Bagian 3: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan kedua dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Kata ‘upaya’ dan ‘percobaan’ pada pembuka esainya, menampakkan kesan memandang SCB sangat perlu dibuktikan atas perjuangannya. Lagi-lagi orang cerdas lihai dalam mengola tulisannya, sehingga bentukan kabur itu bisa sampai di mana pun letak titik yang dimaui masa-masa pemberhentiannya. Pembelejetan ini ingin tahu sejauh apa bersungguh mendukung Sutardji atau sebuah peringatan, ataukah penghinaan. Maka saya menelanjanginya dari berbagai sudut demi melihat kilauan pancarannya.

Upaya IK menyelimuti kata-kata ‘saya bebaskan’ dalam kredonya SCB, dengan penggantian lewat kata ‘menerobos,’ begitu kentara pada keseluruahan esainya. IK sadar jika memakai kata ‘bebas’ akan masuk jurang terdalam kejahiliaan, dan ia tidak ingin hal itu menimpanya. Tentu dengan keahlian merakit kata menggumuli bahasa, menarik nafas-napas pantulannya berposisi seimbang mencari selamat lewat kata ganti. Karena melalui kata ‘menerobos,’ tidak menghianati asas pengetahuan, ia membayangkan kata ‘terobos’ ibarat cahaya. Kalau tidak keliru, Ibnu Khaldun pernah berujar; “fokus adalah pembakaran yang terbaik.

Dengan kata ‘terobos,’ berpenuh harap menyorongkan perahu SCB untuk dikaji dengan alat-alat yang kelak mampu menjadi rakitan mendidik. Tapi sayang, penekanan (pengulangan) kata ‘menerobos’ hingga empat kali, itu mubazir. Saya paham, mungkin pengulangan awal berkehendak mencipta daya kejut, agar pembaca mendapati pesona melebih sihir. Kedua, pembaca sampai ke tahap kesadarannya, pengulangan ketiga berharap mengekalkan perubahan konsep SCB, sedari ‘bebas’ menjelma ‘terobos.’ Dan keempat guna dianggap wajar atau pembaca memaklumi yang diingini SCB maupun IK.

Pergeseran itu sayangnya tidak memperoleh sangkalan balik secara tegas nan berani oleh Sutardji, mungkin dalam hati SCB, “Ah, itukan tafsiran IK, sedangkan aku tidak, aku bebaskan semuanya.” Atau dalam benak Sutardji berkata, “Nah, itulah terjemahan kredoku yang tepat.” Tapi nyata kedua gambaran ini hanya menjelma awan-gemawan yang tak menurunkan hujan, tidak menyirami makna seanak sungai-sungai manfaat, tetapi hanya kenekatan yang diamini banyak orang.

Persinggungan kata ‘terobos dan bebas,’ jika diurai dapat dikategorikan sebentuk teguran, peringatan juga sampai hinaan, karena SCB tidak merevisi kredonya yang konyol itu. Dari sini, tataran konsep kehendak bertindak mengekalkan diri menjadi penyair, seharusnya selalu berdialog atas badan-badan lain, wawasan berbeda demi dewasanya temuan. Sebab seorang penyair bukanlah insan yang luput dari kehilafan, yang bisa terjerumus ke dalam watak pembodohan diri pun menimpai pengikutnya.

Perubahan pandang SCB sampai IK, sebenarnya salah satu tahap demi karya penyair berbunyi, berfungsi tidak hanya berdengungan mengigau di panggung hiburan dengan ornamen ugal-ugalan. Tapi guna dilain masa dapat dikaji secara terang, lewat rumusan. Di sini tantangan penyair demi menerapkan rumusan dengan karyanya supaya bisa berdialog, yang tidak kabur melenyapkan dirinya terlepas dari tanggung jawab sebagaimana imbasnya.

Bagaimana SCB menyunggi beban kredonya, hakikat mantra saja tidak paham atau mengerti tetapi diselewengkan? Tentu memiliki banyak tantangan, jegalan, ini wajar dan bukan otomatis orang besar banyak sandungan, tetapi memang konyol, jika dibebaskan kata dari makna atas mantra. Serta teguran, sanggahan sedari orang-orang sebelumnya, dianggap tidak paham yang diperjuangkannya, dikiranya angin lewat saja. Lalu berlenggang kangkung bahwa rupa-rupa itu diibaratkan cobaan, ujian di dalam “peribadannya bersyair” yang tentu di hadapanya seolah nirwana menanti.

Secara sepintas pula dalam, bangunan paragraf awal IK lumrah, wajar, tidak menyorongkan kebaharuan, tidak terkesan akan atau sudah menampilnya generasi baru, corak anyar. Marilah perhatikan lontarannya:

“Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata.” Saya pikir para penyair menerobos makna-makna kata dan bukan membebaskannya, seperti kembang kerap diandaikan wanita, kucing diibaratkan rasa malu dll. Kedua “menerobos jenis kata,” tidakkah dalam peleburan puisi, kerap terjadi penerobosan jenis kata? Kata umum menjadi tidak umum atau sebaliknya, juga kata benda, sifat dan semacamnya, diperam menjelma suatu melodi yang mencipta bentukan khas sedari puisi yang mengikuti watak sang penyairnya, jadi tidak ada sesuatu kebaharuan bukan?

