Bagian 13: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan keenam dari paragraf kedua, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Mitos angka tiga belas, banyak yang mengira sebagai nomor kesialan, mungkin ada yang menganggapnya hingga ke tataran mempercayai. Sebab kini menemui bilangan ke 13, saya kan membuka selaputan penuh kalimat pada paragraf satu dan dua dari esainya IK, melalui kaca mata tiga dimensi.

Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata. Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.
***

Sebelum mengudarnya, apakah mitos itu? Ia hadir kala kesepakatan realitas dan angan belum nyambung atau dapat dikata masih berjarak. Lewat ungkapan tertentu berhadap adanya temali ikatan yang memaknai peristiwanya secara tepat, yang diikuti kerjanya imaji dalam ruang kesementaraan atau kesepakatan yang bisa berubah menurut jenjang kedewasaan masyarakat menerima atau pun menolaknya. Misalkan mitos ‘sesosok bidadari menggendong kucing di bulan.’

Ia hadir lantaran ada yang melontarkan. Pengungkap dapat disebut penanda yang menandai sesuatu. Dan sering penanda lebih kuat daripada petanda, di sini hukum dialog mitos yang muncul; kabar diberitakan membentuk wacana, lantas menjadi hidup tersebab ditafsirkan. Pula bisa berganti balik, petanda lebih menguasai jalannya cerita daripada penanda, saat kata-kata yang dibentuknya mengikat kuat terhadap suara awalnya. Tetapi, betapa pun pewarta menentukan jalannya kisah pada yang namanya alam mitos.

Apa pun bahasanya; lisan, tulisan, isyarat, sampai bahasa tubuh di ruang bercinta, memungkinkan masuk menghidupi alam mitos, dikala harapan lebih mendengung datang sambil merangkai kekuatan yang tidak terjangkau, yakni Realitas Tunggal. Ini terjadi lantaran bahasanya merebak dikonsumsi masyarakat, yang menjalar sejalur wicara di atas kekuatan bahasa tersebut. Dan keseluruhan alam dapat terperangkap jaring mitologi, manakala lahan mensugesti masih subur mendiami setiap kepala. Hanya yang mawas bercuriga tidak gampang jatuh ke jurang akal-akalan.

Olehnya saya berkehendak menawarkan kaca mata ini; penanda, petanda dan tanda, di sebalik itu, waktu lampau, sekarang serta masa depan. Barangkali setelah dedahan ini, tidak lagi begitu gampang menerima ungkapan, meski dari seorang ternama dengan sikap silap menelan mentah, tapi benar-benar mewaspadai, sekecilnya duduk di kursi kesadaran seorang terdidik atau tidak taklid buta yang mudah dibodoh-bodohi, sebab tidak melawan arus dengan kesungguhan purna.

Pun bahasa seni pahat, gurat lukisan, gambar bergerak atau film, iklan-iklannya, sanggup memasuki alam kesementaraan mitos di atas dukungan perangkat yang dimiliki akan mampu menjebol indra terlena yang terpukau diserang dari pelbagai penjuru. Sebab nafasan mitos sejenis hukum tambahan atau balon udara yang dipompa dengan angin karbit (zat gas) yang memungkinkan melambung dan disaksikan banyak orang dengan keheranan awal. IK meniup balon udara atau memberi sorot lampu di ruang pameran keramik, kerajinan patung, lukisan juga televisi yang menyuguhkan tayangan atau penanda yang menginformasikan (menghadirkan) petanda dari tandanya SCB.

