Bagian 20: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan keenam dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

I
Untuk mencapai nol kembali, harus mendengar lalu melaksanakan kejahatan.”

Beberapa hari di Watucongol, Muntilan, Magelang. Demi ke pucuk Gunung Pring tanpa dibebani wewaktu kesibukan, namun pelan seirama langgam kelanggengan sepautan kata-kata Nietzsche, bahwa kasih semacam kejahatan yang sempurna. Saya terjerumus ke dalam pusaran pesantren kembali, lantaran mendengar adanya seorang setiap pagi memberi makan tetangganya yang jompo, sejenis kejahatan kecil saya yang kadang membagikan buku-buku secara cuma-cuma; memanjakan sekaligus meremehkan diri sendiri. Menganggap pribadi ringan sebongkahan daging yang diberi napas, tidak lebih agung dari hujan lebat yang membanjiri kota-kota besar dalam membersihkan polusi udara?

Kejahatan lain menuruti saran seorang teman Gugun El-Guyanie, agar dalam menuliskan ini pelahan demi memperoleh hasil maksimal. Pun pendapat guru lukis Tarmuzie yang berpaham, bagian XIX itu serupa ending dalam sebuah film, sedari imbas mendedah “Kun Fayakun” (bagian XVI, XVII, XVIII) yang disalah-kaprahkan pula dibiarkan para kritikus. Dan pengelanaan ini mengambil udara jernih demi memantabkan nafas untuk kematangan lama. Menggunakan pembuktian kasih sambil menertawakan diri dalam menuangkan sisi kebodohan, yakni menyepelehkan hal pribadi guna menelanjangi pemalsuan di seberang.

Kejahatan besar saya menerima masukan seturut logis Ilahiah, serta menganggap rintangan ialah musuh yang harus dibasmi secara kasar, yaitu kasih atau umpatan sayang. Kejahatan lain merajinkan berziarah yang bisa jadi dianggap kekonyolan. Toh saya menikmati harmoninya meremajakan jiwa, menembus batas lelapisan cahaya seperti puisi-puisi panjang. Mengambil bahan rujukan terpercayai yang telah menerima pembantaian oleh jalannya perubahan jaman.

Di Watucongol, kaki-kaki ringan melangkah naik-turun gunung, ini jarak proses belajar memahami hidup menemui buntelan, sepuluh tahun dua puluh tahun pun lebih. Kian terpanggang di tungku pengoreksian, dan lawatan tidak hanya di angan serapan luar juga menujah ke ceruk terdalam, serupa puitisasi nuansa alam langsung yang tidak mengambil bunga dari dalam buku pelajaran.

Setelah jleguran di blumbang di pesantren Darussalam, lantas makan satu nampan bersama-sama, masakannya lumayan pedas. Tradisi memasak di pondok kini mulai berkurang oleh adanya kantin di tengahnya, di sini masih ada yang masak sendiri, berat sama dipikul ringan sama dijinjing pun dalam penggalian keilmuan. Hal membedakan Watucongol dengan pesantren lain ialah hampir semua kegiatan dilaksanakan di malam hari. Siangnya sebagian santri ke sawah, meski ada yang ngaji siang, namun seakan diwajibkan para santri dikala malamnya terjaga. Dan blumbang, salah satu hiburan membuang kantuk juga kemalasan; terjun bebaslah berenang, terjunlah bebas berpendapat!

Hidup prihatin di pesantren dibandingkan yang biasa di luar, maka pemborosan tampak mencolok, bisa jadi akan lebih bermanfaat bagi pemampu mengendalikan kebutuhan hayatnya. Menengok yang berfoya-foya menghabiskan waktu kurang pedulikan usia, lebih jauh umbar-umbaran mengeruk kekayaan negara. Maka, jika ada yang berpendapat pesantren sebagai gudang teroris, padahal buktinya tidak meyakinkan, lalu mencermati para pejabat yang mengkorup uang rakyatnya; tidakkah sejatinya mereka teroris yang wajib dibasmi sampai akar-akarnya?
***

II
Ada ungkapan lama, Surodiro joyoningrat, lebur dening pangastuti (Semua keberanian, kekuatan, kejayaan bergelimang nikmat duniawi, akan hancur musnah dikalahkan dengan kebijaksanaan, kasih sayang serta kebaikan). Tetaplah menegakkan yang benar dengan tongkat keyakinan, kelembutan dari sifat kebaikan bukanlah lemah, tetapi selembut gelombang menampar tanjung karang terjal kebodohan, seketinggian itulah kebaikan memukul dan menerjang.

Kata-kata tersebut saya agak lupa asalnya, apakah dari Prabu Jayabaya, Pakubuwono III, atau R.Ng. Ronggowarsito? Kalimat itu kini saya maknai lewat tiga pamor pengertian; pembawaan negatif ke negatif, pembawaan positif ke positif, dan pembawaan negatif ke positif, yang mana tergantung perubahan ruhaniahnya.

Kata Suro mengingatkan suatu nama bulan di kalender Jawa, pula tetumbuhan yang dedaunannya bisa digunakan untuk menjernihkan bola mata; daun suro juga sebagai bahan kinang. Suro artinya keberanian, maka segenap waktu, materi dan apa saja yang mejuruk padanya mendiami ruh keberanian, tatak istilah lainnya. Keberanian tergantung yang memakai, kalau melekati sosok bajingan, maka berani melakukan kebejatan, jika tersemat pada orang-orang baik, akan menimbulkan tegaknya keadilan dan seterusnya.

Kata Diro maknanya kekuatan. Jika ditakwil ke dalam kata bahasa Arab sebentuk khadir (hadir). Paham lain sempalan dari kata ‘ndi’ dan ‘roh’ (Jawa) atau dimanakah ruh itu hadir memberi kehidupan? Saat ‘diro’ masuk setelah ‘suro,’ kata diro berpengertian kekuatan yang mendiami letak bergantung pada kata sebelumnya; suro (keberanian). Kekuatan dari keberanian atau keberanian yang mengundang kekuatan; menghitung kadarnya, mengeksloitasi dinayanya hadir. Yang bernasib baik keberaniannya dilindungi, dicurahkan rahmat-Nya serupa akal perolehan. Ini berlaku balik bagi yang ditimpai takdir buruk, maka segenap keberanian berkekuatan menahan, pula menyerang dalam perilaku kejahatan.

Kata Joyo sama dengan kejayaan, ini menguatkan ikatan kata terdahulu; keberanian dan kekuatan, di atas keduanya memperoleh kejayaan atau kemakmuran. Pengertian ‘joyo’ tergantung yang membawakan. Kemakmuran yang tidak disalurkan ke sesama, menumbuhkan bibit tamak serakah, meningkatkan watak kesewenang-wenangan. Sedangkan pemerataan atas perolehannya diberkati perangai kasih sayang. Tentu coraknya tergantung pada jaman yang mengasihi; jeweran, hardikan, teguran, selemahnya isyarat, tidak kurang sepantulan yang dihadapi. Joyo itu sekumpulan beberapa energi dari energi yang tersimpan oleh kata ‘suro’ dan ‘diro’ atau kejayaan persenjataan dekat dengan kemewahan, ketampanan (kewibawaan).

Ningrat beralamatkan pada gelimang nikmat duniawi; pamor kejayaan dari sikap keberanian, kekuatan tersimpan di dalamnya. Ningrat sederajat dengan terpandang, berwibawa, sisi lain sebagai kekuasan yang mencengkeram, seturut pancaran pelakunya sedari derajat yang menyandang. Seumpama berwatak kasih mengayomi sesama, kebalikannya dapat menindas beraura angkuh yang dinaungi awan kegelapan. Kata ‘ningrat’ berdekatan istilah ‘darah biru,’ keturunan raja atau insan biasa tetapi pemampu menancapkan peristiwa penting sampai mensejarah, maka keturunannya bakal tersemat di pundaknya kata ‘ningrat.’

Lebur artinya hancur, musnah dan memiliki makna lain; ‘peleburan’ yang keras menuju lembut, zat cair menjelma padat, bebatuan melebur berdebu, kayu kering dinyalakan api berarang, berabu, air menjadi es. Di sini persamaan lurus kalimat itu antara unsur negatif ke negatif, positif ke positif atau peleburan yang memperkuat nilainya. Kejahatan bertambah oleh keindahan ucap, kebaikan meningkat atas berkelembutan bahasa, sedangkan sedari negatif ke positif; lebur menghancurkan yang kerap dimaknai pemusnahan soal-soal se-durung-nya.

Dening itu dengan. Perihal keberanian, kekuatan, kejayaan bertambah keningratan yang berwatak buruk akan lebur hancur. Bisa juga melebur gentayangan, ‘hantu’ istilah Derrida. Maka penambahan mengikuti tuannya, dikala disematkan pada orang jahat, sejenis ular mlungsungi berganti kulit, semakin kemilau bisanya kian bertuah, keindahan ragawi yang berdaya mempengaruhi pandangan, sehingga yang takjub menjadi mangsanya. Yang baik pesonanya diarahkan menanjaki bukit demi kebaktian, peningkatan usia disyukuri dengan mengasihi, laku bukan jebakan menggelincirkan, tapi mengajak pahami karunia yang ditopang mawas diri berulang-ulang.

