Bagian 23: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan kedua dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Wallahualam bissawab, setelah diperjalankan dari Lamongan ke Jombang, Kediri lalu berhenti di dataran bumi Reog Ponorogo, saya lanjutkan kini. Kenapa disebut ‘diperjalankan?’ Lantaran kaki ini kehendaknya damai di tanah kelahiran, namun air hayati menghempaskannya. Selepas 5 April 2012, saya seakan diringkus takdir besar atau bintang yang menaungi sudah berubah letak edarnya, dan mungkin ini arah ‘terapi’ tersingkapnya Kun Fayakun. Pada periode sebelumnya, perangainya bisa dilihat di bagian XX hingga sekarang.

Sisi lain, saya serasa kurang pantas mengurai paparan penalaran apalagi dengan buku tebal. Dan setelah diraba, sejenis terjadinya hukum kausalitas yang menaungi ini, sepantulan dari kebuntuan para kritikus sastra yang tahu kejahiliaan tetapi dibiarkan, serupa tanggul air tidak mengalir yang merubah warnanya sampai pembusukan. Sedang kegiatan ini, segerak menjebol tanggul angkuh guna dialirkan airnya, demi memperoleh tenaga pelestarian sedari nilai-nilai yang mempat itu? Maka terpancanglah pembangkit tenaga alami.

Atau seyogyanya kritikus pendukung Sutardji juga menghardik kesalahfatalan yang terjadi pada teksnya, tapi lantaran bungkam, sunnatullah diperjalankan. Saya tiba-tiba menulis kritik panjang lebar tidak lebih sepantulan energi dari kritikus yang malas mengkritisi, sungkan menegur SCB menjadi kebodohan semakin parah. Ini perihal ketersumbatan lalu membanjir atau ribuan semut hitam kata-kata di atas kehendak keseimbangan. Seperti ombak memecahkan keheningan malam atau gerhana bulan dua kali dalam tahun ini sebagai saksinya.

Saya yang bercita-cita jadi pelukis, sebab suatu hal dan oleh pilihan sudah dimatangkan di tahun 1999; meyakinkan diri menghadapkan jemari memegang pena demi menyetiai menulis. Apakah kini saya penulis, penyair atau sastrawan? Itu kurang penting dan tidak harus membuat plakat di depan rumah atau belakang nama. Setidaknya saya tidak menyebarkan gosip, tetapi tekslah yang bicara. Umpama saudara tidak paham saya maklumi, membedakan kata kerja dan kata benda saja tidak mampu dalam kasus SCB menyoal Kun Fayakun yang diselewengkannya?
***

Lansung saja, baca ulang kutipan saya (paragraf Aguk Irawan Mn) bagian sebelum ini. Lalu masuk petuah Al-Ghazali: “Barang siapa yang hendak berbicara tafsir Al-Qur’an dan takwil hadits, pertama-tama wajib menguasai bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu i’rab, dan ilmu sharaf, karena ilmu bahasa merupakan tangga dan jembatan bagi semua ilmu. Barang siapa tidak menguasai ilmu bahasa, maka tidak akan berhasil memperoleh ilmu. Barang siapa hendak meningkatkan prestasinya, pertama-tama, hendaklah membentangkan jembatan, baru kemudian melintasinya. Ilmu bahasa adalah jembatan paling utama dan lintasan paling pokok. Pencari ilmu mesti mengetahui segenap hukum bahasa.”

“Pemulaan ilmu bahasa adalah pengetahuan perangkatnya yaitu: kosakata atau muffradat (vocabulary), susunan kata kerja dan lainnya. Orang yang belajar bahasa Arab harus mempelajari syair-syair Arab. Syair-syair Arab yang pertama kali harus dipelajarinya adalah syair-syair jahiliah, karena syair-syair jahiliah itu akan membantu menghapus keraguan pada suatu makna kata.” (Al-Risalah Al-Laduniyah, penerjemah M. Yaniyullah, terbitan Hikmah, cetakan II, Juli 2003).

Kutipan di atas sedikit banyak pembaca bisa merujuk ke bagian XVI yang memuat uraian alat baca (nahwu shorof) mengenai Kun Fayakun. Dan jumputan kedua saya tambahkan tulisan Imam Al-Ghazali di buku yang sama berikut ini:

Ilmu itu zatnya sendiri sudah mulia tanpa harus memandang obyeknya. Termasuk ilmu sihir, zatnya sendiri mulia sekalipun batil. Hal ini dikarenakan ilmu itu merupakan kebalikan dari kebodohan. Kebodohan pasti disebabkan oleh terhalang /terdinding. Keterhalangan disebabkan oleh diam, sedang diam itu lebih dekat kepada ketiadaan. Kebatilan dan ketersesatan berada pada posisi ini. Jika kebodohan masuk ke dalam hukum ketiadaan, maka ilmu masuk ke dalam hukum keberadaan. Tentunya keberadaan (ada) lebih baik dari ketiadaan. Hidayah, hak, dan cahaya, semuanya masuk pada level keberadaan.”

