rencana judul besarnya “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” lewat satu esainya Dr. Ignas Kleden Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri.” Maka sajian sekarang tidak jauh dari apa yang teranalisa demi memudahkan saya berselancar.

Yang juga termaksud versi iklan kecap bunyinya begini tulisan Dami: “…temuan diksi puitik berupa fonem “Q” ataupun diksi puisi persenyawaan “sepisaupi sepisaupa” diksi puisi berupa morfem-morfem sungsang (winka, sihka) dan ‘tanda baca’ menjadi absah dalam “karya sastra” Sutardji Calzoum Bachri; murni temuan cipta diksi puitik si pengarang Sutardji Calzoum Bachri pribadi dalam karya ciptaan tertentu. Gejala pilihan ‘kata’ seperti itu tiada ter-reka dalam semiotik Culler, Greimas, apalagi Teeuw yang berpegang pada leksikografi linguistik konvensional.” (Halaman 4). Dan mungkin sangking geregetannya Dami terhadap A. Teeuw, ia mengkopi paragrafnya dalam esai lain dengan gaya bahasa agak berbeda. Tengok halaman 2-3 dan 29-30 dalam buku yang saya sebut di muka, seperti berikut:

“…Contoh mitos “teori sastra mutakhir” yang diberi label etiket ilmiah dapat dibaca dari bunyi teks iklan kulit buku kumpulan esai A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, pada Penerbit Gramedia (Jakarta) 1983. Tertulis di sana antara lain:”

“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori sastra Indonesia sering ketinggalan zaman. Karangan-karangan Teeuw dalam buku ini justru memperkenalkan teori sastra Roland Barthes dan Michael Riffaterre (Prancis), Hans Robert Jausz (Jerman Barat), Jurij M. Lotman (Rusia), Jan Mukarovosky dan Felix Vodicka (Cekoslovakia), dan lain-lain.”

“Tidak tanggung-tanggung wacana iklan neket tersebut menjual kumpulan esai Prof. A. Teeuw dengan versi iklan kecap: “…teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra.” Benarkah ‘ketinggalan’ mengetahui teori mutakhir berakibat pada ketidakmampuan orang Indonesia membaca dan memahami (baca: ‘menikmati’) karya sastra tradisi (daerah) dan sastra baru yang ditulis pengarang mereka sendiri? Benarkah komunikasi “membaca dan memahami karya sastra” lama (semisal: Ronggowarsito) atau baru (semisal: Sutardji Calzoum Bachri) bagi pembaca awak dalam negeri perlu menanti tembusan pengetahuan “ilmiah” teori sastra mutakhir dengan nama-nama aneh diimpor jauh-jauh dengan bahasa susah Cekoslovakia, Rusia, Prancis, Jerman, lewat kuliah “Program Leiden” (Belanda)? Haruskah pembaca awak yang telah bernikmat diri membaca sastra bangsa sendiri harus kembali mencurigai kejujuran kenikmatan penerimaan dan apresiasi membacanya karena belum diabsahkan membaca “teori sastra mutakhir” beristilah asing? Suatu hal pasti bahwa nabi-nabi asing teori sastra kubu linguistik: Mukarovsky, Jakobson, Lotman, Barthes, Riffaterre, Jausz belum pernah tahu dan membaca tradisi puitik sastra Jawa, Bali, sastra Pustaha Batak, La Galigo Bugis-Makasar, Sa’dan Toraja, sastra teks asli Indonesia dan aneka sastra daerah Indonesia. (I.1. Mempertanyakan Sastra Itu Kembali, Halaman 2-3 di buku Apakah Sastra?).
***

“Contoh pengelu-eluan mitos “teori sastra mutakhir” yang diterima sebagai etiket ‘ilmiah’ di Indonesia dapat disaksikan dari penyajian teks iklan berlebih-lebihan pada reklame kulit buku kumpulan esai A. Teeuw (Membaca dan Menilai Sastra) terbitan Penerbit Gramedia, Jakarta tahun 1983. Tertulis di sana antara lain:”

“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori sastra Indonesia sering ketinggalan zaman. Karangan-karangan Teeuw dalam buku ini justru memperkenalkan teori sastra Roland Barthes dan Michael Riffaterre (Prancis), Hans Robert Jausz (Jerman Barat), Jurij M. Lotman (Rusia), Jan Mukarovosky dan Felix Vodicka (Cekoslovakia), dan lain-lain.”

