Nobel Sastra, antara Pram dan Doris

Alimuddin
blog.harian-aceh.com

PENYERAHAN nobe sastra selalu memunculkan perdebatan setelahnya. Pro kontra bermunculan. Siapa yang lebih berhak dan apa alasannya menjadi tema ulasan?

Beberapa tahun belakangan, menjelang pemberian hadiah Nobel Sastra, nama Pramoedya Ananta Toer santer dibicarakan. Pramoedya menjadi satu-satunya sastrawan dar Indonesia yang menjadi nominasi beberapa kali untuk memdapatkan hadiah sastra paling prestisius itu. Akan tetapi, meski sering diunggulkan untuk mendapatkan nobel sastra, Pramoedya tidak pernah mendapatkan nobel itu sampai menghembuskan nafas terakhir di tahun 2006.

Pramoedya bukan satu nama yang seolah ’dicurangi’ oleh sebuah nobel sastra. Ada nama lain, yaitu Doris Lessing. Meski akhirnya mendapatkan nobel itu pada tahun 2007, tapi perempuan kelahiran Persia itu menunggu panjang untuk sebuah nobel sastra. Padahal oleh para pengamat sastra, karya-karyanya dianggap berpengaruh luas terhadap para penulis dari generasi setelahnya, seperti Toni Morrison (pemenang Nobel Sastra 1994 dari Amerika Serikat), Margaret Atwood (pemenang Booker Prize 2000 asal Kanada), dan Joyce Carol Oates (pengarang terkemuka AS).

Debut Doris sebagai novelis dimulai lewat The Grass is Singing (1950). Sebuah novel yang berbicara tentang hubungan antara istri petani kulit putih dan budak kulit hitamnya. Sebuah cerita bertema cinta-benci yang lahir di tengah konflik rasial yang tidak terjembatani.

The Golden Notebook (1962) adalah karya fenomenal Doris. Novel ini menggunakan teknik penceritaan yang kompleks tentang jalinan politik dan emosi. Anna Wulf, karakter utama novel ini, punya lima buku catatan untuk menumpahkan pikirannya tentang Afrika, politik, partai komunis, hubungannya dengan pria, dan seks. Doris menggunakan teknik analisis yang dikembangkan oleh psikolog Carl Gustav Jung untuk mengeksplorasi dunia mimpi, seni, mitologi, agama, dan filsafat. Bagi Doris, tidak ada perspektif tunggal untuk menangkap keseluruhan pengalaman hidup sang tokoh utama.

Buku-buku Doris telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Pengabdiannya yang panjang dalam dunia sastra membuahkan puluhan karya dari beragam genre, termasuk puisi, lakon drama, kisah misteri, sains-fiksi, dan cerita anak. Berbagai penghargaan resmi pun telah didapat Doris, termasuk Somerset Maugham Award (1954), Shakespeare Prize (1982), hadiah sastra dari pemerintah Austria (1982), dan WH Smith Award (1985). Hanya penghargaan dari Akemedia Swedia (Nobel Sastra) saja yang sepertinya terlalu susah untuk didapatkan oleh seorang

Dalam sebuah wawancara dengan Harvey Blume yang dimuat harian The Boston Globe Agustus 2007 silam, tak lama setelah penerbitan novel terakhirnya, The Cleft, Doris ditanya mengapa hingga saat itu dia tak kunjung mendapat Hadiah Nobel.

Doris menjawab, “Ada satu cerita… Suatu kali dalam sebuah pesta makan malam di Swedia ketika penerbit novel saya dalam edisi bahasa Swedia masih hidup, seorang lelaki mungil berambut kelabu yang merupakan anggota Akademi Swedia duduk di samping saya dan berkata, ‘Anda tak akan pernah mendapat Hadiah Nobel karena kami tak menyukai Anda.’ Saya terkejut dan tak menyahut. Saya bahkan tidak tahu mengapa mereka tak menyukai saya…”

Tapi begitulah, penghargaan sastra dan penghargaan lain-lainnya memang selalu mengundang dilema dan kontroversial. Padahal seyogyanya, penghargaan budaya–sastra adalah pengakuan atas kerja para tokoh atau lembaga budaya. Dan memang sudah sepantasnyalah penghargaan diberikan kepada siapa dan pihak mana pun yang sudah terbukti memberikan kontribusi bagi perkembangan budaya. Oleh karena itu, pemerintah atau pihak-pihak terkait hendaknya tidak melakukan blunder dalam melakukan pemilihan. Mereka harus melakukannya secara objektif, lepas dari unsur politis, dan merangkul semua pihak.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/12/nobel-sastra-antara-pram-dan-doris/

Tinggalkan Balasan