Bagian 22: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan pertama dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Siapa saja bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi marah kepada orang yang tepat, dengan derajat kemarahan yang tepat, pada saat yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat, ini tidak mudah.  (Aristoteles, 384-322 SM).
***

Mengawali ini tulisan di bencah tanah Ponorogo, merupakan dataran intermountain antara Gunung Wilis dan Lawu, daerah ‘basin’ istilah Jawa-nya. Namun saya menamainya cawan pegunungan, lantaran wilayahnya selalu dihembuskan angin melingkar, memusari pelukan gunung-gemunung itu. Keduanya merupakan gunung api yang sudah tidak aktif atau enggan menampakkan gairah yang menjadikan subur ladang perkebunan serta lembah pesawahannya.

Kebetulan kini bulan Ramadhan, lantas teringat bulan suci di tahun-tahun lalu hampir selalu di luar kota kelahiran saya, walau pun sejenak. Yang membekas pada tahun 2002 oleh kala itu di Tegalsari, Jetis, Ponorogo, waktu membenahi karangan Kitab Para Malaikat yang terbit tahun 2007. Sekarang menginjak 2012, berarti dalam lingkaran sepuluh tahun saya dihempaskan oleh takdir ke bumi Reog kembali, letak R.Ng. Ronggowarsito nyantri sebelum menjadi pujangga terkenal, yang beberapa suara menyebutnya sebagai ‘pujangga penutup,’ dan saat perevisian akhir ini saya sudah balik berdiam diri di kota kelahiran saya Lamongan.
***

Mengingat prosesi penulisan ini (I-XXI) bisa dikata mengalir pun data-data terperoleh laksana dituntun kehendak besar alam, apalagi menengok latar saya autodidak, seperti jauh dari bayang-bayang perkiraan awal. Maka hanya rasa syukur kehadirat-Nya terhaturkan memaksimalkan penelurusan di atas persoalan menimpa. Mungkin yang terikhtiarkan tiada urusannya dengan dunia sastra atau sejarah kesusastraan Indonesia, tapi sekadar meluruskan teryakini pada lahan yang secara kebutulan terlewati (terbaca).

Sebelum mengurai paragraf IK ke lima dan enam sekaligus karena pantas disandingkan. Sedapat ini semoga tidak hanya berkutat pada belahan abstraksi kata, pranata bahasa menyoal keilmuan, pula ke ujung keyakinan yang patut diperjuangkan sedari hasil analisa atas penelitian berlarut menelan hidupi malam-siang demi menerima kebenaran lapang meski itu menyakitkan.
***

Tersapalah nasehat Imam Al-Ghazali, “Wahai anak! Nasihat itu mudah, yang sukar ialah menerimanya. Sebab nasihat dan peringatan itu dalam perasaan orang yang selalu mengikuti hawa nafsu sangat pahit rasanya. Karena perbuatan yang terlarang itu sangat dicintainya. Apalagi bagi orang-orang mencari ilmu hanya sebagai pengalaman saja, dan ia selalu sibuk menuruti hawa nafsu di samping mencari kedudukan duniawi, maka ia akan menduga bahwa ilmu yang ia jadikan pengalaman akan menjadi sarana untuk keselamatan dirinya. Ia mengira bahwa ilmu yang ia miliki itu telah cukup tanpa diamalkan. Demikian inilah keyakinan kaum filsafat. Orang yang bodoh tidak pernah mencoba suatu amal perbuatan semacam itu tak mengerti, bahwa ilmunya kelak akan menjadi lawan yang akan mendebat dengan sekuatnya.” (“Mencari Etika Sufi,” penerjemah Ahmad Chaumaidi Umar, terbitan CV. Ramadhani Solo, Cetakan II 1989. Penerjemah ini menuturkan juga silsilah para gurunya di atas, mula kitab tersebut hingga kepada Al-Ghazali, sejarak 18 urutan).

Lantas marilah baca, “Perumpamaan Islam ialah sebiji kelapa dengan sabutnya, tempurungnya, dagingnya, dan minyaknya: syari’at sabutnya, thariqah tempurungnya, haqiqah dagingnya, ma’rifat itu minyaknya. Dengan empat hal ini manusia, menurut hukum, sudah sempurna. Jika salah satu dari hal ini hilang, ia tidak lagi sempurna. Jika kelapa tumbuh tanpa sabutnya, tentu ia tidak akan tumbuh, dan bahkan ia akan hancur. Demikian Tuhan menuntut manusia untuk menjadi sempurna, tidak memisahkan satu sama lain antara syari’at, thariqah, haqiqat, dan ma’rifat, Jika seseorang meninggalkan syari’at, menurut hukum ia akan tersesat.” (Hamzah Fansuri, t.t., dikutip dalam Soebardi 1975: 45).

Demikian juga jumputan Mark R. Woodward dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Misticism,” diterjemahkan Hairus Salim Hs., terbitan LKis Yogyakarta, Cetakan III, Maret 2006. Woodward berkata, tepatnya di bagian Lima; “Agama Kraton dan Agama Kampung: Interpretasi Sosial Sufisme” sebagaimana berikut… “Hamzah Fansuri menggunakan metafora kelapa untuk melukiskan saling keterkaitan (interdependence) empat tingkat dari jalan mistik Sufi. Meskipun ia mengajarkan mengenai identitas jiwa manusia dan wahdah al-wujud, melainkan Hamzah tetap menekankan pentingnya hukum sebagai bagian integral jalan mistik. Penggunaan kelapa sebagai metafora kemungkinan dimaksudkan sebagai sarana yang heuristik untuk menjelaskan pentingnya syari’at bagi kalangan Sufi.”
***

Abdul Hadi W.M. (penulis buku “Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri,” terbitan Paramadina 2001), …dalam buku “Raja Mantra Presiden Penyair,” diterbitkan oleh Yayasan Panggung Melayu, Juli 2007 menulis esai yang berjudul “Perlawanan Estetik dan Metafisik Sutardji Calzoum Bachri,” pada paragraf 3 dan 4-nya:

