Bagian 5: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia


(kupasan keempat dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi

Awal paragraf tersebut masih ingin diudar, maka kali ini menyoal kata ‘dan’ yang ada di dalamnya.

Dalam percakapan sehari-hari, kita tidak lepas menggunakan ‘kata penghubung,’ seperti ruang kerjanya nafas dengan tubuh, sewaktu memakai panca indra sebagai kesaksian, alat perundang-undangan juga pelaksanaannya. Pun perihal lain yang bergelayut, semata air anak-anak sungai beserta alirannya, dedaun bergoyangan oleh tiupan bayu, rasa penasaran yang diberkati misteri. Para pencari ilmu bergandeng dengan kesuntukannya, kasih sayang disambut kerinduan dalam, lelaki bercampur bersama perempuan, wewarna saling mematangkan sulaman makna kehidupan.

Cahaya beserta gelap memberi kejelasan, tinggi dan rendah di atas jarak pandang, kecil-besar bertumpu kehadiran; matahari, bumi berputar di bentangan birunya langit. Kecupan memberi aroma, semua menyatu bersedekap rasa, laksana bibir pantai dicumbui gelora laut tiada jemu meremajakan alam. Gerimis hujan dinaungi berkah gravitasi, dan kita menjelma ada dikarena bersama.

Dalam khasana kebahasaan, kata-kata yang kita miliki sungguhlah elastis, itulah berkah nilai-nilai yang sudah ditanamkan para leluhur beserta maknanya. Suhu drajadnya memukau bagi berkenan khusyuk menggali perbendaharaan tersembunyi, yang dipantulkan atas hamparan kecantikan alam Nusantara.

Sampai suatu ketika mencipta citraan lain yakni penghubung yang tidak langsung, namun membentuk keunikan rasa pun pada suara dan lainnya. Misalkan kembang ‘Kumis Kucing,’ tanaman ‘Putri Malu,’ atau alunan peribahasa yang secara tidak kentara membentuk pola bernalar. Kerjanya kata penghubung (sambung) yaitu menentukan kelas tertentu di suatu bidang kajian yang ditempa. Sejenis rongga antara senar pada tubuh gitar atau persinggungan, tepatnya pergeseran dialektika yang menambah tingkatan harmoninya.
***

Guna tidak berlama-lama dan pembaca suatu saat rela mengangkut harta yang berlimpah tersebut. Saya turunkan satu kata sambung ‘dan,’ yang tidak menutup kemungkinan bernilai sebar ke ubun-ubun padanannya, serupa bebutiran jagung di genggaman tangan filsuf Thales, yang ditebarkan ke segenap pulau di penjuru dunia.

Kata ‘dan’ mempunyai kembaran-kembarannya, ialah ‘serta, dengan, tambah, pun, pula,’ di samping wujud lain yang menyerupai, sekuat kemampuan penulis mengola kata-kata demi memakmurkan khasananya dalam berbahasa. Apalagi di bidang sastra, seyogyanya keahlian penulis menjadi cerminan guna menambah pamor karyanya yang tidak terikat kuat aturan tata bahasa. Dan karya susastra dari Persia dapat memberi contoh sebagai kehadiran karya-karya terbaik yang tidak kaku memakai pedoman membuta, mungkin di sini kajian filsafat analitik menemui muaranya.

Ada tiga kata ‘dan’ pada paragraf awal esai IK yang berjudul “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri.” Karena jarak tulisan saya radak jauh antara kupasan II dan bagian V ini, maka saya taruh ulang agar tidak berlama-lama membuka lelembar halaman sebelumnya:

“Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.”

Kata ‘dan’ yang pertama bukanlah penghubung yang adil nan seimbang, meski kehendaknya terlihat menyebandingkan, di sisi adanya indikasi menguatkan. Di antara kata ‘dan’ tersebut (upaya … perjuangan), tidaklah sepadan nilainya, dapat dibilang radak njomplang, serupa sekelumit udaran (uraian) pada laman sebelumnya.

Andaikan kata ‘upaya’ diganti dengan kata ‘semangat,’ tentu memiliki daya keterkaitan ampuh saling menopang memakmurkan yang hendak digagas, di sini kembali tercium keraguan IK pada SCB. Seandainya IK memberi respon sedari sesuatu keraguan menuju keyakinan, tetaplah dapat disangkal berikutnya bisa digagalkan. Karna kata ‘semangat’ mencerminkan kata ‘upaya’ yang lebih berlandaskan keyakinan waktu di depannya, yakni perjuangan.

