Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher

Salam,

Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih.

Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: Lanjutkan membaca “Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher”

Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih

Ignas Kleden
majalah.tempointeraktif.com

Pramoedya ist ein Begriff—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang ibu yang amat simpatik, Prof. Irene Hilgers-Hesse, Ketua Jurusan Melayu di Universitas Koeln, ketika mengundang seorang mahasiswa filsafat di Muenchen tahun 1980, yang kebetulan saya sendiri, untuk membicarakan buku Bumi Manusia yang baru saja terbit. Lanjutkan membaca “Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih”

Surat-surat Pramoedya Ananta Toer dan Jendral Soeharto

: Mengenang Wafatnya Pramoedya Ananta Toer 5 tahun

Wandi Barboy Silaban *

30 April 2006 di Karet, 5 tahun lalu tepatnya, kembali Indonesia berduka. Ya, di sana terbujurlah sang pengarang yang namanya beberapa kali dicalonkan meraih kandidat nobel di bidang kesusastraan dunia. Tapi, kandidat tinggallah kandidat. Hingga akhir hayatnya, nobel pun tak kunjung jatuh ke tangannya. Lanjutkan membaca “Surat-surat Pramoedya Ananta Toer dan Jendral Soeharto”

Sebuah Jendela di Senja Hidup Pramoedya Ananta Toer

Farid Gaban, Nurur Rokhmah Bintari, Dewi Rina Cahyani
majalah.tempointeraktif.com

Penampilannya bersahaja—terlalu bersahaja. Namun, ada yang sedikit aneh: dia tak memakai sandal seperti yang selalu dipakainya bertahun-tahun. Tentu saja, selain sebuah mesin ketik yang erat ditentengnya, dalam perjalanannya menuju New York awal April lalu itu. Mesin ketik mengisyaratkan anakronisme, New York adalah paradoks. Dan ada satu pertanyaan menggoda: tidakkah Pramoedya Ananta Toer—seperti tokoh dalam novel fiksi-sains klasik karangan H.G. Wells—merasa terlontar oleh mesin waktu ke dunia yang sama sekali berbeda? Lanjutkan membaca “Sebuah Jendela di Senja Hidup Pramoedya Ananta Toer”