IK penyihir, penyulap yang membuat orang-orang penasaran itu terpuaskan walau sesaat, jelas ini di atas tingkatan sebagai penanda. Dengan ‘asap dupa kemenyan’ merobah kata ‘bebas’ SCB ke kata ‘terobos,’ seperti ular yang melungsungi, tepatnya akrobatik koin hilang dari telapak tangan dengan kemunculan di telapak lain atau memberi wejangan ini-itu atas kepenyairan Sutardji. Jelas kondisi SCB disaat itu dalam keterpengaruhan gravitasi kecendekiawanannya IK, seampuh-ampuhnya petanda lebih mempuni penanda, seperti lukisan van Gogh yang lebih bernilai ketika adanya kurator; mereka ‘memitoskan’ keberadaannya sebagai salah satu pelukis terbaik dunia yang dipunyai Belanda. Di seberang itu, lukisan karya van Gogh tidak luput pembajakan dan hasilnya masih berkelas (bernilai tinggi), jika dibanding dengan lukisan lain yang diperjualbelikan di trotoar Jalan Malioboro. Di sini tanda palsu terimbas oleh mitos, ketika wicara merebak memenuhi semesta wacana.

Sinyal mitos, lantaran adanya kesepakatan yang tidak menutup ruang manipulasi dan bisa serempak seperti bunyi-bunyian lagu himne di media massa. Olehnya, segerak terpaksa pun disaat dalam satu komando, terciptalah sejarah (?). Ini dapat juga lantaran musiman, pasar kaget yang tidak mendiami bangku hakiki atau suara kabur (samar) dengungan keras yang menyumbat telinga. Mereka minder, dikala para empu mengamini, lantas ‘mitos yang terjadi’ tidak sanggup dipertanggungjawabkan, karena akal-akalan dari turunannya. Maka nyatalah mitos tergantung kepada pengucapnya, meski porsinya sangat lemah di dalam yang diungkapkannya dan bukan wujud keilmuan, sebab menggeser realitas dengan angan. Atau ketinggian bukit mengajak mereka untuk mendongak menyaksikan penyeru, walau terpaksa pun tetap manut. Misal pembeli (pemilik) lukisan repro karyanya van Gogh merasa berbahagia mengoleksinya, dengan kebanggaan menelan mitos!

Jika pembaca pada posisi Bagian III lalu menyimak paragraf IK di atas, maka tampak ia memainkan musik keras, ibarat watak musikus klasik Mussorgsky. Sekehendak menjatuhkan batu besar ke jurang kesunyian, hening sebab kita sudah tercengang heran, takjub barangkali tersihir; kok bisa, batu sebesar bukit diangkut ke puncak gunung, lantas diterjunkan? Pada sisi lain ungkapan kritikus Dami N. Toda; “Kalau mata kanan sastra Indonesia Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya,” ini sudah sering dikutip oleh para kritikus. Dan pada wawancara yang disiarkan koran Republika, “Sang ‘Mata Kiri’ yang Mengembara,” 19 Agustus 2007, sastrawan Sapardi Djoko Damono yang menempatkan julukan itu, dengan demikian pekabutan mitos merebak menguap. Kemudian dikemanakan yang lain?

Mitos tidak sanggup bergerak seperti kata-kata SCB di manapun ialah pengulangan, tiada upaya menerobos gagasannya secara jantan. Istilah ‘presiden penyair Malioboro’ pun kandas alias mandul kekaryaannya, barangkali oleh tingginya angin mitos, yang tidak menjabarkan kata-katanya juga tiada hasil pemikiran yang menjurus pada pengertian yang dipakainya. Kebangkrutan kian menguat, dikarna penerusnya tidak memberikan dedahan menakjubkan di alam kesadaran wacana menuju jenjang yang digayuh. Bentuk memitos mendapati topangan oleh denting permainan ‘piano’ IK dalam permukaan Pidato Kebudayaannya, yang disampaikan di Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM 19 Juli 2007, yang terus dimuat harian Kompas tertanggal 4 Agustus 2007 tersebut.

Barangkali sejarah sastra Indonesia dibangun lewat mitos, saat melihat deretan peristiwa di atas, terbuai seperti anak balita yang diayun ibundanya sambil bercerita; “kalau ada bidadari menggendong kucing di bulan, butiran gerimis hujan melalui jendela langit, dan bidadari mandi keramas di sendang pelangi.” Mitos datang berbentuk buaian, angan melambung merayu orang turut merasai lamunannya, yang diperkuat puja-puji nyanyian menyenyakkan, kritik bercampur penyedap rasa sanjungan berbahan pengawet yang tidak menyehatkan. Tindak ketidakalamiahan tersebut saya geser pisaunya Roland Barthes, bahwa mitos menjelma gossip, yang mungkin iktikatnya mengikuti ungkapan Victor Hugo, dikala menjuluki Arthur Rimbaud sebagai “Putra Shakespeare.”