Dalam beberapa hal, memang bahasa pun kata-kata itu ‘bebas’ dipergunakan demi satu nilai tertentu tafsirannya di bidang masing-masing, kalau berpatokan dasar standarisasi karya atas bentuknya. Tapi usaha ini menerobos inti dari partikel terkecil untuk mengetahui sejauh mana kata-kata sebagai wakil suara terdalam atas sikap, watak penulisnya di dalam menentukan nilai yang disuguhkan, demi menjawab perihal apa saja kemungkinan dibalik yang terucap, terkatakan (teks).

Pembongkaran ini menempuh ke jalan hakiki, seakan menyelidiki fungsi ruh pada kerjanya tubuh, seperti yakin adanya Tuhan Yang Esa, meski tidak pernah bermuwajaha secara nyata, namun melalui firman serta ciptaan-Nya. Mungkin juga perlu ditandaskan di sini, di pelbagai kesempatan pula; bahwa dikala saya menggunakan kata ‘bebas’ dengan tanda petik pun tidak, bukan bermakna sebebas asap diterbangkan angin. Tetapi sebebasnya daun-daun berguguran menuruti hukum yang terkandung di dalamnya.

Kata ‘semangat’ yang mendadak saya munculkan sebagai pengganti kata ‘upaya’-nya IK, ialah berlainan makna jika menelusuri daya pantul asas kelahiran yang menaunginya. Hanya tidakkah perbedaan, kecondongan, kecuraman nilai yang berlainan, kadang membentuk pengertian lebih kukuh atau sebaliknya, tergantung konteks yang digapainya. Dan pengadaan saya sunggah bisa dipertanggungjawabkan kepada kisaran keseluruhan makna yang dibangun IK, jikalau nyata respek terhadap SCB.

Kata ‘dan’ kedua sekadar pasal sambungan sedari sebelumnya; kabel telephon, tali rantai besi pengikat gerbong kereta api satu dengan lainnya. Ia digunakan demi mempermudah tubuhnya berbelok, ketika dihadapkan jalur rel yang berkelok. Buah tata cara kelenturan juga penguat di atas kehadiran bersama, yang terangkut dengan disempurnakan oleh apa saja digembolannya.

Ini memperkokoh lolosnya suatu anggapan, (pernyataan). Yang muncul kemudian nafas panjang berikhtiar mengajak pembaca menerima bayu (angin) ketinggian di puncak pegunungan bersama realitas hawa udara dengan membawa kesadaran yang rendah. Lalu menarik nafasan panjang demi menggapai penerimaan jernih ataupun penyelaman ke dasar sungai dengan tempo lama, kemudian memperoleh kesadaran lebih yang tidak terkira. Maka yang terjadi seolah tidak mungkin tersangkal atau berat rasa menolaknya.

Saya kira alunan berkelak-kelok panjang yang menyusup dengan paras anggun tersebut, sudah diperhitungkan masak-masak oleh IK. Karenanya jika membaca tanpa adanya kecurigaan, akan terjeblos ke ruang penjara kemauannya. Lantas dengan kesadaran rendah dalam diri pembaca, ditanamkanlah rasa mengamini. Ini akan sangat kentara disaat menemui kata ‘dan’ di bagian ketiga. Tentu saja hal-hal tidak mungkin sekalipun tetap diterima, sebab telah tersirap alunan nada-nada nan jauh membentang indah dalam kata-kata (kalimat) sedurung-nya (sebelumnya).

Demikian sihir IK saya tangkap dalam mengurai makna kata ‘dan’ serta kalimat, lewat tataran logika. Umpama ada yang tidak berkenan saya bertingkah demikian, tapi lebih condong bahwa makna kata atau kalimat itu ditentukan penggunaan dalam berbahasa seperti fahamnya Ludwig Wittgenstein (1889-1951), maka kian melenceng lewar (keluar) paragraf awal IK tersebut, kala merujuk pada kredonya SCB.

29 Juni 2011 / 27 Malam 28 Juni 2015 / 31 Oktober 2015.

Tinggalkan Balasan