Bagian 15: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan pertama dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

“Esai-esai (godaan subyektivitas) Ignas Kleden semacam obrolan menggurui, nadanya bertele-tele dengan tempo lamban, musik orang mapan seperti lagu kenangan yang nglokro, ini cocok bagi pemalas atau para pensiunan, dan bukan sejenis irama keroncong atau musik klasik yang meski pelan berjiwa keterlibatan. Di sana IK berjarak, demi memperoleh pandangan obyektif, maka yang terjadi pada tulisan-tulisannya semi ilmiah. Mungkin hanya satu yang saya suka, yakni yang sedang terkupas kini agak lain dari kebiasaannya bercuap-cuap.”

Komentar saya tersebut, tidak lebih sepantulan dari yang Ignas kritik sendiri: “…ada pula penulis yang mencoba menulis esai, tetapi tulisannya lalu berubah menjadi tulisan ilmiah yang tanggung dan bertele-tele, entah karena lemahnya spontanitas sehingga sikap penulisnya bahkan terasa mengganggu karena tampak seperti usaha menonjol-nonjolkan diri. Pada titik ini terlihat betapa pentingnya kepribadian seorang penulis untuk menghasilkan suatu esai yang berhasil.” (halaman 462-463, di buku “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan” penerbit Grafiti, Juni 2004). Sebagai sosiolog, dirinya telah berhasil mencerahkan nalar-nalar manja para mahasiswa yang kecanduan dicekoki.

Terus terang saya kurang berminat terhadap corak tulisan IK, tiada hentakan! Mending tulisan Dami yang agak berangasan dengan referensi yang cukup mengundang penasaran. Entah sudah terlanjur kecanduan para pakar, orang-orang kampusan yang menjebol tanggul ilmu pengetahuan; Camus, Sartre, Barthes, Derrida, agak-agak Tagore, Iqbal, yang jelas sudah melewati jamannya juga memasuki reinkarnasi gagasannya. Mungkin saya tidak pantas berkata demikian, toh bukan penulis handal, hanya pengelana yang suka mencatat, hitung-hitung mengurangi angka pengangguran. Maka sedari tulisan saya tidak berharap banyak yang baca, namun sangat yakin lebih banyak yang membaca, atau saya lebih suka pembaca sedikit tetapi berjiwa pemberani, daripada meluber mengamini.

Hadirnya suatu tulisan tidak lebih oleh persinggungan, tapi bagi para penemu, niat saja sudah menghisap seluruh kekayaan dan keyakinan yang tanggung tersedot olehnya. Yang menyaksikan untaian kalimatnya akan tercengang bagaikan melihat gerhana matahari total, karena totalitas hidupnya mencecapi kemewahan alam yang betebaran, membaca kitab semesta menjadikan jiwanya tangguh. Lantas bagaimana saya dapat tertarik untuk membaca ulang yang mengelus keindahan dari keinginan dianggap atau pengadaan kemayu? Yang pribadinya bukan sekokoh pohon jati meski melewati kemarau kerontang tetap bertahan. Karya Marx, Nietzsche pun lukisan Van Gogh yang kurang laku di masanya, serupa dedaun jati merontok tengah berpuasa, ini menggiring kepahaman mereka yang terselimuti kebebalan, tapi sedikit curah hujan kan terbebas atau terbalaskan. Mungkin Hitler jika tidak berkuasa, buku “Mein Kampf” tidak akan sanggup dicetak banyak serupa pada awal nasibnya.