Pengarang Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin tersebut memperkuat landasannya berdasarkan Al-Qur’an, Surah al-Fathir (35), ayat 19. Setahu saya, banyak disertasi yang berusaha menganalisa ajaran Islam dengan menghindari pengambilan ayat-ayat kitab suci, dikarenakan hal itu saklek tidak terbantah. Lalu para guru besar menyarankan untuk mencari rujukan lain, guna menyegarkan khasana dialektika. Namun rasanya saya curiga, mereka tidak berani mengambil resiko pada jalan ijtihat. Lebih parah menghindari lantaran kurang menguasai, terlebih akrab petuah para intelektual dari Barat sejenis. Padahal Al-Furqan kitab sucinya yang wajib dipercaya di dalam meneliti soal kehidupan yang dilakoni, demi menggapai kejayaan akhirat.

“Keterhalangan disebabkan oleh diam, sedang diam itu lebih dekat kepada ketiadaan.” Ingat SCB mengganti makna kata ‘Kun’ yang seharusnya ‘Jadilah’ dipandangnya sebagai ‘Jadi’ atau kata benda, lalu diulang-ulang demi meyakinkan kepada pembaca bahwa jalurnya sudah tepat. Ternyata malah menyerukan pada laluan kegelapan, lepas dari prosesi kerja. Mematung serupa puisi konkret atau sajak-sajak jahiliah pra-Islam di tanah suci Makkah yang ditempel di dinding Ka’bah. “…syair-syair jahiliah itu akan membantu menghapus keraguan pada suatu makna kata.” Ingat perkataan paragrap kedua IK, esai yang saya kupas ini dan ‘Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998’ “Puisi adalah alibi kata-kata.” Maka inilah jawaban paragraf IK yang ke 5 dan 6. Saya berharap pembaca tidak malas bolak-balik mencerna, demi memperoleh keadaan yang sebenarnya!
***

II
Sebelum jauh saya tulis catatan perjalanan terlebih dulu. Saya diperjalankan kembali oleh laku hayati, dari Ponorogo ke Cabean, Jogjakarta, lalu malam kini berada di Watucongol, Muntilan, Magelang. Lintasan ini seakan menghimpun bulir-bulir renungan sepuluh tahunan lalu, yang berlalu seolah tidak terasa. Atau begitulah hayat diobang-ambingkan kesadaran, kadang bayu keterlepasan di atas hawa sejuk melenakan. Semua serentak menghimpun satuan waktu setali-temali luput terkadang menjerat langkah, naik-turun seperti air laut bergelombang. Dan yang terpahat sekarang, memberi pekerti di hari kemudian.
***

Terpetik ungkapan Al Imam Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdurrahman Al Hamdaany dalam kitabnya “As Sab’iyyaatu fil Mawaa’idhil Barriyyat” yakni; ‘Kuda diciptakan dari angin.’ Saya tidak sedang berkuda dalam setiap perjalanan, namun teringat itu. Dan tertera petuah Al-Ghazali pada buku yang saya rujuk di muka;‘Badan bukanlah tempat ruh dan tempat hati, badan hanyalah alat ruh dan perangkat hati serta tunggangan jiwa.’ Ya, ruh serta hati saya sedang menunggangi tubuh dan diperjalankan searah hawa keganjilan. Takdir entah tiada yang tahu pasti ketika sudah berada di atas uap dari api tungku menyala-nyala. Air hayati dipanasi menaikkan uap menempel di kaca cermin berupa bintik-bintik bening tidak terkira, nikmatnya patut disyukuri meski dalam gugusan suwong.

Begitu menggetarkan kata-kata Al-Ghazali yang terus mewedaran ujarannya, ‘Kebodohan itu masuk dari kemestian jasmani, dan ilmu itu masuk dari kemestian jiwa.’ Yang berada atau di antara tulisan ini sejenis reaksi kimiawi jiwa memenuhi bidang kajian, atau saya dalam pergumulan perasaan dan penalaran lembut. Mengolah bahan pertimbangan batin sebelum menempati ruang penentu, putusan dari kematangan sesudah dilakoni syarat-syarat untuk memperoleh pengetahuan. Ialah perluasan kesadaran denyar cahaya, seperti pijar jantung gerakkan tubuh, sedang hati menaungi seawan mengembarai titian rindu. Pada gilirannya menjatuhkan bebulir hujan sejukkan pelataran, memunculkan kuncup kembang rindu bermekaran. Dan serbuk-serbuknya menerangi seperasaan pertama, meski berkali-kali tiba waktunya. Ini mengingatkan kepada Mbah Shalih:

