Bagian 23: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan kedua dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Wallahualam bissawab, setelah diperjalankan dari Lamongan ke Jombang, Kediri lalu berhenti di dataran bumi Reog Ponorogo, saya lanjutkan kini. Kenapa disebut ‘diperjalankan?’ Lantaran kaki ini kehendaknya damai di tanah kelahiran, namun air hayati menghempaskannya. Selepas 5 April 2012, saya seakan diringkus takdir besar atau bintang yang menaungi sudah berubah letak edarnya, dan mungkin ini arah ‘terapi’ tersingkapnya Kun Fayakun. Pada periode sebelumnya, perangainya bisa dilihat di bagian XX hingga sekarang. Lanjutkan membaca “Bagian 23: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 22: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan pertama dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Siapa saja bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi marah kepada orang yang tepat, dengan derajat kemarahan yang tepat, pada saat yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat, ini tidak mudah.  (Aristoteles, 384-322 SM). Lanjutkan membaca “Bagian 22: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 21: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan ketujuh dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
“Increscunt animi, virescit volnere virtus.”  (Nietzsche)

Sebagai prolog, mari mendengar lagu Holiday oleh kelompok musik Scorpions, sambil mengendus kalimat Nietzsche di atas. Saya menerbangkan ini atau tidak berkecamuk dalam kepekatan saja, namun telah tunjukkan luka-luka dari bagian I-XX, yang akan menjadi borok semua pelaku susastra Indonesia, dan saya cukup menikmati saat-saat belajar. Lanjutkan membaca “Bagian 21: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 20: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan keenam dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Untuk mencapai nol kembali, harus mendengar lalu melaksanakan kejahatan.”

Beberapa hari di Watucongol, Muntilan, Magelang. Demi ke pucuk Gunung Pring tanpa dibebani wewaktu kesibukan, namun pelan seirama langgam kelanggengan sepautan kata-kata Nietzsche, bahwa kasih semacam kejahatan yang sempurna. Saya terjerumus ke dalam pusaran pesantren kembali, lantaran mendengar adanya seorang setiap pagi memberi makan tetangganya yang jompo, sejenis kejahatan kecil saya yang kadang membagikan buku-buku secara cuma-cuma; memanjakan sekaligus meremehkan diri sendiri. Menganggap pribadi ringan sebongkahan daging yang diberi napas, tidak lebih agung dari hujan lebat yang membanjiri kota-kota besar dalam membersihkan polusi udara? Lanjutkan membaca “Bagian 20: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”