Pangastuti artinya kebijaksanaan, kasih sayang, kebaikan. Kala diarahkan pada perihal sebelumnya; keberanian, kekuatan, kejayaan ditambah keningratan; melebur dalam sikap kebijaksanaan tipuan, kasih sayang sulapan, kebaikan bersimpan kebejatan, kelembutan ‘pangastuti’ memendam bahaya keburukan, sengkelit keris di belakang, rayuan ke lembah kemungkaran yang berdalih paling menggiurkan, sebab memiliki segala tingkatan lakon yang diminati kemanusiaan. Dan sebaliknya kebijaksanaan nan adil, kasih sayang tulus, kebaikan tidak meminta balasan, lebih jauh tidak berharap baik pada kebaikan itu sendiri. Yang umum, makna dari ungkapan tersebut ialah keberanian, kekuatan, kejayaan bertambah keningratan yang serakah, dan berwatak bodoh bernasib sialan, sehingga terkuak maksud buruknya; menjadi lebur oleh datangnya kebijaksanaan Sunnatullah, ludes di atas kebaikan yang sederajad timbangannya, sebadai gelombang menerjang tanjung keangkuhan.
***

III
Kini kelanjutan dari ‘risalah akal’ al-Kindi melalui tafsiran Majid Fakhry, yang sebelumnya sudah saya terjemahkan. Setidaknya lewat banyak pendekatan, akan memperoleh kepenuhan dalam memeluk badan pengertian. Sebenarnya, sedari awal ingin langsung mengudari esainya IK, tapi tentu menemui resiko bagi penerimaan pembaca. Yang pasti menilik latar belakang, hal yang kurang sepantasnya dibebankan kepada pembaca bebas seperti saya. Olehnya dikurangi, dengan mengutip beberapa pengetahuan yang berkisaran dengannya, ini menguntungkan di dalam menggali pelajaran dari para pendahulu. Juga menggerus watak turunan atas keraguan mereka kepada yang tidak bertitel. Bisa jadi ini obyektif, dikarena tidak dibarengi rasa ketakutan ketika berseberangan paham lembaga yang memayungi misalkan, sebab saya sejenis orang yang merdeka. Atau kebebalan terketengahkan tidak berimbas jauh, dan andai ada yang memetik hikmah, saya percaya mereka para penalar yang mementingkan keseluruhan kajian daripada sepenggal pandangan.
***

Sejak awal telah saya pelajari letak geografis kedirian pribadi ini yang lahir di Lamongan, hijrah ke Jombang lantas ke Jogjakarta. Pertimbangan sejak dini serupa menimang kebodohan untuk berselalu mewajibkan dalam memperbanyak belajar. Sewujud syukur diberi kesadaran sebagai insan lemah, dan menulis itu mensyukuri nikmatnya membaca seperti menyimak hembusan kasih. Di sini tiada keraguan, toh semua bakal berakhir, dan kemerdekaan inilah yang menelanjangi ketakutan sampai pada pembaca di bangku seimbang. Tidak diperbudak akal nafsu, kecuali kebenaran keilmuan tertimba dari berbagai bangsa, juga tidak mencincang nilai kedalamannya. Olehnya saya menyebut diri ini pengelana, kadang pelajar, meski tidak di bangku sekolah, dan kursi tertempati adalah kemerdekaan berpikir merasakan goyangan iman yang berharap berkah kemurahan, dibalik kedunguan saat melalui jalanan kehidupan.

Kepercayaan terbit oleh yakinnya di antara mereka pemilik kepenuhan, cenderung melihat jalinan teks dalam permasalahan yang diketengahkan. Atau ini ujian bagi sebagiannya yang berwatak menutup-nutupi mengaburkan keterangan atas hasratnya yang serampangan. Sebab penulisnya orang-orang bertitel di sisi kita menghilangkah kecurigaan kala membacanya, otomatis ditelan mentah-mentah, padahal wacananya dekat pembodohan. Pembuktian sepintas tanpa dilandasi kupasan kekaryaan yang mendalam, bisa dikata pengantar terlalu dini dekat kepincangan dari berjubelnya tuntutan hidup. Saya tidak menyalahkan, hanya bila dibuktikan, bisa dipertemukan di meja telaah nan lapang yang diturunkan dari berbagai ahli sewaktu mengoreksinya.

Dalam tingkah pelajar serupa ini saya menampik mitos yang bersemayam di badan kesusastraan kita, dengan mementingkan kesadaran lewat kelenjar sejarah, urat teks melalui rujukannya. Dengan harapan pembacaan menuju muara kebenaran, tidak mandek sebatas permukaan menemui bibir tanggul lokalitas angkuh dekat keterlenaan. Saya urai ‘akal’ al-Kindi lewat pendekatan kekaryaannya Majid Fakhry, Guru Besar Filsafat di Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington. D.C. dari bukunya “A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism” terbitan Oneworld Publications, Oxford, England 1997, yang diterjemahkan Zaimul Am, atas penerbit Mizan, II 2002.
***

Al-Kindi terlahir di Kufah, keturunan kabilah Kindah. Kufah merupakan salah satu kota di Iraq, yang terletak sepuluh kilo meter timur laut Najaf, serta seratus tujuh puluh kilo meter selatan Bagdad. Karbala, Najaf dan Kufah, ialah kota-kota terpenting kaum Syiah. Semasa Khalifah Saidina Ali, pusat administrasi dipindahkan dari Madinah ke Kufah. Saidina Ali bin Abi Talib pun meninggal dunia oleh akibat tikaman pedang Ibnu Muljam, dan dimakamkan di Najaf. Lantas saya teringat awan hitam pekat yang memayung di masa-masa perang teluk yang diberitakan koran JP, hingga tergulingnya kekuasaan Saddam Hussein.

Al-Kindi putra seorang gubernur, ia berpindah dari Kufah ke Bagdad kala Ibukota Kekhalifahan Bani ‘Abbas; Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq, ketiganya pendukung iklim belajar-mengajar dan kegiatan ilmiah, filosofis juga kesusastraan yang condong rasionalisme teologi Mu’tazilah. Saat Al-Mutawakkil menjabat khalifah tahun 847, al-Kindi bernasib buruk seperti filosof dan teolog lainnya, selama lima tahun masa sulit, ianya wafat sekitar tahun 866. Dalam dimensi pun diwaktu berbeda, di bencah tanah Jawa khususnya dataran Pantura, telah tertanam pusat spiritualitas; disemayamkan jasad para pendahulu, pengobar syiar Islam bersebut Wali Songo yang dihormati kaum Nadliyin. Lalu saya terbayang pulung kekuasaan Majapahit lengser ke Demak, begitulah sketsa singkat jika diseiramakan.
***

Majid Fakhry mengurai al-Kindi sampai risalah akal, terdapat dalam dua paragraf yang saya kutip ini sebagai kehendak persemaiannya:

…Dalam risalah berjudul Maqalah fi Al-Aql (Pembahasan tentang Akal) -yang pada gilirannya nanti menjadi sumber inspirasi bagi karya-karya Al-Farabi, Ibn Rusyd, dan selainnya- Al-Kindi mengembangkan tema tentang intelek (aql). Sejak masa Aristoteles dan para komentator Yunaninya, khususnya Iskandar dari Aphrodisias (w.200), tema ini memang telah sering diulas. Begitu pula yang terjadi pada filsafat Abad Pertengahan, baik di Timur maupun di Barat.

Namun, dari risalah itu, Al-Kindi membedakan empat bagian intelek, yaitu pertama, intelek yang selalu dalam aksi; kedua, intelek yang masih potensial; ketiga, intelek yang telah melewati keadaan potensialnya menuju keadaan aktualnya, atau intelek capaian (acqurid intellect atau aql mustafas); dan keempat, intelek manifes yang berfungsi mengabstrasikan bentuk-bentuk universal dari segenap benda materiil. Intelek ini boleh jadi sama dengan intelek aktif, yang memberi tahu jiwa tentang spesies aneka benda manakala ia sudah lulus dari tahap intelek capaian.
***

IV
Saya tidak cukup daya menyusupi kini, sedang waktu terus berjalan. Maka akan digabungkan beberapa kemungkinan membongkar sedari pemahaman Majid Fakhry melalui karyanya Goethe “Faust,” disertai instrumen musik klasik garapan Wagner yang bertitel “Faust Overture.”

Der Gott, der mir im Busen wohnt
Kann tief mein innerstes erregen
Der über meinen kräften thront
Er kann nach auszen nichts bewegen
(Wagner, Faust Tragödie)

Semangat gila-gilaan al-Kindi dalam pencarian keilmuan filsafat pun teologi, sedari bebangsa Yunani, Suryani, keagamaan India, Chaldean, Harran, di sisi Islam sendiri. Dalam wilayah berbeda, bisa dihadapkan pada nafsu agungnya Doktor Faust. Olehnya, kini ditampilkan lelembar Persembahannya Goethe sebagai sketsanya:

Datang lagi kalian, orang-orang gentayangan,

Yang memanjati usia namun masih meragukan kedatangan masa bayang-bayang di pundak penasaran. Terus menyangsikan, melupa kesangsiannya sendiri akan hari-hari luang. Kritik ini sebahan mentah, hantu-hantu menyerang, menyongkel kubur sedalam ketidakjujuran dari kurang awasnya penyelidikan. Saya tarik gaun itu agar betapa malu seumpama sejarah ditukar kekayaan. Bernapas yakin menggempur tanggul keangkuhan demi menjalari pekerti sejauh pengabdian keilmuan, gudang simpanan bebijian disebar ke ladang kemungkinan, menjadi santapan bernilai bagi kaum yang sulit duduk di bangku pendidikan. Nalar pertama ialah niat yang dilesatkan ke ujung penyatuan, sekuntum kembang sumekar oleh cahaya surya kemurahan teruntuk setiap insan.

