Sepucuk Surat Getir kepada Generasi Baru

Peresensi: Ruth Indiah Rahayu *
Judul Buku: Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Gramedia, 2001
majalah.tempointeraktif.com

Tak seorang pun yang dapat menolong mereka. Di sini pula mereka kehilangan segala-galanya: kehormatan, cita-cita, harga diri, hubungan dengan dunia luar, peradaban dan kebudayaan …suatu perampasan total.

Kalimat yang dicuplik ini menggambarkan keadaan 228 perempuan muda dari Jawa yang diangkut kapal laut ke Pulau Buru. Mereka dibawa ke benteng bawah tanah yang terletak di Gunung Palamada dan menjalani kerja paksa sebagai budak seksual tentara Jepang selama Perang Asia Timur Raya.

Dapat dibayangkan, para perempuan itu seperti daun sirih segar yang bakal dikunyah tandas oleh tentara itu. Mereka kemudian ditinggalkan seperti sampah dalam benteng ketika Jepang kalah. Sejak saat itu, perempuan-perempuan itu memasuki episode penderitaan berikutnya dalam rentang perjalanan yang tak pernah dipilihnya, hingga akhirnya mereka ditemukan oleh tahanan politik 1965-66, rekan-rekan sependeritaan sebagai orang yang dibuang.

Kesaksian para tahanan politik (tapol) itu kemudian dituturkan kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bentuk surat yang ditujukan kepada generasi muda Orde Baru. Penuturan ini menyumbang data sejarah yang penting mengenai jugun ianfu di Indonesia. Nadanya mengingatkan dan memperingatkan suatu tragedi berat yang pernah hadir dalam sejarah pendudukan Jepang di Indonesia. Inilah sebuah tragedi yang hampir tak tercatat dalam buku sejarah nasional yang diajarkan di sekolah dan bahkan sering luput disebut oleh para guru, kecuali sekelumit kisah romusha.

Pertemuan para tapol dengan para perempuan itu terjadi di tengah hutan atau di ladang, pada saat mereka menjalankan korve untuk menyuling minyak kayu putih atau menebang pohon. Sejumlah saksi mata menuturkan bahwa umur mereka rata-rata 50 tahun, berambut putih, berkemban lusuh. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Jawa atau Indonesia jika tak disertai suaminya. Tampaknya, perempuan-perempuan itu berasal dari Jawa Tengah seperti Klaten, Semarang, Pemalang, Boyolali, Kartasura, Solo.

Pada masa pendudukan Jepang, para perempuan ini masih berusia remaja dan kebanyakan adalah putra pamong praja yang terpikat oleh propaganda Jepang untuk memberikan beasiswa studi di Tokyo. Tentu saja mereka tak akan pernah sampai ke sana, melainkan diturunkan di wilayah pendudukan tentara Jepang, seperti Singapura, Bangkok, atau pulau-pulau di Indonesia. Sebagian korban ini ada yang bersedia membuka ceritanya dengan gamblang, ada yang setengah menutup, dan ada yang sama sekali mengingkari asal-usulnya.

Kebanyakan dari mereka ingin mengetahui keadaan kota yang ditinggalkannya tapi merahasiakan nama keluarganya. Tampaknya, di balik kerinduannya untuk pulang, mereka membiarkan dirinya dianggap hilang. Mereka malu, merasa seperti sampah, sementara mereka berasal dari keluarga terpandang. Klimaks penuturan Pram tampak pada kisah Ibu Mulyati dari Klaten. Nama ibu ini dikenal belakangan, dari penuturan salah seorang korban yang bernama Ibu Siti. Kisah penjejakan yang ditulis sepanjang 117 halaman-separuh dari tebal buku-yang mengisahkan sepak terjang sang ibu.

Dia menempuh medan yang sulit: hutan, rawa, gunung, dan menghadapi adat-istiadat yang tertutup dan kepercayaan yang sarat pamali. Kisah Mulyati, istri tertua dari enam isteri Kepala Soa Wai Temon Latun, telah menjadi pembicaraan dan dongeng yang indah bagi penduduk di sekitar lembah Nur Latun. Ia berani membantah tindakan suaminya yang gemar merampas istri orang dan dia berani meninggalkan kampung itu.

Untuk ukuran Alfuru, tindakan Mulyati adalah sesuatu yang tidak umum, apalagi suaminya adalah seorang jawara yang disegani. Di luar dugaan, ternyata kepergiannya diikuti sejumlah warga Wai Temon Latun. Mereka kemudian mendirikan kampung Wai Temon yang baru. Mulyati ditemukan dalam keadaan jompo dan menderita sakit keras. Menurut pemeriksaan salah seorang tahanan politik yang dipanggil Pak Mantri-semacam dokter-ada pembengkakan bekas penganiayaan pada organ dekat livernya. Besar kemungkinan itu akibat penganiayaan sang suami karena keberaniannya melawan.