Gossip lelucon itu saya tulis dengan judul “Fenomena Presiden Penyair Daerah Sebagai Dagelan Populer” 18 November 2008 dan/atau lihat lampiran 11. Sebelum berlanjut mari hening sejenak; adakah tiang-tiang susastra kita yang kokoh dengan kritik tajam, selain pujian memabukkan yang dihasilkan dari mitos maupun gossip? Bukankah selama ini kita sudah kenyang sanjungan, sampai ada yang keterlaluan hingga ingin menjadi “tuhan?” Tidakkah nalar hidup mengolah bahan melimpah, dijadikan santapan lezat nan menyehatkan, seperti tonggak keadaban yang pantas disegani? Ataukah terlelap saja di dalam lamunan panjang oleh bisikan?
***

Jika Barthes menyebut mitos ialah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech), dan saya mengatakannya sebagai “kedalaman bahasa mata atau pun bayang-bayang pula angan di kegelapan.”

Selama ini ‘indra penglihatan’ digunakan sebagai alat untuk melihat, saksi pada kejadian yang tampak lalu terekam dalam ruang ingatan, seolah tidak memiliki kemampuan mandiri kesadarannya! Kini rasakan bagaimana ‘kedalaman bahasa mata’ membentuk asosiasinya, melahirkan sebuah pandangan (pemikiran) yang tidak kalah penting mempengaruhi jalannya pengetahuan.

Saya ambil contoh pada kalimat, “Bidadari menggendong kucing di bulan, Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare dan Gunung Tangkuban Perahu.” Pada orang-orang yang tidak mengetahui Arthur Rimbaud pula Shakespeare secara langsung, maka kehadirannya seperti bayang-bayang seorang yang belum pernah ke Gunung Tangkuban Perahu, seorang buta yang tidak melihat raut bulan di malam hari. Tapi hasananya kuat terekam angan, yang melekat ditopang oleh bacaan cerita sekitar dan kemampuan berimajinasi pada sebuah ungkapan yang terpaksa diterima seolah masuk akal.

Demikian juga sebutan SCB sebagai Presiden Penyair Indonesia, yang awalnya dikatakan sendiri sebelum membaca puisinya, lantas diperkuat Dami N. Toda; “Kalau mata kanan sastra Indonesia Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya.” Itu menjadi suatu bentuk (a form -istilah Barthes) yang terjadi diperkuat, diturunkan orang dengan bahasa menyihir memesonakan mata pada teks sambil mendengar dinaya muatannya, entah sebab titel sehingga yang mengatakan itu membentuk keumuman oleh karena diumumkan di media. Dan kita tahu, salah satu yang melemahkan penelitian ialah berharap dipandang, mencari muka seperti yang dikatakan Ibn Khaldun di awal Kitab Muqoddimah-nya.

Barangkali sejarah sastra Indonesia dibangun lewat mitos. Ini kelihatan di hampir seluruh penelitian pada lapangan susastra berupa pujian dan kecil sekali kritik tajam, apalagi pengoreksian ulang pada kisaran di sekelilingnya. Sejenis dongeng yang hidup di awang-awang bersama mimpinya akan sejarah sastra dunia yang digayuh, seolah sederajat hasil temuannya dengan mensejajarkan di atas minimnya sikap mencurigai kelemahan, yang menjegal diterimanya sebagai wawasan. Yang terbit maka persamaan kulit, padahal jika ditelusuri, kurban yang diberikan belum seberapa. Olehnya yang paling ditekankan mentalitas, guna tidak cepat puas, apalagi merasa sekelas tapi bertepuk sebelah, kecuali beberapa peristiwa saja bisa didudukkan bijak.

