Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi

Katrin Bandel *

Pramoedya Ananta Toer mungkin merupakan sastrawan Indonesia yang paling banyak dibahas dan dikaji di luar Indonesia. Bahkan, selama karyanya dilarang beredar di Indonesia, hanya peneliti di luar negeri – baik orang asing maupun orang Indonesia yang bermukim di negara lain – yang bebas membahas karya Pramoedya. Salah satu hasil kajian tersebut kini hadir dalam terjemahan Indonesia, yaitu buku berjudul Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada bulan Januari 2012. Meskipun baru kali ini terbit dalam bahasa Indonesia, buku yang ditulis oleh Savitri Scherer itu sebetulnya sama sekali tidak baru. Buku tersebut berdasar pada disertasi Savitri dalam bahasa Inggris yang diselesaikannya pada tahun 1981. Mengapa disertasi tersebut baru diterjemahkan sekarang, lebih dari 30 tahun setelah diselesaikan? Dan apakah terjemahan tersebut tetap relevan dibaca pada zaman sekarang?

Seperti yang dikatakan Savitri pada acara peluncuran bukunya yang diselenggarakan komunitas KUNCI pada tanggal 28 Januari lalu di Yogyakarta, selain karena kesibukannya yang membuatnya sulit meluangkan waktu untuk proses editing, penundaan penerbitan versi Indonesia juga disebabkan oleh kondisi politis dan oleh kecemasan akan efek buku tersebut. Di masa Orde Baru sudah tentu proyek penerjemahan buku semacam itu mustahil diwujudkan. Namun setelah Orde Baru berakhir pun Savitri tetap tidak ingin mengambil risiko. Bukankah belum pernah ada permintaan maaf kepada dan rehabilitasi atas nama Pramoedya secara resmi? Penulisan sejarah peristiwa 65 pun masih carut-marut. Maka wajarlah apabila Savitri cemas, jangan-jangan bukunya merugikan atau menyulitkan Pramoedya. Maka pada akhirnya buku tersebut baru dihadirkan dalam bahasa Indonesia setelah Pramoedya telah tiada.

Apa yang menjadi fokus atau topik utama dalam buku Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi? Menurut tulisan singkat di sampul belakang buku tersebut, buku Savitri merupakan jawaban atas pertanyaan berikut: ”Bagaimanakah dan sejak kapan serta lantaran apakah sasterawan [sic] terkemuka Pramoedya Ananta Toer menjadi Kiri, menggabungkan kerja-kerja sastra dengan politik?” Dalam pertanyaan tersebut, terkandung sebuah asumsi yang menarik ditelusuri. Kalau Pramoedya baru ”menjadi Kiri” pada tahun 1950an dan 60an (masa yang menjadi fokus dalam buku Savitri tersebut), bukankah itu berarti bahwa sebelumnya dia tidak ”Kiri”? Di manakah posisi Pramoedya di awal karirnya? Dan tepatnya perubahan apa yang terjadi padanya?

Apa yang dimaksudkan dengan ”menjadi Kiri” dalam konteks ini? Apakah ”Kiri” sama dengan ”komunis”? Kalau definisi itu yang kita gunakan, maka pertanyaan di atas memang cukup tepat mendeskripsikan topik utama buku Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi. Proses bagaimana Pramoedya menjadi komunis ditelusuri dan dikisahkan oleh Savitri Scherer dalam buku tersebut. Seperti yang diperlihatkannya lewat pembahasan terhadap cerpen awal Pramoedya, khususnya cerpen ”Dia yang menyerah” (hlm. 21-34), di awal karir penulisannya Pramoedya sempat menggambarkan kaum komunis dengan sangat negatif. Selain itu, Savitri membahas sebuah esei yang ditulis Pramoedya pada tahun 1957, dimana dia sendiri mengakui dengan terus terang betapa dirinya sempat tidak simpati pada komunisme. Seperti yang dijelaskannya di esei tersebut, sikap tersebut disebabkan oleh kekurangtahuannya pada masa itu. Komunisme pada awalnya dikenalnya ”semata-mata dari buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Barat” (hlm. 78).

Seperti apakah proses tumbuhnya kesadaran politik pada diri Pramoedya menurut Savitri Scherer? Hal itu akan secara singkat saya bicarakan dalam tulisan ini.