“Lebih jauh lagi jika kita masuk semakin ke dalam, kita akan semakin sadar bahwa untuk mengorek pesan keruhanian dan moral dari sajak-sajak itu, bukan persoalan gampang. Sajak Sutardji menuntut perenungan yang dalam dan persediaan imaginasi yang kaya. Dunia dari sajak-sajaknya itu begitu kompleks, tidak bisa dirumuskan secara sederhana. Kadang yang hadir kepada kita setelah membacanya ialah sebuah lukisan dengan sosok dan imaji yang ganjil, serta memberikan suasana trance seperti apabila kita membaca sajak Arthur Rimbaud. Kadang yang hadir ialah lukisan kesunyian mistikal seperti dijumpai dalam sajak-sajak Rumi dan Hamzah Fansuri. Kadang tampak pada kita sebuah dunia yang angker. Kadang kita jumpai imaji-imaji ekskatik seperti dalam sajak Li Po dan Hafiz.”

“Kadang membaca sajak Sutardji seperti menyaksikan gambar ‘alam misal’ nya Ibn `Arabi dan Suhrawardi al-Maqtul. Sebuah alam yang hening dan kudus, dihuni sosok yang angker namun anggun, tetapi tiba-tiba terkoyak oleh hiruk pikuk suara mahluk-mahluk dengan segala tingkahnya yang aneh. Dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, kita jumpai pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang kerap tidak terduga, tetapi cukup mengganggu. Tidak ada penyair Indonesia lain seperti Sutardji yang begitu total melakukan perlawanan metafisik terhadap kondisi kemanusiaan bentukan peradaban materialistik dan positivistik.”
***

Dalam buku kumpulan esai penopang Sutardji “Raja Mantra Presiden Penyair, 2007” tidak menyinggung perombakan “Kun Fayakun” yang disalahartikan bermakna; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” Walau kejadiannya sudah lewati 1 tahun (Majelis Sastra Asia Tenggara: Mastera 2006) kalau sekarang 6 tahun. Dan 7 tahun (Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000), kalau kini 12 tahun. Di sini hanya berusaha melihat sejauh mana SCB dibilang bertaut dengan ulama’ besar Hamzah Fansuri? Yang mana Abdul Hadi W.M. pada esai yang sama saya kutip menyebut, “Tidak perlu saya beberkan panjang lebar dalam kaitannya dengan sajak-sajak Sutardji. Yang jelas sajak-sajaknya, seperti “Nuh,” “Silahkan Judul,” “Hujan,” “Gajah dan Semut,” “Para Peminum,” Walau, dan lain-lain merupakan sajak-sajak yang memiliki kecenderungan sufistik yang kuat.” Anehnya, tidak menunjukkan salah satu kekaryaan Hamzah Fansuri? Di sini, saya tulis sebuah sajak Sutardji yang dikira ‘memiliki kecenderungan sufistik yang kuat.’

GAJAH DAN SEMUT

tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut

tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh

perjalanan
kalbu

1976-1979
***

Lantas saya kutip separagraf dari esainya Aguk Irawan MN “Menimbang Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dari buku Nurel: Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan” : “Menurut Qutaibah, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena sastra Jahiliyah tersebut nyaris tak menyimpan makna yang bisa membangun peradaban, lihatlah bagaimana bentuk mantra yang menyerupai puisi yang sudah dihasilkan oleh Musailama seperti dalam Ma Huwal Fil atau dengan Ayat-Ayat Kataknya? Begitu juga apa yang telah dihasilkan oleh Imri’ al-Qois, dengan Ayyuha Attahali Al-Bali-nya? Atau karya dari penyair ulung Jahili lainnya, seperti Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Lalu Bandingkan dengan karya-karya penyair yang sudah mendapatkan “pencerahan” dari Nabi, seperti Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair. Labid bin Rabi’ah dan tentu Ibnu Rawahah.”
***

II
Sekarang masuk paragraf IK yang ke 5 dan 6, dan menyapa Dami N. Toda, “Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.”

“Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”

Dami di bukunya “Hamba-hamba Kebudayaan” bagian 6. “Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia” urutan ke 3. “Wawasan Estetik Perpuisian Mutakhir” halaman 74-75 menulis:“Secara harafiah, kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri dapat diperbandingkan dengan pernyataan Chairil Anwar bahwa “Kata adalah kebenaran atau “tesis” itu sendiri. Namun, realisasi persajakan mereka ternyata lain sekali. Dalam realisasi perpuisian, pernyataan Chairil tiba pada pemahatan kata menjadi monumental, tiba pada kepercayaan kata sebagai besi beton untuk puisi. Bahasa Nampak rasional, memperoleh kedudukan yang penting dalam kepentingan puitik. Sebaliknya, dalam realisasi perpuisian Sutadji, kata Nampak macam mythos yang antara berwujud dan tidak. Kedudukan kata, bagi dua memang sudah jelas, tetapi kenyataan yang ditemukan bahwa banyak kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam. Sudah lazim, seorang penyair sulit mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya yang terbatas secara ruang dan waktu. Masuklah ke dalam rumah asrama orang bisu, maka disana akan dijumpai komunikasi dalam “kematian kata-kata.” Nontonlah Marcel Marceau, atau “Piep” Rendra, maka Anda tidak usah mendengar dengan telinga, tetapi cukup “mendengar” dengan mata, dan terjadilah komunikasi estetik yang utuh dan penghayatan.”
***

Pada suatu pagi ketika menyimak “Kitab Dalail Khairat” karangan Imam Sayyid Muhammad ibn Sulaiman Al-Jazuli (Wafat 16 Rabiul Awal 870 H) oleh KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Wafat 8 Juli 2010 M) tatkala Beliau masih sugeng di tahun 2001 di Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang. Beliau bercanda dalam cerita, kalau saat mudanya mengamalkan Surah Al-Kauthar, yakni “Inna Aa’taina Kal Kausar, dipelesetkan menjadi ‘enak gak enak’e wong kesasar atau enak tidak enaknya orang tersesat,” hal ini serasa menyindir.

