Bagian 10: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan ketiga dari paragraf kedua, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Sebelum masuk bagian ini, izinkan menulis perihal keheranan saya pada penyair atau yang mengakui identitas dirinya tersebut, namun ungkapannya telah melampaui batas sejarah kodrat iradat insani. Oleh saking keterlaluan menggumuli kata-kata, seakan ‘kata’ menjelma sekutu terbaik seolah gerak hasratnya mampu memerintah kalimat atau bahasa sedari kekuasaan hidup dengan pandangan sebelah mata, tidak menengok profesi lain juga memakainya. Ataukah hilaf tidak merasai gerakan terlembut kehidupan dari Sang Maha Hidup yang senantiasa mengatur segenap indra, mengurus planet-planet beserta peredaranya, tidak terkecuali menghadiahi nafas-nafas bagi tukang-tukang syair.

Sepengetahuan saya yaitu ungkapan bombastis, apakah tentang tuhan telah mati, senjakala sejarah dan hal keterlaluan lain, biasanya diusung bersegenap gugusan wacana yang argumentatif, sehingga kehadirannya tidak sepintas slogan yang kelak menjadi dagelan. Sekiranya ucapan sedari orang-orang yang ditokohkan, tampak kebiasaannya membuat gosip atau pendapat asal-asalan dekat keangkuhan, merasa ampuh sampai terlepas dinaya ingat awalnya belajar menuntut ilmu. Kian gagal saat diikuti generasi bermental penurut, nerimo eng pandum cepat-cepat puas tidak menyelidik akar kehendak yang dikunyahnya. Pembodohan ini berantai sejauh kekuasaannya, entah atas kekuatan modal atau jargon lain yang terlihat mentereng angker bertuah, tetapi tidak!
***

Semalam saya menemukan artikelnya seorang dosen Sastra Inggris dari Universitas Sanata Dharma, yang bernama Elisa Dwi Wardani yang berjudul “Sastra dan Identitas,” yang diterbitkan koran KR (Kedaulatan Rakyat) 10/05/2008 yang mengundang daya ganggu begitu kuat. Sepertinya sesuai alur jika diilustrasikan pada pembacaan menguak SCB melalui IK, sejenis guyonan tetapi tidak lepas terhadap minat keseriusan. Di bawah ini larikannya:

“Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur,” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.””
?***

Sungguh saya kagum kepada orang-orang di bidang sastra, mereka mampu mengungkap, mengatur baik irama kata-kata sampai batas tertentu mengaburkan demi mendapati temuan yang kehendaknya diterima khalayak. Dengan mengurangi tumbuhnya bibit-bibit protes, oleh tekanan musik yang dipunyai berlipat makna dan ini tergantung indra penerimanya, lewat menentukan jatuh-bangunnya menggurati kalimat. Keberhasilannya menuangkan kata-kata mempengaruhi kejiwaan pembaca, membuka kalbu seluas-luasnya menuju hawa kemungkinan rahmat nan terbuka.

Mari mencermati apa yang membentuk pola paragraf di atas (cetak miring), yang tentu tidak terlepas dari riwayat ‘kata,’ serta kisah orang yang berada di dalamnya, untuk pahami seluk-beluk kenapa hal itu bisa hadir dan terjadi?

Sosok Taufiq Ismail (TI) memiliki pribadi yang ta’at beragama sedari awalnya berkarya, setidaknya kerap memakai songkok. Kesetiaanya di jalan tersebut bukan kemarin sore, pasti didukung oleh pelbagai bacaan dan gerak peribadatannya di rumah Tuhan juga pengabdiannya kepada masyarakat. Di dalam dunia sastra, ianya seminimal penjaga gawang di majalah sastra Horison. Muslim yang baik hati, tentu terpaut sungguh keyakinannya serta memiliki benteng dikala menyikapi goda-rayuan.

Ada makolah; “Perang terbesar ialah memerangi hawa nafsu sendiri yang tergantung profesi diembanya, sebagai jalan memakmurkan hayatnya.” Sedangkan pengalaman TI mengalir jauh dibagi-bagikan, bagi yang menerimanya berlapang dada. Tiada ketulungan pengurbanannya di alam sastra, menyumbangkan dinaya nalar-perasaannya, yakni puisi-puisinya mencapai berbantal-bantal ketebalannya, dan ceramah-ceramahnya menyegarkan kalbu sesama. Sampai saya curiga, jangan-jangan ia termasuk muslim garis keras yang mengharamkan rokok.

