Obrolan penerjemahan karya dari bahasa Indonesia-Jerman, Inggris-Jerman bersama Sabine Müller

Wawancara di bawah ini, diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia

Sabine Müller, Köln: Penerjemah lepas (Indonesia-Jerman, Inggris-Jerman) dan redaktur, anggota VDÜ (Asosiasi Penerjemah Literaris Jerman), lulusan jurusan Antropologi Budaya, Malaiologi dan Sosiologi di Universitas Köln. Sabine pernah menetap di Bandung dan Jakarta, antara lain sebagai pengajar bahasa, koordinator program Goethe-Institut, juga di bidang humas. Sabine telah menerjemahkan sejumlah novel, karya teater, cerpen dan puisi dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman.
***

Nurel Javissyarqi: “Mendekati waktu sepertiga malam WIB (Waktu Indonesia bagian Barat), tepatnya di daerah Lamongan, Jawa Timur, tempat saya berada sekarang. Sedang turun hujan kadang rintik juga menderas dan kini mendekati reda; Salam kenal Mbakyu Sabine, terima kasih atas waktu yang diberikan pada grup facebook APSAS (Apresiasi Sastra) dalam 2 minggu dari saat ini ke depan, lewat obrolan soal proses menerjemahkan karya dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman, dan dari bahasa Inggris ke bahasa Jerman. Karena saya baru mengenal Mbakyu di facebook (fb), maka rasa penasaran timbul tiba-tiba, dan yang menjadi pertanyaan atas itu, 1. Sejak usia berapa tahun, Mbakyu Sabine mengenal nama Indonesia, lalu menyukai kebudayaan Nusantara, hingga karya-karya para pengarang di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini? 2. Dibanding karya-karya dari negara lain, dengan karya dari manusia-manusia Indonesia yang sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, jika dihitung, ada berapa persen yang dari Indonesia? 3. Apakah karya-karya para pengarang Indonesia, cukup mampu bersaing dengan karya-karya dari negara lain, ketika masuk (diterjemahkan) dalam bahasa Jerman, khususnya yang telah mbakyu terjemahkan? Sementara itu, nanti dilanjut yang lain, terima kasih sangat…”

Sabine Müller: “Selamat Pagi Mas Nurel Javissyarqi dan teman-teman di grup Apresiasi Sastra ini. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas kesempatan yang sudah diberikan kepada saya untuk mengeshare pengalaman soal penerjemahan di grup ini! Salam kenal teman-teman dan salam hangat dari Köln buat semuanya.”

“Terima kasih, Mas Nurel, untuk pertanyaannya yang menarik. Untuk pertanyaan 1.: Kalau “nama Indonesia”…ah, saya ingat,… kakekku punya sebuah buku atlas dengan gambar-gambar yang indah. Di situ ada juga peta kepulauan Indonesia dengan gambar-gambar rimba, becak, warung dan kain batik. Mungkin saya baru lima tahun kira2 dan suka sekali melihat gambar-gambar itu. Di sekolah tentu saja nama Indonesia seringkali muncul. Tetapi saya “jatuh cinta” dengan Indonesia dan kekayaan budaya di negara yang jauh dari Eropa itu, ketika saya bersama sahabatku berliburan di Indonesia (Sumatra, Java Tengah) pada tahun 1990. Bukan yang “eksotis” membuat saya tertarik pada Indonsia, tetapi kebudayaan dan keanekaragamannya. Lalu saya ambil keputusan untuk ikut kuliah di jurusan Malaiologi di Universitas Köln, berkesempatan untuk belajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia di alma mater itu dan juga di UGM Yogya selama setahun. Setelah lulus saya ingin bekerja di Indonesian sebagai pengajar bahasa. Di Bandung dan di Jakarta saya diberi kesempatan juga untuk bekerja untuk Goethe-Institut di bidang program dan humas (secara lepas). Saya sangat beruntung masih ada ikatan erat dengan teman-teman di Bandung dan Jakarta. Dan juga karena bisa menerjemahkan karya-karya penulis Indonesia.”