Lalu jika sajak (puisi) sufi atau kecenderungan karya sastra sufistik lantaran ada jenis bau-bauan kata yang kurang pantas diucap, sekadar mengandalkan huruf kapital Mu, Ku dan sebangsanya, ditambah ornamen meyakinkan atas persoalan kehakikian dst, maka akan menemukan keadaan pangling, heran gampang terperdaya. Dapat disebut cuma pendakian kata-kata, kecerdasan akal menumpuk perasan peristiwa seakan tampak bermakna, padahal belum tentu. Inilah pentingnya kritikus meneliti karya yang tidak hanya berdasarkan kekaryaannya saja, juga laku pengarangnya demi memperoleh kupasan sesungguhnya, yang tidak lepas dari realitas kerja kreatif.

Naudzubillah disaat Sutardji Calzoum Bachri penyeleweng makna “Kun Fayakun” demi menopang gagasannya, lantas ada yang menyandingkan kepada capaian agung ulama’ suci Hamzah Fansuri, lantaran hanya kata-katanya yang ditelusuri, itu pun sangat jauh bertolak. Hanya masyarakat kurang baca sejarah yang terkelabuhi muslihat kajiannya. Jika itu terus diamini oleh kaum intelektual, tidak lebih pembodohan publik, pengerdilan bagi generasi setelahnya.
***

Saya teringat setahun lalu dan beberapa tahun terdahulu, kala bercengkerama bersama penyair Iman Budi Santosa dan almarhum Suryanto Sastroatmodjo yang telah ‘insyaf,’ menurut beliau berdua gerak dari angkatanya telah gagal, apalagi mencermati rusaknya tatanan pemerintahan, karena sastra merupakan salah satu unsur budaya sebagai pembentuk karakter bangsa. Olehnya secara sepintas dapat dinilai sebagai prodak kegagalan meski tidak semua, setidaknya bendelan kritik ini sebuah pintu untuk pembuka pintu lainnya.

Kita kerap mengira kalau para senior banyak memakan asam garam, maka dengan sendirinya melemahlah kecurigaan, jiwa mawas tercuri sedari kedirian, terlanjur terpaku unen-unen yang seyogyanya pantas dibongkar terlebih dulu, baru didudukkan sebanding bobot timbangannya. Ini sering menduga perhelatan lama begitu agung dan pantas disematkan di lembaran sejarah, boleh itu dilakukan dalam keadaan terdesak membikin monumen-monumenan, tepatnya disimpan dalam kurun mitos, jika benar tidak pantas dipangku sebagai lantasan perjuangan. Bagaimana dapat makan asam garam jika tidak naik-turun gunung menyerangi laut sesungguhnya, terbuai pujian memabukankan dari kawan pula ‘lawan?’

Kata-kata di atas terdengar berisik di telinga, membikin panas jari-jemari mata melihatnya. Ya saya memaklumi lantaran ini sekadar pengelanaan tidak berpendidikan tinggi, tetapi jauh di lubuk hati tentu saudara yang cerdas dan luas keilmuan akan memahami, hasrat saya tidak ingin tertipu persandiwaraan atau menginginkan perihal meyakinkan. Atau berharap sastra Indonesia tidak menyuguhkan buah karbitan, memitos pun pemberhalaan, apalagi pada sosok bikinan, nyentrik buatan demi besarnya berita, sambil melupa punjer yang seyogyanya di-sinauhi. Di sisi lain saya pesimis sejarah susastra Indonesia tumbuh berkekuatan ‘kejujurannya,’ karena seringkali suara umum menghakimi, padahal jumlah kesadaran terus tergerus di dalam kurun jaman edan.
***

III
Kini saya urai lebih fokus kutipan-kutipan di atas dari bawah ke mula keutamaan, dengan membuka bukunya Ir. Sri Mulyono “Simbolis dan Mistikisme dalam Wayang” terbitan CV Haji Masagung (penerbit PT Gunung Agung), cetakan III tahun 1989 bagian 5, “Hidayat jati adalah Mistikisme dan Filsafat Nusantara Abad XIX:”

“Apakah Hidayat Jati Itu?

Pada tahun 1940 dalam majalah Jawa, seorang sarjana Barat bernama Brugmans mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada filsafat autochtone (pribumi), tetapi yang ada hanyalah filsafat Barat. Oleh karena itu orang tidak dapat berbicara tentang filsafat autochtone. Pernyataan Brugmans tersebut kecuali negatif juga sangat gegabah. Pendapat Brugmans tersebut segera disanggah oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder di majalah Jawa tahun 1940 itu juga. Antara lain beliau menyatakan sebagai berikut:”

“Memang benar, bahwa ada perbedaan antara sistem-sistem filsafat Barat dengan penyataan-pernyataan tentang pencerminan filsafat yang sering terpotong-potong dan hubungan satu sama lain kurang serasi. Ada perbedaan yang sangat menyolok antara ilmu filsafat Barat dan filsafat Timur ialah, bahwa di Timur orang tak pernah mempelajari ilmu filsafat untuk ilmu itu sendiri, tetapi hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan, dan satu langkah lebih maju lagi merupakan jalan menuju ke arah kebebasan. Dan bagi orang Timur filsafat merupakan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai tujuan terakhir.”

“Di mana pun kita tidak pernah menjumpai kebalikan antara ilmu filsafat dan pengetahuan tentang Tuhan ditumbuhkan. Justru di Timur yang dianut hikmah yang tinggi, yaitu titik puncak daripada filsafah adalah mengenal Tuhan dari yang mutlak dan hubungannya antara manusia dengan-Nya.  Oleh karena itu di Timur ilmu filsafat tidak dijadikan aktivitas otak, seperti sering terjadi di Barat, di mana orang dengan ketakutan menahan semua yang berbau agama di luar pagar.”