“Tanpa tanggung-tanggung tawaran Prof. A. Teeuw tersebut diiklankan dengan wacana: “…teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra”. Apakah benar ‘ketinggalan’ mengetahui teori mutakhir di Indonesia berakibat dari ketidakmampuan kita di sini membaca dan memahami (baca: ‘menikmati) karya sastra tradisi (daerah) dan sastra Indonesia yang ditulis pengarang kita sendiri? Apakah benar bahwa komunikasi “membaca dan memahami karya sastra” lama (semisal: Ronggowarsito) atau baru (semisal: Sutardji Calzoum Bachri) bagi pembaca awak di Indonesia harus menanti dan tergantung pada tembusan pengetahuan “ilmiah” teori sastra mutakhir yang jauh-jauh diimpor dengan bahasa susah dari Cekoslovakia, Rusia, Prancis, Jerman lewat kuliah “Program Leiden” (Belanda)? Hampir pasti selain A. Teeuw, nabi-nabi teori sastra asing dari kubu linguistik, seperti Mukarovsky, Jakobson, Lotman, Barthes, Riffaterre, Jausz belum pernah mampu membaca bahasa & tradisi puitik sastra Jawa, Bali, sastra Pustaha Batak, La Galigo Bugis-Makasar, Sa’dan Toraja ataupun aneka daerah Indonesia. (I.3. Sastra Menciptakan Hukum Diksi Penciptaan, Halaman 29-30 di buku Apakah Sastra?).
***

Suatu hari berkisar lima tahun silam saya naik kereta api, mungkin kelas ekonomi. Ini agak lupa sambil mengingat perihal yang akan ter-wedar-kan belum terkisahkan sebelumnya dalam bentuk tulisan, sehingga tidak semacam mengkopi meski kepunyaan sendiri dan sah. Yang jika kepanjangan seakan malas atau pun puas terhadap temuan itu-itu saja seperti kejadian di atas. Gerbong kereta api saya tumpangi dari Stasiun Tugu Jogjakarta menuju Jakarta (Manggarai atau Senen; penyebutan dua stasiun agar mengurangi tindak ketlingsut ingatan, sebab menyebut salah satunya terasa kurang nyaman). Jika menyusuri peristiwa yang kan terceritakan, sepertinya dari Stasiun Tugu ke Stasiun Senen. Dalam gerbong entah deretan keberapa dari depan pula bangku nomor berapa dari belakang, saya duduk berdampingan dengan seorang pekerja, sebut saja namanya Tardjo. Ia bercerita panjang-lebar soal pengalamannya yang bertahun-tahun jadi kuli, dan keberangkatannya kali itu untuk memasang kaca di kampus UI. Spontan pikiran saya melejit; ‘ini menarik.’ Bersamanya saya larut dalam perbincangan ngobrol ngalor-ngidur, sambil nalar ini terus kembara.

Tentu pembaca kurang menyangka, kalau saya bagaikan dapat membaca perjalanan hidup seseorang lewat mengamati raut mukanya, baju yang dikenakan, potongan kuku jemari pula gerak-geriknya. Apalagi jika (andai) tahu rumahnya, saya bisa tanyakan kepada dedaunan serta bebunga yang menghiasi kediamannya, sehingga mudahlah memperoleh informasi tanpa banyak abang-abang lambe (pemanis bercengkerama). Saya bayangkan tukang kaca itu besoknya memotong lempengan-lempengan kaca dengan pisau intan bermata tajam (jika membelinya berupa lembaran) yang digarit seukuran tertentu sesuai kebutuhan. Lalu memasangnya pelahan-lahan sederajat seimbang, ini dikerjakan berkali-kali sampai gedung-gedung kampus Universitas Indonesia terbungkus kaca tebus selain dinding temboknya.

Setelah kaca-kaca terpasang di tempat semestinya, kaca dapat menghalau angin kencang memasuki ruang kelas, sehingga para mahasiswa tidak terserang tiupan bayu keras yang bisa mengganggu kegiatan belajar. Menghalangi masuknya air hujan saat musim penghujan melanda dan para mahasiswa sesekali melihat bebintik gerimis menetesi dinding kaca dengan kelembutan rupawan sehalus pemikiran jernih menatap cahaya kemungkinan. Kaca itu membatasi sengatan mentari yang menerobos dinding beningnya, selain meredam suara kebisingan dari aktivitas di luar. Jika dilihat dengan kemiringan tertentu, ada sentuhan cahaya surya menimpai yang bisa mewujud setengah cermin bagi mahasiswi pula dosen yang sesekali melintasi jalan sambil merias diri di mukanya.