Takdir mula Socrates, Plato sampai Voltaire, hanya menghidupi nafasan kecil lingkungannya, begitu juga Tolstoy. Sedikit untung Hegel, Machiavelli, Freud, yang beruntung tapi sedikit sialan W. Said. Dewi fortuna mungkin pada Fukuyama, Foucault, dan yang berujung pada maut Derrida. Atau hampir semua penegak satu tiang keadaban, kata-katanya bukan sekadar anak karya, nyawa dirinya juga diperebutkan bersama perubahan yang dilakoninya. Saya tersadar keanggunan maut di jantung Mishima dan Kawabata, yang menancapkan gagasannya selaksa teriakan keras perjuangan di masa-masa penjajahan merah di tanah air kita, Merdeka atau Mati. Al-Ghozali tidak jenak di kampus lalu ngelutus seperti ulama lain, atau bertapa bersama para santrinya, misalkan Abd al-Qadir al-Jailani, Nawawi al-Bantani, dan Ibnu Sina, Ibn ‘Arabi, menghantui murid-muridnya di kemudian hari. Percakapan ricik memutiara lebih bernilai daripada busa melimpah atas tendangan gelombang abadi yang menggempur karang tanggung kebisuan menerima. Gairah hidup ialah gelombang yang memecahkan ribuan kapal, banjir bandang, gunung berapi, yang selalu menggedor hawa kerinduan.

“Lebih baik baca buku-buku yang terjemahannya buruk, tapi bersimpan jiwa penulisnya yang handal, musik warga lapar, daripada membaca ulang tulisan indah, tetapi menjemukan serta menjerumuskan pandangan.” Inti sepercik menggugah, meledakkan dada-dada pembaca hingga merombak pemahaman sebelumnya. Sementara musik yang mengamini, tidak lebih kekaguman mematikan nalar, padahal di balik pesona itu seyogyanya gelombang tersebut berbalik serupa surutnya ombak ke dasar laut sambil menggerus butiran pasir pantai perasaan kaum beriman, lalu memunculkan kepekaan makna baru, atau bukan serasa sarapan pagi setelah semalaman bercinta. Saya lebih suka tulisan-tulisan yang sok, tetapi membuktikan lewat data-data dengan kegairahan maksimal, dan referensi terkuat ialah dirinya di bumi. Setiap hembusan nafasnya arsip-arsip penting pribadinya pun orang lain. Dirinya bukan benalu, namun memberikan kesempatan benalu menghisap cabangnya, dan tidakkan mati olehnya. Apakah kritik saya parasit? Jangan-jangan malah sejenis parasetamol pereda demam nyeri pada susastra, karena tidak lagi menggunakan cara-cara mengelus, membenarkan penyakit dari Tuhan semata atau tidak ada kecurigaan meski paling lembut sekalipun.

Saya tahu, banyak yang tidak paham tulisan saya, dan yang pernah mengupas mungkin dengan jiwa terpaksa sampai sakit kepala, disamping serangan kantuk memberat dari kebingungan sangat. Tetapi alangkah lucu, ketika saya paham tulisan mereka satu paragraf dengan menjelma tujuh esai misalnya? Tidakkah di sana kesuntukan saya lebih daripada mereka baca di atas ketidakpahaman dalam dirinya? Mungkin mereka membaca buku tidak sampai pening, apalagi mabuk belajar, hanya pelesiran seperti gaya tulisannya. Padahal membaca buku dalam keadaan sakit ke ambang ‘sakit jiwa,’ kan membentuk kesaksian luar biasa, ingatannya tidak sekadar kata-kata, juga sampai kepada ruh penulisnya. Ketika sanggup melewati sakit berbaca, kelak diganjar kepadatan makna, bertumpuk pengertian tidak cuma lawatan pengantar. Kesaksian itu membuka lelembaran cahaya anyar, menyaksikan kemungkinan lebih yang sampai tidak diperkirakan pengguratnya. Jangan kira saya berhutang pada karya yang saya kupas, tetapi malahan memberi peluang jika mereka sadar. Jika catatan ini dianggap iri hati atau dengki, tidak mungkin dapat menulis panjang-lebar, paling mentok umpatan, hasutan tanpa referensi atau pengadaan data yang mudah terjungkal.
***