Jika ditarik segaris imaterial dari bagian XX-XXI, bertemulah saya dengan Prabu Brawijaya V (Wafat 1478). Ada yang berpendapat beliau muksa di Gunung Lawu bersama Sabdopalon, beserta Dipo Menggolo dan Wongso Menggolo, ada pula berpaham makamnya di Trowulan, Mojokerto. Sedangkan sastrawan Sanoesi Pane dimungkinkan condong ke suara yang meyakini bahwa beliau ialah ‘Damar Wulan.’ Dan di malam hari jum’at wage, jum’at kedua bulan suci Ramadhan, tanggal 15 tahun 1433 Hijriah ini, saya mulai membenamkan diri dalam kabut di bawah sadar ingatan (penciptaan) masa silam.
***

Terciptanya (teks) sejarah lantaran hasrat berkuasa dan saya memaklumi pergeserannya sedari Pararaton, Serat, Jangka, dll demi menggenapi maksud tujuannya. Di bumi Batoro Katong ini saya merapalkan perihal yang sekiranya patut diwedarkan dari pemahaman P.J. Zoetmulder (penulis buku “Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa” terbitan Gramedia 1990, terjemahan Dick Hartoko) mengenai kefilsafatan Jawa lewat pengelanaan ini.

di Timur orang tak pernah mempelajari ilmu filsafat untuk ilmu itu sendiri,” Batin yang mencecapi bencah tanah Jawa, kehadirannya dirawat hati nurani, selangkah demi selangkah menghatur tunduk syukur kepada para pendahulu. Darah kepatuhannya setatap pandita, sikap menghamba menilik harta paling berharga, yakni pekerti yang terbit dari budi mengolah laku atas sikap santun waspada. Itulah pelajaran yang diawali menilik kandungan hayati sedari penghayatan insan, seperjalanan Siddhartha Gautama yang diuraikan sastarawan Jerman, Hermann Hesse (1877-1962), oleh pernah mengembarai dataran bumi Nusantara.
***

Di lapis garis imaterial selanjutnya terjelma materi pemahaman “Kun Fayakun” dari bagian XVI ke XXI. Umpama diseiramakan, bagai masa-masa peralihan dari kerajaan Majapahit ke Demak, sejauh itu gemebyar cahaya berkilau, senjakalanya sang surya bersama Damar Wulan (cahaya, lampu, api atau rembulan): Cahaya hikmah ilmu falsafah hadir berkilat atas sikap mensucikan diri memantabkan titah Ilahi Robbi ketika hijab terbuka, kerahasiaannya tersingkap selama merawat malam membenamkan diri di siang hari dengan memenuhi panggilan manusiawi, bahasa Zoetmulder, “filsafat, hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan.”

Di Gunung Lawu memiliki kawah bersebut Candradimuka, dalam versi pewayangan sebagai letak penggodogan, penggemblengan Gatotkaca, sosok kesatria pembela tiap jengkal wilayah negaranya dari sergapan angin masalah. Saya kemudian terpaku sosok pengutip uraian Prof. Zoetmulder, yaitu Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo, seorang Marsekal Pertama (TNI), penulis buku-buku pewayangan dan strategi peperangan, setidaknya kini jarang ditemukan seorang pejabat pemerintahan yang bergerak dalam dunia kepenulisan filsafat.

Ketinggian Lawu, entah berapa kilo meter dari tempat saya duduk di tanah Ponorogo. Jaraknya seakan melipat prosesi penulisan ini, Dr. Zoetmulder mengatakan, “satu langkah lebih maju lagi merupakan jalan menuju ke arah kebebasan.”  Sebagaimana saya berekspresi mengolah temuan di jalanan, memadukan naik-turunnya hayat, menempa kemungkinan jadi pelajaran, menghardik diri menggenapi waktu bergerak menuangkan gagasan memudahkan temali cencang bersambung atas gugusan masalah untuk cermin kemandirian.

bagi orang Timur filsafat merupakan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai tujuan terakhir.” Mengolah bahan berpadu, menabur benih bagi laluan penalaran. Tengoklah agama-agama tumbuh di ladang subur tanah Timur, dan Barat sedemikian baik menafsir, menerjemah yang terpancar darinya. Sedari olah batin, jiwa kembarai ceruk terdalam, langkah tidak sekadar dinalar juga dirasai deguban jantung terrahasia. Cahaya inspirasi saling bertemu memecahkan keheningan, menemui pusaran tenang sebelum diuntahkan ke alam luar. Hanya, kadang sulit menatapi jejaknya langsung, kecuali membenamkan diri di Kawah Candradimuka renungan. Olehnya tidak perlu sungkan sekiranya patut menciduk air bening lewat saringan pemikiran.

Di pucuk daunan hijau tertentu, Lawu merupakan gunung keramat atas nafas kebatinan tanah Jawa seperti juga laut selatan, letak muksanya para raja Jawa. “Justru di Timur yang dianut hikmah yang tinggi, yaitu titik puncak daripada filsafah adalah mengenal Tuhan dari yang mutlak dan hubungannya antara manusia dengan-Nya.” Maka tumbuhlah banyak versi atas hikayat Raja Pamungkas Majapahit (Prabu Brawijaya V), ini tidak lebih didorong keimanan beserta harapan para penggurat Serat, Jangka maupun Pararaton. Dan “di Timur ilmu filsafat tidak dijadikan aktivitas otak,” maknanya, tergali dari perhelatan batin sukma yang sumambrah menggenapi lelaku keseluruhan jagad alit demi membaca jagad besar (makro kosmos).
***

IV
Kalau pembaca menyimak bagian lalu, Dami N. Toda seperti juga Abdul Hadi W.M. pernah menyebut Hamzah Fansuri dalam satu esai yang menyoal SCB dengan tanpa menguraikannya. Maka mending iramanya dinaikkan lewat mengutip “Kitab Walisongo,” susunan sembilan Wali. Kitabnya diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Van Hien, “De Javansce Gestenwereld” yang bernuansa Hindu Jawa, untuk memperkenalkan ajaran Islam bagi masyarakat kebanyakan yang masih menganut ajaran Hindu saat itu. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Capt. R.P. Suyono, terbitan LKis, Februari 2008.