Begitu dini sudah memperlihatkan wajah muram,

Kerugian terbesar menghitung waktu tak beranjak, padahal batu-batu bocorkan kepala, darah segar kebebalan ego tidak menghargai kesalahan lalu, terus berdendang seperti tidak terjadi apa-apa, padahal awan hitam letusan gunung menutupinya. Tahankah bernapas tanpa berkat kasih sayang? Ini bukan mimpi buruk, tapi kutukan datang tiba-tiba. Bebatuan karang sepatung-patung menundukkan wajah, digedor dari pelbagai arah, lebur binasa tidak bersatu ombak lautan. Demikian perubahan mencakar seperti serigala kelaparan, raungannya menjelma kisah-kisah. Pada paras murammu separuh bercahaya, entah sorot lampu sulap atau mengundi nasib tidak tepat masanya? Hingga gapaianmu runtuh oleh malam yang tidak sanggup mereka artikan. Padahal binar hikmah dari lecutan cambuk malaikat melabrak benang laba-laba merah di angkasa mencuri berita. Dan ledakan terindah di dada terbelah di kala masih belia.

Haruskah kucoba menahan kalian?

Membiar pembodohan berlarut menutup mata acuh tak acuh, menganggap kesalahan wajar. Beranikah memulai penyelidikan sedari kekeliruan lama yang sudah terkuak, sedurung mencapai pembenaran ringan yang biasa dilakukan? Bagaimana mensejajarkan yang bergelut nalar, amarah, syahwat, dengan yang lewat alibi, berlari dari makna, lepas tanggungjawab, merombak firman-Nya? Tidakkah cukup bukti didahapkan balik? Jika mengudar tanpa laku, tong kosong berbunyi nyaring, dan anak-anak suka mengabarkan ke tengah malam, padahal bulan telah menjadi bukti malamnya. Dengan gaung ‘Faust Overture’ Richard Wagner, saya tidak menahan suara kalian, melapangkan berdaya seimbang. Jika ada kemurnian peroleh derajad sepadan, nasib malang melintang berasal lelangkah awal tidak diinsafi menjelma petaka kemudian. Yang memuncak peroleh keelokan lengking persamaan, ketahanan menerima tradisi berpijak kebajikan, agung lestari nyanyiannya.

Cenderungkah hatiku pada kegilaan?

Suara keras memantul mendamprat jalanan. Sebab kelembutan kerap dianggap pujian atau mencari muka elusan. Kegilaan Doktor Faust, pesta besar-besaran al-Kindi atas Plato, Cicero, Aristoteles dan tokoh lain, mendatangkan sakit kepala di mana-mana, kesakitan jiwa muntah darah; soal badaniah, belahan sukma, kisaran planet, hitungan matematika, rumusan fisika, gugusan metafisika; membentuk lingkaran sesak yang terurai kebijakan dari pucuk penalaran, keberanian sedari bara api amarah, pengendalian diri oleh ketinggian syahwat. Tidakkah penemuan teramat edan tetap bersilsilah, bukan sempalan terputus dikira pembaharu? Detik-detik merangkaki kesaksian, kesadaran merangsek keberadaan. Kata Picasso; “Ada satu hal yang tak bisa saya berhenti mencari, karena hal itu tak bisa saya temukan.”

Kalian terus saja mendesak! Baiklah, jika itu yang kalian inginkan,

Perombakan besar-besaran tak sekadar melancongnya kaki tapi ruh dari ruh menggembarai tiap lipatan kabut tertembusi cahaya. Saya tidak kemana-mana, tetap menghitung partikel detik mencermati perubahan tidak kalian rasa, tersebab percepatan keinginan. Dan waktu berjalan seperjalanan awan, mendung-hujan hanya tanda ada yang mengendap beralih dari letak semula. Dengan hening pahami pergeseran; saya sedang merasai permukaan menghisap tenaga sampai kesuntukan malam, walau kalian telah tahu kemengslean dibiarkan. Saya tunjukkan betapa bangunan awalnya keropos, dipastikan ambruk menjadi pelajaran atas sia-sia. Olehnya yang balik ke gagasan awal bersimpan tuah berpatokan nasib terudar, seperti mantra buka permainan kata, tetapi kehendak terdalam bersimpan mana.

Betapa kalian seperti uap dan kabut yang mengepung diriku;

Kalian mengamini para pendoa karena jubahnya, sementara tidak paham muasal makna suaranya, hanya mengira kebaikan melihat pemanjat bukit berpujian. Terus saja suara tanggung bergema mengisi lembah, padahal disaat bersamaan, dinding-dinding bukit gemetaran oleh kekeliruan kalimat yang dikumandangkan. Serupa uap kabut sekali ditarik angin mengikut, didorong bayu terhempas, tidak berpendirian pada sikap, segaris yang sudah disejajarkan. Yang mendaki sebatas akal dangkal, tidak bisa melompat terbang menuju kebenaran, maka tidak salah dikata sulapan, panggung mengadaan yang cepat buyar ditelah harum pagi kesadaran; pesta akan berakhir, kejahiliaan pantas dihakimi secara apapun demi menunjukkan laluan semestinya. Bagaimana bersikap manis dengan kepalsuan? Sedang mereka kekalkan keblingeran? Patung-patung pancangan kegagalannya dihormati seperti pahlawan kesiangan? Di mana akal lurusnya? Mampukah berhadap cahaya dan bayangannya, kala senja merampungkan kesaksian terdalamnya?

Dadaku bergetar oleh kemudaan segar, merekah

Maka tidak keliru ada yang mengikuti laluan ini, terseok-seok napasnya sendiri, karena saya tidak bernapas bersama kalian, di tempat lain menahan napas lalu menganggap ringan, serupa betapa mudahnya gugur sebelum waktunya. Kemurahan mengembang sedari yang tidak bisa diperkirakan, saya berdendang antara kepungan, lantas menurunkan melodi pada hitungan kalian yang gegabah. Kala itu merekah kuntum kembang saya kecup di rawa-rawa kemakmuran bagi hewan-hewan, kalian terselimuti kantuk memutus temali lembut, membuat tercengang kemudian. Mereka melupa hari-hari kepastian, mengaburkan demi kekayaan semu seuap-kabut tatkala cahaya surya belum garang melangkah. Getaran dada ini kesempatan kalian menemui kemudaan segar kembali, tapi dihantui waswas yang sebelumnya meremehkan, dan dalam posisi nanggung selamanya. Begitulah peremajaan berasal tuntunan terdalam, tiada pemampu mengelak kecuali berbijak tidak mengurangi-melebihkan timbangan bersuara keadilan, dan yang datang kemudian pahami maklumat kebenaran telah diselewengkan.

Oleh hembusan ajaib ketika kalian garang melangkah.

Pidato-pidato kebudayaan, bola bekel memantul-mantul di lantai, kalian melupa betapa tekanan bisa menaikkan bola bekel lebih tinggi dari ketinggian sebelumnya. Tatkala membentur muka mulai sadar nasib yang sebenarnya menimpa, terus berakibat buruk terluput dari tangkapan berikutnya. Maka dari kalianlah tentu dengan meluruskan jalur yang sudah, telah pahami yang tidak lekas menginsyafi bandulan takdir takaran seimbang; kalian gusar oleh keajaiban mengenai mata, membiar sebola tidak lagi bergerak tidak bersuara, tiada didapat kecuali permainan membosankan lekas sirna. Di tempat lain para pendatang mengamati kemajuan sedari kebuntuan keadaan, kebisuan tidak lagi berwibawah, dan saya tidak kurang dari itu, lantaran sepenuhnya mengikuti hukum yang ada. Mulanya saya mencintai keajaiban, kala kesaksian ditampakkan berlipat-lipat terbuka lelembarannya, semua berajaib meninggalkan kalian sejauh jarak tidak mampu terendus nafsu murahan.
***

Kalian adalah gambaran hari-hari penuh kegembiraan,

Pesta teknik awut-awutan dengan rujukan sekenanya demi melampaui hal yang secara hakiki ada, tarian nalar tanpa dilandasi kedalaman ruhani, wacana sepintas mendempul kulit yang tidak meresapi daging tradisi yang tentunya mesti wujud. Menghalalkan segenap kemungkinan yang dipastikan mengalami kebangkrutan, sekilasan rumangsa cerdas atas bumbu yang dipaksa ke dalam racikan mengundang pertanyaan, yang tidak menujahi keheningan diingini; kekeliruan ini terus dirayakan mereka yang silau akan harkat sebuah permainan; baca esainya Dami N. Toda di dalam bukunya “Apakah Sastra?”, terbitan IndonesiaTera 2005, yang bertitel “SCB: Datu Teknik Perpuisian Indonesia Modern (Studi Bentuk Diksi Puitik ‘O, Amuk, Kapak’, 1981)” lantas benturkan tulisan saya dari awal sampai kini, terutama kutipan Dami dari SCB? Serta nama Hamzah Fansuri di sana?!

Dan kenangan-kenangan manis yang membumbung tinggi;

Untunglah saya pernah bersentuhan alam puitik, sehingga tidak mudah terjebak nalar-nalar sulapan seakan semua mendapati pembenaran atau lubang-lubang didempul penuh. Yang sebelumnya dianggap tidak mungkin, bagi kasus Sutardji semuanya boleh, inilah mitos terbesar demi menjadikan ‘penyair besar,’ dan kebablasan fatal yang sudah saya tunjukkan, bisa dipertimbangkan sebagai perhitungan layak! Seakan-akan kehendak Tuhan meloloskan paham ‘para kritikus’ lantas diamini sebagian kalangan dengan girang, tapi tidak boleh ditiru atau jangan sekali-kali, sebab ia pemegang kartu?