Ketiga “menerobos bentuk kata” itu sangat lazim, tengok betapa para penyair menimang (menimbang) imbuhan, sampiran, pun bentukan kata-kata lain sedari bahasa daerah, konstruksi tipografi sebangsanya. Keempat, “menerobos tata bahasa” juga hal biasa para penyair merombak awalan ditaruh di tengah, di akhir atau pun semuanya dan semaunya, yang tentu beresiko berhasil-tidaknya tergantung olahan bahan-bahan yang termiliki nan tetap tidak terlepas, alias tidak ngawur seasap pembebasan yang keblinger.

Ungkapan senada dapat dikategorikan IK radak enggan atau jangan-jangan malas, maka dicarilah kata yang samar warnanya demi jiwa SCB tentram seaura menghibur. Keengganan tampak menyelewengkan muatan “kredo puisi” dari kata ‘bebas ke terobos.’ Atau ini memang menantang tegas! Membetulkan dan menempatkan sesuai takaran yang semestinya.

Dari banyaknya para esais yang mengupas SCB, sebenarnya sudah membeludak yang menegurnya dengan kelembutan, terang-terangan pun sindiran dengan pelbagai rupa. Namun masih tetap keyakinan Sutardji bulat-bulat meluruskan kredonya, yang saya pandang tidak berpijak di dalam nafas kodratinya.

Setelah kata ‘menerobos’ diulang-ulang sampai empat kali, yang telah terurai maksud serta isi kesederhanaannya. IK menekankan dengan kalimat, “dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran.” Ingat, kata ‘percobaan’ itu belum berhasil, masih berusaha, sejenis karya percobaan, latihan bunuh diri, meleburnya kebodohan menguliti kebuntuan yang masih wajib disempurnakan, diperjuangkan dan dipelajari ulang. Atau di hadapan IK, karya SCB belum sampai kepada yang diharapkan kredonya, tetapi karena Ignas Kleden cerdas, diselimutilah kedalaman hatinya dengan polesan kata-kata yang menggiur nadanya, serupa disaat Sutardji membius penonton lewat larikan suaranya. Namun penyair juga esais SCB, tidak curiga olah vokal untaian makna sang kritikus IK, ini aneh!

Membaca lewat nilai-nilai di bawah standar atau IK hanyut terpukau, seminimal membentuk dua cabang; pertama enggan memakai kata ‘bebas,’ lalu asal comot mengganti, guna terkesan tidak menyerupai, tidak terlalu tampak (menyembunyikan rasa) kagumnya. Kedua, sekecilnya pengulangan kata ‘menerobos’ dimaksudkan untuk benar-benar mengunggulkan Sutardji, berlandaskan keterpesonaannya, dengan kata-kata tegak di sisi lain, “inilah suatu terobosan” sambil memandang para hadirin dengan seyakin-yakinnya akan percaya. Tetapi saya kira, tidak selugu itu IK dalam dirinya atau benarkah yang lihai mengolah kata, kerap kali melenai hal-hal sepeleh, sesuatu yang kelak berimbas kepada pembaca. Seirama langkah ringan ‘iman’ yang merasai semua mengikuti jalurnya, dan saya melewatinya dengan cara ini.

Kerap para penulis membesarkan penulis lainnya, dengan maksud minta kembalian atau percaya hukum bandul (pantul) kebijakan, akan sampai juga kepada dirinya dianggap besar. Tengoklah larikan berikut, “melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran.” Kesan yang ditampilkan setampan lempengan besi, kekacauan SCB memiliki nama yang indah, yakni ‘dekonstruksi.’ Padahal longsongan yang ada, susulan sedari kata-kata ‘menerobos,’ tiadalah bentukan yang merombak tatanan perpuisian sebelumnya. Semuanya wajar, seperti yang terudar di muka.

Selanjutnya IK menulis, “dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.” Juga umum setiap puisi itu ‘memberi kemungkinan,’ karena peluang tersebut hadir dari kejelian penyair manakala berkarya atau sebelum dilemparkan kepada khalayak. Ini efek kepastian sedari peraman masa-masa yang dikandung pengalamannya dalam menggumuli jiwanya nan membara di sekitar lingkungannya.

Ungkapan “konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi,” pun para penyair itu berusaha mencapai, tidak hanya Sutardji. Lalu digunakannya kata ‘kemungkinan,’ agar suatu masa bisa mengelak, jikalau dikenai pertanggungjawaban. Maka sejatinya IK tidak mendukung gagasan SCB, seolah menutupi separuh mukanya dikala berjalan di tengah keramaian. Namun dengan lantang hatinya berujar, “bacalah tulisanku yang lain mengenai dekonstruksi atau lebih jauh,” silahkan.

18 Juni 2011 / 25 Malam 26 Juni 2015 / 29 Oktober 2015.

Tinggalkan Balasan