Uniknya kitab itu menurut “Serat Kadilangu” menyebutkan bahwa proses penyusunan kitab ini dilakukan melalui sebuah pertemuan rahasia. Mereka bertemu di sebuah surau di atas gunung yang terletak dekat Jepara. Akan tetapi, pertemuan itu tidak dilakukan secara fisik. Para wali tetap di rumahnya masing-masing. Dengan cara mati suri, roh para wali tersebut meninggalkan jasadnya dan berkumpul di puncak gunung tadi. Surau tempat mereka bertemu juga merupakan sebuah bangunan spiritual, yang hanya akan ada bila mereka berkumpul. (hlm 2).

Kini saya ambil dua paragraf di halaman 25-nya: Dengan memakai mantra, terutama mantra berupa bunyi-bunyian, disertai kemauan yang keras maka keinginan seseorang dapat terpenuhi. Mantra bunyi-bunyian yang berupa tembang merupakan bayangan yang akan segera dipengaruhi oleh roh halus atau unsur-unsur yang akan mengikuti ucapan pengucap mantra.”

“Kekuatan pikiran sering juga disertai dengan penggunaan jimat yang telah dibuat untuk tujuan tertentu oleh dukun, dipercaya juga dapat menjadi alat mencapai tujuan. Doa dan sembahyang akan menguatkan pikiran sehingga tujuan akan tercapai. Oleh karena itu, di Jawa berkembang doa kematian. Orang umum mengetahui dampak buruk kekuatan pikiran yang diarahkan pada kematian.”
***

Perbedaan mencolok antara saya dengan para peneliti yang kurang memahami hakikat mantra demi memenangkan SCB; mereka menyundulkan pekerti, kalau mantra tidak harus bermakna. Sedangkan saya bersama para menelisik yang lawas, memahami hakikatnya sebuah mantra mengandung makna, sekalipun jimat berupa potongan kata atau huruf-huruf samar, tetaplah bersimpan maksud tujuan saat menelusuri jejak-jejaknya. Kenapa mereka berpendapat begitu? Jawaban Dami, “…kenyataan yang ditemukan bahwa banyak kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam. Sudah lazim, seorang penyair sulit mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya yang terbatas secara ruang dan waktu.”
***

Ingat bagian XIV “Babad Nuca Nepa (Flores)” yang mengenai teori evolusi Darwin, adanya mata rantai yang hilang? Selempar batu sembunyi tangan! Parahnya yang terkena lemparan tidak tahu permasalahan, manggut-manut. Beberapa baris ke depan saya buat guyonan tetapi tenanan; mungkin salah satu cara agar dianggap penyair sufi, karyanya dikira sastra sufistik, bikin saja sesuatu yang nyentrik, tak usah memikirkan dapat dicerna pembaca atau tidaknya, kelak para kritikus sealiran mengulasnya, asal gaya hidupnya juga eksentrik, bercindik di telinga dan di hidung juga boleh, bikin tato agak filosofis semisal gambar naga, dst. Jangan lupa main-mainkan Alif lam meem, soal dosa saya tidak ikut tanggung.
***

Dalam bedah buku awal (sebelum buku ini) yang membahas Aguk Irawan MN, bersama bedah novelnya Jusuf An oleh Hamdy Salad, dan bedah kumpulan puisinya Syaifuddin Gani atas TS Pinang, di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka,” Jl. Bintaran Tengah 16 Yogyakarta. Dihadiri Indrian Koto, Joni Ariadinata, Marhalim Zaini, Raudal Tanjung Banua, Mashuri, Akhiriyati Sundari &ll, saya mengawali kata pembuka dengan suara lantang; “Saya mantan dukun!” Atau anggap nafasan tulisan ini sewarna juga pertaubatan yang berharap khusnul khatimah. Joni yang kepengarangan awalnya menggeluti dunia cerpen, selepas bedah buku berkomentar; “Tardji kini tidak perlu cindikan lagi untuk bikin sensasi, sebab Nurel telah mengangkatnya kembali.”
***

Menuju agak serius, bagaimana puisi-puisi SCB yang menyerupakan “lukisan kesunyian mistikal seperti dijumpai dalam sajak-sajak Rumi dan Hamzah Fansuri?” Ruminten kali, atau Hamza Ya’ (urutan akhir abjad Arab, huruf hijaiah), Inilah Missing Link! Syeikh Hamzah Fansuri bagi saya sesosok ulama’ suci yang hanya ulama’ tertentu pantas disandingkan dengan Beliau, yang keberadaannya pun tidak bisa disamai dalam porsi apapun pada penyadur jalang Chairil Anwar. Saya lebih suka Abdul Hadi W.M. tidak jauh daripada tulisannya berikut ini, “Tokoh-tokoh seperti Syaikh Hamzah Fansuri, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili dan lain-lain di Sumatera, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunungjati dan wali-wali lain di Pulau Jawa, sangat giat berdakwa bukan saja di bidang keagamaan, politik dan pendidikan, tetapi juga di bidang kebudayaan dan penulisan kreatif.”
***

Ada kemungkinan kenapa kritikus D&A (Dami N. Toda dan Abdul Hadi W.M.) melangkah missing link? Dami pengajar studi-studi Indonesia dan Pasifik Universitas Hamburg, merasa perlu menawarkan kredo puisi Sutardji yang sekilas berontak pada bentuk baku ‘mata kuliah’ sebelumnya. Atau dengan ini penelitiannya yang memiliki semangat perlawanan, merasakan terwakili saat menyodokkan paham tersebut ke muka umum, namun kampus Hamburg tidak mempan ‘dongengannya.’ Sedangkan Hadi dimungkinkan teringat disertasinya yang mengenai Hamzah Fansuri disaat-saat menulis esai untuk SCB, ditopang Dami sudah ke sana, pun berasa sejalan angkatan keinginannya untuk membumikan susastra. Keduanya sama lewat tangan ajaib menanggalkan makna yang terkandung dalam tiap-tiap mantra di bumi Nusantara?