Di antara murid Sunan Ampel, hanya Mbah Shalih yang punya peristiwa misteri; mengalami mati sembilan kali, sehingga kuburannya pun sembilan. Menurut riwayat, Mbah Shalih salah satu murid Sunan Ampel yang merangkap tukang sapu masjid. Pekerjaannya itu memuaskan Sunan Ampel dan semua orang, menyapu lantai masjid sangat bersih, hingga yang sujud tanpa sajadah pun tidak merasa ada debunya. Setelah Mbah Shalih wafat dan dimakamkan di muka masjid, baru terasa oleh Sunan Ampel serta orang banyak, yaitu tiada seorang pun yang mampu menyapu lantai masjid sebersih sapuannya. Lebih-lebih para santri tidak bisa rutin menyapu, akibatnya keadaan masjid sering kotor lantainya. Melihat demikian, berucaplah Sunan Ampel, “Seandainya Mbah Shalih masih hidup, tentulah masjid ini menjadi bersih.” Tiba-tiba di pengimaman nampak Mbah Shalih sedang menyapu, lantai masjid pun bersih kembali, semua orang keheranan melihat Mbah Shalih hidup kembali. Beberapa bulan kemudian wafat lagi, dan dimakamkan di sebelah timur berdampingan dengan makamnya yang pertama. Sepeninggalnya kedua, keadaan masjid kotor lagi. Atas kekaromahan Sunan Ampel mengucapkan kata-kata sebagaimana dahulu, dengan ijin Allah Swt. Mbah Shalih hidup kedua kalinya. Demikian kejadiannya beberapa kali wafat dan hidup kembali. Sesudah kuburan Mbah Shalih genap delapan, Sunan Ampel tiba kewafatannya. Sepeninggal Sunan Ampel, Mbah Shalih pun wafat, sehingga kuburannya sebanyak sembilan, kuburan yang akhir berada di ujung timur. (Kisah Wali Songo, disusun oleh Baidhowi Syamsuri, 1995 penerbit Apollo Surabaya).

Dalam karangan ‘Kitab Para Malaikat’ tertuang berikut ini, “Ia tak pernah menjatuhkan vonis kematian kedua kali, kecuali kau naik banding, serupa mati surinya pemegang sapu lidi di makam Ampel (II: I).” (Hukum-hukum Pecinta II: I – CXIII, terbitan PUstaka puJAngga, 2007). Membersihkan bidang perasaan, menyapu debu perjalanan demi khusyuknya pertemuan. Maka uraian lanjut saya menunggu kedatangannya, kehadiran itu. Dan bekal tertanam kini, semoga menyeruak segetaran nasib menuruni peta yang sudah tertera jauh sebelum kelahiran di bumi.
***

III
“Abu Mas’ud ‘Uqbah bin Amrin al Anshari al Badri r.a. mengatakan; Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya, salah satu ucapan kenabian yang pertama yang diketahui oleh umat manusia adalah apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah sekehendakmu.” (H.R. Bukhari). Hadits Riwayat dalam “Kitab Syarah Hadits Arba’in” karangan Al Imam Yahya bin Syaraf Al Nawawi, yang diperkuat dengan Q.S. Fushshilat: 40, yakni bentuk larangan (ancaman) yang dipermanis, istilah Jawa-nya ‘dibombong,’ semacam ‘dipangku’ di dalam perkara akrasa Jawa yang berarti ‘mematikan’ pada kalimat; “…apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah sekehendakmu.”

Bagian ini tergambar kurang terkait langsung kajian, karena mengungkap catatan perjalanan, namun Insyaallah terpaut seirama gerak, lantaran teks yang saya tuangkan ialah cerminan hati bergetar oleh cobaan menimpa. Lewat melayarkan jemari menjatuhkan pilihan mengisi ruang jiwa beserta nikmat yang tiada terkira dari-Nya, memberi waktu luas bersuntuk meski dalam kepayahan batin yang tengah didera musibah. Semoga ke pantai keyakinan; ini dambaan laku sedari peneliti, yang tengah diombang-ambingkan kehidupan di dalam percepatan seimbang, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. Al Qamar: 49).