Seperti yang sudah selazimnya untuk sebuah studi akademis, bab-bab awal buku Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi, yaitu bab 2 dan 3, memberi informasi dasar yang kemudian menjadi latar bagi analisis yang dilakukan. Bab 3 menyajikan sesuatu yang kiranya sudah sewajarnya untuk buku dengan judul tersebut, yaitu riwayat hidup Pramoedya secara ringkas. Namun topik bab 2 sedikit mengagetkan. Pada bab tersebut Savitri secara singkat menggambarkan sejarah kritik sastra Indonesia, khususnya pada periode yang menjadi fokus buku tersebut, yaitu tahun 50an dan 60an. Mengapa yang dianggap Savitri relevan dibahas di awal bukunya bukan sejarah sastra Indonesia (dengan fokus pada karya sastra dan kiprah sastrawan), tapi sejarah kritik sastra? Pertanyaan itu terjawab lewat penjelasan Savitri di akhir bab 2 tersebut: ”Menajamnya kesadaran sosial Pramoedya secara bertahap bukan saja buah dari kenyataan pahit yang ia alami dalam hal ekonomi, tetapi juga akibat dari keterlibatannya dalam polemik-polemik sastra.” (hlm. 9)

Berangkat dari informasi awal di bab 2 dan 3 tersebut, sisa buku Savitri kemudian menelusuri proses ”menajamnya kesadaran sosial Pramoedya” tersebut, dengan fokus pada keterlibatannya dalam politik sastra di masa tahun 50an dan 60an. Dalam hal itu, cara Savitri menggambarkan riwayat hidup Pramoedya menarik disorot. Riwayat singkat di bab 3 banyak menyajikan informasi tentang kehidupan pribadi Pramoedya, termasuk masa kecilnya dan kehidupan rumah tangganya. Keterkaitan kehidupan pribadi tersebut dengan sebagian karyanya pun disebut, yaitu bahwa ada beberapa karya Pramoedya yang cenderung bersifat otobiografis. Namun sorotan pada hal-hal yang sangat pribadi tersebut kemudian ditinggalkan dalam pembahasan di bab-bab selanjutnya. Fokus penulisan tersebut bagi saya merupakan pilihan yang bijak. Pengaruh pengalaman pribadi menarik diakui dan dipertimbangkan, namun sangat sulit dipastikan. Disamping itu, perjalanan Pramoedya pantas dihargai sebagai rangkaian pencarian dan pilihan intelektual dan politis. Apabila tulisan Pramoedya dan keyakinan-keyakinan yang diekspresikannya dikaitkan hanya dengan informasi biografis yang sangat pribadi, penilaian mudah akan menjadi dangkal, serta cenderung akan menyepelekan kapasitas dan keseriusannya.

Sayang sekali, sikap yang dipilih Ajip Rosidi dalam pengantar buku tersebut sedikit berbeda. Menurut pandangan Ajip, ”[b]erpalingnya Pram ke arah Kiri, tidak dapat dipisahkan dari pada kesulitan hidup yang dihadapinya pada masa-masa tersebut”, dan ”situasi rumah tangganya pada waktu itu juga ikut menentukan langkah Pram ke Kiri” (hlm. xvi). Penggambaran betapa Pramoedya mendapat dan menerima tawaran kerjasama dengan Lekra di saat-saat menghadapi kesulitan ekonomi tersebut, cenderung menimbulkan kesan seakan-akan pilihan politis Pramoedya diambil bukan terutama berdasarkan keyakinan, namun berdasarkan kebutuhan ekonomi.

Bab-bab yang bagi saya paling menarik dalam buku Savitri adalah bagian yang menyoroti perdebatan-perdebatan di dunia sastra di masa 1950-1965 (yaitu bab 5, 7 dan 9). Analisis Savitri berdasar pada studi pustaka yang sangat kaya dan mendalam. Dengan memfokuskan perhatian pada kritik sastra dan politik sastra, Savitri menghadirkan dinamika perdebatan-perdebatan yang berkisar antara lain seputar peran sastra dalam masyarakat, fungsi kritik sastra dan standar penilaian estetis, dan tanggung jawab sastrawan, lalu membahas peran Pramoedya dalam perdebatan-perdebatan tersebut. Dalam melakukan hal tersebut, pendekatan Savitri sedikit berbeda dari apa yang kita temukan dalam banyak tulisan lain tentang Pramoedya, terutama di Indonesia. Berangkat dari perang ideologi antara pihak Manikebu dengan Lekra yang berbekas sampai saat ini, Pramoedya kerapkali dibicarakan dengan menekankan pengaruh dan kiprahnya di tengah perang ideologi yang terjadi, dalam rangka membuktikan berapa besar ”dosa”nya, atau sebaliknya, betapa besar kontribusinya. Namun yang dilakukan Savitri justru sebaliknya: daripada berkonsentrasi pada pengaruh Pramoedya terhadap perdebatan-perdebatan yang terjadi, dia lebih banyak membicarakan pengaruh perdebatan-perdebatan tersebut terhadap diri Pramoedya. Savitri menggambarkan betapa Pramoedya sejak awal melibatkan diri secara kritis dalam berbagai perdebatan seputar sastra dan kritik sastra. Dalam proses tersebut, pandangan dan keyakinannya semakin terbentuk, dan dia pun semakin tegas memposisikan diri. Dengan kata lain, politik sastra membentuknya dan memberinya kesempatan untuk menemukan, mengolah dan mengekspresikan pandangan politisnya.