Andai melalui pertimbangan lain, volumenya saya naikkan, seperti orang-orang Qaramitah yang dipimpin Abu Tahir membantai kaum muslim yang sedang bertawaf , dimana lima tahun sebelumnya (312 H) melakukan hal yang sama (baca buku “The Ka’bah,” karya Fathi  Fawzi ‘Abd al-Mu’thi, diterjemahkan R. Cecep Lukman Yasin, MA. , terbitan Zaman 2010). Pengecualian membumbung lalu terhempas ke pantai bagi percontohan nalar tidak sanggup merambahi kandungan alam lain kecuali di lingkaran penalarannya, dan untuk sampai dihasrati mengabaikan perihal hakikat mantra, misalkan lepas makna dengan kekhususan wagu! Atau mimpi-mimpi kaum Qaramitah maupun bala tentara Abraham yang sia-sia saja menghancurkan Ka’bah.

Seperti kisah tua yang terdengar sayup

Teks terjemahan Agam Wispi terbitan Kalam, Oktober 1999, di larik kalimat ‘Persembahan’ Faust-nya Goethe ini saya maknai dua pengertian. Pertama, Dami pelahan-lahan mengubur sebuah tradisi luhur dengan pengistilahan ‘modern’ guna diterima khalayak, kalau SCB masihlah sejalur leluhur di Nusantara? Kedua; bayu pendorong melambungkan Sutardji kini terdengar sayup, dari dulu juga mendatang, jika dipandu alibi istilahnya, lepas tanggungjawab perangainya, meski bernalar rakitan. Untuk ke drajat yang diandaikan takkan sampai, kecuali pada dataran teknik, pula pincang bagi langkah tidak abai, mata jeli yang merujuk pada kesan-kesannya ke wilayah puitik. Inilah pertanyaan saya atas nalar membuka kemungkinan yang menutup khasana sebelumnya, atau pekerjaan rumah bagi kisah tua tampak sulapan suntuk, seolah tiada pekerjaan kecuali memberi ruang seluasnya bagi watak ugal-ugalan!

Datang bersama cinta pertama dan persahabatan guyub;

Pesona awal keanehan, tepatnya wagu! Membuat mereka berbondong-bondong menyimak dengan penerimaan lugu, suara-suara itu terus dipatenkan meski telah paham mengsle dari engselnya seolah ajaib. Seakan hawa baru sudah datang serta pantas dirayakan, dengan mengambil bahan dari luaran, lalu para pendatang nanggung ketakutan tidak diterima mereka, padahal terlalu banyak peroleh minyak pujian, pengawet dekat pengerdilan dirinya pun yang lain. Persahabatan guyub menutupi kebocoran atau biar dianggap ‘kehilafan manusiawi,’ dengan menaikkan pamor di ujung lainnya yang dipermak akal racikan. Pandangan pertama membikin kecelik, Kredo Puisi-nya deladapan disandingkan kajiannya, lantaran parasnya menggiurkan, dan tiada ingin mengecewakan jika boroknya terbongkar membikin malu tujuh turunan. Maka diteruskan sejarah menggelikan itu?

Luka lama menjelma baru, keluhan hidup kini berulang larut

Kebuntuan lampau kian tampak, mata rantai putus semakin terasa, dan sampai kini masih desas-desus. Alat yang tidak bisa dipakai seperti pengadaan semu menjemukan, kecuali sekadar latihan. Pun tersebut dapat digeser lewat pelajaran terbaik daripada sekadar permainan teknik lewat puitisasi bikinan bagi orang-orang silap. Sehingga…

Menempuh jalan luput dalam lingkaran setan

Sim Salabim, Jadi, lantas jadilah!, Jadi maka jadilah!, anak turun pesulap David Copperfield; pemantra palsu bersama para pencari tidak ketemu, berputar-putar di lingkaran, ngakak dalam suasana larut, guyub segaris busa pantai dihempas gelombang kekuasaan laut. Tiada garam, atau nyeri tidak sampai persendian!

Dan menamakan yang baik, yang demi saat-saat indah dalam hidup,

Disebutlah Raja Mantra, Presiden Penyair Indonesia, atau apa saja yang elok-elok, ke-wagu-an terlihat ajaib itu nyata berasal dari kebiasaan kalau dirunut, misal Raja peminum sebab setiap hari kerap meminum, dan kekuatan dari kesadarannya seolah alami.

Dikelabui kebahagiaan, di depan mataku hilang lenyap.

Kesenangan busa di pantai, sekiranya merasai sudah sanggup mengejar burung-burung camar di udara. Lalu orang-orang pada garuk kepala untuk mencari kutu loncat tidak terketahui, selain penasaran juga heran keberadaannya?
***

Mereka tak mendengarkan tembang ini,”

Dikiranya ini edan, sinting, cinta buta, serakah, marah atau kekerdilan lain dari pendidikan rendah. Namun niat bagai pelor bersarang di tubuh, selalu bermekaran ke dalam kesadaran baru, sekepak burung terbang melesat di udara tidak peduli lemparan batu, apalagi senapan angin atas bidikan meringan. Ini mengupas sejauh kemungkinan tertanda, toh tiada telinga kekhusyukan kecuali keheningan sama, dan tiada perubahan nilai kecuali pergeseran mereka yang tengah duduk lama kesemutan bersama hari-hari tuanya. Bagaimana mampu mendengar, menerima keadaan dulu tidak mampu, apalagi menyusup jauh? Bagaimana bisa mendongak, melihat kekayaan di kaki-kakinya masih dikira ada? Bagaimana tersadar, kala kilau cahaya di depan atas tertutupi topinya?

Jiwa-jiwa yang pertama kali kudendangkan;”

Awal kesadaran, mula melesatkan niat dari kungkungan pelita, bersemburat isi cakrawala tanpa waswas, dan keberanian satu-satunya jalan pada negeri penuh tipuan. Laguan ini tiada getar keraguan tapi saksi terbesar mengudar sulapan, pengandaian dari orang-orang tinggi ilmu tapi melupa kesejatian, meloloskan kemungkinan di luar akal, maka tiada kepastian ilmu, sejenis kondisional megalomania. Mereka yang terselimuti kabut kekaguman dari pewarna cepat putar atau pemanis buatan, memesonakan para pemula dari penglihatan dini, sebelum datangnya kesadaran hakiki terpancari pencarian sejati. Maka pijaklah kesadaran pertama, amati seksama di tempat duduk semestinya, jangan cepat heran. Saya percaya nalar saudara telah baligh yang pantas dipertanggungjawabkan, kecuali ingin buat kelas-kelas pembodohan dengan referensi meyakinkan oleh lihainya bertukar kata bertangkap gelap permainan. Maka rawatlah jejiwa itu, lantas dendangkan berkesungguhan kepastian, bukan sihir mengecewakan yang tidak layak mendiami penelitian!

Mereka berserakan, berjejal-jejal dengan tenang”

Para generasi yang mengenyam tipuan dengan lahap, kini berserakan pangling tidak tahu alamat pulang. Mentalitas grubyak-grubyuk mengikuti sebagian peneliti keblinger dengan pondasi konyol dekat kuburan. Tiang-tiang pancang menjulang ambruk mengenai pengikut tanpa diberi jawaban, serupa kontraktor bangunan kabur sebelum jatuh tempo yang diharapkan, ini lebih gila mengkonstruksi nalar berakibat buruk lantas cuci tangan. Mereka hanya berjejal-jejal tenang, sebab sudah tiada daya yang disuarakan, kecuali menambah kekeliruannya, seakan menanti kematian. Busa lautan melimpah, keganjilan tidak pantas dipertanyakan, tetapi terus menari-nari dengan gerakan ampas, atau muka paling malu dilindas terjangan ombak menampar karang. Tidak lebih senasib buih centang-perenang, seperti takdir awalnya menggali ketidakmungkinan, menghalalkan segala menutupi kekurangajaran!

Ah, suara parau! Berderum pada orang ramai yang asing itu,”

Mereka meninggikan kemungkinan tidak mapan melalui jalur menghalalkan segala cara, atau spekulan terlampau nafsu mengusung nilai-nilai impiannya. Yang diburaikan kebingunan disaat menyepadankan soal, dikala menyederhanaan tidak berjejak makna selain akal-akalan. Suara-suara parau meloloskan diri yang dianggap jempolan, tetapi dalam kejadian sama menutupi rapat-rapat seperti kekhususan. Maka sejatinya mereka cinta buta, dengan menganak-tirikan sebagian yang sama, olehnya kegilaan mendapat ruangan, kran bagi dianggap pilihan yang otomatis njomplang, penelitian dekat kecurangan. Ini hadirkan kesewenang-wenangan di tempat lain dengan gaya mengagumkan para pemabuk darat terlempar dari akar tradisi. Tidak lebih tanaman plastik atau alibi para petinggi ilmu tanpa lelaku, kepala tanpa batang tubuh, kaki-kaki tidak berpijak membumi.

