M. Paus (Membaca: “Pesan al-Qur’an untuk Sastrawan”) karya Aguk Irawan MN

Nurel Javissyarqi

I
Sudah lama saya tidak menulis, Bismillah hirrahman nirrahim… Tanggal 15 Juli 2012 saya membedah salah satu karya penulis ini (Penakluk Badai; novel biografi KH. Hasyim Asy’ari) tanpa makalah (lantaran informasi kepada saya mendadak, dan hari itu juga mengisi acara di kampus STITAF Siman, Sekaran, Lamongan. Syukur, jadwalnya tidak bertabrakan; pagi hingga siang di Pesantren Sunan Drajad, siang sampai sore di kampus). Dan 14 Mei 2014 kini, membedah kumpulan esainya yang saya singkat Paus (perpendekan dari judul bukunya) di Pesantren Putri al-Fathimiyah, Banjarwati, Paciran, sebelah barat Pesantren Sunan Drajad, Lamongan.

Penulis ini sangat produktif, sudah puluhan buku lahir lewat jemari tangannya, ia pun putra terbaik Mbah Lamong yang pernah menimba keilmuan di Mesir. Ianya penulis yang berjalan di jalur lurus, apapun yang dikenyamnya dalam pengalaman hidup; pembacaan hayati dan penafsiran kitab-kitab yang dipelajari, demi mengukuhkan keimanan sekaligus bersyiar menegakkan panji-panji kebenaran yang diyakini, pendek kata bukan sastrawan asal-asalan. Ini melayangkan ingatan pada bakal buku saya yang menohok mereka yang tanpa penyelidikan dalam penelusuran jauh. Sebagai jawaban, Insyaallah akan terbit Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, yang mungkin sama satu sisi dengan buku dibedah kali ini; menguliti borok nalar jahiliah, lalu memekarkan harum kembang akidah Islamiyah untuk para penulis muslim yang kangen memasuki alam sastrawi.

Buku Paus karya penulis ganteng itu menambah perbendaharaan dalam bangunan sastra di Nusantara, memberi peringatan agar mereka tidak lepas kendali dengan membaca sejarah; yang mengsle sepatutnya dibetulkan, yang bengkok seyogyanya diluruskan. Berhubung durung baca atau karya tersebut belum ada di tangan, jadi mengalir saja. Saya peroleh kabar judul buku Paus (Pesan al-Qur’an untuk Sastrawan) dari panitia bedah buku, saat perjalanan naik motor hari Jum’at 9 Mei 2014 Ponorogo-Lamongan, tepatnya jalan tembus Nganjuk-Ploso tidak melewati Kota Jombang.

Laku ini (pembacaan sebelum kejadian) mengingatkan saya kepada santri Gebang Tinatar Tegalsari, Ponorogo; R. Ng. Ronggowarsito yang menjawab surat lawan bicaranya tanpa membaca layangnya terlebih dulu, atau menanggapi perkara yang sedang akan terjadi. Sebelum menembus Paus (karena lama tidak menulis), perlu mengulas perjalanan, kalau pun ingatan ialah sejarah. Alhamdulillah dari Bulan Mulud sampai Rajab tahun ini, saya sudah rampung mengeditori karya guru saya KH. A. Aziz Masyhuri (almarhum tanggal 15 April 2017, ketika menulis makalah ini, Beliau masih sugeng) yang bertitel “Ensiklopedia Tarekat dalam Tasawuf” yang dipengantari Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Said Aqil Sirad dan Martin van Bruinessen.

Atau saya telah lama tidak merambahi dunia sastra dengan ketekunan se-ajek masa lalu, ini melayangkan rekaman pada masa-masa mengisi acara di Kota Malang bulan lalu. Syukurlah serpihan ingatan itu layak kembali, sebab dibantu seorang pembanding yang setia mengamati perkembangan sastra; ia juga penulis esai, peneliti kebudayaan, penyair dan dosen di kampus UIN Malang, yang bernama Misbahus Surur. Di Kota Apel saya bertemu sastrawan Denny Mizhar, lantas ingatan-ingatan tersebut sekarang balik segar, maka sepatutnya catatan ini diteruskan.
***

(Ini keterlaluan) buku Paus semacam penjabaran meluas dari titik esainya Aguk yang pernah membedah buku saya, dengan titel “Menimbang Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dari buku Nurel: Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan” (dibedah di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka” Jl. Bintaran Tengah 16 Yogyakarta, 21 Juli 2011) yang embrionya sudah ditulisnya di Koran Republika, sebelum buku saya terbit.