“Na, itu membawa kita ke pertanyaan 2 Mas Nurel: Sayang sekali, kalau dibanding dengan penulis-penulis dari negara lain, bagian karya-karya pengarang Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman sedikit sekali. Bahkan setelah kehadiran Indonesia di pameran buku Frankfurt tahun 2015 sebagai tamu kehormatan, situasi itu tidak berubah. Kayaknya penerbitan2 Jerman masih ragu-ragu untuk memilih karya2 sastra dari Indonesia. Bersama teman-teman di sini kita berusaha untuk mempertinggi minat para penerbit supaya lebih banyak karya sastra dari Indonesia akan diterjemahkan ke dalam bhs Jerman, dan ditawarkan kepada kalangan pembaca di negara yang berbahasa Jerman. (Maaf, kalau persen saya belum tahu, tetapi akan saya cek. Buku-buku yang aslinya berbahasa Indonesia di pasar buku di Jerman tidak banyak, belum seratus biji saya kira). Saya langsung ke pertanyaan No. 3 dari Mas Nurel: Situasi ini, menurut saya, sama sekali tidak berhubungan dengan kualitas karya-karya penulis2 Indonesia. Sastra Indonesia kaya sekali dan sangat beranekarama. Tema-tema yang dibahas para pengarang sangat menarik, bervariatif, begitu juga gaya menulis dan pendekatan literaris mereka. Untuk saya, sastra Indonesia adalah sumber tak ada habis-habisnya.”

Nurel Javissyarqi: “Terima kasih Mbakyu Sabine atas jawabannya yang sangat baik, menarik juga cantik, matur suwon sanget…”
***

Sigit Susanto: “Hello Sabine, aku senang kamu bisa berada di Apsas sini, membagi pengalaman sebagai penerjemah yang istimewa, karena bukan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman, khususnya. Pertanyaanku 1). Bagaimana proses kamu mendapatkan tugas penerjemahan karya dari Indonesia itu: apakah dari penerbitnya di Indonesia atau di Jerman, dari pengarangnya sendiri atau kamu sendiri yang memberi rekomendasi ke penerbit baik di Indonesia maupun di Jerman? 2). Kesulitan apa yang paling dirasakan dan bagaimana cara mengatasinya, misalkan bertemu subjek Dia/Ia, yang tidak berkelamin jelas, bisa lelaki atau perempuan. Mengingat dalam bahasa Jerman ada Er/She atau he/she dalam bhs Inggris. 3) Menurutmu apa barier terbesar, karya-karya kita di Indonesia sulit menyeberang ke bahasa Jerman, khususnya? 4). Aku pernah baca di media, bahwa di Beijing ada penerbitan karya bhs Jerman dari pengarang China dan di India ada penerbit Oxford yang menerbitkan karya pengarang India, apakah Indonesia perlu adanya berdiri penerbit dari bahasa asing, sehingga sirkulasinya akan lebih mudah ke pembaca Eropa? Terima kasih, jawab kapan saja luang waktu. ya.”

Sabine Müller: “Terima kasih banyak, Kang Sigit! Bulan Desember dan Januari lalu saya sempat ikut acara Translators Forum Internasional yang diorganisir secara daring oleh Frankfurt Bookfair. Yang sangat menarik buatku adalah diskusi tentang tantangan macam apa yang dihadapi penerjemah di berbagai negara. Ternyata kebanyakan penerjemah yang ikut forum itu menghadapi kesulitan yang kurang-lebih sama, padahal mereka berasal dan bekerja di negara2 yang berbeda dan dimana situasi pasar buku masing2 berbeda. Salah satu kesulitan adalah bagaimana seorang penerjemah bisa mendapat proyek yang menarik. Seperti sudah kusebut di atas, penerbit2 Jerman sepertinya masih ragu2 untuk menerbitkan karya sastra Indonesia. Jadi, saya berusaha untuk membangun minatnya dengan memilih sebuah karya sastra, membuat ekspose tentang isinya dan penulisnya, juga soal konteks sosial/budaya/historisnya, serta contoh terjemahan. Itu cukup sulit dan menuntut riset dan waktu untuk mengerjakannya. Kadang2 rekomendasiku berhasil untuk menarik perhatian dan penerbitnya memberi tugas penerjemahan. Kadang2 penerbit menawarkan proyek dan minta contoh terjemahan.”