Tepuk tangan mereka justru membuat kecut hatiku,”

Suara keganjilan kian lama dipatenkan, umpama kekeliruan dianggap benar, atau dibenarkan demi tegak bangunan? Dikala waktu terus berlalu, hukum alam berpadu, tepuk tangan meramai lenyap ditelan angin lalu! Dan dengan sendirinya daya fitroh dari dasar kalbu bening terangkat bak kembang teratai mengambang di rawa-rawa. Kejelasan niscaya olah batin-raga mengembang bermekaran, secantik pagi kesadaran, setelah lama kabut mitos menyelimuti pandangan. Itu masih jauh, selama tulisan ini bereaksi dalam tapak hayati tiap diri, masih kecut selain yang benar-benar mencecap getah akli serat hakiki.

Dan selain itu, keriangan dalam laguku,”

Tiada mampu pahami meski beragam penuturan, tetap saja yang menutup kalbu tidak temui rindu, yang tidak mengeja satuan waktu tidak bakal mencerna rahayu, tak peroleh pencerah lantaran pasrah terhadap kebuntuannya. Hanya melalui gelombang tertinggi, mereka peroleh pengetahuan sedalam laut debarkan ombak ke karang-karang angkuh, pun hanya di ujung angin yang menyentuh itu. Sedari desakan nalar, himpitan soal memuntahkan kerinduan ke derajad kebertemuan, ini sangat tipis terlalu sedikit. Tapi cukup bagi saksi, benteng-benteng pertahanan sudah terlampaui decak angin pembawa air bergaram. Yang lain tinggal meneruskan. Sayang, lebih banyak yang sempoyongan…

Kalaupun masih hidup, telah sesat dan terserak di atas dunia.”

Demikian perangai coretan mereka, pembikin kisah penelitian nanggung dihempas bayu sejarah! Ketersesatan dipatenkan di beberapa tempat mendapati kubur kesunyian, tiada bisa dibangkitkan selain mengulangi kekeliruan. Semakin merajalela saat ada suara membetulkan kesalahan, sejauh-jauhnya atas dunia yang menyesatkan! Terus terhempas badai lupa, berputar di lingkaran sama, tiada pergeseran selain yang menggesekkan diri mengecil, atau melebar pada peneliti lain, sejenis keluar dari kebiasaan buruk memitoskan kejahiliaan demi peroleh jarak kebenaran. Uraian ini seimbang air laut kesadarannya, yang melengkung laksana warna pelangi membalut ubun-ubun sungai, atau putaran bumi di porosnya digantungan surya. Semisal nalar pada kalbu, cahaya kepada yang dirindu.
***

Dan aku dicengkam rindu yang telah lama beku”

Hawa asing itu desau dari balik kesunyian, warna guratan takdir sedorongan bayu kekinian. Ada yang hilang entah melayang, siapa sangka nyawa bersarung badan oleh lamanya rentangan masa, dan jarak kepastian detik-detik terukur kesadaran. Kebekuan merambah bak batu cadas dielus sungai pagi hari tanpa sapa, selain mata takjub perkirakan waktu kemungkinan ke relung terdalam. Yang engkau elus bakal nyata kemudian, pikiran kedewasaan di selubung penantian. Makin tinggi menjauh kian tidak dapat diperkirakan, entah dekapan atau lenyap ditelan kelupaan? Barangkali batu-batu harus dilewati, batang kayu setongkat kembara, hawa dingin ini menyenangkan sepeleburan yang pernah ditinggalkan. Di puncak tanpa arah kiblat, bukan dibingungkan ufuk, tapi pusaran angin meninggikan kejadian, selesat detakan kerinduan, pilu menyayat tenggorokan, memanggang syaraf, atau sebatu salju dalam genggaman. Inikah yang kau rasakan?

Pada keterangan itu, kerajaan ruh yang sesungguhnya,”

Debaran kangen kayungyung memberat melahirkan bebutiran keringat, panjangnya nafas menembus batas kesaksian, mengudar soal kian tidak terjawab. Bukan kebuntuan tapi penantian selalu datang, ibarat mempersiapkan para tamu; segala pernik ditebar, semua kedip pandang dilesatkan, yang berdegup itu kepastian. Keyakinan menancapi para pemilik jantung, ruh gentayangan di persendian memberi hujaman hakiki, ketika tunduk ruang-waktu kekhusyukan, merambahi jiwa menghisap partikel aura. Pada derajat ditaksirkan, mata-mata membelalak, telinga-telinga tertembus cahaya, jaring laba-laba memesona mata dan telinga oleh kidung bijaksana. Hanya pada keadaan tertentu mampu perkirakan, kuasa menyedot kemungkinan, rahmat sebelumnya dipatenkan, asalnya niatan tidak berkesudahan, dan…

Dalam nada tak menentu, kini melayang-layang”

Naik-turun dihempas suara gaib hari-hari kelahiran-kematian, waktu tidak tertangkap, kosong berjubel angin padat seair laut menumbuk hamparan pasir pantai rekat di kaki-kaki terlena. Bocah-bocah bermain riang, para pemuda di awan impian, tetua mengelu-elukan masa lampaunya sepatung-patung menantang di perempatan kota. Padahal bebijian garam keroposkan bebatuan, rumpilkan bangunan tanpa teriakan; waktu terus menunggu, rindu menggebu selalu berpacu, kuda-kuda dibimbing pelana, yang terlepas mengumbar semua; sama bakal musnah. Tapi pemberi tongkat menampilkan tarian sambung hentakan mendera, dan pada perkumpulan tertentu tidak dapat dilewatkan, yang ditarik melesat menuju tumpuan. Duduklah sejenak, akan bakal temui hari-hari dibangkitkan pun ditenggelamkan kapal keangkuhan, kerendahhatian; sama saja kecuali keikhlasan.

Bagai harpa eolia laguku berkumandang,”

Ketulusan bayu meniup kecapi kuno di alam bebas, bebisikan dedaun bambu gemerisik mengangkat bulu pula idep matamu. Aku hendak menyantuni air bening tangismu, jika kau restui satu-dua waktumu berpadu di dalam guyub pekabutan rindu. Tiada mampu mengelak kala detik takdir terpastikan, telah diikrarkan sewaktu dalam kandungan lama, alam halus selantunan ke telinga merela, terangkat pelahan bak gerbong kereta melintasi pelangi di cakrawala. Wewarnanya menjadi rel pembatas, awan menggumpal di linggiran hati setarikan lingsir wengi dihadiahi senandung jangkrik belalang, kunang-kunang meninggi sepucuk gemintang. Adakah pelangi di matamu malam ini? Kecuali kau melagukan senandung merdu ibarat menelan ludah demi melubangi telinga buntu kala menaiki pebukitan. Yang di sana terdiam telaga, tempat mereka melepaskan pandang sedalam tarikan kelahiran. Sesudah itu tinggallah memilih di antara kekinian dan waktu silam, terangkat ataukah tenggelam…
***

V
Sedurung mengurai barisan ketiga urutan terakhir ‘Persembahan’ Goethe, saya akan bercerita terjadinya teks ini, yang menelan waktu hampir tiga bulan lebih. Yakni bepergian ke beberapa kota; Magelang, Tuban, Kediri, Jombang, Ponorogo, serta cobaan mederai jiwa ini yang mempengaruhi orang-orang terdekat.

Awalnya ingin mengetahui sejauh mana rahasia di balik dedahan (kupasan) saya mengenai “Kun Fayakun,” yang secara keterangan mengandung kebenaran di saat menghardik kesalahan fatal. Namun karena kehidupan tidak sebatas permukaan, maka saya cari hakikatnya? Mulanya asyik mencecapi madu risalahnya akal al-Kindi, dan tersebab penasaran bolak-baliknya hati, perputaran masa perpindahan siang-malam, bulan-gemintang dedaun berguguran. Maka saya memantabkan diri ke Watucongol, naik-turun Gunung Pring, dan nyata niatan itu menenangkan pribadi pun di batas tertentu senada kalimat “lâ hawla wa lâ quwwata illâ bi Allâh.”
***

Di kala merasai puncak ketentraman, tidak berselang lama terjegal sandungan, di sini paras ketampanan sukma, kecantikan jiwa, kemantapan kalbu memperoleh tantangan tidak ringan untuk mengetahui sejauh mana ketenangan yang sudah terasai? Atau sebagian doa saya terkabul, lainnya ditahap pengujian. Yang terjawab menyaksikan betapa hijab disebalik teks benar-benar berbicara; mungkin ada wujud kemarahan di buku ini, sejenis kekesalan Musa terhadap Khidir. Dan berlanjut, olehnya bukan pandangan semacam Nabi Musa seluruh, namun hakikat semestinya itu yang terdamba.

Saya ditantang beberapa soal yang mengharuskan menelan pil pahit kesabaran, hampir linglung berkali-kali memasuki beberapa kota, dan kebetulan membuat makalah antologi sastra pesantren yang bertitel “Jadzab.” Menulis kini pun di Jombang tepatnya di kediaman Sabrank Suparno, rasanya ini menyetujui lontang-lantung membawai jiwa tidak sumringah. Bermuka kusam, saya menghadap para guru demi memecahkan batu masalah di sebalik teks; ketenangan dalam pencarian menemui kenyataannya buah maja. Semoga tidak amburadul, lalu melangkah lebih mantab selanjutnya.

Di bebagian lalu saya bercerita bertemu manusia yang secara balutan fisik serupa ‘orang gila,’ dalam keadaan teramat ganjil bulan ini seolah diharuskan menempuh jalannya bolak-balik setiap hari tiga kali, padahal dulu paling banter seminggu sekali saat di Lamongan. Sebagaimana dirinya saya tidak mengenal siang-malam, terik mentari panas menyengat hujan mengguyuri badan, serta jalanan kian rusak aspalnya, padahal laluannya salah satu denyut jantung pemerintah daerah, penghasil bandang, udang dan lainnya.