Dan setelah menelusuri google; data buku Paus berisikan esai-esai budaya dan agama, cetakan I, 2013, x + 434 hlm; 15 cm x 23 cm, penerbit Jalasutra, Yogyakarta. Sepintas laksana betul terbilang, pada (kutipan) pengantar bukunya berikut: “Buku ini merupakan karya suntingan dengan beragam tajuk yang kami pilih dan kumpulkan. Sebagian besar berbentuk esai-esai ringan yang sudah dipublikasikan di pelbagai koran, baik nasional maupun daerah, serta majalah-majalah dan jurnal. Sebagian lain berbentuk makalah yang kami sampaikan dalam kesempatan seminar dan diskusi di tingkat nasional maupun lokal. Dan sebagian lagi berbentuk makalah ilmiah, sebagai tugas belajar di bangku program Pasca Sarjana selama kuliah di UIN Sunan Kalijaga.”
***

Kini waktunya saya bercuap-cuap; sejarawan Karen Armstrong menulis buku “Muhammad, a Biography of the Prophet” menyebutkan dalam buku itu “Puisi ialah pusat kehidupan politik Arab” yang sebelumnya mengunggah puisinya Ka’b ibn Asyraf, seorang penyair Yahudi dari klan Nadir yang pergi ke Makkah dan mulai menulis syair yang menghasut, demi mendesak suku Quraisy merapatkan barisan melawan Muhammad serta membalas dendam, bunyi syairnya: Wahai bumi tatkala nyawa mereka malayang // Telah terbelah dan menelan manusia// Dialah yang menyebarkan kisah yang merasuki // atau hidup ketakutan, buta dan tuli.

Syair di masa tersebut khususnya (di Arab) dan pada umumnya sekarang (di Indonesia), maksudnya berbobot yang memiliki dinaya pamor tidak sekadar nalar juga rasa serta sejarah yang melingkupinya, tidak cuma mampu menggerakkan jiwa pun merasuki ruh para pendengarnya, sehingga mental-mental tanggung mudah dilahap rayuannya, dibakar semangatnya yang belia ke lembah-lembah kegelapan. Pula sebaliknya, syair yang sanggup mengangkat ke derajat tertinggi, membagikan cahaya pencerahan bagi indra-indra yang dipersaksikan di atas bukit kebenaran yang dilantunkan. Namun kini laksana jauh dari bukti (realitas), mimpi di siang bolong kalau hendak mengamini paragraf ini, tapi perlulah dipetik untuk para penyair di Tanah Air.

Para penyair generasi sekarang, kebanyakan hanya berlatih menyusun kata-kata indah yang tidak berasal dari laku hidupya, disibukkan menyuntuki jasadiah teks, dan tidak beranjak dari mana kata-kata hadir lalu mengembara. Seperti para pelajar latihan membuat puisi, lantas disenggang waktu dikumpulkan di meja redaksi untuk dikoreksi, disortir mengenai dimuat-tidaknya di halaman koran atau majalah. Tujuannya membuat puisi/sajak menawan, runutan kalimatnya kuat sebab berkali-kali dibenahi, direvisi, menambal lubang kelemahan ditutupi dengan ketekunan berulang, ketundukan kepada nafsu ingin diakui. Syair-syair itu kelak jadi timbunan sampah kertas yang membuat orang-orang malas membacanya, karena guratannya dari pembelajaran atas keinginan menulis kalimat indah, yang kerap terlepas dari pembacaan karya para leluhur, atau kehadirannya tidak mewakili suara jaman yang menaungi bangsanya tumbuh berkembang.