“Untuk pertanyaan 2. Iya betul, ada macam2 kesulitan berkaitan dengan Struktur bahasa. Subyek orang ketiga tunggal memang merupakan jebak. Di bhs Jerman Kita dipaksa untuk memilih kelamin tata bahasa yang jelas. Dan kita punya 3 kata, pronoun, yaitu er, sie es. Kesulitan lainnya adalah strata sosial. Di bahasa Jerman kita tidak kenal Mas/Mbak, Adik, Ceh, Teh, Bung, Kang,… Tetapi seringkali itu penting untuk sebagian cerita, karena misalnya perbedaan tingkat sosial ingin digarisbawahi oleh sang penulis. Kalau begitu saya misal coba tetap pakai kata itu dan memberi keterangan di glossar.”

“Kalau pertanyaan 3. Itu memang sangat menarik. Dan mungkin kawan2 di grup ini ingin ngeshare pengalamannya juga. Menurutku setiap kalangan bahasa, setiap kalangan budaya memiliki sifat/karakter yang khas. Dan kita selalu cari untuk menerjemahkannya, tidak hanya berkaitan dengan bahasa. Bapakku misalnya sudah berumur 85 tahun, dan realitas kehidupannya sangat berbeda dengan realitas hidup anak baptisku yang baru 20 tahun. Padahal mereka punya bahasa ibu yang sama, mereka mengalami barier cukup besar kalau berkomunikasi. Jadi, saya merasa kita selalu musti sadar bahwa di setiap komunikasi ada barier, dan sastra adalah komunikasi, dan sebuah terjemahan berusaha untuk penjembatannya.”

“Pertanyaan 4. Menurutku kerja sama dan jaringan erat antara penerbit, penulis, perjemah, ahli sastra, toko buku… sampai pembaca itu yang penting. Kalau penerbit Indonesia yang berbasis di Jerman…mh mungkin bagus. Tapi saya kurang tahu latar belakang penerbit Oxford di india. Terimah kasih, Kang Sigit, sudah menyentuh topik itu.”
***

Cak Bono: “Salam kenal Mbak Sabine Müller, poin apa yang menarik dari buku sastra Indonesia terutama dari kacamata pembaca Eropa?
Apa kira-kira yang diharapkan oleh pembaca sastra Eropa dari karya sastra Indonesia?
Apa buku sastra Indonesia yang dianggap Mbak Sabine sebagai karya sastra terbaik Indonesia?
Menurut sampeyan, bagaimana perkembangan buku sastra Indonesia mutakhir beserta peluangnya untuk menarik perhatian pembaca dunia dan memperoleh pengakuan Internasional?
Buku dan pengalaman terberat apa yang pernah dialami dalam menerjemahkan karya berbahasa Indonesia? Terimakasih.”

Sabine Müller: “Salam kenal kembali, Cak Bono, dan terima kasih banyak pertanyaannya. Memang acara ini sangat menarik untuk saya, karena membuat pikir ulang dan memperhatikan isu-isu proses penerjemahaan dari perspektif baru. Terima kasih banyak, kawan-kawan di grup ini.”

“Kalau pertanyaan 1 yang di-post oleh Cak Bono, saya hanya bisa menjawab dari pengalaman pribadi. Menurutku banyak hal yang sangat menarik dan terutama relevan untuk diketahui dari Indonesia, sejarahnya, sejarah kolonialnya dan dampaknya, perkembangan politisnya, budaya,… Saya pikir sastra adalah medium yang bagus untuk membawa topik-topik yang relevan dan untuk membahas faset-fasetnya serta untuk membuka ruang perdebatan luas. Padahal Indonesia adalah negara yang cukup besar dan ada hubungan dengan sejarah Erope (juga Jerman), apa yang terjadi di Indonesia jarang sekali muncul di berita Jerman misalnya. Karya sastra bisa menarik perhatian dan membangun pengetahuan, kesadaran dan pengertian untuk apa yang terjadi di Indonesia – di masa lampau, sekarang dan juga masa depannya. Saya berharap bahwa orang Jerman/Eropa jadi ingin tahu tentang faset-faset yang berhungungan dengan itu.”