Ini sekadar pengingat pribadi sebelum kembali pada paragraf IK, saya singgung awal penulisan beberapa tahun ini di status facebook. Yang dulu mulanya tulisan tangan di lembar kertas pada mesin ketik manual, dan tidak ada mata-mata yang melirik gerak-gerik, senyap dikelilingi ‘sosok-sosok hantu’ penggerak keadaban, tampak bayangannya berjejer melingkar. Mereka (para tokoh dunia yang menginspirasi) senantiasa hadir sewaktu saya menulis-membaca, kadang hendak tidur, dan lebih kacau bertemu di mimpi, tetapi saya suka! Awalnya ragu, apakah bisa berkonsentrasi dalam menuangkan (menulis) langsung di ruang komentar status facebook? Lantaran niat belajar, maka yang muncul memalukan, ini sangat penting untuk kebaikan selanjutnya. Mungkin yang saya lakukan segambaran “dunia gulat” bebas, salah satu esainya Barthes. Saat tubuh tidak muat kata-kata, lalu bertubi-tubi memuntahkan kalimat, tampak menghimpun gugusan ide, sedikit revisi sana-sini sedurung diposting. Di mana sorot monitor, lampu menggantung di kamar, semisal pentas teaterikal. Bukan keangkuhan, tapi ingin menjejal buruknya spontanitas, konyol dipermalukan adalah jamu mujarab, dan efek terterima menjadikan teguh memegang prinsip. Di sini bertarung percepatan, beradu jotos radiasi, berkelahi bersama waswas mendera, keraguan memucat, lalu diri kembalikan sebagaimana kelak di kubur sendirian.

Permainan ini sedikit-banyak mengundang resiko, mungkin ada yang menganggapnya sok, tapi di balik itu peroleh masukan. Setidaknya kecelakaan atau cedera yang terjadi kan menguatkan beberapa kecurigaan diri, minimal tidak canggung menelanjangi diri sendiri. Atau ini bisa menggerus mitos di balik penciptaan karya, sebab tidak menutup diri berdiam ‘somse,’ seperti watak sebagian senior. Saya kira tindakan ini menghapus muka kepurnaan semu dari cara sulapan, dan dapat belajar dari komentar kawan, lewat saling menimba pengetahuan di sisi jangkauan bacaan, pun pribadi yang tidak saya miliki berusaha (ingin) dipahami, pula bentuk lain yang tidak ada dikala menulis di sudut terpencil, dan jenjang periode ini mungkin kelak saya tinggalkan. Hal terburuk dalam proses kreatif ialah rasa malu, takut &ll. Jika diendapkan dalam, maka tinggal bersuntuk memperbaiki cacat mental, cacat tulisan, lewat menerima masukan dari dukungan yang diyakini. Makna kata pengetuk palu pengalaman, bukan bertanya yang kadang tidak sesuai dengan jalan yang sepantasnya dijelajahi.
***

Kini, mari selami paragraf IK yang ke tiga: Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu. Karena paragraf berikutnya serupa kabel sambungan untuk melengkapi sebelumnya, maka saya tuangkan juga; Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.
***

Saya kira setiap sajak yang saya tulis, saya usahakan ada artinya! Ini jawaban grogi SCB selepas baca puisi di Yogyakarta. Perihal tersebut sebagai catatan kaki Umar Junus, sedangkan Dami mencupliknya tanpa judul tulisan. Di sini Dami cukup sportiflah, dan kata ‘cukup sportiflah’ pernah diutarakan Dami kepada kritikus yang tidak sepaham dengannya, A. Teeuw.

Sebenarnya, saya ingin langsung melanjutkan kupasan paragraf ke tiga sambil ke empat. Tapi lumayan tergoda pada kemegalomanianya SCB bersama pengikutnya yang membetul-betulkan Kredonya; tafsiran yang kerap tidak sejalan dengan ungkapan Sutardji sendiri. Tapi karena ini senada rasa paragraf yang hendak ditelusuri, maka sepantasnya ditaruh di sini. Mungkin bisa dibilang kecelakaannya Dami yang memberikan data-data sepadan hampir lengkap dalam esainya yang berjudul “Puisi-Puisi Luka Sutardji Calzoum Bachri” pada bukunya “Hamba-Hamba Kebudayaan (HHK),” penerbit Sinar Harapan 1984. Saya seakan setengah niatan ini, tapi semoga nanti terpenuhi, sebab kelak ingin membongkarnya juga, dan sekarang sekadarlah beberapa halaman demi mengisi bagian XV.