Pada gelombang tertentu ia senasib saya atau diri ini tengah diseret pusarannya, menyetiai jalan yang selalu dipijaknya tanpa alas kaki. Dulu sebelum tersingkap wewarna tabir hayati, saya membaca sambil lalu, kini menjadi keharusan untuk dimaknai. Mungkin, jika hati ini dari dulu tidak tersentuh langkahnya, akan terlepas ikatan nasib yang sudah terbangun. Meski belum menyalami, pandangan serta senyumannya akrab menujah batin ini; ada kehawatiran kalau terlalu dekat, dan saya tidak ingin merusaknya. Kadang saya ibaratkan ia timbangan pengukur kadar ikhtiar naik-turunnya kesemangatan diri dalam menggali, menyusupi pernak-pernik kehidupan, dan buku ini tidak lepas dari pantulan besar wibawanya.

Bagian ini bagi pembaca berwatak ndelujur lurus-lurus saja tanpa mengolah baik penyimakan, bisa menemui jalanan buntu. Maka beralihlah melihat reruangan lebah madu yang setiap ruang menyimpan manis, cecaplah keseluruhannya dengan tidak direpoti bebentuk pemisahnya. Dapat pula memaknai ini terpisah sebelum-sesudahnya, pun lantaran watak prosaisnya menempeli dinding-dinding Persembahan Goethe, seruhaniah kerja ke dalam kupasan lanjut. Atau saya mengolah hakikat terdalam, sebelum menghampar luas ke muka penelitian; sedari dataran halus ombak terlembut, terangkat tanpa terasa mengungguli bebatuan, lalu air samudra menyetubuhi keseluruhan pantai pengertian tanpa terpaksa.
***

Gemetar mencengkamku, airmata berlinangan,”

Kala ikatan-ikatan melonggar dingin tidak karuan atau inikah penyempitan perasaan? Menjelma bebatuan kerikil menyongkel mata demi mengetahui seberapa tangisan; haru, sedih, kangen, helahan nafas tidak kunjung berhenti isakan, sedu-sedan, gunda gulana, muram tanpa sapa, sesenggukan terputus. Ada yang pedih, perih menikam, lalu mencapai kekeringan tertentu, disergap hawa paling lalai, ataukah kini letak beberapa kepastian?

Banjir tiba-tiba, longsor menggulingkan bebatuan besar menghalangi jalan, lengkingan berpadu di angkasa, menderum memukul istana. Awan tetumpukan menanti panggilan puting beliung, desakan topan, musik tersebut berdentaman menggali pepunjer kepastian. Pada kurun tidak sanggup membaca; bagaimana menyimak tangis di dalam kesedihan? Bingung terhadap kesaksian menyayat?

Semua dilayarkan, diuntahkan bersamaan air mata menjernihkan pandangan, decak pangling perubahan. Kaki-kaki penopang diseret kepincangan, ini tanda atau isyarat, diteruskan atau berhenti sejenak, ataukah masih membaca kota-kota sambil memaknai kejauhan? Betapa menyodok dada bergetar meriap, waswas di lingkaran, yang mudah teramat sulit memeluknya; gemetaran ini pantas, seperkiraan salah arah yang harus diluruskan. Dan hawa mencekam tanpa pekabaran, semisal menanti tidak berharap balasan; apakah ini dirundung kesepian abadi?
***

Untuk mengurai dua baris akhir ‘Persembahan’ Goethe, saya melompat meliar menggunakan musik instrumental simfoni V Beethoven, yang juga pernah dimainkan kelompok musik Metallica. Di sana membaca bagi pergeseran ‘risalah akal’ al-Kindi (dari Aristoteles sedari gurunya Plato), menuju kepahaman Majid Fakhry. Sebelumnya akan menuangkan lima puisi saya, yang bersimpan simfoni Beethoven tersebut demi pengantar tahapan.

SIMPHONI I

Pada suatu penalaran halus;
angin merambati daun-daun
menyetubuhi ribuan cahaya
memunculkan buliran warna
memantulkan pandangan mata.

Belum juga dipatrikan kehendak
ke mana tapak-tapak langkah,
kaki-kaki gamang lewati bebatuan
niscaya dari kesadaran belia.

Diingatnya pengalaman di muka;
pijakan pribadi dalam keberadaan
menghasrati yang belum tergugah.

Rentangkan layar setinggi-tingginya
berharap bayu sahabat menghantar
badan jiwa arungi decak samudra.

Anganan masa depan digayuh
tali-temali erat dikencangkan
mata dipertajam menduga,
kalau-kalau badai di depan.

Sambil membenahi laluan hati
kadang liyukan bayang sekilas
menyuguhkan senyuman kekal.

Ketika angin datang berbondong
tersibak ombak demi gelombang
bercanda burung-burung pantai
yang senantiasa setia menggoda.

Goyangan kapal segarkan batin
sejak merasai diruapi kemuliaan
meski belum disimaknya dalam.

Seribuan kecupan angin jauh
dimatangkan persembahan.

Cahaya terang berdendang
ikan-ikan putih berlompatan
menyambut keriuh-rendahan.

Sejiwa santun pelajar hayati
diperasnya renung hati-hati
tak buyar makna keyakinan.

SIMPHONI II

Hawa kesedihan berkumandang
bayang-bayang kasih tertampik
diasinkan bayu kencang lautan.

Pedih kalbunya
berbeban rindu.

Mata hanya mampu berkaca
: membeku garam kenangan.

Terus dilayarkan
keterenyuhan diri.

Pantai mulai jauh
sedari pandangan.

Pulau dulu didamba
telah lenyap sudah
digulung gelombang.

SIMPHONI III

Dengan daya pelahan-lahan
dibangkitkan sisa tenaganya
menghayati makna kecewa.

Lengking kedalaman jiwa
setinggi ombak diterima
sehempasan membadai.

Hadirlah keberanian diri
betapa tiada tidak mungkin
dilayarkan segenap hati
berbinar-binar mata cerah.

Dipandangnya awan dekat
sebumi-langit bersetubuh
dicanangkan harapan jauh.

Sebintang-bintang angkasa
biar angin menyapu rambut
lebih akrab dari sebelumnya.

Sesekali kenangan berlalu
dianggapnya bayu lumrah.

Pikirannya menggunung
naluri jernih menggapai
pekabutan mengandung.

Nuraninya memotong
laluan menghadang,
ombak ditaklukkan.

Waswas dipendam
kepedihan dilempar
dihanyutkan pebekalan.

Makin intim percaya
musik bathin pribadi
pergumulan alam diri.

Dan suara-suara agung
ke derajat kemakmuran.

SIMPHONI IV

Berani datangkan rindu
tertiup asal gemawan.

Lama lara digubahnya
menjelma kidungan terbang.

Menggerus batu-batu
bebulir mudah dimamah.

Penerimaan bertabah,
harmoni memikat telinga.

Angan membentang
sederajad kefahaman.

Mematang butiran mata
bermuara kedamaian.

Dirawat ragu tersisa
meniliki kedalaman.

Meski dengung pedih
dilarung penyadaran.

Pengulangan merapat
sepadat cahya terfokus.

Panjangnya setarik nafas
diperoleh kaidah sayang.

Telusuri bayu menyapa
sebisik kalbu menggoda.

Lamunan tegak niscaya
mengecup pucuk kembara.

Sekali tengok belakang
betapa jauh sang surya.

SIMPHONI V

Inilah saat-saat terkikis
tiba-tiba bayu menepis
meliuki selat air tangis.

Taupan menerjang
tinggikan gelombang
rindu maut bersimpan.

Layar elok menampung
tali-temali mengencang
porak porandakan siasat.

Di semenanjung jauh
terlihat pulau gersang
tak tampak tumbuhan.

Hanya batu-batu pun
dihuni karang curam.

Sebelahnya terpampang
bayu padang berpusaran.

Kerangka-kerangka kapal
menjadi tanda peringatan.

Sedangkan laju ditumpangi
masih berperang melawan.

Dinding digergaji asin lautan
ombak runcing dihempaskan
diombang-ambing cela sempit.

Hasrat membentang bertemu
nyali hati diperas kemegahan.

Keringat kegetiran bercucuran
hawa panas membakar kulit,
dingin angin menusuk tulang.

Perubahan diikuti irama
tekad mencapai menang.

Telinga penuh suara lekat
digedor terus mencekam.

Awan segagak raksasa
mencaplok nasib hitam.

Tinggal harapan menipis
dipanjatkan puja-pujian
imbangi ribuan pasukan.

Menerjang penaklukan akhir
hidup mati, maut dan nafas
: antara lolos terjerembab.
***

VI
Mozart dan Beethoven selalu disebut beriringan di atas perbedaan serta kebesaran jiwa kesenimanan mereka. Kini saya melangkah mengikuti kebutuhan bagian ini, atas sketsa kritikus musik J. Van Ackere dalam bukunya “Eeuwige Muziek,” diterjemahkan N. V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie, dialih bahasakan ke Indonesia oleh J. A. Dungga, terbitan Gunung Agung Djakarta, tahun keluarannya lenyap tidak tertanda.