“Dunia sastra Indonesia sangat amat dinamis. Karya-karya klasik, menurutku mampu mendunia (selain karya2 Pak Pram), tetapi juga banyak karya “modern”. Penulis-penulis “muda” muncul dan berani untuk secara literaris mendiskusikan topik-topik relevan. Dunia sastra Indonesia buatku adalah dunia luas dengan banyak mutiara yang juga belum ditemukan dan diperlihatkan kepada kaum pembaca internasional. (mungkin itu untuk pertanyaan 2&3).”

“Pengalaman berat… Memang setiap karya sastra (Indonesia) kuanggap sebagai “orang yang belum kukenal” tetapi yang akan hidup bersamaku dari hari pertama proses penerjemahannya. Seperti halnya dengan orang yang kita belum kenal tetapi ingin jadi akrab, kita musti berhati-hati dengan apa yang dikatakannya. Tidak hanya dengan apa yang dikatakannya, tetapi juga dengan apa yang disampaikan secara tidak langsung (di antara kata-kata). Saya selalu berusaha untuk menemukan referensi-referensi yang buat orang dari kalangan budaya lain tidak jelas dan mudah ditemukan. Dan saya takut tidak berhasil untuk melihat dan memahami referensi itu. Jadi, itu yang paling berat dan itu terjadi pada setiap karya sastra. Saya sangat beruntung kalau sang penulis masih hidup dan berkenan untuk membantuku. Jadi saya suka “menganggu” penulis dengan pertanyaan2 banyak.”

“Tambahan singkat: Riset (sejarah, konteks sosialnya, politisnya…) selalu menjadi bagian besar dalam proses penerjemahannya.”

Cak Bono: “Sabine Müller, terimakasih atas jawabannya dan wawasan yang juga menyinggung proses alih bahasa. Seandainya diminta menyebut satu judul buku dan penulisnya, kira-kira buku sastra Indonesia apa yang paling menarik menurut sampeyan?”

Sabine Müller: “Cak Bono…kalau jujur, di atas saya coba untuk tidak menyebut judul tertentu. Tetapi seaindainya diminta…ya mungkin saya akan memilih trilogi Pak Pram.”

Cak Bono: “Ya tentu saja, Trilogi Pram memang buku bagus.”
***

Sasti Gotama: “Salam kenal, Mbak Sabine Müller. Senang sekali saya bisa membaca hasil diskusi di atas yang menurut saya sangat menarik. Saya pernah mendengar, bahwa jika buku diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka “aroma” buku itu bisa berkurang sangat banyak. Misalnya buku Yasunari, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia, maka “aroma” Jepangnya banyak yang berkurang. Beberapa teks tidak bisa diadaptasi dengan baik dalam bahasa lain. Kadang tidak ditemukan padanan katanya. Menurut Mbak Sabine, bagaimana kita mengatasi masalah itu agar “aroma” asli buku itu tetap terjaga? Terima kasih.”

Sabine Müller: “Salam kenal, Mbak Sasti Gotama, dan terima kasih banyak perhatiannya. Menurutku betul sekali apa yang Mbak katakan di atas. “Aroma” buku, nuansa konteks latar belakang dari sebuah karya literaris bisa berkurang jika dialihbahasakan. Apalagi jika buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa asing lalu hasil terjemahannya diterjemahkan lagi ke dalam bahasa ketiga. Saya kira, sebuah karya literaris sebaiknya diterjemahkan dari versi aslinya. Pengetahuan dan riset tertentu diperlukan untuk berusaha mengetransfer eks dan nuansa-nuansa sebaik mungkin. Komunikasi erat dengan penulis dan/atau ahli bahasa dan sastra bahasa aslinya itu optimal untuk proses penerjemahan. Kita sebagai penerjemah tidak hanya berusaha untuk mengalihbahasakan teks yang terdiri dari kata-kata, tetapi juga berusaha untuk merasakan jejak darah, air mata dan keringat sang penulis.”

