Sebuah Jendela di Senja Hidup Pramoedya Ananta Toer

Farid Gaban, Nurur Rokhmah Bintari, Dewi Rina Cahyani
majalah.tempointeraktif.com

Penampilannya bersahaja—terlalu bersahaja. Namun, ada yang sedikit aneh: dia tak memakai sandal seperti yang selalu dipakainya bertahun-tahun. Tentu saja, selain sebuah mesin ketik yang erat ditentengnya, dalam perjalanannya menuju New York awal April lalu itu. Mesin ketik mengisyaratkan anakronisme, New York adalah paradoks. Dan ada satu pertanyaan menggoda: tidakkah Pramoedya Ananta Toer—seperti tokoh dalam novel fiksi-sains klasik karangan H.G. Wells—merasa terlontar oleh mesin waktu ke dunia yang sama sekali berbeda?

Kota mancanegara terakhir yang dikunjunginya adalah Beijing, sekitar 40 tahun silam, sebuah ibu kota negeri komunis terbesar yang pernah menjadi sumber kekaguman baginya. Sementara New York? Pram datang ketika indeks saham Dow—simbol kedigdayaan kapitalisme Amerika itu—menjilati angka tertinggi sepanjang sejarahnya; ketika Microsoft, bersama Intel Pentium, terus merangsek mesin-mesin ketik seperti miliknya masuk ke museum barang antik.

Dan hanya beberapa tahun sebelum kedatangannya, seorang Francis Fukuyama mengumumkan “berakhirnya sejarah”, menyusul kolapsnya komunisme. Bagaimanapun, sejarah belum berakhir—juga bagi Pram. Menjelang 75 tahun usianya, dia justru baru saja menyibak satu lagi lembar sejarah pribadinya.

Pram datang ke New York untuk menghadiri sebuah perhelatan, satu dari sedikit momen yang mungkin paling membahagiakannya: peluncuran buku The Mute’s Soliloquy—edisi bahasa Inggris dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sebuah kolase pengalaman pribadi, surat untuk anak-anaknya dan permenungannya di Pulau Buru. Gumamnya yang pahit itu, akhirnya, memperoleh pendengar yang lebih luas. Itu bukan sambutan hangat pertama yang diterima Pram dari kalangan internasional.

Karya sastranya yang menjulang dari peri hidupnya yang mengiris—berkat penindasan dan pemberangusan Orde Baru—telah melambungkan namanya. Tak hanya banyak karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa asing, melainkan juga memperoleh berbagai penghargaan, termasuk “Freedom to Write Award” dari organisasi PEN di Amerika Serikat pada 1988. Namun, inilah pertama kali dia mendapatkan kembali kemerdekaannya yang lebih hakiki, kemerdekaan yang tak pernah sempurna diperolehnya, bahkan setelah lama dia dibebaskan dari Buru.

Kali ini dia punya paspor dan bisa hadir sendiri dalam sebuah acara di luar negeri—sesuatu yang mustahil di era Soeharto. Pram absen di Manila ketika, pada 1995, yayasan setempat menganugerahinya “Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts”. Larangan bepergian terhadapnya, dan polemik yang menyertai pemberian penghargaan itu, hanya menegaskan satu hal: tak hanya di luar negeri, Pram juga dikagumi banyak anak muda Indonesia yang membaca karyanya diam-diam.

Jaksa Agung Orde Baru membuat larangan setiap kali terbit karya Pram pasca-Buru—hampir setahun satu pada dasawarsa 1980: tetralogi (Bumi Manusia dan tiga lainnya), antologi sastra pra-Indonesia Tempo Doeloe, dan biografi R.M. Tirto Adhisurjo Sang Pemula. Dan tanpa Orde Baru sadari, nama Pram kian besar setiap kali karyanya diberangus.

Dari sejak Buru itu, dia mempersiapkan pertempuran ini dengan baik. “Saya cuma janji kepada diri saya sendiri: saya tidak akan mati dalam tiga puluh tahun,” kata Pram. “Saya mau melihat jatuhnya (Orde Baru). Itu yang bikin saya tidak mati.” Kepahitan tak terbayangkan—pembantaian terhadap orang-orang PKI dan penderitaan di Pulau Buru—dengan cara tertentu menyumbangkan energi yang cukup besar untuk seluruh penulisan.

“Saya dalam posisi melawan penindasan, ketidakadilan. Itu yang memberi saya semangat hidup.” Ada perasaan memiliki otoritas moral di situ. Ada daya hidup yang fantastis, dan mungkin juga dendam. Bagaimanapun, penjara Buru bukanlah pengalaman pertama. Di zaman kemerdekaan, pada usia 20-an, dia ditangkap Belanda dan dipenjarakan karena menerbitkan pamflet antikolonial. Di zaman Orde Lama, dia kembali masuk bui karena buku Hoakiau di Indonesia, pembelaannya terhadap orang-orang Tionghoa yang digebah pada 1960-an.