Mozart menulis simfoni di Paris yang diterima publik dengan sangat meriah, ia mengalami kegirangan luar biasa. Berbeda dengan Beethoven yang baru menyelesaikan simfoninya ketiga, dipersembahkan kepada Napolion Bonaparte. Orang-orang datang mengabarkannya, bahwa pendekar perang itu telah mengangkat dirinya menjadi kaisar. “Ah, hanya manusia biasa,” keluh Beethoven, dan penuh amarah merobek ciptaannya tersebut.

Ackere dengan lantang menyebut; “Semua simfoni Beethoven seperti drama-drama Shakespeare dan lukisan-lukisan Michelangelo adalah kerja cipta yang besar dari seniman-manusia. Kesembilan simfoninya merupakan gang bertiang tembok yang dahsyat nampaknya disembur oleh suatu peristiwa sejarah yang besar. Kalau kita mempelajarinya kita sekaligus mengenal seorang manusia, suatu seni, suatu zaman.”

…Dan simfoni kelima ialah puncak drama dalam musik instrumental, “Begitulah nasib buruk mengetuk pintu,” :kata Beethoven, senada baris kedua akhir Persembahan Goethe “Hati yang teguh jadi nampak jauh,”
***

Sebelum menghangatkan dua larik kalimat Beethoven dan Goethe di atas, saya teringat kisah pemuda tampan bernama Iderkala, yang memesonakan mata sang raja dari kerajaan Lodaya, Prabu Singobarong. Iderkala juga sakti mandra guna, pemilik mantra pemikat burung merak bersimpan mana yang bertengger di bahu kanannya. Ider dan Kala begitu namanya jika dieja, jika diterjemah ke bahasa Indonesia berarti ‘Putaran Waktu,’ pun bagian ini laksana perputaran masa. Lebih jauh bebagian lain tidak lebih memutari tafsir sedari beberapa paragraf  Ignas Kleden, senada berbolak-baliknya saya melewati jalanan ditempuh orang yang selayaknya ‘gila,’ yang selalu mengiringi lelangkah tulisan ini.

Dalam irama hampir sama, simfoni Beethoven I – V seuraian mendebarkan, lakon yang dituliskan Sanoesi Pane (1905 – 1968) dalam lima babak yang bertitel “Sandhyakala ning Majapahit,” yang pernah dimuat di majalah Timboel tahun VII, nomor 1/2, 3/4 dan 5/6, tahun 1932, kemudian diterbitkan Pustaka Jaya, Yayasan Jaya Raya, 1971. Sanoesi di puncak tertentu seakan menyebutkan, ‘hadirnya seorang kesatria dapat menentramkan sebuah kerajaan besar, dan kematiannya bisa meruntuhkan wibawa suatu bangsa.’ Yakni Damar Wulan bersama kekasihnya Anjasmara, atas cinta keduanya memukul mundur pasukan, menghabisi Menak Jinggo di medan laga.

Lantaran bersebab keserakahan kaum bangsawan, para cerdik pandai menumpuk harta kekayaan, Damar Wulan mendapatkan fitna oleh kelapangan pekertinya me-wedar-kan perihal alam para dewata yang bersumber dari jiwa kesatria pula kepanditaanya. Atau bersamaan itu kekuatan Islam sedari Demak Bintoro kian mengancam setelah bertahun-tahun menguntit perkembaangan Kerajaan Majapahit. “Begitulah nasib buruk mengetuk pintu,” Beethoven kecewa kepada kesatriaannya Napoleon Bonaparte, dan Sunan Giri yang murung berkata; “Sayang sunggung Damar Wulan tidak masuk pihak kita,” ungkap Sanoesi Pane. “Hati yang teguh jadi nampak jauh.” ; apa yang manusia perkirakan serta dipikirkan, tidaklah sama terjadi nanti. Kesungguhan itu menelan waktu teramat jauh, pergeserkan simfoni 5 Beethoven yang digarap kelompok musik Metallica, pula pergeserak al-Kindi menuju Majid Fakhry mengenai akal.
***

Dan apa yang hilang, bagiku jadi nyata”
(larikan akhir dalam kata persembahan Faust karya Geothe).

Jikalau pembaca tidak merasai tetumpukan permasalahan juga beberapan pokok yang terunggah bagi pendamping gugusan gairah penelusuran ini, saya anggap wajar, sebab berkata jujur membedakan ‘kata benda’ dan ‘kata kerja’ pun tidak sanggup di atas kasus “Kun Fayakun” pada SCB. ‘Ya, yang hilang begitu nyata,’ pembelokan, pembodohan atas nama Tuhan serupa para pandita di masa-masa senjakalanya Majapahit. Harta dan pangkat menjadikannya tertutup mata hati-pikirannya. Tertegun diam seribu bahasa, mengelus dada perasaan tidak percaya, ternyata nasib buruk mengetuk pintu batinnya.
***

Pada simfoni 5 Ackere memberikan ikhtisar; “Beethoven kini menguasai seluruh bahannya. Ia telah mencapai tingkat keahlian, sama dengan Michelangelo ketika mengatakan bahwa pualam buatannya bergetar di hadapannya.” “…Dan Bekker dengan sangat tepat menguraikan arti psikologinya, dan menamakan keempat bagiannya sebagai wujud; Pergulatan, Harapan, Keraguan dan Kemenangan.” Ini serupa kepurnaan berbeda, jika ‘akal’ memiliki jiwa musik, atas empat bagian yang diterangkan al-Kindi yang sudah teringkas di bagian XIX.
***

Kini saya menggayuh berpikiran jiwa musik klasik Beethoven, sebelum menuju musik keras Metallica yang saya alamatkan pada keberangkatan kepahaman Fakhry. Yang di gegaris singgung tertentu sejenis tiga pamor pengertian “Surodiro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti” di muka, dan serupa ‘Persembahan’ Goethe.

Akal aktual abadi dalam jiwa musik ialah penggerak halus, tiupan santun tidak terlihat mendorong ke bentuk aktual abadi dalam penerimaan pendengar. Seperti mengambili debu-debu dari perut keabadian, perkiraan terlepas sedari ruang-waktu yang padanya meruang diri mewaktu pribadi. Atau pergumulan yang direstui oleh persenggamaannya ke dunia membuai benih-benih. Suara-suara tersimpan di dada ditiup dari jarak terjauh, dalam kebanjiran tertentu naik ke pusaran otak memproduksi wewarna musik. Atau tarikan benang laba-laba yang menari-nari tertiup angin, dalam keheningan yang bernada di alam antara serta terhidupi olehnya, nafas-nafas teratur dalam panggalian suatu hakikat musik.

Dan akal potensial jiwa dalam musik; menyatukan segenap perasaan atau kekayaan pohon hidup di dataran subur meninggikan batang yang cabangnya terus tambah berkembang menjalari hati insan. Ini kerap menimbulkan pangling atas bacaan sama yang selalu menemui pemahaman kian membiak, tepatnya kejayaan di dalam ketentraman rasa. Sebab dikala gusar akan mengalami penyempitan, kemiskinan, kebangkrutan, ini berlawanan dinaya yang dilibatkan potensi. Namun sifat akal senantiasa bertambah, maka perhitungan sedari penjajalan, perenungan diulang, kebingungan ditarik kesana-kemari, mendapati potensi semisal jiwa haus merindu. Ini pula pemampu menafsirkan jenis-jenis tawa, tangisan, kedipan, dalam uraiannya mencapai kausalitas berdaya guna, sesosok Damar Wulan, atau Achilles yang direstui ibundanya ke medan perang.

Sedang akal dalam jiwa beralih dari potensial ke aktual, ialah perang tandingnya Damar Wulan dan Menak Jingga, Achilles dan Hector. Yang sebelumnya telah membaca bagaimana pasukan Wirabumi mencapai kemenangan di Lumajang, sempat menghabisi nyawa Adipati Tuban, dan tanpa mendapati perlawanan sama sekali di Perabalingga. Di sini Damar Wulan mencermati wibawa masih melekati bencah tanah Kerajaan Majapahit meski pamornya memudar, disaat baliknya utusan Menak Jingga ke bumi taklukannya yang paling ujung. Atas taktik cepat Senopati Damar Wulan bersama bala tentara menyusupi belantara malam, membius para telik sandi, menciduk mata-mata, bergerak bagaikan hantu angin malam ke perbatasan Perabalingga, kala Menak Jingga menikmati jalan-jalan taklukannya. Seperti Achilles menantang Hector berperang tanding di luar gerbang kerajaan, yang sebelumnya mencium sedap maut kala berpapasan di kuil para dewa, awal kali Achilles sampai di pantai musuh. Atau Iderkala sudah merasai betapa Raja Singobarong kepincut burung meraknya. Musik ini membuai tetumpukannya potensi pengalaman menjelma bentuk actual di kemudian; tragedi, drama menggegerkan, sejarah takkan terhapus oleh ribuan turunan.

Sedang akal sekunder dalam musik ialah penyesuaian harmoni hukum alam, nada bergerak dinamis, menyimak cermat menutupi lubang penalaran lama lewat keyakinan adanya sela-sela rahmat, yakni hadirnya mata air dari bebatuan juga di padang gersang. Serupa hentakan kaki-kaki bayi Ismail yang menangis tidak henti memekatkan telinga para malaikat, dan kepercayaan kepada firman-Nya yang ditanggung Nabi Ibrahim kala memutus-meninggalkan anak beserta istrinya di dekat rumah Tuhan demi mendirikan sholat, di sisi timpaan nasib keputusasaan yang kian kemarin berlari antara bukit Sofa dan Marwa.