Seperti yang digambarkan Savitri, pada tahun 50an kritik sastra didominasi oleh kritikus ”formalis” yang berafiliasi dengan kelompok Gelanggang (Gelanggang Seniman Merdeka, didirikan pada tahun 1947). Penulis-penulis yang gaya dan ideologi penulisannya tidak sesuai dengan standar penilaian para kritikus tersebut, yaitu terutama mereka yang dekat dengan Lekra, berada pada posisi yang relatif sulit dan kurang mendapat pengakuan. Menurut analisis Savitri, hal itu antara lain disebabkan oleh kenyataan bahwa ”kritikus handal Lekra yang pendidikannya setara dengan para juru bicara Gelanggang” pada dasarnya hanya satu orang, yaitu Bakri Siregar (hlm. 42). Dengan demikian, ”[p]ada paruh pertama tahun 50-an, para kritikus kelompok Gelanggang telah mencapai otoritas tanpa tandingan […]. Mereka mendiktekan ukuran apa saja yang layak bagi sastra Indonesia modern” (hlm. 38). Ukuran yang dimaksudkan itu adalah orientasi pada ”humanisme universal”, dalam arti mengadopsi gaya dan tema ”yang lazim di Eropa Barat pada saat itu” (ibid.): ”Karya-karya yang mereka puji adalah yang membangkitkan rasa ’kosmopolitanisme’, berkisar pada tema-tema ’pseudo-eksistensialisme’ dan ’nihilisme’.”

Seperti apakah keterlibatan Pramoedya dalam polemik sastra dan kritik sastra? Tulisan Pramoedya yang secara umum kita kenal adalah karya-karya prosa (cerpen dan novel) yang dia hasilkan antara lain pada tahun-tahun tersebut. Namun dari penelusuran Savitri kita akan mengetahui betapa ternyata disamping itu, Pramoedya juga sangat banyak menulis esei, dengan topik yang cukup beragam. Tulisan-tulisan tersebut menjadi ajang dia mengekspresikan pandangannya seputar peran sastra(wan), mendefinisikan ukuran dan standar penilaian yang menurutnya pantas dipakai, membahas karya-karya yang dianggapnya penting (misalnya karya-karya Melayu Lingua Franca yang jarang diperhatikan orang lain di masa itu), serta mengungkapkan kritik dan kekecewaannya terhadap berbagai kecenderungan di dunia sastra dan kritik sastra.

Kecenderungan yang membuatnya kecewa cukup banyak, dan hal itu sangat mempengaruhi keputusan-keputusannya selanjutnya dalam memilih dengan siapa dia bekerja sama, dan dari siapa dia menjauh di dunia sastra. Salah satu hal yang sejak relatif awal dikeluhkannya adalah dominasi formalisme dalam kritik sastra, yaitu fokus pada bentuk sebuah karya sastra, bukan pada isinya. Pada tahun 1952, Pramoedya menulis: “Keadilan, kemanusiaan, kebudayaan dan idealisme lebih penting bagi manusia ketimbang keindahan.” (dikutip di hlm. 47)

Dominasi kaum formalis tersebut juga mempengaruhi reaksi terhadap karya Pramoedya sendiri. Dari perspektif kita saat ini yang mengenal dan menghormati Pramoedya sebagai salah satu sastrawan terbesar Indonesia (dan dunia), hal itu mungkin terkesan ganjil, namun ternyata pada tahun 50an karya-karyanya sering dijadikan “contoh lecehan, sebagai karya-karya yang ‘belum mencapai standar idaman tertentu’” (hlm. 58). Reaksi negatif terhadap karyanya sangat mengecewakan Pramoedya, sebab dia merasa bahwa penilaian tersebut berdasar terutama pada ketidakpahaman. Standar penilaian yang digunakan para pengamat formalis tidak sesuai dengan nilai dan keyakinan yang mendasari penulisan Pramoedya. Misalnya, M. Balfas pernah “menyatakan diri sangat pesimis dapat melihat keterampilan menulis Pramoedya berkembang apabila sang pengarang terus saja mengekspresikan sikap-sikap pribadi dalam setiap tulisannya” (hlm. 53). Dengan mempertimbangkan bahwa Pramoedya memang dengan sadar ingin menggunakan karya sastranya untuk menyampaikan kritik sosial tertentu, bukankah sangat wajar apabila Pramoedya menjadi gusar dan kecewa menghadapi kritik sejenis itu?