Pengabdian yang besar tidak lepas dari hilaf dan semoga yang diungkapkan Elisa Dwi Wardani, hanyalah keterlepasan tidak pakem masanya. Entah sehabis mendapati penghargaan, sesudah syuting baca puisi di sebuah stasiun televisi atau TI teringat telah mengangkat begitu banyak penyair dari majalah sastra yang dipandeganinya, SCB misalnya. Lantas bayu bertiup kencang mengaburkan paham meninggikan derajat kepenyairannya, sampai-sampai seolah-olah penguasa kata-kata di alam jagad raya, dengan nada-nada:

“penyair adalah penguasa kata-kata,dengan menurunkan melodinya; “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.”
***

Bagi saya yang awam mengenai agama, istilah ‘penguasa’ dari perkembangan sejarah ajaran Islam memiliki dua tafsiran; yakni Tuhan (juga berhubungan dengan rasul-Nya, Muhammad SAW), kedua sultan atau raja bersama pemerintahannya. Yang pertama maknanya tidak berubah, sedang yang kedua mengalami pergeseran, bisa menjadi sosok intelektual sebagai penggerak lajunya keadaban? Namun saya tidak habis pikir kata-kata ini, “penyair adalah penguasa kata-kata.”

Kata ‘penguasa’ di hadapan saya sungguhlah agung, jika ditempatkan pada sebutan Tuhan, maka yang mengatur terbitnya fajar hingga bertemunya senjakala, mentari, gemintang di sisi kecantikan bulan dan lainnya, merupakan tanda-tanda kuasa-Nya. Dan kuasa pemerintah, raja, sultan itu bersegenap tanah air segaris batas-batas kerajaannya, perihal ini diwarnai pergolakan intrik jegal yang tidak sedap dipandang mata.

Dan penyair di suatu negara, tentu memegang tanda kewarganegaraan, sekecilnya mempunyai rasa cinta kepada tanah airnya. Meski kalimat-kalimatnya mampu menembus belahan bebangsa serta abad-abad di depannya, tetaplah manusia mengabdi kepada ‘kata,’ seperti pedagang mempunyai ‘kata sepakat’ dalam pertukaran barangnya. Profesi lain demikian adanya, menggunakan kata-kata untuk lajuan sejarah insan, sebagai rangkaian menjelma panji-panji dalam peradaban di masanya. Jadi, bukan penyair saja jika kata ‘penguasa’ ialah turunan dari kekuasaan lebih besar darinya. Sungguh sembrono seperti bola ditendang melambung tinggi, mengingat pendapat TI di atas.

Saya kira lebih tepatnya bahwa penyair menggunakan kata-kata dalam kerja kepenyairannya. Mereka meraciknya tidak saja indah juga menyembulkan makna di kedalaman syair-syairnya dan bukan sosok penguasa kata-kata. Ketika saya raba, seungkapan TI itu muncul sebab kejiwaan senioritasnya, merasa berkuasa menjadikan orang lain sebagai penyair atau pun sebaliknya (gagal / ditolak).

Marilah susuri turunan melodinya yang saya bagi menjadi tiga belahan: “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2), dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).”
***

Ungkapan “penyair adalah penguasa kata-kata.” Lantas mengalami turunan nilai saat mendapati awalan kata ‘mungkin’ di belakangnya ialah sudah terkena tindak pembatalan. Sebab kata ‘penguasa’ (kuasa) itu merupakan hal yang tidak tertolak dengan apa pun. Karena kata ‘kuasa’ berdekatan dengan kata ‘mutlak,’ yang (maha) berkehendak atas perintahnya. Kalau nada ini saya rendahkan sedikit dengan menerima kata ‘penguasa’ sekadar pemanis, menjadi tidak penting abang-abang lambe, gincunya perayu bagi yang tidak jeli menyelidiki derajat ‘kata-kata’ sebagai pribadi nan mandiri maknanya.