Tetapi rombongan tahanan politik yang baik budi itu tak mampu membuat ibu tersebut menceritakan jati dirinya. Mereka hanya mampu memandang raut mukanya yang bundar, berbibir tipis, alis matanya melengkung, yang menandai sisa kecantikan perempuan Jawa pada masa mudanya. Karakternya kuat dan keras, menjelaskan penderitaan yang tak tertanggungkan.

Menurut catatan Pramoedya Ananta Toer, ada tiga macam sikap dalam penderitaan demikian: menyerah tanpa syarat, melawan, atau membiarkan diri hancur. Mulyati memilih melawan. Ketika para tapol itu menyapa dengan bahasa Jawa ataupun Indonesia, ia hanya menjawab “tak mengerti” dalam bahasa Alfuru. Ia bersikap demikian seolah terikat pada sumpah menjadi orang Alfuru dan mengubur sejarahnya sendiri.

Pak Polli, salah seorang tapol yang menjejaknya, mencatat demikian: “Kami menemukan Ibu Mulyati dalam keadaan jompo. Memang kami tak mampu berbuat sesuatu. Alam dan manusia selingkungannya telah membikinnya tidak berdaya dalam umur yang baru setengah abad. Sejak meninggalkan kampung halaman dan keluarga, ia hanya mengenal penderitaan, tindasan, dan aniaya-suatu hukuman yang tak semestinya jatuh padanya.

Kami hanya dapat menangis dalam hati. Orang Jepang yang telah menindasnya sampai ia jadi begitu sekarang mungkin hidup senang di tengah-tengah keluarganya….” Pada suatu hari, Pak Polli menemukan jenazah ibu yang gagah berani itu terdampar di atas kerikil dan batu Kali Wai Lo. Dagingnya telah rusak, beberapa gumpal telah terlepas dari tubuh. Kaki kirinya telah hanyut. Tetapi para tapol itu tak berani menguburkannya, khawatir terjadi insiden dengan adat.

Pertimbangannya, air Kali Wai Lo dikonsumsi orang Alfuru, yang pada saat itu sedang kejangkitan wabah. Penulisan ini, tak bisa dihindari, menyiratkan kekaguman Pramoedya terhadap karakter perempuan yang berani melawan, seperti gambaran dia tentang Nyai Ontosoroh dalam tetraloginya, Kartini, Pelagia Nilovna (tokoh Ibunda dalam novel Maxim Gorki yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pramoedya).

Tak mengherankan jika dalam suratnya, Pram juga dengan gamblang berpesan agar generasi baru memiliki karakter seperti Mulyati. Sayang, buku yang ditulis dalam bentuk surat ini diterbitkan sekarang. Seandainya diterbitkan kira-kira tujuh tahun silam, ketika Menteri Sosial Inten Soeweno menyanggah adanya korban perbudakan seksual tentara Jepang di Indonesia, buku ini akan punya signifikansi yang lebih jauh.

Buku ini mungkin bisa diajukan ke pemerintah Indonesia untuk salah satu bukti sejarah. Dengan demikian, kompensasi dari pemerintah Jepang yang sudah diterima pemerintah Indonesia bisa disalurkan langsung ke para korban. Sebagai catatan, para korban Korea dan Filipina menerima kompensasi itu secara langsung, sementara di Indonesia, dana kompensasi yang diterima pemerintah itu belum jelas penyalurannya.

Mardiyem, salah seorang korban jugun ianfu, yang hidup bertahun-tahun dibayangi trauma, sesungguhnya mengharap kompensasi itu untuk membangun rumah jompo bagi masa depannya dan kawan-kawan sepen-deritaan. Berapa banyak perempuan semacam Mulyati dan Mardiyem di negeri kita? Dan berapa banyak anak cucu Ibu Mulyati yang kini mengalami nasib serupa di Timor Leste, Aceh, dan Papua?

Mereka tercecer hampir di seluruh negeri, raib dalam sejarah dan dilupakan bangsanya. Maka, surat Pramoedya ini, tanpa berpretensi menjadikan buku sejarah ilmiah, patut menjadi pegangan, sekalipun membaca masa lalu yang hitam rasanya bak menenggak jamu brotowali yang meninggalkan jejak pahit pada muara kerongkongan.
***

*) Koordinator Pendidikan Kalyanamitra.
http://sastra-indonesia.com/2010/11/sepucuk-surat-getir-kepada-generasi-baru/

Tinggalkan Balasan