Buku itu juga sempat diberangus, tapi diterbitkan kembali setelah Soeharto jatuh, disusul kemudian dengan pencabutan larangan atas semua bukunya yang lain. Namun, Buru, seperti kemudian bisa dibaca dari Nyanyi Sunyi, adalah puncak kulminasi perlawanannya. “Ada tekanan untuk survive yang menakjubkan,” kata Willem Samuels, orang Amerika yang menerjemahkan karya itu ke bahasa Inggris.

Pram tahu persis bagaimana membunuh waktu—secara harfiah maupun simbolis. Dan mesin ketik, seperti yang dibawanya ke New York, adalah senjatanya, azimatnya yang—untuk beberapa hal—mewakili keteguhan, keengganannya, dan mungkin juga ketidakmampuannya untuk berubah.

Pram menulis dengan gaya yang hampir sama, seperti cerpen dan roman-romannya sejak 1940-an. Sapardi Djoko Damono, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, berpendapat tidak terlalu banyak karya-karya Pram yang mempunyai keistimewaan. “Novel-novel Pram yang pendek memang kuat, seperti dalam Bukan Pasar Malam. Tetapi, ketika menulis panjang, kelihatan kelemahannya, longgar dan tidak ekspresif,” katanya.

Meski begitu, Sapardi mengagumi satu hal: konsistensi Pram dalam gaya penulisan realismenya. Tema-tema karya Pram mengingatkan orang pada Max Havelaar-nya Multatuli—satu sastrawan besar yang dikaguminya di samping John Steinbeck. Tema-tema itu dipetik sebagian besar dari dunia sekelilingnya yang nyata, atau dari tokoh-tokoh nyata hasil riset sejarahnya. Misalnya, Tjerita dari Blora, yang berpusar pada masa kecilnya. Kekaguman dan simpatinya pada tokoh ibu, di samping sikap sinisnya pada tokoh-tokoh ulama, yang banyak mewarnai karyanya, juga buah pengalaman pribadinya.

Neneknya dari pihak ibu adalah “selir” dari seorang penghulu Rembang, seorang haji, yang dicampakkan dari rumah setelah melahirkan—sebagai bagian dari kepercayaan di Jawa waktu itu. Sikap itu lebih mewakili antifeodalisme Jawa ketimbang anti-Islam seperti dituduhkan para pengecamnya—misalnya ketika dia melukiskan tokoh haji sebagai tuan tanah korup.

Bagaimanapun, itu memang tampak pula mempengaruhi seluruh sikapnya terhadap agama—agama mana pun—yang menurutnya “sering digunakan sekadar sebagai alat penindasan”. Sisi menonjol lain dari karya-karya Pram adalah identifikasi setiap tokohnya terhadap “perjuangan rakyat”. Aliran realisme sosialis seperti itu memang menjadi arus besar di masa Orde Lama. “Ideologi saya adalah Pram-isme. Saya ingin menjadi diri sendiri,” kata Pram dalam wawancara dengan TEMPO belum lama ini.

Tapi, bisakah sikap individualistis seperti itu—yang lebih mewakili aliran humanisme universal, yang pernah dikecamnya habis—diucapkan Pram pada 1960-an, pada masa jayanya? Dalam seminar sastra di Universitas Indonesia, 26 Januari 1963, sebagai tokoh Lekra terkemuka, Pram menggelar gagasannya tentang realisme sosialis yang dikutipnya dari A.A. Zhdanov, seorang Stalinis yang mengontrol seni dan kesusasteraan Soviet pada 1930-an. Sebuah gagasan yang menjadi alat pemberangusan karya banyak sastrawan Eropa Timur dan mesin penindas yang menghadirkan gulag-gulag ala Pulau Buru juga. Begitulah.

Sementara karya-karyanya mudah ditebak, mengingat konsistensinya, salah satu tragedi Pram adalah sikapnya—terutama sikap politiknya—yang terasa jungkir balik bersama lintasan hidupnya yang panjang dan berliku: staf pada sebuah kantor berita, tentara, redaktur penerbitan, sebelum menjadi sastrawan puncak yang kemudian terbanting. Dan tak ada tragedi yang lebih menyengat kecuali dukungannya tanpa syarat terhadap Manifes Politik (Manipol) Soekarno.

Dalam harian Bintang Merah, 1957, sebuah organ PKI, Pram menulis dukungannya. Dia juga memimpin delegasi seniman yang menghadap presiden. Sebagai nasionalis sejati yang percaya pada gagasan negara kesatuan, dia membantu tentara dalam konfrontasi dengan “pemberontakan” PRRI di Sumatra, dan memperoleh penghargaan dari A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat kala itu.

Pram—secara langsung atau tidak—berperan pula dalam memuluskan jalan pemberangusan Konstituante, parlemen demokratis hasil pemilu, lewat Dekrit Presiden 1959, yang mengawali era “Demokrasi Terpimpin”. Bersama sejumlah seniman, dia mendesak Soekarno mencabut Keputusan Pemerintah Republik Indonesia 1945, yang membebaskan pembentukan partai-partai politik sebanyak-banyaknya.

