Bagian 24 (VII): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013

(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang “Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” (I-VII)

VII
Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928 bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antar bangsa yang abadi. “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta 28 Oktober 1963. (Rudi Hartono, “Sejarah Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda,” berdikarionline.com 20 Mei 2011). Lanjutkan membaca “Bagian 24 (VII): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 24 (VI): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013

(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang “Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” (I-VII)

VI
Data-data di bawah ini jumputan sepintas dari Wikipedia, sedangkan urutannya mengikuti buku “Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia” terbitan I:boekoe, Cetakan I, Desember 2007.

Ketika menulis buku kenang-kenangannya di tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatatkan nama Tirtohadisoerjo, seperti berikut: “Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik.” Lanjutkan membaca “Bagian 24 (VI): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 24 (V): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013

(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang “Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” (I-VII)

V
Nurel: “Pak Yamin, Bapak Ki Hadjar Dewantara pengen nimbrung.”

Yamin: “O… Mas Dewantara, dipersilahkan masuk, Nurel.”

Nurel: “Ya Bapak” (Selanjutnya mereka berdua ngobrol dan saya membuka Laptop).

Dewantara: “Assalamualaikum”

Yamin: “Waalaikumsalam” Lanjutkan membaca “Bagian 24 (V): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”

Bagian 24 (IV): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole, 2013

(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang “Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” (I-VII)

IV
Yamin: “Sebelum berlarut, ambilkan pengertian Sumpah Palapa lebih dulu di Wikipedia.”

Nurel: “Ya Bapak. Sumpah Palapa ialah suatu pernyataan atau sumpah, yang dikemukakan Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, 1258 Saka (1336 M). Sumpah ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi: “Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.” Terjemahannya, “Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.” Lanjutkan membaca “Bagian 24 (IV): Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”