Dari ayat tersebut, Al Nawawi mengurutkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a., “Ketahuilah bahwa seandainya sekelompok orang bersepakat untuk memberikan manfaat kepadamu, maka tentu mereka tidak akan dapat memberikan kepadamu manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah. Sebaliknya, manakala sekelompok orang bersepakat untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak akan dapat mecelakakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah. Pena untuk menulis, takdir telah diangkat dan lembaran-lembaran buku catatan takdir pun telah habis.”
***

Dan setelah ‘diperjalankan’ dari Gunung Pring (Watucongol, Muntilan, Magelang), ke Cabean (Yogyakarta), ke Ngelipar (Gunung Kidul), diantar oleh lima orang veteran ke Ponorogo, lalu ke Menturo (Jombang, ke makam ibunda Emha Ainun Nadjib; Hj. Chalimah yang meninggal pada tanggal 1 September 2012), lantas ke Langitan (Tuban), ke Makam Sunan Drajad (Lamongan), menuju ke Pasuruan dan kembali ke Ponorogo, kini saya lanjutkan.
***

Mungkin lebih sebulanan tidak meneruskan catatan, selain dinding tebal menjulang persoalan diri menghadang juga berkali-kali menempa. Tepatnya menyesuaikan hawa prosesi penulisan, guna tetap pada satuan bendelan yang dapat ditarik pengertian di hari kemudian. Gaya seolah tidak terkait ini pertemuan kebetulan yang saya ketengahkan, saudara membaca tentu berbeda dengan esainya IK yang bertitel “Sastra Indonesia dan Saya, Sebuah Perjumpaan, Untuk Leo Kleden, Mengenang 23 Juni 1979.” Sebenarnya saya tidak perlu menyoroti, hanya kalau ada yang menganggapan ceriwis, atau bolehlah menebalkan keyakinan ke muka. Toh saya tidak mengharuskan diterima, mungkin hanya kata ‘maaf,’ jika saudara sayang tidak melanjutkan.

Ini kali agak malas, namun rindu berkata-kata. Boleh jadi raginya kumparan gugusan pandang terlewat, dan saya asyik mencengkeramai diri mengenai kebenaran teryakini, pun perihal yang patut digaris bawahi. Tulisan ini sisi lain terapi, jika ditengok beban menimpa, sejalan tulisan menyehatkan badan-jiwa. Setidaknya dengan kualitas yang ada bisa menjurus pada perampokan, tapi Alhamdulillah diri ini terhanyut ketampanan para pemikir, keuletan peletak dasar penalaran sedari perwujudan wahyu sampai sihir. Sehingga disibukkan suara kedalaman, lalu menganggap ringan hidup hanya mencari keselamatan.
***

Kini tanggal 15 Dulkaidah 1945, Senen Pon menurut kalender Jawa, saya balik di Perumahan Patihan (Sutejo Spectrum Center) yang berbentuk aula menghadap ke utara, di depan terhampar lapangan yang senantiasa sunyi. Di sebelah barat dan timur masing-masing tidak ada lima puluh langkah adanya bangunan masjid, keduanya tidak terlalu besar jika dibanding masjid-masjid di wilayah Pantura. Saya sedang tidak banyak membaca buku tetapi menyerapi bacaan telah lalu, serupa melilitkan benang-benang jiwa menghitung hati berkaca diri. Sesekali menghela nafas panjang, kini berkeadaan pelahan, sepelan merasakan timbagan hampir mendekati seimbang.

Dalam ruangan yang luas itu, di sebelah barat berderet buku-buku karya Sutejo, calon doktor (waktu itu) penemu teori Etnosufistik pada disertasinya “Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto.” Di atas deretan buku, ada lukisan karya Andry Deblenk dan Sugeng Ariyadi. Kadang saya ditemani kicauan burung prenjak juga burung lain yang bebas mengudara. Sebelah selatan letak saya tempati, terbentang pesawahan menghijau meski musim kemarau, terbersitlah bagusnya pengairan di Ponorogo. Mungkin hanya di sini bisa tenangkan diri, setidaknya tidak balik ke Tegalsari, lantaran jikalau lama di sana, batin ini tertekan kenangan terdekat di hati.

Teman-teman lukis pun kawan-kawan penulis kerap datang di sebelah waktu sepi, seperti pagi ini dan pagi terlewat, pula malam-malam tanpa bayangan, sunyi mencekam, saya tenggelam di dalam renungan laksana patung sendirian. Hanya bacaanlah yang menghibur, ruh orang-orang dahulu mampir menyambangi, datang beraroma harum sejelas kedekatan diri keakraban pribadi mengenalnya. Lantas menjelma harmoni menemani tapak hidup mengudar pengertian senggang, serasa denyar warna anyar kejadian peleburan, di atas karakter pelbagai rupa drajat keadaannya.

Melodi ini rasanya berbekas dari pembacaan “Balada di Bukit Pasir Prahara” minggu lalu, di STKIP. Saatnya mengedarkan ingatan di bagian sebelumnya, dan catatan kini demi menggenapi kisah. Kalau ada yang mengira ini tegur sapa dangkal, maka meski terlambat; O selamat datang, wahai yang memperluas kemungkinan terhampar rahmat-Nya, bagi penempuh jalan kesunyian.
***

Pada bagian XVI saya menyebut, Kun Fayakun terdapat di penghujung Surat Yaasiin ayat 82, penghujung Surat An-Nahl ayat 40: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah),” maka jadilah ia.” Dan “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.”