Dami melibatkan sepenuhnya pada Kredo Puisi SCB, disertai lampiran pula dalam menopang keberadaannya Sutardji. Seakan kepenyairan SCB tidak boleh dilepaskan dengan Kredonya! Namun alangkah berwibawanya pamor para sastrawan di Yogyakarta (salah satu letak kawah candradimukanya Susastra Indonesia), sampai-sampai suara kredo yang dikeramatkan para kritikus penyokong-nya (SCB) diabaikannya. Kredo tertulis tanggal 30 Maret 1973, dan waktu kegrogian sedang sumekar kembangnya, tetapi gagal beberapa bulan saja, karena sialnya mendatangi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagi penyuka Sutardji, saya juga namun dulu sekali tidak ternging kata-kata dalam kredonya; Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

Mari simak secara penuh satu paragraf Dami pada judul esai di bukunya tersebut: “Sebagai catatan kaki buat Umar Junus, mungkin berguna kalau diturunkan di bawah ini apa jawaban Sutardji ketika dalam acara baca puisi di Yogyakarta (September 1973), salah seorang pendengar/penonton menuduhkan bahwa sajak “Pot”, “Shang Hai”, cuma permainan kata-kata, tidak ada artinya! Sutardji menjawab lantang kepada penanggap, “Tidak benar! Saya kira setiap sajak yang saya tulis, saya usahakan ada artinya! (lihat Sinar Harapan, 22 September 1973). Pendirian Sutardji yang lain, dapat dibaca dalam pengantar kumpulan “Kapak” (stensilan), ditulis 17 Mei 1979, antara lain, “Menyair adalah suatu pekerjaan yang serius bila kau sedang menulis sajak, kau harus melakukan secara sungguh-sungguh, seintens mungkin, semaksimal mungkin. Kau harus melakukan pencarian-pencarian, kau harus menemukan bahasa. Yang tidak menemukan bahasa takkan pernah disebut penyair. Saya menyair, karena itu saya menemukan bahasa saya.” (halaman 156, HHK).

Saya penasaran pada kata ‘stensilan’ yang ditandai kurung oleh pemilik wawasan luas sekaligus punya referensi yang melimpah, Dami N. Toda. Karena nada ungkapan SCB yang terakhir, banyak dijumpai di buku Dami yang terbit pertama kali tahun 1984. Pernyataan itu hampir seirama deringan umum, yang pernah ditulis komposer sekaligus kritikus Amerika, Roger Sessions (28 Desember 1896 – 16 Maret 1985): Dewasa ini seorang diwajibkan menemukan ‘bahasanya’ sendiri, sebelum dia menyelesaikan penguasaannya atas ‘bahasa’ itu. [esai berjudul “Penggubah Lagu dan Pesannya: Roger Sessions” halaman 84, tepatnya kalimat tersebut di halaman 90 pada buku “Proses Kreatif,” judul aslinya “The Creative Process” disusun penyair Amerika, Profesor Brewster Ghiselin (1903-2001) dari Universitas Utah USA, penerjemahnya Wasid Soewarto, penerbit Gunung Jati Jakarta, cetakan awal Januari 1983, tidak mencantumkan tahun berapa mengambil terjemahannya]. Saya kira SCB menciduk istilah umum itu, lalu dimasukkan ke dalam pendapat pribadinya, tersebab O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Sinar Harapan, terbitan pertama tahun 1981. Dan ternyata setelah menelusuri google, tulisan pertama Roger Sessions, aslinya ialah: “The Composer and His Message.” In The Intent of the Artist, edited by Augusto Centeno, pp. 101-134. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1941. Saya menemukannya melalui catatan kaki halaman 40 di books.google.co.id atas penyusun yang sama, cetakan University of California Press 22 November 1985. Kejadian ini mirip dengan bagian XII, antara pemikiran C.G. Jung (26 Juli 1875 – 6 Juni 1961) di sisinya ‘kepahaman’ SCB?