Dami benar tapi kurang pener “…kenyataan yang ditemukan bahwa banyak kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam.” Tepatnya dunia kata-kata, lantaran pengertian ‘bahasa’ sangat luas; nada musik, wewarna coretan lukisan dan seterusnya juga bahasa, alat sang seniman menyampaikan perasaan terdalamnya. Dan kata-kata, salah satu peralatan wajib yang dipergunakan secara lihai oleh penyair atau pujangga, sebab darinya dapat ditimbang sejauh mana pengguratnya mampu atau sebaliknya gagap mengolah tanah liat perkataan rasa yang dijelmakan dalam syair. Bukan kebuntuan peristiwa yang suatu waktu ditangkap lalu dijadikan pelepasan untuk beralibi dan diperkuat dengan kredo, ini betapa tampak ketumpulan jiwa puitiknya yang tidak sanggup mengangkat dari sumber mata air terrahasia atas inspirasi yang diberikan semesta alam-Nya.

Keterbatasan kata-kata sebagai alat penyampai tidak harus menghardiknya menjadi potongan tidak berarti, penggalan seenak udelnya, apalagi mencoba berakrobat mencipta kata-kata dari kolong langit yang tidak ada dalam tradisi bumi manusia, berupaya memaknai lain lantaran arti yang diberikan khalayak dianggapnya telah tercederai hukum sosial? Takkah seperti itu tingkah Jailangkung, ‘datang tak dijemput pulang tak diantar,’ meski di batas tertentu bersilsilah alam lain yang mengikat kenyataan. Tapi tidakkah itu bahasa / puisi yang dihasilkannya, terperosok dalam bentuk main-main, pembendaan yang jauh dari gerak lajunya peradaban?

Tumbuhnya kata bersama maknanya, merupakan hasil dari kandungan sejarah yang mendasari letak kata tersebut hadir, keberadaannya menuju ke fitroh bagi yang merasakan kedatangannya. Umpaman maknanya bergeser mengalami perluasan, penyempitan, tetap berada dalam kurungan jenjang realitas kerja sosial, sejenis tangga kesadaran tertentu pada makna kata tersebut. Di sinilah jiwa penyair mempertaruhkan segenap pancangan kediriannya dalam menyikapi kata di atas bau-bauannya berbeda meski pada satu kata; hidung identifikasi, mata jernih, pendengaran bening menentukan cara meletakkan kata sesuai aroma yang dikehendaki dalam sebuah karya, sehingga menjadi ciri khas atas takdir karyanya.

Kala bertemu kebuntuan, tidak lantas membikin bentuk puisi mempat tanpa makna dengan dalih beralibi, tetapi terus menelusuri pepintu tertutup itu; apakah terwakili keadaan masyarakat atau dirinya yang pemalas. Pepintu tertutup disimak deritnya, diraba-rasakan dengan pelbagai teknik, memasuki selubung panca inderanya, lebih suntuk demi mendapati pancaran jauh berkilau atas kesungguhan menanjaki jati dirinya. Di sini sang penyair melempar karya percobaan, membakar karya mentah, dilebur ke dalam karya yang nantinya dipandang layak untuk dinikmati pembaca. Pintu tertutup keadaan mempat jika tidak ditembus lewat keliaran pencarian, berpuas diri hanya menghadirkan kewaguan yang menjadikan para pengamat keliru menganggapnya hebat, maka dicarilah rujukan sekenangan, dan saat dibenturkan ke pemahaman “Kun Fayakun,” kemana?
***

Salah sebuah kartu hitam model perpuisian Sutardji, ketika dilemparkan pertanyaan ke muka pembaca, misalkan; “Ketika itu bukan puisi SCB, apakah anda kagum? Hampir 100% bilang tidak, kalau bukan 99%, dan 1%-nya hantu diam (dalam diskusi buku sebelumnya di Malang, Trenggalek, Jombang, Ponorogo, Yogyakarta, dan ini bisa ditambah). Di sini kekaguman pada kekaryaan bukan berasal dari karyanya, namun siapa saja yang sudah mengupas -membelanya.

Pribadi kagum pastilah mengikis kekritisan jiwa yang hampir separuh tidak sadar, digoyong keterpesonaan para kritikus pemboyongnya yang mengukuhkan tindak kreatif yang sejatinya tidak, beraneh-aneh bim salabim ke awang uwung! Kenapa sebagian kritikus dulu menerima pandangan SCB? Karena, mata rantainya terputus terjadi saat pengamat yang kedudukannya disegani, di sisi keberanian vokal Sutardji bisa merongrong kritikus yang tidak sepaham saat dikemukakannya ke media, ini bagi yang tidak siap bersebarangan menjadi buah simalakama?
***

Lagi-lagi Dami benar namun kurang pener, “Sudah lazim, seorang penyair sulit mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya yang terbatas secara ruang dan waktu.” Dedahan kelanjutan ini sejenis perluasan kesadaran dari mental serampangan atau keluguan awal, yang menyembuyikan kemalasan kritis lewat menunjukkan kelemahannya. Sekurang-kurangnya sifat insaniah ditampakkan menonjol agar mendapatkan simpati, lantas meloloskan balon udara karbitan! Para seniman apapun yang digelutinya selalu bergulat ruang-waktu, persoalan hidup melingkupi perjuangannya. Temuan-temuan dari pencariannya sungguh tetap berlandasan akli pula hawa aura nakli, yang mempengaruhi jiwa segar kesenimanannya. Yang setiap pahamnya mempunyai silsilah, tidak asal comot lari kesana kemari kala mendapat sergapan dengan berkila, atau berwatak megalomaniak.
***

V
Terkait akhir-akhir ini dikabarkan oleh hadirnya teknologi terbaru dalam perkembangan dunia sains, yakni solusi kehidupan abadi (Cryonics). Marilah kita baca ulang puisi pada pembukaan buku “A Beautiful Mind” (Kisah hidup seorang genius penderita sakit jiwa yang meraih hadiah Nobel, ‘John Forbes Nash, Jr.’) karya dari penulis cantik Sylvia Nasar. Buku itu memenangkan National Book Critics Circle Award 1998 untuk Biografi, finalis Pulitzer Prize, dan yang penginspirasi film produksi Dream Works dan Universal Pictures, yang dibintangi Russell Crowe. Di Indonesia, bukunya diterbitan Gramedia tahun 2005, puisi William Wordsworth sebagaimana berikut:

Sama seperti patung…, sama seperti Newton
Kacamata tebal, wajah pendiam,
Yang merenung dan terus merenung
Menjelajah samudera Pikiran serba asing, sendirian.