Pram dan kawan-kawan melihat keputusan yang diprakarsai Mohammad Hatta ini sebagai pengkhianatan terhadap revolusi karena kekuatan revolusi yang pada mulanya ada di tangan rakyat dipecah dan dibagi di antara partai-partai. Dukungan Pram sekarang ini terhadap Partai Rakyat Demokratik (PRD) untuk berlaga dalam sistem multipartai di era reformasi, tentu saja, adalah sebuah revisi sikap pula.

Kembali ke masa silam, polemiknya tentang masalah Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalah kelanjutan logis dari sikap politiknya itu. Juga serangan kasarnya—seperti ditunjukkan dalam karangan-karangannya di Lentera, rubrik kebudayaan harian PKI Bintang Timur—kepada para Manikebuis, kepada tokoh Masjumi seperti Hamka dan tokoh Partai Sosialis Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana.

Kebenciannya kepada H.B. Jassin, salah satu penandatangan Manikebu, bahkan kekal hingga kini. (Lihat: “Yang Tidak Setuju, ya, Minggir Saja”). Jassin berjasa memperkenalkan Pram dengan mengikutsertakan roman Perburuan-nya—karya pertama—ke sebuah sayembara penulisan yang kemudian dimenangkannya.

Sebagai kritikus, Jassin juga hampir selalu memiliki pandangan positif terhadap karya-karyanya. Pram sendiri bahkan pernah mengaguminya sebagai guru humanisme. Namun, belakangan, di matanya Jassin tidak punya rasa kemanusiaan karena diam saja menyaksikan nasib “satu setengah juta” orang (PKI atau mereka yang dituduh PKI) diinjak-injak Orde Baru.

Dalam hal ini, Pram konsisten. Sebuah tulisannya yang terbit pada 1953 berjudul Ofensif Kesusasteraan 1953, H.B. Jassin Sudah Lama Mati Sebelum Gantung Diri. Dan ironis: Pram sudah lama membunuhnya, dan toh tetap menuntut Jassin memiliki rasa kemanusiaan. Tulisan lain Pram di Lentera menjadi salah satu puncak penggasakannya terhadap kaum Manikebuis, berjudul: Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total. Ini sekaligus ironi pula—kali ini bahkan jauh lebih mengiris. Sebab, sejarah kemudian tahu pihak mana yang justru “dibabat total”. Tidak mudah untuk mencari keseimbangan—bahkan kini, bepuluh tahun kemudian—dalam merenungkan suasana kala itu, yang oleh Goenawan Mohamad digambarkan sebagai “apokaliptik”.

Tidak mudah mencari jalan tengah dari permainan zero-sum; permainan kalah-menang. Sesungguhnya tidak ada yang menang dalam pergumulan besar yang kemudian terbukti berdarah itu, ketika konflik Lekra vs Manikebu hanyalah sebuah catatan kakinya saja. Penggiringan puluhan ribu orang seperti Pram ke Pulau Buru dan pembantaian PKI di mana-mana adalah tragedi bagi bangsa ini secara keseluruhan.

Namun, melihat masa silam Pram—khususnya perannya dalam polemik 1960-an itu—adalah mereduksinya menjadi sekadar sebagai mahluk politik. Bahkan, sebagai redaktur Lentera, Pram sesungguhnya tidak cuma menawarkan sumpah serapah politik. A. Teeuw, kritikus Belanda yang juga pernah menjadi sasaran kecaman Pram, menyebut Lentera sebagai media utama tulisan Pram yang pada periode 1962-1965 “menakjubkan banyak dan anekanya” (Citra Manusia Indonesia, Pustaka Jaya, 1997).

“Banyak karangan masa itu,” tulis Teeuw, “adalah hasil riset mendalam, berdasarkan bahan kepustakaan dasawarsa pertama abad ini.” Pram juga telah memulai usahanya menuliskan kembali sejarah sastra dan merombak pengajaran sastra Indonesia, antara lain dengan sejumlah pelacakan yang kelak pada 1982 diterbitkannya dalam Tempo Doeloe. Juga dia mulai menerbitkan terjemahan Max Havelaar, meski akhirnya tidak tuntas, di samping cerita bersambung memikat: Hikayat Siti Mariah. Riset sejarahnya, yang antara lain muncul dalam biografi Tirto Adhisurjo, seorang pionir jurnalistik Indonesia, termasuk mencengangkan.

Di tengah kecenderungan kental ke arah penulisan sejarah resmi yang didiktekan negara, “karya-karya alternatif” Pram seperti ini memberi sumbangan besar untuk melihat masa silam Indonesia secara lebih utuh. Karya-karya sastra Pram memang menduduki tempat tersendiri,” kata Sapardi Djoko Damono.

Dan Teeuw, yang mengenal karya Pram pertama kali setengah abad lalu, menyebutnya sebagai “pengarang prosa Indonesia nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini”. Sejarah belum berakhir—juga bagi Pram. Sejarah masih menjadi. Dan beruntung Pram kini, di usia senja, setelah semua drama itu, memiliki peluang untuk menuliskan sebuah akhir yang manis. Sebuah peluang, dan selebihnya… terserah Pram.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/11/sebuah-jendela-di-senja-hidup-pram/

Tinggalkan Balasan