Tanda kurung yang dilakukan Dami ada dua kemungkinan, pertama menancapkan atau memberi daya sugestif, demi dipercayai tanggal yang diterakan SCB pada [“Kapak” (stensilan), ditulis 17 Mei 1979]. Namun tidak menutup kemungkinan, Dami membikin kode rahasia dengan tanda baca “()”! Karena semacam itu pun saya melakukannya, setelah belajar dari karya-karya R. Ng. Ronggowarsito yang memberi huruf besar untuk menutupi namanya dalam karyanya, misalkan. Karena sejenis ini mudah ditebak, maka saya memakai cara lain dengan beberapa susunan kata yang kuat; minimal dua, tiga kata, ini bisa anda cermati ketika tulisan saya mendedah seseorang khususnya. Saya memakai cara tersebut, karena pengalaman rasa lebih membekas, dan tanda-tandanya berguna jika tulisannya dijegal seseorang misalnya, untuk berbalik melawan. Pengetahuan itu diperkuat bacaan pada bukunya George Jonas yang berjudul “Penuntut Darah” Pembantaian Atlet Israel (Kisah Nyata Sebuah Tim Kontrateroris Israel), titel aslinya “Vengeance,” diindonesiakan oleh Sartono Basuki, editor Bernadette Thio dan Hendarto R., terbitan Widya Pustaka 1986, juga bukunya Harry A. Poeze yang berlabel “Tan Malaka” Pergulatan menuju Republik 1897-1925, judul aslinya “Tan Malaka, Strijder voor Indonesie’s Vrijheid Levensloop van 1897 tot 1945” cetakan kedua, Maret tahun 2000 atas penerbit Grafiti.
***

Karena kata-kata bagian depan (paragraf IK yang ke tiga) sangat menggelitik juga berpantulan lawan dengan kredonya SCB, maka saya berkeinginan untuk mempretelinya pelahan-lahan. Siapa tahu kelak menjelma nilai seni yang katanya karya harus menghibur, misal berjingkrak-jingkrak di atas panggung seperti tarian ngebor, patah-patah atau dangdut koplo juga boleh. Setidaknya, catatan saya lebih sopan daripada ujaran berikut: “Putu Arya Tirthawirya dan Suharianto cukup sengit mengejek, bahkan menyesalkan majalah sastra Horison yang mau mempublikasikan sajak-sajak “kentut” yang demikian (HHK, halaman 126). Dan barangkali semaraknya lagu dangdut koplo ialah berkah manggungnya SCB, seperti katanya ‘otonomi daerah’ merupakan imbas daripada gerakan angkatan kepenyairannya?

Jika Sutardji saya dudukkan sebagai penyair cerdas, maka lumayan agak teringat kata ‘alibi’ yang di-ugeminya. Dengan kata-kata ‘saya kira,’ dirinya tengah berkelit di antara kesadarannya sebagai sastrawan dengan beberapa materinya yang ngambang, belumlah membeberkan konsep (setidaknya, terbitnya buku Isyarat berkesempatan memasukkan gagasanya, entah ikhtisar dari para kritikus pemangkunya, sehingga tampak benderang yang diperjuangkannya ataukah njomplang?), tidak hanya disaat ada yang tak sepaham lalu dianggapnya tidak mampu menangkap pandangannya, sebagaimana cuplikan paragraf Dami di dalam watak megalomanianya SCB:

Dalam sebuah pembicaraan dengan Sutardji, Leon Agusta (Sutardji Tentang Sajak-sajak Barunya. Upaya menangkap Tuhan, Sinar Harapan, 24 Januari 1976) mencatat tanggapan Sutardji terhadap M.S. Hutagalung yang meremehkan. Di zaman modern seperti ini, adalah mustahil mengembalikan puisi kepada mantra. Konon jawaban Sutardji melalui Leon Agusta

“Dan kalau kau, Leon, mau menulis, tulis saja begitu. Hutagalung nyata tidak mampu menangkap apa-apa yang saya maksudkan dengan sesungguhnya!”