Ungkapan melambung pada paragraf IK yang pertama dan kedua, berbentuk pola meyakinkan seajaib mungkin, tapi sudah saya preteli hingga bagian tiga belas ini berlanjut. Jika dapati turunan lagi tanpa penyangkalan, tentu bayangan memitos hidup di angan kegelapan, sastra awang uwung segelembung leher katak bersenandung, itulah mitos yang memperkosa penalaran. IK berupaya menarik ‘mitos’ ke dalam bahasa revolusi, tindakan realitas ilmu pengetahuan lewat merubah kata ‘bebas’ ke ‘terobos.’ Ini sungguh cantik, tetapi tidak lagi menggetarkan, saya juga tidak menutup kemungkinan yang tertulis (buku) ini, kelak malahan menjelma buah simalakama atau mitos terbesar SCB, bagi yang kelebihan muatan angan-angan.

Andai menerima nafas realitas, tentu jenjang pengetahuan kan terarah, misal sejarah sastra baru di tingkatan mitos dalam beberapa kasus. Lalu membekukan perihal tersebut sampai penelitian dalam, hingga terkuak kelopak kembang menebarkan harum lewat angin segar wacana, yang diberikan dari kesuntukan mengolah bahan. Tetapi rasanya tidak, serupa ketidakmungkinan para astronom awal kali meneliti bulan oleh perkiraan adanya bidadari. Dan Victor Hugo menjuluki Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare tentu sampai, dikarena orang-orang tidak masuk akal jikalau mencari siapakah ibundanya? Serta turunan ke berapa? Mereka paham bahwa logika ungkapannya sekadar penghormatan, yang tidak mematikan langkah sejarah (di alam nyata).

Bandingkan kedudukan SCB sebagai Presiden Penyair Indonesia, dimana kekuatan politik dalam negara kita sangat kuat mencengkeram kehidupan rakyatnya, maka memaksa angan tersebut untuk menyebutkan; siapakah rakyatnya? Apa seluruh warga negara Indonesia penyuka sastra? Lalu siapa wakil-wakilnya? Ini menjadi lelucon seperti negara federal, karena ada Presiden Penyair Malioboro, Presiden Penyair Cirebon, Presiden Penyair Jawa Timur dan seterusnya. Seakan obsesi mereka membentuk negeri bayang-bayang, mitosnya sampai kini diterima tanpa kajian mendalam. Ini berbeda kalau menengok plakat yang diberikan Hugo, mungkin tertutupi istilah ‘anak haram.’ Saya kira paling pas, Presiden Penyair Indonesia adanya di dunia ludruk atau pun panggung ketoprak.

Penggambaran saya mengenai mitos ialah “kedalaman bahasa mata atau bayang-bayang pula angan di kegelapan,” dapat ditaruh perluasan paham Barthes yang melukiskan tata surya, ia sendiri kemungkinan tidak sengaja atau barangkali menyembunyikan langit inspirasinya. Coba cermati tulisannya dalam buku “Mythologies” (1972), yang diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Annete Lavers, “The Eiffel Tower and Other Mythologies” (1979), dan diterjemahkan sedari bahasa Prancis atas Richard Howard, pada penerbit yang sama New York: Hill and Wang, diindonesiakan penerbit Jalasuta 2007, halaman 299:

Zhdanov mengolok-olok Alexandrov sang filsuf, yang berbicara tentang ‘struktur bulat planet kita.’ Zhdanov berkata, ‘Sampai sekarang dianggap bahwa hanya bentuklah yang dapat bulat.’ Zhdanov benar: kita tidak dapat berbicara tentang struktur dalam sudut pandang bentuk dan sebaliknya. Namun di atas bidang ‘hidup,’ tidak terdapat apapun kecuali totalitas tempat struktur-struktur dan forma-forma (bentuk-bentuk) tidak dapat dipisahkan. Tetapi ilmu tidak berguna bagi hal yang tidak terucapkan itu: ilmu harus berbicara tentang ‘hidup’ jika ingin mentransformasikannya. Menentang angan-angan tertentu tentang sintesis, yang sangat platonis, semua kritik harus setuju pada kecermatan, pada kecakapan analisis, dan dalam analisis, kritik harus sesuai dengan metode dan bahasa.
***

Sambil mempertontonkan itu, saya jawab beberapa lubang yang belum tertutupi di larik-larik sebelumnya. Jikalau Oktavio Paz mengakui dirinya “antropolog amatir” yang memiliki iktikad baik, di dalam bukunya “Claude Lévi-Strauss An Introduction.” Sebagai pengelana, saya girang turut berbagi yang tidak menutup kemungkinan perluasan, meski baru sampiran di sini.

