Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih

Ignas Kleden
majalah.tempointeraktif.com

Pramoedya ist ein Begriff—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang ibu yang amat simpatik, Prof. Irene Hilgers-Hesse, Ketua Jurusan Melayu di Universitas Koeln, ketika mengundang seorang mahasiswa filsafat di Muenchen tahun 1980, yang kebetulan saya sendiri, untuk membicarakan buku Bumi Manusia yang baru saja terbit. Lanjutkan membaca “Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih”

Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin


Nurel Javissyarqi *

Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya ‘Paus Sastra Indonesia’ yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi,” Grafiti 1995, tentunya lagi berseberangan. Lanjutkan membaca “Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin”

Bagian 25: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan ke empat dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Taufiq Ismail: “Enak jadi penyair daripada yang lain.”

A Mustofa Bisri: “Enaknya gimana?”

Taufiq Ismail: “Kalau orang baca syair sampean keliru, misalnya. Yang disalahkan ndak sampean, yang disalahkan dirinya sendiri.”

A Mustofa Bisri: “Wah saya ndak paham ini, terlalu tinggi.”

(Ceramah Gus Mus pada acara Haflah Seni dan Budaya dalam Peringatan Tahun Baru Islam 1428 H di Pekalongan). Lanjutkan membaca “Bagian 25: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 24 (VII): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013

(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang “Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” (I-VII)

VII
Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928 bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antar bangsa yang abadi. “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta 28 Oktober 1963. (Rudi Hartono, “Sejarah Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda,” berdikarionline.com 20 Mei 2011). Lanjutkan membaca “Bagian 24 (VII): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”