“…puisi harus dikembalikan kepada mantra itu jangan ditafsirkan secara harfiah semata. Kalau cuman begitu, tentu dia akan kering. Yang pokok ialah menyerap sifat sugestif dari mantra-mantra! menangkap ritmenya dan ekpresinya yang tajam!”

“Bila mantra misalnya, bisa menurunkan hujan ataupun menahannya, maka puisi setidaknya mampu membuat kita merasa bagaimana hujan jadi reda atau hujan turun di hati kita sendiri.” (halaman 161-162, HHK).

Kalau kepenyairan SCB mencecapi ruhaniah mantra dari Riau, Jawa, Arab atau apalah. Tentunya tahu, mantra terkait erat dengan makna kata dalam rajahnya, ini sangat bertolak sedari Kredonya! Tapi nyata ungkapannya di atas seperti menghalalkan segala cara, kalau puisi mantra begini-begitu. Padahal kita tengok puisi lain yang bukan ala puisi mantra, sudah terkandung “sifat sugestif, ritme pula ekpresinya yang tajam.” Karena mantra pada dasarnya juga karya puitis, dan puisi-puisi SCB bukan puisi mantra! Tapi sulapan, yang sejatinya mengejek kaum kritikus serta para sastrawan. Sikap ugal-ugalan tersebab ingin selayaknya disebut-sebut mantra, dengan seenaknya berpandangan lain, dan karena tidak bertuah, tetapi masih berharap dianggap puisi mantra. Ah, saya jadi terngiang kata-kata Mochtar Lubis, “…bim salabim, nah… keluar kelinci dari dalam topi.” (lebih lengkapnya baca buku: “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri”).

Bagaimana pribadi plin-plan bisa ditokohkan sebagai pendobrak salah satu angkatan penyair? Meluruskan gagasannya saja keder? Bagaikan air di daun talas, dan (kurang) ajarannya para kritikus yang memaknai puisinya, padahal si punya karya telah ‘berpasrah membebaskan kata-kata dari beban makna’ (Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera: SCB, Kredo Puisi, 30 Maret 1973)? Ini yang solokoto (sontoloyo) siapa? Ini salah kaprah ‘memuteri (mengelilingi) alun-alun kidul’ dibiarkan, sampai masuk ke buku ajar? Maka meneballah pengertian di Babad Nuca Nepa, yang mensejajarkan kejahilian teori evolusi Darwin dengan ulahnya Sutardji. Dalam pada Darwin ada istilah ‘the missing link,’ yang temuan anyar semakin menggila tidak jelas juntrungnya, sedang pada kepenyairan Sutardji, tampak gagal bangunan syairnya!
***

Semakin jelas saya dengar suara Afrizal waktu itu, seperti pada catatan harian ini: Kemarin malam 4 November 2011, selepas adanya pentas bintang hening” dilanjutkan diskusi di T.B. Surakarta. Lantas ngobrol di depan pintu teater arena, bersama Dwi Cipta, Halim HD dan Afrizal Malna, dalam posisi berdiri juga sama mondar-mandir, setelah saya peroleh buku Hamba-hamba Kebudayaan Dami N. Toda dari Bandung Mawardi. Dami, menurut Afrizal (saya sedikit lupa istilahnya, kurang lebih dimasa pujian, periode pujian) ataupun orde pujian menurut saya yang saat itu menimpalinya juga. Lalu tubuh Afrizal bergeser ke samping kanan, mundur dua, tiga langkah, semacam ada kehawatiran ungkapannya nanti saya jadikan bahan, lelangkah menyamping serta agak mundur tersebut, seakan-akan ingin menghapus istilah yang barusan diucapkannya. Adakah penyesalan? Sekadar ingin bergeser? Atau entah… (ini pernah saya jadikan status facebook, dan Dwi Cipta berkomentar; lelangkah mundurnya Afrizal, sebab ingin melihat anak saya yang mengejar kucing, yang terhalang-halangi tubuh besar saya, DC lantas tertawa).