Sungguh banyak manfaat pekerjaan Tardjo bagi pencari ilmu yang bersuntuk-suntuk belajar di ruang kelas, dan ia hanya menganggap dirinya tukang kaca semata. Mungkin mahasiswa yang tahu ia sedang bekerja, bersikap cuek pingsan tidak punya kepedulian lebih, memandangnya sekelas orang-orang yang tidak pernah merasakan nikmatnya bangku pendidikan. Kaca-kaca tersebut berfungsi (bertahan) lama kecuali pecah oleh lemparan batu, retak memecah ambyar karena pergeseran lempengan lapisan bumi, atau tidak berguna sebab direnovasi dengan kaca terbaru. Di antara kaca-kaca itu melampaui usia belasan semester, beberapa generasi, dan daya gunanya bertambah sejauh para penyaksi menguliti pribadi masing-masing atas kehadirannya.

Di senggang waktu tertentu dibersihkan pihak kebersihan, sekali tempo dicoret-coret mahasiswi yang iseng dengan spidol atau menstempel lewat bibirnya, jikalau merasai punya kecupan paling seksi. Dan terkena semprotan ludah mereka yang kesal maupun yang lewar, serta berjenis-jenis peristiwa menimpai kaca. Jangan-jangan bentuk ruangan kampus UI tidak sesuai bayangan saya, atau cukuplah dialamatkan tukang pasang kaca di kampus yang saya kenal di kereta api itu dapat memasang kaca apa saja; genting kaca, kaca cermin, jendela kaca dll. Setidaknya ini menghibur di senggang masa-masa menikmati perjalanan Jogjakarta-Jakarta.
***

Suara kereta api bagi saya merupakan musik istimewa. Musiknya dikala mencapai percepatan lajunya senada irama musik klasik atas komposer Alexander Mosolov yang terkenal bersebutan ‘pabrik baja.’ Keistimewaannya mungkin karena saya lahir di dataran rawa-rawa yang jauh dari rel kereta, andai ada yang membangun di atas tanahnya, tentu memerlukan konstruksi khusus, agar tidak mudah ambles ke dasar bumi oleh mendat-mentul-nya. Karena jarang menaiki pun mendengarkan suaranya, maka bisa dipastikan kala melewati palangan rel kereta api, serasa melesat ke surga. Istilah keistimewaannya berbeda dengan mewah, cantik pula mahal, tetapi seibarat rasa lapar dan naluri untuk makanlah yang ternilai.

Ketika suatu waktu menginap di rumahnya kritikus Maman S. Mahayana daerah Bojong Gede, Depok. Serasa mengalami keadaan istimewa setiap saat, karena kerap dihibur suara kereta api yang lewat di samping kediamannya. Dan suasananya jadi luar biasa membumbung, lantaran bisa menikmati perpustakaan pribadinya. Musik itu menyusuri alam kenangan, teringat semasa bocah diajak Simbah saya ke Kota Babat (wilayah Lamongan). Ia bilang (berkata bohong demi menghibur cucunya) kalau sudah sampai di Jakarta, dengan bukti melewati rel kereta api. Atau tidak bohong tetapi ingatan saya yang lemah, kata lain Mbah saya menunjuk pada rel kereta api itu menuju Jakarta.

Selalu saat saya naik kereta api ke Jakarta membawa buku-buku karangan Soekarno, Bung Hatta atau buku biografi para pahlawan, sambil membayangkan jaman tempo dulu semasa perjuangan kemerdekaan. Di gerbong kereta api, imajinasi saya liar merangkai bayang-bayang, kadang para penumpang seibarat pejuang melawan penjajah dan ini jarang tertemukan dalam kereta api kelas bisnis, dan tidak terjumpai pada kelas eksekutif, kecuali memaksakan bayangan, tetapi buntutnya malah seperti (menjadi) penjajah. Pada setiap laluannya nalar saya terus berlesatan, ada saja yang terpikir atau tidak mau berhenti diam; di setiap tarikan nafas sering tersadar bahwa perjalanan ini dimodali Tuhan dengan nyawa, maka saya tanamkan senantiasa keseriusan dalam perjalanan.