Mengupas ini, sambil mendengarkan komposisi Johann Sebastian Bach yang bertitel “Little” Fugue in G minor, BMV 578; mengingatkan pada sebuah cerpen Rabindranath Tagore yang berkisah seorang penjual es di kampung halaman, yakni nada-nada musik alat pemukul demi menarik bebocah membelinya. Meski berbeda, satu suara organik, lainnya seolah efek listrik mekanik. Sepadan bermula John van Neumann, tokoh matematika kelahiran Hungaria yang tahun 1928 menuliskan artikel mengenai permainan catur, kartu dan sejenisnya, merupakan upaya sukses pertama untuk menurunkan algoritma-algoritma atau kaidah-kaidah logika serta matematika mengenai persaingan. Di lanjutkan tahun 1958, majalah Fortune mengedepankan Nash, karena prestasi-prestasinya pada teori permainan (game theory), geometri aljabar, juga teori nonlinear yang paling cemerlang di antara segenerasinya, dalam menggeluti matematika murni pun terapan.

“Sama seperti patung…, sama seperti Newton” sosok pemikir tunggal serupa Nietzsche, Nash menumpahkan kebuntuanya untuk disesuaikan pada bidang yang digeluti. Demikian sastrawan Inggris William Wordsworth (1770-1850), memasukkan kata ‘patung,’ dan nama seorang fisikawan, matematikawan, ahli astronomi, filsuf alam, kimiawan, dan teolog Sir Isaac Newton (1643-1727). Sudah cukup menggambarkan kemampetan, bukannya dilukiskan dengan menulis huruf yang tidak beraturan, yang tiada makna laksana igauan bangsa jin pun tidak ada! Begitu seyogyanya penyair manfaatkan nafas ruang-waktu sejarah dalam menyampaikan perihal yang digapainya, lewat mendekati diri pada warna bau karakter yang layak sebagai penutur sajaknya.

Kacamata tebal, wajah pendiam,” Ungkapan ‘kacamata tebal,’ memperkuat tekanan pada bentuk kata-kata ‘wajah pendiam.’ Misalkan sewaktu Nash di Princeton University sebagai ‘hantu,’ atau percakapan-percakapannya jauh membius para pemerhati, semasa di Institute for Advanced Study dalam suatu pesta mahasiswa. Dan Nash merambahi dataran gurun penalaran akan ‘mesin pemikir.’ Gagasannya sejalur stategi permainan, persaingan ekonomi, arsitektur komputer, bentukan jagad, geometri ruang imajiner, misteri bilangan prima; tertuang menyatu dalam tesis doktoralnya, yang hanya dua puluh tujuh halaman, ditulis sewaktu berusia 21 tahun. Selisih setahun, atau 22 tahun usia Albert Camus mengumpulkan esai-esainya awal, L’Envers et l’endroit (The Two Sides Of The Coin).

“Yang merenung dan terus merenung” bukannya: tujuh gajah /cemas /meniti jembut /serambut //tujuh semut /turun gunung /terkekeh /kekeh //perjalanan /kalbu (SCB, 1976-1979). Pun darimana sajak tersebut bisa masuk dalam karya sastra sufistik? Tidakkah referensi soal gajah yang terdekat melekati Raja Abrahah ketika ke kota Makkah bersama pasukan gajahnya, yang dipukul mundur kawanan burung Ababil? Sedangkan menyoal ‘pengajaran’ di alamatkan ke Surah Al-Baqarah (bermakna ‘sapi betina’). Dalam mitologi Mesopotamia yang berwujud singa berkepala sapi bersayap elang, di Yunani sapi dan burung merak ialah binatang yang disucikan demi Hera (Juno), salah satu dari dua belas dewa Olympian (”Mythology, Timeless Tales of Gods and Heroes” karangan Edith Hamilton, terjemahan A. Rachmatullah, terbitan Oncor 2011), atau kepercayaan di dataran India.
***

Dan as-Samiri seorang Israil suku as-Samirah, pengikut Nabi Musa As yang kemudian sesat. Nama asli as-Samiri adalah Musa bin Zafar berasal dari bahasa Arab, digunakan meluas oleh penduduk Albania. Samiri, variasi ‘Samir’ bagi bahasa Albania, Arab, India, dan Iran, sedari bahasa Arab ‘Samara,’ bentuk feminimnya “Samira.” Dalam kisah dunia Islam, ia tokoh yang menyesatkan bani Israel. Memerintahkan membawa perhiasan emas milik orang-orang Mesir, menganjurkan agar dilempar ke api yang dinyalakan dalam lubang untuk dijadikan patung. Ia berhasil membuat berhala anak sapi betina dari emas, setelah jadi dikatakan sebagai Tuhan bani Israel, dan Tuhan Musa.