Dan setelah menelusuri, ternyata ada di beberapa ayat pada surat lainnya di dalam al-Qur’an,

Al Baqarah: 117 : “Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” Lalu jadilah ia.”

Al An’aam: 73 : “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah,” dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”

Al Mu’min: 68 : “Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: “Jadilah,” maka jadilah ia.”

Maryam: 35 : “Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah,” maka jadilah ia.”

Ali ‘Imran: 47 : “Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun.” Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah,” lalu jadilah dia.”

Ali ‘Imran: 59 : “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah,” maka jadilah dia.”
***

IV
Bayangkan saya tidak paham kaidah berbahasa, namun siapa tahu malah menjadi masukan berharga? Dan bayangkan kata ‘Jadi’-nya SCB sebagai kata konjungsi (kata penghubung) di dalam paragrafnya:

“Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ halaman 20).

“Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-, “Bentara” Kompas, 11 Januari 2003, ‘Isyarat’ halaman 22).
***

Di beberapa kejadian dan peristiwa dalam suatu nuansa pun suasana, aura atau dalam kurung letak tertentu, kata ‘jadi’ dalam kebahasaan Indonesia tidak berarti (tidak otomatis) bermakna ‘ada, wujud,’ tapi kehadirannya sekadar ‘kata penghubung.’ Sisi lain wewarna perlambang dari kata yang sama, namun berbeda makna serta berlainan fungsinya; yang tertemukan itu kadang menguatkan kalimat, menyamarkan pula mendangkalkan peristiwa yang diboyongnya. Di sini, tantangan seorang sastrawan menyuntuki rupa yang terkandung sedalam bahasa yang dipunyai.

Maaf, saya agak geli lantaran seolah-olah guru bahasa. Misalkan dalam kalimat ada kata ‘jadi’ yang tidak bernilai ‘ada atau wujud’: “Sebab SCB berpendapat ‘puisi adalah alibi kata-kata,’ jadi puisinya asal-asalan.” Demikian contoh kata ‘jadi’ yang tidak dimaksudkan ‘wujud atau ada,’ tapi sebagai ‘kata sambung.’ (Bunyi kalimat “puisi adalah alibi kata-kata” yang terdapat dalam esainya SCB, “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998,” pada Catatan Kebudayaan, Horison, XXXII/5/1998, dan di buku “Isyarat,” kumpulan esai Sutadji Calzoum Bachri, IndonesiaTera, halaman 14).

Sebelum merambahi soal, saya turunkan bayangan di papan kemungkinan. Di beberapa perkara, kata ‘jadi’ yang tidak hanya bermakna ‘wujud atau ada,’ hampir setara kata konjungsi ‘maka,’ yang dipakai untuk menghubungkan anak kalimat dengan induk kalimat juga antar kalimat. Seperti: “Karena kedinginan, jadi memakai jaket” dan “Sebab kehujanan, maka badannya menggigil.” Ini bisa dikembangkan setampan penalaran pelakunya. Apakah termasuk sudah baku? Mengenai baku atau tidak, diterima langsung pun tidak, saya serahkan kepada pembaca. Di sini menduduki perkara dengan membuka perihal yang sudah berlaku tetapi masih dicurigai. Misalkan hanya mengikuti aturan saja, padahal yang lainnya sudah menari lincah pula melesat ke ujung setara serta lebih.
***

Kelenturan kata ‘jadi’ juga kekakuannya menampilkan tekanan yang kokoh, dibanding dengan kata ‘maka’ yang sepintas melahirkan perangai hampir sama antara kalimat yang disambungnya atau sedikit seimbang. Sedangkan kata ‘jadi,’ menyerupai penghakiman terhadap peluang yang diketengahkan sebelumnya. Hukum ini berlaku lantaran kata ‘jadi’ sanggup memoles parasnya membentuk ‘kata’ yang tidak melempem, seumpama kata ‘menjadi’ berbeda dengan kata ‘makanya,’ itu pun dapat diserap ke dalam tubuh kata ‘jadi,’ menjelma kata ‘jadinya.’

‘Kejadian’ ini. Nah, kata ‘kejadian’ (yang menunjuk pada keadaan atau peristiwa tertentu) pula semacam berangkat dari kata ‘jadi’ (?), sedangkan kata kunjungsi ‘maka’ tidak sanggup menampilkan perihal demikian mewah. Kejadian tengah terunggah ini setidaknya sudah mewarnai juga mewabah di masyarakat, dan kerja penyair menggeluti nada irama yang menggelinjak pada ruh pencipaan karyanya. Tinggal menyadarinya meluas, atau berpatokan nasib pada aturan yang senyatanya berselisih paham antara karya ilmiah atau tidak, misalkan.