Sasti Gotama: “Terima kasih atas jawabannya, Mbak Sabine.”

Nurel Javissyarqi: “Terima kasih Sasti Gotama, sudah mampir kemari, suwon sanget…”

Sasti Gotama: “Saya yang berterima kasih, Mas. Maturnuwun juga sudah menghadirkan penerjemah yang keren seperti Mbak Sabine.”
***

Sigit Susanto: “Pertanyaan terakhirku buat Sabine Müller: 1). Apakah Sabine sekarang sedang menerjemahkan karya pengarang Indonesia ke dalam bahasa Jerman atau sedang mencari-cari calon karya? 2). Di Eropa, khususnya di Swiss yang kutahu, ada lembaga yang memberi apresiasi para penerjemah dengan memberikan semacam award dan penghargaan dana cukup besar, kayaknya di Indonesia belum ada, apakah ini merupakan titik lemah dalam dunia terjemahan kita? 3). Bagaimana menurutmu, seandainya Indonesia dijajah oleh bangsa Inggris, Spanyol atau Prancis, apakah karya kita akan lebih mudah aksesnya ke pembaca dunia, mengingat koloni 3 negara di atas, karyanya lebih mudah go internasional? 4). Pengalamanku menghadiri acara sastra di perpustakaan atau toko buku di Swiss, kebanyakan yang hadir orang tua-tua, sebaliknya acara serupa di Indonesia didominasi anak muda dengan gegap gempita, kira-kira apa alasannya? Anak-anak muda kita ini juga nanti akan tua dan semoga tetap menyukai sastra, sehingga generasi ke depan akan menyaksikan komposisi tua muda dalam acara sastra. Terima kasih banyak.”

Sabine Müller: “Hallo Kang dan teman-teman di forum ini. Terima kasih untuk pertanyaan babak kedua dari Kang Sigit. Jawaban singkatku untuk pertanyaan No 1: Sayang sekali sekarang belum ada tugas dari penerbit Jerman untuk proyek penerjemahan, tetapi saya berharap bahwa pada musim kemarau tahun ini akan ada. Saya lagi membaca ulang sebuah novel dari seorang penulis Indonesia muda yang sangat menarik. Setelah dibaca untuk ketiga kalinya saya akan membuat expose yang bisa ditawarkan kepada penerbit. Kalau berhasil saya ingin share dengan kalian semua judulnya dan jika teman-teman berminat juga pengalamanku dalam proses penerjemahannya. Untuk pertanyaan No 2: Ya betul, di Eropa ada berbagai penghargaan khusus untuk penerjemah. Beberapa organisasi, lembaga, asosiasi sastra memberikan macam-macam penghargaan. Ada yang “kecil” dan ada yang penting sekali yang membuat sang penerjemah yang mendapatkannya sangat kelihatan di dunia sastra. Menurutku tradisi memberi penghargaan untuk kerjaan yang relevan dan apalagi yang jarang kelihatan di publik itu sangat penting. Sang penerjemah tidak hanya merasa dihargai tetapi kalangan penerjemah dan sastra menjadi bagian dari masyarakat yang dilihat, dihargai dan yang kontribusinya penting.”

