Kepergian Pramoedya dan Gempuran Budaya Pop

(Pramoedya Ananta Toer, 1925-2006)

Yudhis M. Burhanudin *
balipost.co.id

Pramoedya Ananta Toer telah pergi untuk selamanya pada Minggu (30/4) lalu akibat serangan jantung. Dia seorang sastrawan yang cukup produktif dan sempat hidup di empat era berbeda — masa-masa prakemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru, dan era Reformasi. Tentang Pram, demikian panggilan akrab sastrawan senior ini, sudah ada beberapa catatan khusus mengenai dirinya, dari biografi singkat sampai catatan khusus tentang karya-karyanya.
***

SETIDAKNYA Pram sudah menulis sekitar 40 karya — novel, cerita pendek dan tulisan nonfiksi — semasa hidupnya, seperti yang termaktub di halaman terakhir dari novelnya, “Arus Balik”. Semua sudah tahu soal Pram bahwa hampir separo hidupnya ia habiskan sebagai tahanan politik. Sebagian karyanya pernah dibakar oleh Angkatan Darat seperti “Panggil Aku Kartini Saja”, “Wanita Sebelum Kartini” atau “Gadis Pantai”, dengan berbagai alasan sepihak.

Sebagiannya lagi dilarang oleh Jaksa Agung seperti “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Rumah Kaca”, “Memoar Oei Tjoe Tat” atau “Hikayat Siti Mariah”. Akan tetapi, sejak keran kebebasan terbuka atau Reformasi 1998, sebagian besar karya-karyanya yang sebelumnya diharamkan rezim Orde Baru, kemudian diluncurkan ke pasaran.

Saat ini, orang bisa saja mengklaim bahwa publik di dalam dan luar negeri sudah cukup mengenal nama sastrawan yang pernah dinobatkan sebagai kandidat peraih hadiah Nobel dalam bidang kesusastraan ini. Betapa tidak, karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam hampir 26 bahasa. Terakhir, novel “Gadis Pantai” sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Konon pula, orang luar jika ingin mempelajari sosio-budaya Indonesia, mereka masuk melalui pintu novel-novelnya Pram terlebih dahulu sebelum menukik ke sumber-sumber tulisan yang lain.

Selain karya-karyanya yang bicara, top atau populernya Pram di luar misalnya bisa dilihat dari beberapa pengakuan formal, semacam international recognition. Umpamanya, dia beberapa kali mendapat penghargaan dari sejumlah institusi yang ada di luar negeri. Yang masih tercatat dalam benak banyak orang saat ini adalah penghargaan Raymon Magsaysay Award dari Filipina.

Sementara itu, sejumlah institusi lainnya seperti University of Michigan, Madison, AS telah menganugerahinya gelar Doctor of Human Letters, atau penghargaan dari UNESCO Madanjeet Sigh Prze Prize, juga penghargaan Chancellor’s Distinguished Honor Award dari University of California, Berkeley, USA, penghargaan Chevalier de l’Ordere des Arts et des Letters dari kementerian budaya dan komunikasi Prancis, penghargaan Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang serta penghargaan Wertheim Award dari The Wertheim Fundation, Leiden, Belanda.
***

NAMUN, betulkah hal itu sudah menjamin bahwa Pram juga populis, paling tidak, dalam hati generasi sekarang? De facto, Pramoedya tercatat dalam sejarah kesusastraan Indonesia, baik itu sebagai murni pengarang ataupun itu sebagai mantan aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), milik Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, angin perubahan telah mengklarifikasi semua stigma negatif yang telah dibebankan padanya. Terlepas dari sikap dan pendapat pro-kontra di atas, yang patut kita tarik sebagai benang merah sejarah saat ini adalah Pramoedya Ananta Toer, sebagai salah satu sastrawan besar Indonesia, cukup populer di luar, tapi kurang populis di negerinya sendiri.

Kurang populisnya nama Pram saat ini tidak lepas dari situasi dan kondisi bangsa di mana minat baca dan apresiasi karya sastra secara umum merosot hingga ke titik yang sungguh sangat memprihatinkan semua pihak. Bahwa tingkat apresiasi karya sastra (pembacaan) dari generasi muda Indonesia saat ini sangat rendah. Hal itu bisa diukur dari beberapa hal. Pertama, sepinya jumlah pengunjung perpustakaan, kalaupun ada pengunjungnya, maka rak buku di mana karya sastra dan buku-buku kesusastraan lainnya dipajang nyaris tidak disentuh pengunjung.

Kedua, realitas bahwa buku-buku sastra, termasuk karya Pram, di pasaran kurang laku jika dibandingkan buku-buku yang lain. Ketiga, pengajaran sastra di sekolah-sekolah, termasuk universitas, tidak mendorong para siswa dan mahasiswa untuk mengapresiasi lebih jauh karya sastra yang ada. Keempat, penikmat dan pemerhati karya-karya Pram adalah mereka para pesastra — novelis, cerpenis atau penyair dalam batas-batas tertentu. Di samping mereka yang memiliki kedekatan ideologis saja (para aktivis “kiri”) dengan isi karya-karya tersebut serta, dalam skup yang sangat terbatas jumlahnya, mahasiswa sastra dan dosen-dosennya. Sedangkan publik yang lain?

Dari sisi lain, kurang populisnya nama Pram juga tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa karya-karyanya merupakan sebentuk refleksi bagaimana anyirnya bau peluh anak manusia yang tergilas dan tertindas zaman. Sementara, karya-karya ini dihadapkan dengan kenyataan terbaru di mana selera pembacaan yang sedang trendi saat ini adalah bacaan-bacaan yang menjurus ke selera “dunia sinetron”. Sementara orang juga tahu bahwa sinetron melulu menjanjikan mimpi-mimpi, sedangkan karya Pram lahir dari rahim pemberontakan eksploitasi manusia atas manusia oleh sebuah sistem yang disebut penjajahan ekonomi dan politik. Bagaimana mungkin kedua kutub itu bisa bertemu dalam satu pilihan bacaan?

Lalu, seberapa populer nama Pram di dalam benak anak-anak muda sekarang yang notabene lebih tertarik dengan bacaan-bacaan (pop) yang paralel dengan selera musik pop di pasaran? Namun, bukan hanya Pram seorang yang agaknya mengalami nasib serupa, bahkan hampir semua sastrawan yang karya-karyanya terkesan berat bagi anak-anak muda sekarang tidak akan digubris walau seberapa pun menariknya cover buku yang ditampilkan oleh karya tersebut.

Akar persoalannya terletak pada gempuran budaya pop yang sangat dahsyat dewasa ini serta anggapan bahwa karya sastra sebagai komoditi kelas kesekian dari misalnya buku-buku non-fiksi (ilmiah). Itulah sebabnya, kadang-kadang ada sastrawan Indonesia yang cukup dikenal oleh publik di luar negeri tapi melarat, menderita, dan tidak dikenal di negerinya sendiri.

*) Yudhis M. Burhanudin, esais tinggal di Denpasar.
http://sastra-indonesia.com/2010/11/kepergian-pramoedya-dan-gempuran-budaya-pop/

Tinggalkan Balasan