Bandingkan kata ‘makanya, olehnya, dengannya’ dengan kata ‘jadinya,’ yang seakan sudah meringkus peristiwa yang se-durung-nya disampaikan. Inilah kelebihan sekaligus kekurangan dari kata ‘jadi.’ Mungkin Sutardji termasuk penyair cerdas namun kelewat batas, sehingga ianya menggulirkan perkara dengan mencoba merombak kata ‘kun’ dari Kun Fayakun, dan ‘kun’ dimaknakan ‘jadi.’ Padahal di dalam kebahasaan Arab, kata ‘jadi’ adalah ‘kana’ bukannya ‘kun.’ Soal ini saya kira ahli bahasa pendukungnya bisa menjawabnya lebih lapang, andai saya keliru.

Apakah para pakar bahasa sudah merambahi kata ‘jadi’ yang disampaikan SCB? Saya tidak yakin, tersebab hadirnya buku tipis saya yang sebelumnya dianggap ringan saja. Maka diri ini mensyukuri karena bisa berhadapan langsung meluas ke jangkauan yang tidak sempat mereka pikirkan. Ini bola bekel memantul terbentur dinding karang, yang pasti keropos oleh desakan ombak berulang. Pada waktu hening saya melihat bola tersebut bekerja, meski saya sedang nyenyak bersama tarian gelombang pemikiran yang selalu mengukir tahap kebenaran juga mengeroposkan jari-jemari mitos kesusastraan.

Secara umum, kata ‘maka’ sering digunakan bersamaan dengan kata ‘jika,’ contoh “Jika ia datang, maka saya senang.” Bandingkan, “Jika ia datang, jadi saya senang,” dan “Jika ia datang, saya jadi senang.” Tidakkah kata ‘jadi’ di sana begitu elok yang dapat diletakkan sebelum dan sesudah kata ‘saya.’ Dan akan fatal kalau diganti dengan kalimat ini, “Jika ia datang, saya maka senang,” yang tampak lucu bin wagu!
***

Almarhum kritikus Umar Junus, lahir di Silungkang, Sumatera Barat, Indonesia 2 Mei 1934, dan meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal dan bulan yang sama kelahiran saya ‘8 Maret,’ namun di tahun 2010 kemarin. Junus menulis Sutardji (bukunya “Dari Peristiwa Ke Imajinasi, Wajah Sastra dan Budaya Indonesia,” bagian 16: “Puisi Yang Mantra Di Indonesia: Suatu Interpretasi,” Penerbit Gramedia, Cetakan 2, April 1985), yang mementingkan unsur bunyi daripada arti di dalam puisi-puisi SCB, pun tidak sempat mendedah keteledoran fatal pidato kebudayaan Mastera 2006 dan DKR 2000. Mungkin kata-kata “Jadi, lantas jadilah!” serta “Jadi maka jadilah!” Sutardji, dianggapnya memiliki kekuatan bunyi yang menyamai kata kerja dalam kata ‘jadi,’ maka sampai kini alam susastra masih terselimuti pekabutan mitos yang paling pekat.

Junus seperti juga Dami, banyak mengusung referensi dari luar demi mendukung ‘keserampangan’ Sutardji, dengan abai atau menekan kekurangan manusiawi pada diri sang penyair yang diandalkan. Lewat menaikkan pamor menjulang pada kekaryaan SCB; seakan kehadirannya sangat berjasa untuk kemajuan sastra di Tanah Air. Sekali lagi tengok siapa saja, apa pula bunyi menjadi patokan, lalu bandingkan dengan paham para tokoh lain yang terbukti telah menggerakkan nalar peradaban!

Jika tidak mementingkan arti, tapi bunyi, maka contoh kata sambung (penghubung), atau apa saja yang dapat saudara gandeng menerus, bolak-balik jempalitan tanpa harus repot mencari maknanya sedari proton sampai neutron segala. Lewat kaca mata sederhana, para pendukung kekacauan tersebut semakin kacau. Dan kita tidak memperoleh apa-apa selain ketakjuban nalar yang tidak berfaedah, sebab kerja daripada puisi sangat berbeda daripada bom atom, misalnya!

Tidak usah jauh mengkritisi kebesaran Chairil, Sutadji, tengoklah ‘kengawurannya’ jika ingin kedewasaan sejarah sastra Indonesia. Mengedepankan boroknya, ‘tinimbang’ pamor bikinan pesona seolah-olah. Atau rasa-rasanya melebihi kupasan pada firman-firman-Nya, sehingga orang-orang seperti saya begitu hadir beringas. Dan saudara layak mendapatkan, kalau masih berkutat pada kata-kata tanpa manfaat untuk sesama, kecuali pentas sulapan di depan mereka yang haus hiburan malam dengan tepuk tangan panjang.
***