Di antara nyanyian kereta api, ada saja sosok para tokoh dunia yang muncul di hadapan saya; Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Muhammad Iqbal, Rabindranath Tagore &st. Barangkali dataran India tidak berbeda jauh dibanding bencah tanah Jawa. Irama cepat musik itu senyawa karya-kaya sastrawan filsuf Nietzsche, yang senantiasa organisme dalam pepuncak temuannya. Dan kelambanannya sealur novel Siddharta (1922) karya pemenang Nobel Sastra tahun 1946 Hermann Hesse, yang mungkin saja pernah naik kereta api di Sumatera. Atau di usia 23 Pablo Neruda tahun 1927 (pemenang Nobel Sastra tahun 1971) berpelesiran bersama istri pertamanya Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzan (seorang Belanda pegawai bank) menaiki kereta api dari Jakarta ke Jogjakarta. R. Tagore (pemenang Nobel Sastra tahun 1913) pun saya kira sempat naik kereta api di tanah Jawa (1927-1928). Istimewanya, film “Before Sunrise” berawal dari perjalanan dalam kereta api, dan masih banyak lagi…

Dalam kereta api juga, teringat karangan penyadur jalang Chairil Anwar “Kerawang Bekasi” yang menurut sebagian kritikus kekaryaannya bernilai universal. Misalkan Ignas Kleden dalam petikan paragraf ini: “…Menghadapi semua ini, seorang peneliti akan tetap bertanya mengapa gagasan tentang universalitas kemanusiaan demikian mempengaruhi Chairil Anwar dan rekan-rekan seangkatannya, sehingga membuat mereka seakan tercerabut dari lokalitas di mana mereka semula berakar? Pertanyaan ini akan membawa seorang peneliti menyelidiki apa yang terjadi pada masa hidup Chairil Anwar dan dengan itu menyingkapkan juga konteks historis dari mana telah muncul sikap yang diperlihatkan oleh para sastrawan Angkatan 45. Jadi, konteks kehidupan para sastrawan angkatan ini barangkali tidak dibutuhkan untuk memahami karya mereka, tetapi sebaliknya, karya mereka mengharuskan kita untuk memahami mengapa mereka seakan-akan berkarya secara lepas dari konteks historis yang terdekat dengan kehidupan mereka.” (“Pengantar Penulis, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan” terbitan Grafiti & Freedom Institute 2004). Saya pikir lebih bijak para peneliti sastra memahami usia kesunyiannya, serta kecerobohannya yang dibela mati-matian oleh kritikus H.B. Jassin.
***

Tubuh Tardjo bergoyang-goyang selaju kereta api kelas ekonomi yang kami tumpangi. Kadang pelan terkadang kencan mengikuti suara musik kereta api, dan berbagi pengalaman menebarkan madu keakraban. Saya amati tatkala ia menatapi kaca jendela kereta api, mungkin dirinya sedang membayangkan pekerjaan yang dihadapinya besok. Pandangannya tekun menyelidik sudut-sudut kesimbangan. Barangkali tersirat lewat kaca itu gambaran anak-anak dan istrinya di rumah, yang menantinya pulang dengan membawa oleh-oleh dari Ibu Kota Jakarta. Senyuman khas menandai kesabaran melakoni hidup, alisnya naik-turun dielus-elus jemari seolah memikirkan sesuatu. Dan ketika tersadar saya perhatikan; ia berlagak seperti teman lama, sambil mengepulkan asap rokok yang dihisapnya.

Pikiran saya terus mengembara; pada suatu malam kampus UI mengundang para penyair Ibu Kota untuk membacakan sajak-sajaknya sendiri-sendiri. Sebagai gong acara, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri membaca puisinya berjudul “Q” yang secara teks banyak tanda serunya, dan semacam ada tulisan Alif Lam Mim tanpa aturan semaunya. Mungkin agar pembaca teksnya bisa menangkap keajaiban racikannya, seolah-oleh ingin mengundang daya sugesti. Katanya puisi mantra, jadi sejenis rajah huruf abjad barangkali. Dilanjutkan membaca puisi berlabel “Tragedi Winka & Sihkha” serta puisi yang ada susunan huruf-huruf  ‘sepisaupi sepisaupa.’ Saya tidak tahu, apakah Tardjo sang pemasang kaca melihatnya atau tidak! Jikalau menyaksikan tentu terheran-heran kagum sambil bergumam; ‘Oh begitu ya penyair membacakan puisinya.’ Dan gedek takjub sedikit miring oleh ketidakpahamannya, atau masuk ke alam hipnosis pembodohan, karena hadirin pun tidak mengerti yang dimaui Sutardji, Raja Mantra palsu itu!