Dalam kaitan dengan dominasi formalisme, Pramoedya juga mengkritik wacana seputar “adanya ‘krisis’ gaya penulisan dalam sastra Indonesia” (hlm. 82). Menurutnya, isu ‘krisis’ yang sempat hangat dibicarakan merupakan “manuver politik yang disengaja” (ibid.). Dengan pengarahan pada persoalan gaya tulis tersebut, hal yang lebih penting justru tersisihkan, yaitu isi tulisan yang menurut Pramoedya jauh lebih relevan diperhatikan dan dikritik.

Disamping itu, selain manipulasi di dunia sastra dan kritik sastra Indonesia sendiri, Pramoedya juga menyadari terjadinya campur tangan dari luar Indonesia alias neokolonialisme. Antara lain, lembaga kebudayaan Belanda Sticusa menjadi sasaran kritiknya. Pramoedya sendiri pernah dikirim ke Belanda oleh Sticusa pada tahun 1953, namun dia kemudian pulang lebih awal daripada yang direncanakan. Menurut analisanya kemudian, program Belanda tersebut bertujuan untuk memperkenalkan “humanisme universal” pada intelektual Indonesia, dan “humanisme universal” tersebut “hanya sebuah versi baru dari apa yang pada masa kolonial disebut kebijakan etis” (hlm. 122).

Keresahan, ketidakpuasan, dan perdebatan-perdebatan semacam itulah yang mengasah intelektualitas dan kesadaran politis Pramoedya pada tahun 50an dan 60an. Lewat pembahasan Savitri Scherer, perkembangan intelektual Pramoedya dapat kita ikuti, sehingga bisa dipahami apa yang membuat sastrawan yang pada awalnya cukup dekat dengan kelompok Gelanggang itu, semakin lama semakin menjauh dari kelompok tersebut dan mengarah pada Lekra.

Dilihat dari perspektif masa kini, bagi saya keterlibatan dan kegelisahan Pramoedya tersebut bisa dinilai sangat mengesankan. Yang sangat menarik disoroti adalah bahwa Pramoedya ternyata sangat sadar akan pengaruh politik sastra. Standar penilaian sastra yang digunakan kritikus pada masanya tidak diterimanya begitu saja, namun dipahaminya sebagai sesuatu yang bersifat politis, sehingga pantas digugat dan dipertanyakan. Wacana-wacana yang muncul di dunia sastra disikapinya dengan kritis: Pramoedya bukan saja berani berbeda pendapat, tapi dia juga sadar bahwa wacana bisa dibuat-buat untuk mengalihkan isu dan mengarahkan perhatian. Disamping itu, dia sadar akan pengaruh funding asing dan neokolonialisme. Bukankah kesadaran-kesadaran semacam itu terkesan luar biasa kalau kita menghubungkannya dengan kondisi dunia sastra Indonesia saat ini? 50 tahun telah berlalu sejak periode yang dikisahkan dalam buku tersebut, namun kesadaran akan politik sastra saat ini justru seringkali sama sekali absen. Bukankah tidak jarang di kalangan penulis Indonesia kita menjumpai pandangan seakan-akan keterlibatan dalam polemik sastra merupakan pekerjaan yang sia-sia dan membuang waktu belaka – lebih baik ”berkarya saja”. Menulis karya sastra dibayangkan sebagai kegiatan netral, dan karya yang dihasilkan seakan-akan bisa dinilai ”apa adanya”, dengan mengikuti standar universal yang tanpa bias dan tidak politis. Pandangan-pandangan semacam itu dengan jelas mencerminkan kuatnya pengaruh Orde Baru dan dominasi kaum Manikebu yang menjadi pemenang sejarah setelah peristiwa 65. Kekritisan Pramoedya pada dua dekade pertama sejak kemerdekaan Indonesia pun menjadi terkesan begitu aneh dan luar biasa!

Saya ingin kembali sejenak pada pertanyaan di sampul buku yang saya kutip di atas, yaitu pertanyaan seputar kapan dan mengapa Pramoedya “menjadi Kiri”. Seperti yang sudah saya katakan, “Kiri” dapat saja kita samakan dengan “komunis”. Dengan demikian, kisah tentang proses Pramoedya “menjadi Kiri” adalah kisah yang bermula dengan pandangan negatifnya tentang komunisme, dan berujung pada pilihannya untuk memeluk komunisme sebagai ideologi yang diyakini dan didukungnya. Namun pembacaan tersebut masih menyisakan pertanyaan: Di manakah posisi Pramoedya sebelum menjadi komunis? Apakah dia “kanan” sebelum akhirnya beralih ke “kiri”? Ataukah dia apolitis, dan tidak memiliki pendirian yang tegas?