Atau saat bumi Majapahit dilanda kegersangan iman, para pandita mementingkan sembah sungkem kekayaan, para kesatrianya menjelma perampok, para abdi kerajaan menjadi linta darat, tidak pelak membuai buah maja atau pahit fitnah terhadap Damar Wulan, hingga dihabisi nyawanya dalam kerajaan yang pernah dibelanya. Seperti seruan keselamatan ajaran Islam mulai bertiup menawan bak angin pegunungan tropis bagi yang haus dahaga, sebinar kekuatan Demak Bintoro menjelma penglipur lara bagi rakyat jelata yang diperas keringatnya oleh para penguasa Majapahit.
***

Dan kini saya menapaki gapaian model ‘akal’ Majid Fakhry dari al-Kindi, ditemani simfoni V Beethoven yang dimainkan Metallica: Akhirnya waktu memasukkan saya ke dalam bulan Rajab, salah satu bulan yang ditandai beberapa hadits Nabi SAW. Sambil melihat potret patung Apollo; sang dewa musik, cahaya, pemanah, pengobatan, matahari, pun dewa penyair pada mitologi Yunani serta Romawi Kuno atas karya Michelangelo. Saya kian bergetar oleh ciptaan agung pula bertanggungjawab; getaran kesaksiannya menancapi keyakinan, segenggam takdir besar telah menentukan dari kesungguhan pencarian, penelusurian setiap lekukan masa, merasai lika-liku hayati laksana laku harus dilakoni berketabahan tinggi demi hasil-hasil maksimal.

Di ini hari, ia yang berbalutan fisik ‘seperti orang gila’ yang saya ceritakan, memberi isyarat melalui ucapan. Itu sebelumnya tidak pernah terjadi, meski saya kerap berpapasan pada jalannya melalui masa beberapa tahun sudah. Getarannya pun merambah menjalari persendian, serasa komplit getaran besar menghadapi saya di bulan Rajab tahun ini, bagi penolong haus dahaga merindu. Atau yang menapaki pebukitan terjal dimaui alam semesta, seperti ungkapan Schumann, “Alangkah baiknya, seandai engkau bisa melihat ke dalam jiwaku, yang telah menjadi tenang dan kuat oleh udara hidup baru.”
***

Saya kutip kata-kata pendahuluan di bukunya Ackere: “Kita mencoba mengetahui perasaan seseorang melalui gerak, pandangan maupun sikapnya. Begitu juga kita mencoba mengenal jiwa seorang seniman melalui liku suatu melodi, warna sebuah akkord, tegangannya sebuah irama; kita hendak mengenalnya dengan melalui musiknya. Memang jarang sekali musik itu hanya bunyi semata-mata. Acapkali ia merupakan pengakuan manusia, sejarah kemanusiaan. Acapkali ia menceritakan suka dan duka manusia, semangatnya dan kebutuhan hidupnya. Tapi bagaimana wujudnya bunyi, penggambaran, perasaan, prinsipnya yang tinggi adalah Keindahan.”

Perpindahan dari musik klasik ke musik cadas simfoni V Beethoven, sepintas ada penghapusan lewat penyempitan tempo, entah hilang atau memadati bentuk hasratnya tertinggi. Tapi saya mendapatkan wewaktu hilang terhadirkan di tempat-tempat lain dengan kebaharuan muka, kesegaran rasa. Serupa tumpukan warna cat memberi efek letak lain yang sebelumnya durung terjamah di kanvas putih, sejenis kematangan berbeda dengan bobotnya pula. Elusan lembut dijelma hentakan, lalu sebagai teriakan, suara lirik menjadi lengkingan lantas menjadi sayatan pedih dengan jarak cukup ringkas ke bentuk serupa. Umpama patung Apollo karyanya Michelangelo diperkecil, dalam batas tertentu kesamaannya tetap tampak berwibawa.

Demikian Fakhry menggeser pandangan al-Kindi (dari Aristoteles sedari gurunya Plato) yakni membagi akal menjadi empat: 1. akal aktual abadi, 2. akal potensial jiwa, 3. akal dalam jiwa beralih dari potensial ke aktual, 4. akal sekunder. Menjelma empat bagian intelek, pertama, intelek yang selalu dalam aksi; kedua, intelek yang masih potensial; ketiga, intelek yang telah melewati keadaan potensialnya menuju keadaan aktualnya, atau intelek capaian (acqurid intellect atau ‘aql mustafas); keempat, intelek manifes yang berfungsi mengabstrasikan bentuk-bentuk universal dari segenap benda materiil.
***

Soal al-Kindi baca bagian sebelumnya, menyoal Fakhry mungkin bisa disandingkan kupasan saya di sana. Intelek yang selalu dalam aksi pada jiwa musik cadas ialah akal aktual abadi atau gerak yang menghasilkan pengakuan, pergerakan aksi atas gairah terdalam kesaksian, saksi yang dipersaksikan dan tersaksikan, hujaman benar realis, setelah melawatkan sayap-sayap kepakan. Aksi untuk telinga mendengar, mata memandang atau kepedulian tersebut dari kesamaan jauh sepadan. Ada rangsangan tidak berkesudahan, gelombang berkejaran memukul tanjung-tanjung karang, sang surya selalu terbit setiap pagi tenggelam kala petang. Melodi alam atau hukum kausalitas membenarkan jiwa bereaksi menentukan takdir lain, serupa pergeseran tempat duduk meski sedikit.

Intelek potensial dalam jiwa musik Metallica seperti memendekkan luas nada ditarik demi menambah ketinggian, wewarna simfoni V telah dikuasai, sehingga dengan kadar emosionalitasnya sampai yang dikehendaki. Ini menambah unsur cahaya dari kerja mengamplas berkehati-hatian tinggi, serupa merepro sebuah lukisan, lalu mengganti bentuk-warna pigura lebih segar. Kesannya sengaja memaksa panca indra menyimak balutan klasik berketegangan lebih, sedikitnya menghapus daya rayu atas penampakan memukau yang mau tidak mau terayu kesadaran bertumpuk. Sepadat percepatan batin adanya pesona yang ditingkatkan kadarnya, atau hukum sudah terang itu diperjelas guna menemukan efek lain di alam kesadaran. Pada puncaknya dinaya jiwa kecerdasan tidak sekadar melengkingkan hasrat juga menujah ke ceruk terdalam, seperti pukulan bertubi-tubi bersimpan napas dalam. Atau pertarungan akan terjadi telah dihitung dalam kemawasan diri, sehingga setiap gerak di depannya memunculkan rekaman bawah sadar, tepat pada sasaran takdir yang sebelumnya berupa bayangan indra terakhir seorang samurai misalnya.

Sedang intelek yang melewati potensialnya menuju keadaan aktual atau intelek capaian pada jiwa musik, sejenis burung sudah terbang dan mengapung di ketinggian, dirinya telah merasai hafalan betapa nikmat gaya gravitasi ingatan, kesadaran, kenangan dan firasat yang dimainkan. Seperti melewati gelombang halus jalur keseimbangan di antara berlebih-lebihan dan kekikiran, sepenelusuran teliti Dr. Yusuf Al-Qardlawy dalam kitabnya “Fiqh Al-Ghina wa al Musiqy fi Dhau’i Al-Qur’an wa As-Sunnah,” yang mengupas jauh kebutuhan lahir-batin insan di dalam gerak hidup berperadaban. Terus menanjak meningkatkan kualitas seni, agar tidak terperosok ke jurang kelalaian, pun terlepas dari kekakuan watak menuju perangai kekerasan pada yang bisa dilunakkan sebagai perhiasan atau kenikmatan indera yang bertetap mawas kesadaran. Inilah musik mencapai bahasa universal kemanusiaan, menelusupi ingatan-ingatan potensi jiwa, membangun gugusan kesadaran gemilang, kenangan mampu menghantar ke masa depan. Kebesaran simfoni, puncak musik cadas ini, tidak harus melalui nyanyian didengar menjadi ingin dilihat, tidak kudu kumandang laguan memikat di atas tarian syahwat, namun pucuk itu kemenangan bathin ketenangan.

Sedangkan intelek manifes yang berfungsi mengabstrasikan bentuk-bentuk universal dari segenap benda materiil atau akal sekunder, bahasa saya; ‘imbas pun jejak lelah dari ketinggian waktu sehabis menimba dimensi kekhusyukan; juga awal membuka tenaga baru.’ Akhirnya saya kutip perkataan Hazrat Inayat Khan di bukunya “The Inner Life” terbitan Shambhala Publications, inc, 1997 Boston, diindonesaikan Imron Rosjadi, Pustaka Sufi 2002:

“Harus ada keseimbangan, antara hati dan pikiran, kemampuan dan kebijaksanaan, aktivitas dan istirahat. Keseimbangan ini yang memungkinkan ia tegar menjalani perjalanan, dan memungkinkannya memperoleh kemajuan, menjadikan langkahnya mudah. Jangan pernah membayangkan orang yang tidak seimbang pada satu saat bisa mencapai kemajuan dalam perjalanan ini, seberapa pun besar ia tampak akan mampu melakukannya. Hanyalah orang yang seimbang bisa mengalami kehidupan spiritual seutuh kehidupan batin, menikmati pikiran dan perasaan dalam kadar yang sama, mengalami istirahat dan aktivitas secara sebanding. Jantung kehidupan ialah ritme, dan ritme menyebabkan keseimbangan.”

4 Juni 2012 / 14 Rajab 1433 Hijriah (Senin Malam Selasa Kliwon, 15 Rajab 1433 H persis setelah Gerhana Bulan) / 21 Desember 2017.

Tinggalkan Balasan