SATU PUISI MILAN DJORDJEVIC


Ahmad Yulden Erwin

Puisi “Mantel” karya Milan Djordjevic, penyair Serbia, adalah satu puisi favorit saya. Pendalaman tematiknya, menurut saya, setingkat dengan puisi “Aku” karya Chairil Anwar. Ada spirit yang bergelora untuk tak menyerah di tengah kemiskinan dan perjuangan hidup seperih apa pun, untuk terus bangkit, untuk terus terbang, untuk terus hidup dan menghidupkan nyali menghadapi tantangan hidup.

Namun, dari segi artistik, puisi “Mantel” karya Milan Djordjevic ini jauh mengatasi puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang amat verbal itu. Ada lapis-lapis metaforik di dalam puisi “Mantel”, lapis-lapis estetika yang tetap menjaga nilai puitik hingga tak jteratuh ke dalam semacam verbalisme–semacam khotbah atau filosofi palsu.

Ada keharuan yang sayu saat kita membayangkan seseorang yang kelaparan, sendirian, nyaris putus asa dalam hidup, tiba-tiba memandang mantel yang baru saja dijatuhkannya ke lantai sebagai sosok yang lain dan sekaligus dirinya sendiri, lalu ia pun bicara atau lebih tepat mensugesti sang mantel untuk bangkit. Milan dalam semangatnya yang bergelora itu tidak lantas menjadi angkuh seperti Nietszche (yang dikagumi oleh Chairil Anwar), filsuf eksistensialisme yang terkenal dengan seruannya: “God is dead!”. Penyair Serbia ini tetap mengajak sang mantel yang sehari-hari setia melindunginya dari hujan dan salju, yang kini terkulai di sampingnya, untuk setidaknya berlutut (posisi berdoa)–sebuah tindak religius yang tak mudah dan amat beresiko dilakukan di depan publik ketika Yugoslavia masih berada di bawah rejim komunis. Betapa mengharukan saat sang penyair menyapa mantelnya sebagai “saudaraku terkasih”.

Mantel adalah metafora dari diri penyair sendiri, diri yang tengah tak berdaya, sosok yang mungkin dihantam oleh tekanan hidup bertubi-tubi, dan kini “puisi” sebagai alter-ego sang penyair mengajak “sang pelindung kesepiannya” itu untuk bangkit, untuk tak menyerah, untuk berdoa, untuk merentangkan sayap dan memekik dan terbang ke angkasa, dan, kembali hidup dengan darah dan nyali, dengan semangat dan keberanian. Kata “nyali” adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia yang menurut saya paling tepat terhadap kata “utroba” dalam bahasa Serbia. Kata itu oleh Charles Simic sebagai penerjemah puisi ini ke dalam bahasa Inggeris telah ditafsirkan dengan sangat tepat menjadi “guts”. Kata “guts” dalam arti lain juga bisa ditafsirkan sebagai “isi perut”–seperti istilah “hara” dalam bahasa Jepang yang berarti juga “isi perut” dan sekaligus “nyali” atau “pusat kehidupan”.

Dari puisi inilah, beberapa tahun lalu, tatkala saya berusaha untuk bangkit kembali menulis puisi, saya akhirnya memahami bahwa menulis puisi bukanlah mengungkapkan isi pikiran dan perasaan kita secara verbal, tetapi membahasakan pikiran dan perasaan kita melalui ungkapan metaforik yang tepat. Menulis puisi seindah puisi “Mantel” karya Milan Djordjevic ini memang taklah mudah. Tetapi, apabila berhasil dituliskan, maka puisi ini akan menjadi “hidup” di hati pembacanya dari zaman ke zaman, akan diapresiasi oleh berbagai manusia dari berbagai bangsa, seperti kini saya–yang sama sekali tak mengenal sang penyairnya–mampu tersentuh oleh kekuatan puisi ini, jiwa puisi ini. Milan Djordjevic, menurut saya, adalah salah satu penyair lirik terbaik di dunia yang masih hidup hingga saat ini.

Kini ia hidup dengan kondisi tubuh lumpuh di Serbia. Puisi-puisinya yang terbaru lebih autobiografis serta realistis dan mencerminkan tragedi pribadi. Ia terkurung di rumahnya setelah tertabrak dan hampir terbunuh oleh mobil ketika melintasi jalan Beograd pada 2007, penyair itu menulis tentang lingkungannya yang sederhana, kucing-kucing yang datang ke pintu rumahnya, burung-burung yang dilihatnya melalui jendela, dan salinan satu dari bukunya sendiri yang pernah ia bakar agar ia tetap hangat. Pada tahun 2010 buku puisi Milan Djordjevic yang berjudul “Oranges and Snow” terjemahan Charles Simic mendapatkan Hadiah Pulitzer di USA.

Saya kemudian terkenang kondisi saya saat ini yang terserang stroke lebih dari setahun laul. Saya dulu sudah tak bisa apa-apa dan dua kali hampir mati. Saya juga sampai saat ini hanya mengetik dengan satu tangan saja (tangan kanan). Pada saat saya sudah hampir menyerah, saya kemudian teringat puisi “Mantel” ini:

“—Mantel! Mantel! Mantel!
—Saudaraku terkasih! Bangkit! Bangkit!”

Terima kasih, Milan Djordjevic!

MANTEL

Kuletakkan mantel. Di lantai.
Tanpa setetes darah di dalamnya.
Kuletakkan mantel. Terkulai.
Kusut, terabaikan, silam sepenuhnya.
—Mantel! Mantel! Mantel!
—Saudaraku terkasih! Bangkit! Bangkit!
Setidaknya berlututlah di samping
Milan Djordjevic-mu!
Saudaraku, penjaga kesepianku,
didera hujan, salju,
kutukan, bujukan!
Bangkit! Bangkit!
Biar kurasakan kedua saku kosongmu
dengan sepuluh jariku.
Dan jari-jari itu akan mengepakkan
sepasang sayap di dalamnya.
Di dalam lenganmu yang menganga
kubiarkan serangga-serangga mungil itu
merangkaki lenganku!
Kini, mantel mulai bernapas,
membuka matanya, sejenak gemetar,
mengangkat sebelah lengannya, merentangkan
sepasang sayapnya, terbang, barang sebentar
memekik dan menyelimuti tubuhku dengan kegelapan.
Sekarang, aku tak lain darah dan nyalinya.

________________________________________
Versi asli puisi ini dalam bahasa Serbia:

KAPUT

____________________________________________________
Terjemahan bahasa Inggris oleh penyair Charles Simic:

OVERCOAT

Overcoat lies. On the floor.
Without a drop of blood in it.
Overcoat lies. Weary.
Crumpled, discarded and black.
—Overcoat! Overcoat! Overcoat!
—Dear brother! Rise! Rise!
At least kneel next to your
Milan Djordjevi?!
Dear brother, guardian of my solitude,
beaten with rain, snow,
curses, flatteries!
Rise! Rise!
I will feel your empty pockets
with my hands.
They’ll flutter their wings in them.
Inside your gaping sleeves
I’ll let the threadbare little animals
that are my arms crawl!
So it may begin to breathe
and open its eyes, shudder,
then move one sleeve,
spread its wings, fly, caw
and drape me with its darkness.
I, who am its blood and guts.

______________________________________________________________
Terjemahan bahasa Indonesia @ Ahmad Yulden Erwin, 2012 – 2015
______________________________________________________________

Tinggalkan Balasan