Bagaimana mereka mampu membuat karya mempuni, jika dalam kehidupan sehari-hari jarang merenung di tengah wengi menginsyafi langkah kaki kembaranya, tidak sekadar ayunan ingatan di atas bacaan yang mengisari, mereka jarang menyendiri untuk memperoleh inti perjuangan panjang bangsanya-bahasanya, seakan lupa merambahi ladang kesadaran insan dalam menghaturkan kesaksian dari beningnya malam pertiwi demi dipersembahkan pada siang pengorbanan. Mereka terlena membuat menara gading yang pasti retak ambruk menimpahi waktunya jadi kesia-siaan merenggut usianya, lantaran tidak menelaah gerak terdalam hakikat hidup seirama kata-perbuatan, selaras laku-keyakinan, seimbang baca perubahan, serasi denyutan jiwanya naik-turun semelodi angin bertiup menghidupkan pepohonan, menyuburkan mata air pegunungan serta mengharumkan kembang-kembang peradaban.
***

Buku Paus menghidangkan santapan lezat bagi yang ingin berjalan di landasan pacu kebenaran; mengetengahkan keindahan santun, memiliki rujukan dari bebidang disorotinya serta diramu menjelma formula tidak sekadar jitu, juga memperluas kewaspadaan perasaan insan; pembacaannya saat menyusuri arus besar yang disandang karya tersebut. Menyuguhkan penerang bahwa karya sastra tidak beraneh-aneh dan gagasan kesastrawiannya bukan bermula dari keblingeran ingin dianggap nyeleneh, tapi berawal hati teguh iman, penalaran kuat, menghayatan dalam, bukan rakitan apalagi akrobatik kata laksana sulapan.

Karya-karya Aguk; novel, esai, cerpen pula puisinya, dari pembacaan jati dirinya di tengah pergolakan jaman, mengudar hidupnya demi memantabkan keyakinan, membentangkan hasil bumi penyelidikannya dengan langkah pelahan mempelajari yang patut ditopang, dan menghempaskan yang perlu ditinggalkan. Sekadar menyebut nama-nama pengarang karya sastra yang diilhami ruhaniah Qur’ani; Jalaluddin Rumi dengan Diwan-i Syams-i Tabriz-nya, kitab At-Thawasin karya al-Hallaj, masuk ke dataran Tanah Air di Serambi Mekkah (Aceh) bertebaran karya-karya Hikayat Perang Sabil (HPS), ada yang bersumber dari kitab Mukhtasar Muthiri’I-gharam disusun Syaikh Ahmad Ibn Musa, kitab Tadkhiratal-Radikin (1890) atas Tgk. Chik Kutakarang, ada juga HPS (1834) sedari karangan ulama besar Syaikh Abd al-Samad (Abussamad) al-Falimbani (Palembang), pula HPS yang disusun Teungku Putroe, permaisuri Sultan Muhammad Daud Syah. Kalau menyimak para penyair di masa Rasulullah Saw, semisal Hasan bin Tsabit, Ibnu Rawahah, lebih jauh dapat dibaca di buku Paus.

Para beliau mengarang karya-karya sastra bukan semata ingin dikenal sebagai sastrawan, tetapi lewat sentuhan langgam kesusastraan, berharap para pembacanya memahami yang sejatinya diperjuangkan dalam sekelumit usianya. Para beliau mengurai tahap kecintaannya kepada Allah Swt dengan tidak lewar (keluar) dari perangai menawan atas kilatan cahaya kitab suci, segala sumber pencapaian para pendahulu dipelajari, dipadukan pencarian pribadinya terhadap keindahan suci.

Para beliau memantabkan keimanan bukan oleh penalaran semata, juga pergulatan goda dalam wewaktu peribadatannya, bersunyi-sepi menapaki tangga kehidupan sebagai nur (cahaya) pengetahuan, membaca segenap perubahan, menyimak bentuk rayuan lembut, mengenal fitroh insan atas makolah para sahabat nabi, para imam, para mufassir dll; kesemuannya dikandung dalam kurungan di masa-masa kehidupan yang sebagian terlahir dalam karya-karya besarnya.
***

II
Barusan panitia acara menelepon, bahwa buku Paus akan sampai besok sore di Stasiun Semut Surabaya, jadi masih ada kesempatan membaca barang sehari-semalam sebelum melanjutkan catatan ini. Olehnya, sambil menunggu akan diunggah tulisan saya yang dulu di status facebook mengenai alam Ponorogo, semacam menimang-nimang tidak membuang yang pernah lewat dan tercatatkan;