Saya turunkan sedikit lalu agak naik, tepatnya mundur pada kata-katanya Dami: Sutardji menjawab lantang kepada penanggap. Bagaimana Dami berkata ungkapan itu lantang? Coba kita simak kembali: Tidak benar! Saya kira setiap sajak yang saya tulis, saya usahakan ada artinya! Padahal kelantangan ini seperti cerminan dari sikap kegusaran. Bolehlah kata “Tidak benar!” dan kata-kata selanjutnya bernilai lantang, sebab tanda seru sebagai tekanannya, seperti seorang berada di bawah todongan pistol, tetapi coba cermati kata-kata berikutnya; “saya kira,” “saya usahakan,” sungguh jelas sekali perkataan tersebut “melempem,” kurang berkepribadian. Tidak berpikir, hanya memperkirakan, cuma mengusahakan, tidak maksimal. Karena bentuk ucapan SCB melalui tulisan, maka tidak bisa dihindari di sana adanya perhitungan efek, tatkala kelak berkehendak disebar luaskan kepada pembaca, atau yang tidak langsung keluar sedari mulutnya? Andai pun itu asli, tetaplah bentuk grogi! Getaran yang tampil dari kalimatnya, sangat terasa dari jiwa yang tengah dirundung keragu-raguan hebat, di antara ikhtiarnya bersajak dengan kredonya. Maka yang terbit, jikalau masih memakai istilah ‘lantang,’ merupakan kelantangan wagu, lucu, konyol, tapi sedikit menghibur diri SCB bersama pendengarnya.

Alangkah dahsyat jika SCB menarik energi dari kata ‘lantang’ menurut Dami, lalu dijelmakan jadi segenggam lelembaran gagasan, yang tidak sekadar mendokumentasi serpihan rancu pada bukunya “Isyarat.” Dan saya bisa turut bangga, kalau ada penyair ampuh di Indonesia! Tapi nyata masih jauh perolehannya dibandingkan dengan para tokoh dunia yang oleh para kritikus disejajarkannya. Karena saya belum memberi jempol kepada SCB, kelantangan wagunya saya tafsirkan lain: Tekanan kuat pada dua tanda seru dari Sutardji dan Dami, masihlah sebatas mendatar. Tidak melantang benar, atau sebenar-benarnya lantang! Kalau lantang tentulah begini: Tidak benar! Karena setiap sajak yang saya tulis ada artinya! Saya pikir, itu baru jantan. Karena Dami tidak memberi lampirannya, tapi malahan lampiran biografi SCB, jadi sebatasnya saya maknai ini.

Mungkin ada kebetulannya di dalam kata-kata “saya kira, saya usahakan” itu bersimpan konsepnya soal “puisi ialah alibi kata-kata” (?). Yang sudah saya penggal di bagian terdahulu. Ternyata, bayu kesusastraan Yogyakarta demikian ampuh mencerabut akar-akaran nanggung, penyair tanggung. Padahal seyogyanya menancapi bendera kepenyairan, terlebih dulu harus menempa berulang membaja di dalam proses kreatif sampai ‘nggetih’ istilah Jogjanya ‘berdarah-darah.’ Tidak hanya ucapan atau kata-kata, tapi juga perbuatan, sehingga terbitlah aura terang, meski pun dihempas badai taupan, diterjang halilintar dan petir menggelegar dari serangan lawan. Tidak membetul-betulkan kredonya yang mengsle dari kritikus, dan menuruti watak megalomanianya. Karena isi batin kepenyairan bukan sekadar otot-otot nalar, syarat-syaraf kencang serupa tangan terkepal, tapi juga beningnya pikiran, tampan perangai nurani, seperti embun yang diperebutkan.
***