Perihal mitos dapat dibilang hampir tuntas dibahas Barthes, namun saya memaklumi soal mengenai ‘ke-sakral-an’ luput dari pengamatannya, mungkin terlalu terpikat oleh “Mitos Dewasa Ini,” sehingga hal-hal lampau menghantui dunia kini, walau kecil terabaikan. Di sadari atau tidak, yang dimitoskan membentuk alam tersendiri, ini wajar sebab mitos membuat pribadinya terpencil. Seperti “kesunyian bidadari di bulan atau sepi pahitnya hikayat Tangkuban Perahu, pula kisah Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare yang menjulang.” Mitos menjauhkan dirinya dari penalaran, seperti ungkapkan Barthes “tiada mitos abadi.” Tapi setidaknya mendiami ruang-waktu antara, masa-masa terikat gravitasi sendiri, selepas diterima khalayak, meski pun dengan keragu-raguan penuh sebagai imbas dari sesuatu yang “tidak ternalar.”

Dan saya tersedot legenda dara langsing Roro Jonggrang dari Kerajaan Boko, putri yang dikutuk itu terjelma menjadi patung bersama patung-patung kembarannya di Candi Prambanan, oleh Raden dari Kerajaan Pengging, Bandung Bondowoso, cukup itu mitos setelah para arkeolog mengidentifikasi usia bebatuan candi tersebut. Dan ketidakmampuan orang buta melihat yang didongengkan menjadi “bayang-bayang ingatan” seperti langkah dikaburkannya beberapa esais sastra yang mengungkap Sumpah Pemuda serta lainnya, dengan menghapus nama-nama para tokoh penting demi mengekalkan orang-orang yang berucap setelahnya. Sejauh itu, mitoslah yang terbangun, intinya berhasrat disakralkan oleh sejarah, ini tentu tidak lama, sebab secara naluri para insani menginginkan kejujuran, dan bukan informasi gagah-gagahan.

Kita di dunia Timur kerap terlupa, mungkin terlena atas alunan alamnya yang ditiup angin mendayu, setarikan gegaris katulistiwa, tropis nan sentausa. Sampai kejadian beberapa jengkal masa lalu, sudah mendiami pekabutan mitos, kadarnya tergantung seberapakah kesadaran membaca realitas (?). Tengok peristiwa meletusnya Gunung Krakatao, jikalau arsipnya tidak ditemukan serta disebarkan, atau terlalu percaya cerita mulut gossip, mitoslah yang berkembang, lalu terhilangkan kekayaan hikmah yang terbit dari sana. Pun menulis sejarah tanpa ditali di tonggak semestinya -malah turunannya, maka dipastikan terputus dari gairah besar yang sepantasnya berkembang senyala api penelitian di masa datang. Maka tiada lain yang pantas disalahkan ialah tidak jelinya menyerapi kabar berita, yang membentuk awan-gemawan yang memanjakan mereka di bawahnya, padahal dapat terjadi dikala itu sang surya tengah berada di ubun-ubun sebuah kesaksian terbesarnya.