Mungkin ”Kiri” tidak harus kita samakan dengan “komunis”, tapi bisa kita gunakan dengan makna lebih luas. Berhaluan kiri bisa didefinisikan sebagai: memiliki kepedulian pada persoalan ketidakadilan sosial dan menginginkan sistem yang lebih egaliter, memihak pada rakyat kecil, menentang imperialisme dan neokolonialisme. Apabila definisi itu kita gunakan, apakah Pramoedya masih bisa disebut “tidak kiri” di awal karirnya? Meskipun pada saat itu dia belum komunis disebabkan oleh keterbatasan pengetahuannya, bukankah keberpihakannya sudah tampak dengan cukup jelas dalam karya-karya awalnya? Menurut penilaian saya, Pramoedya tidak pernah kanan atau apolitis. Maka dalam batasan tertentu, saya rasa tidak salah kalau Pramoedya kita nilai sudah kiri sejak awal karir kepenulisannya.

Oleh sebab itu, bagi saya pertanyan di sampul buku tersebut tidak sepenuhnya tepat. Kisah Pramoedya dari tahun 50an sampai 65 yang dibicarakan dalam buku Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi saya baca bukan sebagai kisah tentang orang yang yang tadinya tidak kiri namun kemudian “menjadi kiri”. Kisah Pramoedya adalah kisah seorang intelektual yang sejak muda memiliki pendirian yang tegas, lalu dengan gigih dan konsisten berusaha mengembangkan diri dan semakin mempertajam keyakinan dan kesadarannya. Kepedulian pada persoalan ketidakadilan serta keberpihakan pada rakyat kecil sudah ada sejak awal karier kepenulisannya, namun baru dalam perkembangannya kemudian Pramoedya menemukan kerangka pikir yang sesuai dengan keyakinan tersebut.

Bahwa proses belajar dan mengolah diri tersebut tidaklah mudah, tercermin dengan jelas dari pengalaman dan pergelutan Pramoedya yang diceritakan Savitri. Karir Pramoedya sama sekali tidak mulus. Karyanya sering tidak diapresiasi dan tidak dipahami, perselisihan dengan rekan terus-menerus terjadi, dan perkawanan pun terkadang harus dikorbankan demi keyakinan (misalnya dengan HB Jassin). Disamping itu, mewujudkan apa yang diyakini dalam bentuk karya pun sama sekali bukan hal mudah. Misalnya, menurut penilaian Savitri usaha awal Pramoedya untuk menulis novel yang sesuai dengan standar dan keyakinan ideologisnya sendiri, yaitu novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan, kurang berhasil. Baru novel Gadis Pantai yang, sekali lagi menurut penilaian Savitri, berhasil menyampaikan pandangan Pramoedya dengan baik, dan sekaligus menjadi karya sastra bermutu tinggi. Dengan kata lain, dalam usaha menerjemahkan keyakinan politisnya ke dalam karya kreatif, Pramoedya tidak takut mengambil risiko. Meskipun prosesnya butuh waktu dan hasil awal kurang menggembirakan, dia tetap berjuang keras untuk mengembangkan kemampuan menulis sesuai dengan ideologi yang diyakininya.

Sosok Pramoedya yang saya temukan lewat penggambaran Savitri Scherer bukanlah sosok manusia yang beralih alias berubah secara radikal, yaitu dari tidak-kiri menjadi kiri. Yang saya temukan justru sosok yang sangat konsisten. Namun konsisten di sini tidak ingin saya artikan sebagai sikap mempertahankan pendirian secara kaku dan membabi buta. Konsisten justru di sini berarti terbuka bagi perubahan, apabila keyakinan memang menuntut perubahan tersebut. Pramoedya hadir sebagai manusia yang tidak takut pada segala hambatan dan tantangan – dari reaksi buruk orang lain, kesulitan ekonomi, kehilangan teman, sampai pada kegagalan dalam berkarya – dalam usahanya untuk terus-menerus berkarya sesuai dengan pendiriannya dan konsisten mempertahankan komitmennya tersebut.
***

*) Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Yogyakarta.
http://sastra-indonesia.com/2012/04/pramoedya-ananta-toer-luruh-dalam-ideologi/

Tinggalkan Balasan