Bagian 19: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan kelima dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Dunia pelajaran, ilmu pengetahuan, tidak mengenal perbedaan golongan-golongan tinggi-rendah, atau kaya-miskin. (Confucius).

I
Bismillahi-rahmani-rahim…

Bagian ini dan seterusnya, mulai mengalami pergeseran besar-besaran dari bebagian lalu. Meski tetap mendedah paragraf IK, namun porsinya menjadi sampiran. Ini tidak lebih karena kekecewaan saya oleh kesalahkaprahan akbar di beberapa tempat pandangan SCB, yang tampak terlampau dholim pada ajaran agama pun terhadap dalil akli ilmu pengetahuan, sehingga tidak menghasilkan keilmuan kecuali ditopang asap para spekulan. Sampirannya setitik tekan semata dan lebih lapang menyoroti hikmah para pendahulu Timur-Barat yang kerap berlainan pendekatan, maka saya di sini berikhtiar menyeiramakan perolehannya. Lanjutkan membaca “Bagian 19: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 18: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan keempat dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Sesuatu yang esensial itulah yang mengubah suatu potensialitas menjadi aktualitas, baik dengan maupun tanpa perantaraan. (Ibnu Sina)

I
Selalu saja saat mengawali tulisan, diri ini merasakan bergetar dan untuk mengurangi debarannya dengan kata-kata pengantar. Pada awalan kini bercerita tentang pertemuan saya dengan tiga orang gila (balutan fisiknya begitu); mereka merasuki jantung. Orang gila yang pertama sama yang sudah terceritakan di bagian VII, kali itu ia menuju ke arah barat seperti perjalanan saya, demikian juga yang kedua, hanya jarak antara yang pertama dan kedua, satu kilometeran. Yang ke tiga di kota Bojonegoro sewaktu tengah malam, dia meringkuk berlimutkan sampah plastik sebagai penghalau hawa dingin oleh rintikan hujan gerimis. Lanjutkan membaca “Bagian 18: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 17: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan ketiga dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
“A masterpiece always moves, by definition, in the manner of a ghost” (Jaques Derrida, Spectres of Marx).

Sudah lumayan lama tidak melanjutkan tulisan, terhitung setengah bulan lebih. Kini menginjak angka 17, nomor yang saya sukai, bilangannya sama dengan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia, tujuh belas bulan Agustus 1945. Setelah membenamkan diri beberapa masa sambil membaca ulang dan membenahi catatan lama, Alhamdulillah cara belajar semacam ini mengalami peningkatan. Melodinya sedari pertama terlihat kemajuan, seperti deburan gelombang mendedah kesaksian, ke puncak-puncak tertakar pula lebih sadari kelemahan juga beberapa temuan yang mengecewakan. Lanjutkan membaca “Bagian 17: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 16: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan kedua dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Gugatan untuk Anugerah Sastra Mastera (Majelis Sastera Asia Tenggara) 2006, dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000, yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun,” (yang dirombak oleh Sutardji ke dalam bahasa Indonesia dengan membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!, serta Jadi maka jadilah!”). Lanjutkan membaca “Bagian 16: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”