Katanya, “mantra itu -sesuatu yang utuh, yang tak dapat dipahami melalui unsur pembentuknya,” dan – “sesuatu yang tak komunikatif dengan manusia, sehingga bersifat esoteris dan misterius, karena ditujukan kepada sesuatu yang gaib, merayunya, kemudian memerintahkannya untuk melayani kehendak yang mengucapkan mantra.” Sayangnya, Junus tidak banyak menebarkan contoh untuk menerangkan, sambil membandingkan puisi-puisi Sutardji yang menurut saya terbesar sulapan. Bagaimana kita mempelajari ‘yang tak dapat dipahami melalui unsur pembentuknya?’ Tentu dengan misal dan saya telah menyatakan seperti perusakan Ka’bah di bagian lalu. Lantas dengan apa para kritikus yang bertengger di singasana membetulkan kerusakan dalam memaknai Kun Fayakun, yang dilakukan penyair jempolannya?

Karena mereka menerangkan ‘kemegahan’ yang dikritisi, pantas pula mempertahankan yang saya ajukan! Sehingga tidak seperti ungkapan Junus sendiri, ‘indah kata dari rupa,’ atau indah berita dari kenyataannya. Sekali lagi saya suka penyair pula kritikus yang pandai menghipnosis dari dugaan ke alam realitas, dan yang kesadarannya terlambat -jatuhlah kecewa. Di sini saya mensyukuri keterlambatan mengenal kritik sastra di Indonesia. Karenanya berkewaspadaan bertingkat, tidak langsung menelan mentah yang diterangkan para pendahulu tanpa curiga. Padahal kekritisan adalah suatu pertahanan di dalam sebuah bangsa yang sedang krisis!

Jadi atau maka (sambil mengingat perkara sebelumnya), kita hanya mengenal ‘politik belah bambu, mikul dhuwur mendhem jero.’ Yang silap diabaikan, yang terlihat menguntungkan diperkarakan ke sidang pembaca. Lalu kapan terjadi pertaubatan besar-besaran, kekacauan melebar, lebih tragis bungkam?!

Sesaat menopang puisi mantra Sutadji, Junus sampai menuangkan kalimat berikut, “Komunikasi bahasa pada bentuknya yang paling hakiki dilakukan dengan menggunakan bunyi bahasa.” Bagi saya juga peneliti lawas, mantra tidak lebih doa. Saya tidak memungkiri perwujudannya sejenis ‘komunikasi satu arah.’ Karena bagaimana pun doa tidak sekadar kata, tapi adanya ruh hakikat yang disampikan ke hadirat Yang Kuasa. Kekuatannya tidak lewat mementingkan bunyi yang tersampaikan saja, tetapi makna yang terkandung di kedalamannya.
***

V
Saya teringat ceramahnya Gus Najib Denanyar, Kyai Ghofur Pesantren Sunan Drajad, serta para kyai lain yang mengisahkan dirinya bertemu seorang kyai sepuh, lalu memperoleh amalan yang berbahasa Arab (dari Al-Qur’an). Dan atau yang mengisahkan sosok kyai kampung kala mengimami di mushola, yang dalam pembacaan doanya di dalam sholat tidak fasih, namun Kyai Ghofur, Gus Najib dan para kyai lain sangat segan kepadanya. Lantaran bukan bunyi yang utama (pengucapan bahasa Arabnya lebih kental logat Jawanya), tetapi makna yang diresapi sang kyai sepuh tersebut sampai tulang sumsum keyakinan. Bukan bunyi bahasa yang hakiki, tapi kesadaran terdalam dari yang diucapkan itu menjadi penggerak dinaya mantra, doa.

Ada cerita lain terdengar dari guru saya sewaktu di bangku sekolah Ibtidaiyah, suatu masa satu keluarga kota masuk kampung terpencil menikmati hari libur melepaskan penat melonggarkan beban kesibukan di kepala. Keluarga itu tersesat oleh jalannya berlika-liku naik-turun gunung, bertanyalah mereka kepada penduduk setempat akan jalan ke kota. Sebelum diberitahu, sang pemilik pondokan mempersilahkan tamunya untuk menyeruput wedang dan mencicipi camilan, sebagai tanda bahagia ada orang kota yang mampir ke rumahnya.

Kala menikmati suasana melegakan, orang kota mengamati rumah bambu yang disinggahi. Pandangannya tertuju pada seekor burung dalam sangkar yang kicauannya merdu sehingga terpikat olehnya. Orang kota dengan ringan ucap ingin membelinya, namun tuan rumahnya keberatan. Singkat cerita pemiliknya belum berkenan, oleh harga yang ditawar atau menanti kesepakatan anggota keluarga yang masih di ladang. Dan memperbolehkan memilikinya jika benar-benar suka, dengan syarat pada hari minggu depannya. Lantas baliklah rombongan itu, sambil membayang di minggu depan mempunyai burung yang didambakan.