Kritikus Dami N. Toda adalah penyokong paling setia pada ‘perpuisian SCB.’ Sayangnya terlepas dari akar tradisi, seperti juga ‘puisi-mantra Sutadji’ yang tidak memiliki tali-temali kemelayuan kalau dicermati jeli obyektif atau jujur bijaksana. Menengok ‘Kredo Puisi’-nya, paham ‘alibi’-nya; ‘tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya’ sebagaimana Tuhan, katanya. Terlebih-lebih keberangasannya mengartikan “Kun Fayakun” menjelma “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka Jadilah!” Saya cuplik saja paragraf-paragrafnya:

Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.” (“Kredo Puisi” Sutardji Calzoum Bachri. O Amuk Kapak, Bandung 30 Maret 1973). Apakah kata-kata “Alif Lam Mim” jika penulisannya tidak beraturan? Apakah termasuk kata-kata, pada: winka, sihkha, sepisaupi, sepisaupa? Lantas beralibilah:

“Puisi adalah alibi kata-kata.

Para pembaca puisi, yang dalam kehidupan sehari-hari sering hanya bertemu dengan kata-kata yang terpenjara dalam makna yang diinginkan oleh penguasanya, mengandung kepalsuan dan hipokrisi, tidak lagi akan menyalakan kata-kata. Dengan puisi, orang tahu, kata-kata sebenarnya bebas, tidak terhukum dengan beban makna, yang diinginkan para penguasanya, karena kata-kata berada di tempat lain, memiliki alibinya dalam puisi.

Mengingat kata-kata masih memiliki alibi, orang bisa mendapatkan optimisme dalam keabsurdan hidup sehari-hari yang sering penuh tekanan dan hipokrisi, karena makna kata sebenarnya ada di tempat lain dalam puisi.” (SCB: Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998, Catatan Kebudayaan, Horison XXXII/5/1998). Jadi sepertinya tidak ada masalah, menulis maupun membacakan kata-kata “Alif Lam Mim” semaunya! Sebab?

“Peran penyair menjadi unik, karena—sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” (“Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair;” Orasi Budayanya SCB dalam acara Pekan Presiden Penyair, Republika 9 September 2007). Dan karena merasa ‘sebagaimana Tuhan’ maka dirombaklah “Kun Fayakun”:

“Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, “Isyarat” halaman 20-21).

“Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka Jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-, “Bentara” Kompas 11 Januari 2003, “Isyarat” halaman 22-23).
***

Untuk para kritikus maupun Sutardji sendiri, tidak usahlah jauh-jauh mengecilkan peran Jacques Derrida, Roland Barthes atau lainnya. Hadapi saja teks-teks bertenaga balik ini dengan satuan gugusan buku yang tidak hanya esai-esai bernasib tanggung, sebelum membabat gagasan dalam buku-buku mereka. Sehingga dunia sastra tidak meragukan kehadiran sampean dalam pergaulan di belantika Sastra Internasional. Hadapilah, seumpama ingin menteorikan perpuisian tersebut -katanya puisi mantra- sambil memantabkan kengelanturan kutipan-kutipan di atas yang menurut saya salah besar dan tidak berlandaskan asas ilmu pengetahuan kecuali akal-akalan! Mungkin demikian, agar sejarah kesusastraan Indonesia lebih dihargai daripada memitos simsalabim abrakadabra!

Saya lihat Tardjo pemasang kaca-kaca jendela di kampus UI tertidur oleh goyangan gerbong kereta api kelas ekonomi yang kami tumpangi. Sedangkan diri saya masih menerawang pada catatan-catatan yang belum rampung untuk buku yang disebutkan di awal. Kepada yang hadir saya mohon doanya, guna selesainya buku yang sedang tergarap pelahan, agar bisa keluar dari rezim sastra kejahiliahan. Sehingga mampu memahami dengan sebening hati jernih fikiran di setiap menelaah pelajaran hidup, dengan tidak menelan mentah-mentah seolah-olah keilmuan, meski dari para guru kita sendiri!

Demikian buncahan singkat saya, selebihnya wallahualam bissawab. Dan terus berikhtiar demi meraih keilmuan untuk memperoleh kidungan damai keselamatan dunia sampai akhirat, amin…  Serat Kala Tida (Sinom): VII. “Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah kersa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada.” Terjemahan bebasnya: “Jaman yang dilalui itu memang jaman gila, untuk menentukan sikap repot sekali. Akan ikut gila (menggila) seringkali hati tak tega. Namun apabila tidak mengikuti tidak akan mendapatkan hasil akhirnya kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, bagaimanapun juga sebahagia-bahagia yang lupa diri masih bahagia yang senantiasa ingat serta waspada.” (“R. Ng. Ronggowarsito Apa Yang Terjadi?” Disusun Anjar Any, penerbit Aneka Ilmu, Cetakan tahun 2002).

6 Nopember 2012 Ponorogo.

* Bahan mengisi acara di Kampus UnMuh, 10 November 2012 dalam Ruang Seminar (Dome Universitas Muhammadiyah Ponorogo).

Tinggalkan Balasan