“Pertanyaan No 3 itu memang sudah masuk daerah politik. Kalau kita misalnya melihat sebentar Pameran Buku Frankfurt. Dua atau tiga tahu yang lalu, Perancis menjadi tamu kehormatannya. Yang diundang untuk hadir dan yang karyanya dipamerkan di FBM itu tidak hanya penulis-penulis yang berasal dari negara Perancis, melainkan juga penulis dari negara yang dulu dijajah oleh Perancis. Yang sangat menganggu, menurutku, adalah fakta bahwa hanya sedikit penulis dari negara-negara lain diundang (negara Afrika yang frankofon, Haiti, Kanada,…). Apalagi karya-karya yang ditulis oleh penulis di luar Perancis seringkali membahas tema-tema eksotis. Misalnya penulis Louis-Philippe Delambert yang berasal dari Haiti waktu itu mengatakan bahwa tema-tema “yang laku” untuk dia sebagai penulis yang menulis dalam bahasa Perancis adalah tema semacam Vodoo, dll. Itu sering terjadi. Penulis-penulis yang berasal dari negara yang dulu dijajah (oleh siapapun) jarang sekali boleh punya suara sendiri untuk “go international”. Mereka sering terpaksa untuk memenuhi request pasaran, yaitu dengan menulis tentang hal-hal yang klise. Saya kira, bagus kalau tema-tema kolonialisme dibahas di kalangan sastra dan di publik untuk mengatasi diskriminasi itu. Penulis-penulis di Indonesia (juga di negara-negara lain) punya suara sendiri dan perlu didengarkan.”

“Pertanyaan No 4 membuatku tersenyum. Betul sekali Kang Sigit. Alasannya saya tidak tahu. Dulu memang sastra Jerman dan sastra pada umumnya sangat dihargai di Jerman, terutama di kalangan interlektual. Pendidikan tinggi selalu mengandung belajar tentang penulis-penulis internasional yang dianggap penting, karya-karya puisi, novel, teater, dll. Di sekolah dasar pun anak-anak dididik untuk menulis sendiri. Mungkin hari ini, anak muda lebih tertarik pada medium lain: film, musik… Namun, dalam beberapa tahun terakhir kita bisa melihat bahwa banyak anak muda muncul lagi di acara-acara sastra. Seni puisi mengalami “high” sekarang. Saya senang melihatnya. Dulu banyak acara-acara di toko buku mungkin lebih pas untuk orang “dewasa” (usia 50 tahun ke atas) dan mungkin agak membosankan untuk anak muda. Bagus kalau kita terbuka untuk belajar dari anak muda: apa yang menarik buat mereka, tema-tema apa yang ingin dibahas dan juga bentuk acara yang bisa mengundang banyak orang.”

Sigit Susanto: “Terima kasih banyak, Sabine Müller telah menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan sangat jelas dan memuaskan. Aku nantikan hasil ekspose novel dari pengarang Indonesia ke penerbit Jerman ya, eh siapa tahu ada karya dari teman-teman Apsas ini mungkin memikat Sabine Müller untuk dibaca, kemudian diterjemahkan.”

Sabine Müller: “Dengan senang hati saya tukar pengalaman dan berita baru soal sastra Indonesia di Jerman dengan teman-teman di forum ini.”

Sigit Susanto: “Terima kasih banyak Sabine Müller atas sharing pengalamannya, tetap di Apsas ya dan jangan ragu berbagi perjuanganmu memperkenalkan karya-karya pengarang Indonesia ke pembaca Jerman, kami sangat menanti dan berterima kasih atas kerja terjemahan yang termasuk langka ini.”

Sabine Müller: “Terima kasih, Kang Sigit, undangannya dan kesempatannya. Obrolan lanjutnya bersamamu dan teman-teman APSAS dinanti. Salam hangat dan tetap sehat ya.”

“Hanya kita bersama-sama bisa memperkenalkan karya-karya pengarang Indonesia ke kalangan pembaca yang berbahasa Jerman.”

Sigit Susanto: “Thomas Mann bilang, Habent Sua Fatalibeli: Buku punya nasibnya sendiri. Tapi bagiku tetap saja diperlukan tangan-tangan kreatif untuk memperjuangan nasib buku itu.”
***

Buku-buku karya terjemahannya Sabine Müller:

http://sastra-indonesia.com/2021/04/obrolan-penerjemahan-karya-dari-bahasa-indonesia-jerman-inggris-jerman-bersama-sabine-muller/

Tinggalkan Balasan