Kejadian itu sewaktu Nabi Musa As menerima wahyu Taurat di bukit Sinai. Samiri meletakkan bekas jejak kuda malaikat Jibril memimpin Musa, bani Israel melewati Laut Merah hingga bisa mengeluarkan suara jika tertiup angin. Samiri memiliki sihir yang dipelajari sewaktu di Mesir, belum hilang sekte pagan pemengaruh ajaran yang terdapat di Mesir Kuno. Sebuah bukti anak sapi emas yang disembah bani Israil, sebenarnya tiruan dari berhala Hathor dan Aphis (Wikipedia). Dan persoalan semut telah terjawab sebelumnya, atau Surah al-Naml ayat 18-19. Untuk sedikit menghibur Sutardji, saya teringat syair lagu dangdut “rambut-rambut siapa ini kasih / bikin tak enak hati / :dinyanyikan oleh Evi Tamala.
***

VI
Inspirasi meminta dituliskan, maka saya lanjutkan. Beberapa hari catatan ini dihentikan demi menanti panggilan. Setidaknya yang terkutip pun tergurat ialah hasil peleburan ‘kimiawi’ jiwa, bukan tindak tempelan yang mudah njomplang; keduanya berkawin dalam kesaksian. Atau saya siap dibawa kemana percampuran tersebut diadili atas kesaksian yang melembaga sebagai olah proses kreatif, tidak semata dituntut tugas guru besar suatu kampus misalkan, atau hal bersifat kementerengan di depan hakim keilmuan. Maka bersiaplah mencurigai diri sendiri, sebab para guru besarnya adalah sejarah yang kelak membuktikan, dan saya cukupkan berkesungguhan pencarian dengan tidak ingin dibodoh-bodohkan sebentuk sulapan.
***

Sastrawan filsuf Jean-Paul Sartre, penolak Nobel Sastra 1964, mengungkapkan makna ‘kegeniusan’ yang dikutip Sylvia Nasar sebagai berikut, “temuan cemerlang seseorang yang mencari pemecahan sebuah masalah.” Dan saya jumput untaian kalimat William Wordsworth, “Menjelajah samudera Pikiran serba asing, sendirian.” Dalam hal ini, gajah tidak hanya cemas, tapi sekujur badannya terlubangi bebatuan api yang diterjunkan dari cengkeraman kaki burung-burung ababil, semuanya tumbang binasa. Gajah tidak memikirkan jalan tasawuf, apalagi meniti rambut? Umpama menakwil sesuatu, mimpinya raja angkuh dengan hamba terpenjah yang tidak bersalah -tentunya tidak sama. Hanya akal-akalan menyeiramakan warna ruhani atas permukaan bahasa atau kata-kata semata, apalagi tiada penghampiran sinambung dari lelaku sampai gairah yang diperjuangkannya?

Lebih jauh, semut tidak terkekeh menghadapi kehidupan ini. Semut-semut di ‘lembah semut,’ berkewaspadaan tinggi sampai mengira Nabi Sulaiman bersama bala tentaranya akan bertindak dholim tanpa disadari, dan senyuman Nabi Sulaiman As merupakan perwujudan hati yang terpancari pengetahuan-Nya. Apakah kecenderungan sajak sufistik menyebutkan para tokoh sufi, jenis-jenis minuman anggur beserta lagu kemabukan? Saya pikir, preman pasar jika diajari bersajak dengan mengunggah bentukan itu tidak lama jadi ‘penyair,’ sambil berkalung tasbih masuk pesantren baca sajak, maka ‘purnalah sosok sastrawan,’ dan ini tidak perlu lama boleh jadi preman lagi.

Namun tidak demikian, lantaran hidup tidak main-main, tidak mempermainkan bacaan “Alif Lam Meem” atau pun “Kun Fayakun” yang dirombak menjelma “Jadi, lantas jadilah! / Jadi maka jadilah!” Ah, mending balik ke Nash, sang penemu ‘mesin pemikir’ pada teori permainan yang memecahkan masalah pada bidang yang digelutinya, seperti para penyair bersuntuk menguraikan tempaan hayati dalam kalimat sajak-sajaknya yang padat muatan, segar diarungai penyelidikan. Bukan dicari-cari jawabannya, ada pula tidak terjawab laksana sampiran kajiannya atau seperti menyimak buku takwil mimpi yang dijual di pasar gelap.

Sylvia menuturkan “Banyak ilmuwan dan filsuf besar, antara lain Rene` Descartes, Ludwig Wittgenstein, Immanuel Kant, Thorstein Veblen, Isaac Newton, dan Albert Einstein, memiliki kepribadian yang sama aneh, sama-sama soliter. Temperamen emosional, suka menyendiri, lebih terpusat ke dalam, memang bisa kondusif untuk kreativitas ilmiah. Ini berdasarkan pengamatan yang cukup lama oleh kalangan psikiater dan penyusun biografi, sebagaimana suasana hati sangat fluktuatif yang sering terkait dengan ekspresi seni.” Di dalam karya-karyannya mencapai ekuilibrium atau keseimbangan mapan sebagai aturan yang pantas untuk diselidik berlarut-larut.
***

Kini iramanya saya naikkan bersamaan percepatan menurun demi memperoleh gerak ingatan melingkar dari kutipan yang bertebaran di muka papan selancar; serasa melintasi Serat Kadilangu, menyapa Van Hien, menyalami Capt. R.P. Suyono. Pada ketentuan berbeda, berjumpalah Prabu Brawijaya V, di ujung pena Dr. Zoetmulder, melalui Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo. Sampai kemantabannya tertulis di bumi Reog, ada bayangan tegas di pucuk Gunung Pring, uraian Aguk Irawan MN. Dan kutipan Mark R. Woodward, mengingatkan saya saat tinggal di Ngadisuryan, rumahnya Raden Isman Tono (saya akrab memanggilnya Mas Isman. Mark R. Woodward mengenalnya sebagai pelukis muda yang menerimanya pada hari pertama di Yogyakarta pada lembar pengakuan di bukunya. Dan saya tahun 1995 tinggal di tempat yang sama mengenalnya sebagai ‘pelukis kambuhan’ yang memperkenalkan saya pada tokoh wayang Abimanyu dalam hidup ini).

14 Agustus 2012 / 26 Ramadhan 1433 H di Ponorogo / 20 Maret 2017 di Lamongan.

Tinggalkan Balasan