Terus terang matahari musim kemarau berbinar cemerlang! Kerap saya timbang watak seseorang dari mentalitasnya untuk memasuki karyanya, sebab secara otomatis kejiwaan pencipta bertaut pada hasil yang diwedarkannya. Tidak saya temukan karya yang langgeng dari para pecundang! Tetapi tempaan hidupnya, nasib buruk dikejar-kejar bala tentara, diusir dari negerinya, kembara tidak tentu arah sampai ke ujung seppuku (harakiri). Mereka terkucil atau mengucilkan diri, dan pembawa watak serampangan, namun tetap memegang kendali kecerdikan, kenekatan yang selalu menghitung laksana timbangan yang terus berayun antara waswas bergetar hebat. Pahit malam gelap siang, mendung nasib buruk atau awan yang terbaik memayungi di setiap langkahnya. Cengkraman hujan deras bersahabat, sentakan haus di tengah jalan menjelma nyanyian, merindu dendam kepada orang-orang tercinta, pukulan hinaan yang mendewasakan, bukan menganggap enteng lewat berkilah. Dan halil yang dipegang hukum alam, tanda yang berulang dititahkan Tuhan, sealunan ilmu perbintangan mengatur drajad pikir menentukan pilihan.

Kalau kaum kritikus menenggelamkan penelitiannya lebih dalam pada watak para penyairnya, sebelum menjelentrekkan (mengudar) karyanya, tentu tidak pangling deladapan ketlisut tertipu, dan panji-panji kejayaan generasi-generasi kokoh dapat ditegakkan! Bukannya plagiat menjadi sang pelopor, bukan berkepribadian plintat-plintut dimasukkan sebagai tokoh pada generasi tertentu. Sepertinya mata kiri dan mata kanan susastra berkaca mata hitam tebal angkuh, jangan-jangan seperti peminta-minta di jalan buta. Bagaimana kesusastraan Indonesia diakui seantero jagad, jikalau yang dipilih para tokohnya cacat karya? Dan kritikus di luar yang pernah menyuarakan masih kelas cekeremes. Sepantasnya mereka tidak hanya menebarkan bahasa, juga gaung atas kaki-kaki analisanya menancap sedalam memunjeri sejarah sastra! Bukan tempelan dibuat-buat, kutipan sekenanya disangkuat pautkan, yang tidak sekelas disandingkan.

Saya jadi teringat saran dari kawan-kawan agar menghentikan kegiatan ini, lantas fokus pada pernik-pernik keadaban di Lamongan saja. Jika di sini boleh bersaran, tentu porsinya bukan kritikus, tetapi sekadar pengelana: “Rongrong saja pemerintahan yang korup untuk menerbangkan Budi Darma ke Amerika lagi demi menulis sejarah susastra, Faruk H.T. ke Inggris, Suminto A Sayuti ke Prancis, Halim HD ke Cina, Goenawan Mohamad di Tanah Air saja dengan Temponya, Maman S. Mahayana ke Korea lagi, Saut Situmorang ke Jerman, Abdul Hadi WM ke Iran dan seterusnya. Lalu mereka ‘berkelahi’ dengan para kritikus di sana, seperti Dami N. Toda yang meski penelitiannya belum matang kurang jeli, dan terlanjur cepat Tuhan menjemputnya. Kata-kata ‘belum matang kurang jeli’ bisa dibaca di esainya yang bertitel “Kesibukan Hamba-Hamba Kebudayaan” lalu sejenis esai pertaubatannya yang dimuat Kompas 17 September 2006 yang berlabel “Pengakuan Anggota Waffen-SS,” yang disebut juga oleh Afrizal Malna di Tempo, 20 November 2006 dengan judul “Sejarah dalam Kulit Bawang,” dengan satu kunci perjalanan hidup sang pemenang Nobel Sastra 1999, Günter Grass.

Di sini saya tidak memakai catatan kaki, baca dan hantam saja lewat karya, biar saya bisa belajar dari anda! Selamat merenungkannya!

1 Desember 2011 / 4 Desember 2015.

Tinggalkan Balasan