TI sepertinya mengajak bercanda kalau tidak mau menerima disebut angkuh, karena berpaham penyair ialah penguasa kata-kata. “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” Saya kira tidak sekadar tukang syair saja yang memiliki kemampuan demikian lihai berujar, jikalau kata ‘kuasa’ sebagai turunan dari perihal kedua yang saya sebut di atas (Tuhan dan sultan). Lalu kian menggelikan saat membaca dengan cermat pada kalimat di dalam tanda petik itu, serupa dinaya tarik mengelak dari kesombongan awal daripada profesi lain. Gerakan suatu ‘kata’ yang meluncur sedari orang-orang berkemampuan piawai pun, tidak “…secara otoriter, memangkas ataupun mencukur (kata-kata).” Para sejarawan, filsuf, psikolog sampai akuntan, dalam kerja kata-katanya tidak lebih mendialogkan yang menjadi permasalahan yang diunggahnya. Malah terkadang menjadi titik temu kepahaman antara yang mengutarakan dengan para penerimanya, sebagai bentuk ukuran tertentu yang memang tidaklah mutlak sama keadaannya.

“…namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2).”” Sungguh geli ungkapannya, yang saya kira lebih dekat seorang guru atau pendidik yang memiliki ‘kuasa’ pada kata-kata, kalau yang dimaksud ‘penguasa kata’ itu sekadar ke tataran insan. Betapa sang pengajar dalam suatu kelas misalkan, “membiarkan kata-kata mengukur emosinya,” dan sedapat mungkin para murid menerimanya dengan kadar keinsfaan yang dipunyai di atas keilmuan yang tengah direguknya. Jika TI mengelak, berpaham penyair sama persis profesi lain, kenapa pula mengangkat penyair saja? Apakah dekat profesinya? Ini serupa pribadi yang menutup diri pada belahan bidang kehidupan lain di luaran keahliannya, sampai mewujud undukan pasir yang aneh, semacam kacamata kuda yang tidak tengak-tengok pada luasnya cakrawala, yang dianggapnya kerja bersyair itu lebih agung daripada pedagang klontong, contohnya.

“dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).” Saya terbayang ibunda atau sang bapak menggendong anaknya untuk ditidurkan di ayunan tangannya. Mereka bernikmat-nikmat dengan kata-kata demi mendapatkan pencerah yakni ruang penjumlahan aktivitas sehari-hari, dipantulkan dengan kasih sayang yang menghibur dirinya juga demi sang anak, ialah penyejuk berkekuatan indah di atas kerja selanjutnya. Dan kumandang lagu tidur bisa terjadi spontanitas oleh rindu menggebu, sehabis seharian berpeluh keringat mencari nafkah. Atau sosok pemuda yang lagi jatuh cinta sedang bernikmat-nikmat dengan kata-kata, untuk mendapati pencerah lewat surat-surat yang digubah demi kekasihnya. Begitukah penyair? Lalu kasir di sebuah toko menikmati angka-angka, meski uang yang dihitung itu milik majikannya dan seterusnya.

Demikian nikmat yang diberikan Sang Penguasa tidak terkira nan teraba di belahan lain, rasanya enak berdialog menyepadankan paham dan saling menghargai. Ini menunjukkan betapa indahnya kehidupan dengan tidak membentuk jalur-jalur kekuasaan ‘menindas’ profesi lain, dengan irama santun; nada dan dakwa istilah Bang Roma Irama. Atas musik inilah, alunan kehidupan menjadi harmonis, seperti usaha majalah membutuhkan kerjanya distributor, agar tidak kembang-kempis kerap mendekati nasib kolap.

Sebagai penutup, kala pelaku sebelumnya sudah merasa sebagai ‘penguasa kata-kata,’ maka turunannya mengalami kemalangan menjelma penyair yang ‘suka beralibi.’ Dan sepengetahuan saya, para intelektual muslim atau sastrawannya yang diakui ketokohannya oleh dunia, dari generasi awal sampai akhir, belum saya temukan paham mereka yang senekat ungkapan Taufiq Ismail tersebut! Dan dalam kesempatan kali ini juga, saya nitip salam teruntuk sastrawan Joni Ariadinata; bagaimanakah menurut anda, soal di atas?

16 Agustus 2011 / 6 Juli 2015 / 12 November 2015.

Tinggalkan Balasan