Upaya kritikus meninggikan orang-orang yang dianggapnya jempolan, melupakan bandingan atas hasil-hasil capaian mereka pada sandaran yang dianggapnya telah pantas, terbentuklah nuansa kejauhan tapi kental, seakrab warna langit membiru di mata yang teramat jauh jaraknya; kedekatan ini berasal sedari perasaan “fanatik, juga melemahkan dinaya penelitian,” menyitir paham Ibnu Khaldun. Sebagaimana kecondongan IK pada esainya yang saya dedah kali ini serta para penganalisa lain serupa penyeritaan, atau tangan menyuarakan ‘wicara’ istilah Barthes, yang menurunkan mitos dan otomatis jarak tersebut melembaga ‘kesakralan.’ Setidaknya pandangan lain atas olahan pengupas mendiami ruang berbeda di waktu tertentu, ibarat kepercayaan nenek moyang pada animisme, dinamisme. Atau sesegan santri pada kyai, juga tempat-tempat keramat yang pendekatannya cenderung keimanan, dengan ragu takut kuwalat jika mendekati secara kritis, meski beriktikat akan kedinamisan pada derajad keadaban yang membangun, misalnya.

Dapat saja di titik tertentu dengan kadar masing-masing, contoh lukisan wajah Monalisa karya Leonardo Da Vinci menjelma teka-teki misteri wajah pelukisnya, lukisan Van Gogh dan Picasso menjadi nyanyian tersendiri bagi para pelukis pemula. Atau Kitab Hang Tuah, Hikayat Perang Sabil, Syair Lampung Karam 1883, Faus-nya Goethe, Siddhartha-nya Hermann Hesse, Wirid Hidayat Jati-nya R.Ng. Ronggowarsito, Sabda Zarathustra-nya Nietzsche, sekali lagi sebatas tertentu di benak pembaca bisa membentuk mitos, lantas berkembang kabut kesakralan serupa kemunculan kitab suci agama ardhi, dst. Kerapkali alam mitos menjauhkan dirinya dari kenyataan, membatasi untuk diteliti atau kurang menginsyafi harga penalaran kritis, sehingga terperosok ke jurang kekaguman. Seperti sindiran Hassan Hanafi kepada ulama’-ulama’ klasik ditiap pengantar karyanya atau ketawadhuan yang menjerat pencari sejati di jalan kembaranya, yakni tidak berbuat lebih setelah terkena pesona, tiadanya tindakan dialektika nan dinamis.

Kala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini, ialah bentuk ucap pengulangan seragam tanpa sistem yang baik mengkritisinya demi kematangan penggalian di alam tradisi. Lebih fatal diskusi kejar tayang di setiap minggu pagi, tidak lebih polemik itu petasan cepat habis di malam lebaran -yang secara logis Ilahi misalkan tak mungkin ada rembulan di atas kuburan di malam lebaran, kecuali mempembesar keadaan atau puitisasi peristiwa agar terlihat bermakna dengan mengusung logika sekenanya. Ini sangat jauh panggang dari arang, membaca kilauan hasil tanpa menyelidiki prosesnya, seperti perihal Barthes tiada bisa menolak mitos, contoh kaum pedalaman yang tak percaya jika ada manusia turun ke bulan.

Selanjutnya agak-agak menyanggupi memakai kaca mata tiga dimensi bagi tafsiran pada Barthes yang menyembunyikan langit inspirasinya yakni ‘tata surya’ bidang ‘hidup,’ daripada sebuah bentuk yang hanya bulat pada Zhdanov. Kelak dan mungkin tengah terjadi, webset atau situs-situs perpustakaan yang beredar di google itu membentuk kewibawaannya, dan pada drajat tertentu menjelma bahasa ucap antar blogger sampai menempati ruangan mitos, kesakralannya terpantul atas wibawa yang disuguhkannya sebagai mitos jaman mendatang. Seperti gemintang beredar terang ketika malam, dimana alam bawah sadar terangkat, maka timbullah hawa kurang percaya diri atas hidup. Sehingga berpegangan akar rapuh, ketika temuan mutakhir melecuti hati pikiran insan seakan sia-sia hidup di muka bumi atau terkenanglah pada kematian Jacques Derrida, di Paris, Prancis 8 Oktober 2004.

Sebagai penutup saya kutip ujarannya Pablo Picasso; “Seni adalah kebohongan yang memungkinkan kita untuk menyadari kebenaran.” Ini sangat berbeda jauh dengan alibi!

28 September 2011 / 13 Juli 2015 / 17 November 2015.

Tinggalkan Balasan