Pada hari yang sudah ditentukan, orang kota beserta keluarganya ke kampung yang pernah disinggahi. Sambil menyetir mobil, hati pikirannya berbunga-bunga, karena akan menambah koleksi burung yang menghiasi rumahnya, yakni burung bagus bulunya dan indah kicauannya. Jalanan yang dilewati kanan-kiri menghijau, menambahi sedap senandung batinnya sumringah, sementara tuan rumah mempersiapkan masakan terlezat untuk tamunya. Antara yang datang dan menanti, sama terjerat gulungan masa betapa mewah. Kabut turun pelahan laksanan kesopanan gadis dari titian panjang sehabis mandi di sendang. Kembang bermekaran menebarkan pesona, halus disapa kerlingan mata, dan penciuman santun sebelum memetiknya.

Sampai perjumpaan yang dinanti. Tuan rumah mempersilahkan tamunya menikmati hidangan yang disuguhkan. Selepas itu, orang kota bertanya mengenai burung di minggu kemarin yang diimpi menjadi kepunyaannya. Semenjak datang hingga habis makanan, dirinya tidak tenang, karena memikirkan burung yang pernah dilihatnya. Dalam hatinya, burung tersebut ditaruh di belakang rumah? Atau sudah dipersiapkan untuk dirinya dibawa pulang? Apakah yang terjadi?

Dengan tenang sang pemilik burung bercerita kalau makanan yang dihidangkan barusan adalah burung kemarin yang ditanyakan. Kagetlah orang kota tidak percaya pada kejadian yang dialami. Ia kecewa berat, menyesali ‘kebodohan’ (keluguan) orang desa yang ditemui, sehingga mukanya murung berat menerima realitas yang menimpanya. Orang kampung mengira orang kota kembali karena masakan yang pernah disuguhkannya, lantaran di waktu itu juga memasak daging burung. Sementara orang kota datang sebab terpikat kicauan serta paras ayu bulu-bulu yang melekat pada burung dalam sangkar waktu itu.
***

Saat cerita di atas dihubungkan dengan kritikus DJ (Dami dan Junus). Yang satu menekankan penelitian pada suaranya, satunya ke bentuk puisi SCB. Junus condong, bahwa yang terpenting dari puisi-mantra ialah bunyi bahasa, dan Dami ke perwujudannya, jadi mendekatkan kajiannya ke bentuk puisi konkret. Keduanya sama tidak memperoleh apa-apa yakni kecewa! Saya teringat tulisan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang bertitel ‘Islam Kaset dan Kebisingannya,’ Tempo, 20 Februari 1982. Atau putar saja rekaman kicauan burung-burung, tanpa harus memeliharanya!

Lebih jauh huruf-huruf Abjad, Latin, Sansekerta, Hijaiyah, Ibrani, Yunani, Kanji, Jawa &st… mengalami perpecahan atau mengalirkan anak-anak sungai yang berbeda. Berasal dari akar kepahaman atas karya moyangnya yang menghiasi dinding-dinding goa tempat mereka dulu bersembunyi dari binatang buas. Di lembaran lontar, pahatan-ukiran kayu, relief di bebatuan, tersebar di ingatan manusia yang selalu mengalami prosesi kebermaknaan pada kulit (coraknya) juga isinya (artinya). Olehnya merawat kesadaran bersama demi mencapai komunikasi seimbang untuk menanggulangi selisih pendapat, yang berujung pada tajamnya tombak dalam peperangan.

Tenunan pemaknaan lebih diutamakan daripada bunyi, seumpama bangsa-bangsa tersebar di seluruh dunia itu spesies burung-burung berkicau, maka keselarasannya di dalam belantara pemahaman. Demikian bahasa mantra menempati bilik sunyi dalam ruang kebahasaan, yang kehadirannya bisa dimaknai bagi yang benar-benar memperdalam menyinauhi. Maka, hanya peneliti tanggung melihat bentuk atau bunyiannya saja? Analogi ini menjawab kritikus DJ yang tidak merunut ke muasal mata air aksara yang dikajinya. Di sana pemaknaannya bisa dimengerti secara sadar untuk kelanjutan perjalanan panjang anak manusia, bukan sejenis beralibi tentunya!

Perkara penelusuran sampai ke satuan huruf di antaranya dapat dibaca di bagian XVI pada karya Ibnu ‘Arabi, atau lihat kekaryaan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, al-Hallaj. Pula karya-karya para mufassir, pensyarah, penakwil, ahli di bidang perbintangan sampai rajah. Di sinilah nafas-nafas permenungan, penghayatan bertemu keseimbangan antara mereka, yang memunculkan hukum bagi syarat lakunya, dan pengujian dari pelbagai analisa yang membentuk kaidah umum demi generasi setelahnya.

26 Oktober 2012 / 10 Dzul Hijjah 1433 H Ponorogo-Lamongan / 27 Maret 2017.

Tinggalkan Balasan