Membahasakan 1000 Jejak Pram

Judul Buku: 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa
Penyunting: Astuti Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: xvi+504 halaman
Peresensi: Engkos Kosnadi *
oase.kompas.com

100 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Ini sebuah buku yang saya kategorikan sebagai salah satu “babad pram” yang ditulis oleh sekitar 68 orang yang pusparagam dari mulai wartawan, pemimpin redaksi, pustakawan, guru, sahabat, pengagum, pemerhati, adik, anak dan cucu dan beberapa orang sahabat dekat pram dan banyak profesi lainnya, jadinya ‘gado-gado ala pramis’. Buku yang disajikan khusus sebagai kado peringatan 100 hari meninggalnya Pramoedya Ananta Toer ini memang terkesan terburu moment, sehingga banyak detail yang terlewatkan dari mulai tidak seragamnya siapa jatidiri penulis sampai beberapa kata yang salah ketik walaupun jumlahnya minimal, mungkin ini lagi-lagi gaya ‘pramis’ yang menjadi ciri dalam kebebasannya dalam menulis. Mungkin mereka ingat pesan Pram “masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (JL, 147) dan buku ini buktinya!

Bagi pembaca karya tulis Pram dalam sejumlah buku ‘best seller’nya kita pasti agak heran karena tak akan menemukan kejutan-kejutan dalam buku ini selain sebuah bahasa seragam dari para ‘iner circle’ dan pengagum yang sangat minim dalam menghidupkan dan mewujud ulang Pram sebagai manusia biasa [mungkin pram sudah tak biasa] terkecuali ada di tulisan sang Adik Soesilo Toer dengan 38 point-nya selebihnya testimony pertemuan dan puisi-puisi yang mengagungkan, padahal Pram berkata “Aku merindukan satu karya yang akan membikin negerinya menyambutnya dengan segala kebesaran.”(BM, 83)

Saya menangkap dua tulisan yang menjadi entry point dari sejumlah tulisan terkumpul yang satu ada pada tulisan Eka Budianta yang mengusulkan dan mengharapkan sebuah penghargaan Bintang Mahaputra untuk Pramoedya Ananta Toer, asumsinya begini “sepanjang abad 20, hanya ada 3 nama besar yang membuat bangsa Indonesia terhormat dan bangga di dunia: Kartini, Soekarno,, dan Pramoedya.

Ketiga orang ini membuktikan bahwa Indonesia mampu menyumbangkan inspirasi yang sangat berharga kepada masyarakat internasional.” Dan “ Pram menulis novel, cerita pendek dan esai yang diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Selama beratus tahun, berikut beratus bahasa yang tumbuh dan mati di kepulauan Indonesia, baru karya-karya sastra Pramoedya yang mampu menembus pasar internasional. Lebih dari 40 bahasa menyebar luaskan karya dan pikiran Pramoedya” dan tentunya dia satu-satunya oran Indonesia kandidat Nobel Susastra. Ini sangat masuk akal karena pemerintah seperti kata Pram jangan sampai “olehnya yang tajam ditumpulkan, yang tumpul di tajamkan, yang kecil dibesarkan, yang besar dikecilkan”. (ASB, 2) sehingga akan menjadi pertanyaan besar kita, seberapa terbuka Pemerintah Indonesia menghargai karya anak bangsa sekelas Pram? Semua harus proporsional dan memakai kamata yang lebar dalam melihat hal ini. Pesan Pram kan jelas bahwa kita“harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya.” (BM, 105)

Point kedua adalah tulian kawan Zen Rahmat Sugito yang berharap dan mendeklarasikan tanggal meninggalnya Pram (30 April) ditahbiskan menjadi Hari Kliping Nasional, Zen beralasan bahwa “mengingat ketekunan dalam mengkliping warisan ensiklopesi yang masih terbuka untuk dirampungkan dan Pram berjasa dalam tradisi megkliping, mengkliping pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proyek besar membangun manusia Indonesia yang berkeadaban, punya ingatan yang panjang, tidak mudah dikangkangi oleh rezim yang doyan mengelapkan sejarah.

Dengan membangun tradisi mengkliping kemungkinan sejarah hanya menjadi milik para pemenang bisa diminimalisir”. Saya ingat tulisan di Rumah Kaca “Orang menjadi besar karena tindakan besar, pikiran besar, jiwa besar. Sebaliknya dari orang kecil” tulisnya. “adalah tidak adil karena tulisan kecil, aku mendapatkan hukuman besar”. (RK, 313) dan kliping memainkan perannya disini. Lagi-lagi usul ini menjadi logis karena memang kita belum punya ‘hari yang begituan’ di Indonesia, mengkliping adalah sebuah pekerjaan pengabdian pada catatan peradaban baik bangsa maupun personal warga Negara, jadi saya termasuk yang sepakat dengan ide tersebut, entah pemerintah?

Membaca alur hidup Pram memang tak hanya selesai dengan membaca riwayat hidup dan karyanya yang dihadirkan 11 halaman Asep Sambodja di akhir buku, tapi ‘babad pram’ ini menjadi lengkap jika ‘pramis’ hingga semua pengikut dan pembaca pram dapat mentrafsirkan muatan-muatan kekuatan bahasa Pram dalam konteks perjuangan hidup keseharian hingga kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Ini project besar kita semua! Karena yang kita biasa ketahui selama ini dilingkup pembaca setia Pramoedya Ananta Toer (PAT) sekelas dengan para sastrawan dunia seperti Guter Grass (Jerman), Albert Camus, Jean Paul Sartre (Perancis), Multatuli (Belanda), John Steinbeck (Amerika), Rabindranath Tagore (India), Gao Xinjian (Cina), Gabrel Garcia Marques (Kolombia) dan Jose Samarango (Portugis) an sich. Sang Pahlawan Asia ini [mungkin] memang berkelas dan duduk sama tinggi dalam singgasana sastrawan dunia, tapi disinilah letak beban berat ‘pramis’ untuk bisa berkata bahwa Indonesia kaya dan sorga para penulis tak hanya Pramoedya Ananta Toer yang selalu kita banggakan sebagai [kontestan] Nobel Sastra, prediksi Pram benar bahwa “Manusia terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan” (BM, 9)

Pada akhirnya, buku 504 halaman dengan 1 bahasa Jawa, 16 bahasa Inggris dan 52 tulisan berbahasa Indonesia ini menjadi sebuah oase pelipur kangen dan rindu pada kupasan-kupasan Pramoedya Ananta Toer, sejumlah ‘pramis’ pastinya menjadikannya pelengkap koleksi perpustakaan pribadi. Tapi intinya kita harus kembalikan pada pesan-pesan pram bahwa kita yang menjadi bagian sejarah harus membaca dan banyak membaca, enulis dan lebih banyak lagi menulis karena “Progresivitas sejarah adalah gerak hidup manusia di selingkupan bumi, garis hidup kemanusian. Progresivitas sejarah akan berjalan terus dengan hukum-hukumnya sendiri” (RK, 321) dengan ini kita akan bertemu dengan Pramoedya Ananta Teor dengan wujud lain.
***

*) Pembaca Setia Buku-buku Pram, kini sedang menulis Biografi dan Pemikiran Ki. Hadjar Dewantara. http://ramaprabu.multiply.com e-mail : lord.ramaprabu@yahoo.co.id

http://sastra-indonesia.com/2009/04/membahasakan-1000-jejak-pram/

Tinggalkan Balasan