Diam-diam saya melangkah dengan kata-kata lirih pelahan, agar pepohonan tetap bergoyang dengan nadanya, rerumputan senantiasa khusyuk dalam dekapan, dan sinar mentari menerobos celah dedaunan tanpa bimbang. Yang tersentuh melewati jari-jemari menjadi kelembutan pemahaman, hingga cecabang penalaran serta kilatan-kilatan hati di dalam mendiaminya, tidak lepas tali kekangan. Dari sentuhan itu, berharap menemukan hikmah, tiada lain semoga pembaca yang lebih segalanya, turut menghadiahkan hembusan doa-doa, agar kelak melangkah pada titian panjang seirama untaikan kata mutiaranya HOS. Tjokroaminoto, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”

Di Joresan, Mlarak, sekitar satu kilo meter dari Gebang Tinatar Tegalsari, Jetis, Ponorogo, ke arah timur matahari, dimana alamnya cantik rupawan, musim tanam padi mulai tumbuh lembut menghampar luas dikelilingi pebukitan dari kejauhan. Dalam suasana kejujuran tropis itu, saya berharap membuka tirai-tirai jendela, guna seluruh pandangan segenap kesaksian malam-siang, tidak sekadar dilewati roda jaman, masa yang cepat aus, waktu terlanjur menepi, juga memiliki bekas yang pantas dikenang serta dilestarikan di dalam untaian karangan. Dan munajad para pembaca menjelma mata rantai sholawat ke suluruh semesta lahir-batin, mengisi antariksa jagad alit pula besar, demi persaudaraan langgeng di dunia sampai di akhirat.
***

Dan saya baca buku Paus meski selintas. Jika ini kritik sewujud berlari serampangan, kalau dianggap begitu tidak masalah, Aguk bisa membalas kritiknya nanti pada buku saya selanjutnya, dan umpama dikira saran, puji syukur Alhamdulillah. Pembacaan saya dari halaman 3 sampai 176, dari esai “Binhad Nurrohmat dan kembalinya unsur Sastra Jahiliyah” hingga esai bertitel “Perihal tersingkirnya Puisi dari Industri Buku.” Dalam lintasan membaca saya memperoleh nada-nada kecenderungan diulang atau kisah yang sama diulas balik untuk memperkuat yang dikritisi dan itu tak mengapa, namun mengurangi dinaya keindahannya. Mungkin perihal tersebut karena tuntutan media yang dikirimi karyanya, perlu gerak cepat juga untuk menuliskannya, di sini saya tidak mengalami keterhambatan membaca meski dengan gerakan kilat, atau tidak terbata-bata seperti Aguk membaca buku tipis saya yang dulu melihat (mengira) saya dalam keadaan terbata-bata dalam menuliskannya (esai Aguk mengenai buku saya pun ada di buku Paus, halaman 117-122).

Beberapa kali saya mempelajari polemik yang menghiasi media massa, nyatanya kurang memiliki daya perenungan dalam, seolah melupa bahwa penulis sudah mengetengahkannya, pahadal ketika tampil jadi bendelan buku, sangat kentara pengulangannya. Atau esai-esai di dalam buku Paus, serasa hampir sama secara penyajiannya dengan buku-buku kumpulan esai yang ditulis para kritikus sastra Indonesia, yakni himpunan dari beberapa kasus yang ditulis di media cetak pun yang diadakan dalam waktu acara diskusi.

Pengulangan di beberapa tempat (esai), semisal kisah penyair jahiliyah al-Qois yang nasibnya menjadi gelandangan terluta, keagungan penyair muslim Ibnu Rawahah di hadapan kanjeng Nabi Muhammad Saw, dukungan penulis kepada Najib Kaelani dst. Namun secara garis besar, Aguk mempunyai peta penalaran jelas atau kritiknya tegas, mana yang harus disentil (Binhad Nurrohmat), sekadar disenggol (Damhuri Muhammad), dishowani (Hamid Jabbar) dipertanyakan (Taufiq Ismail), dikritisi (Maman S Mahayana), dan sastra ngeseks dibantai habis.

Tapi sayangnya (ini ungkapan saya saja) Aguk tetap mengakui Chairil Anwar sebagai pentolan sastra, tidak mengkritik tegas mental ‘si binatang jalang’ yang menjiplak lantas diperhalus HB. Jassin dengan menjadi penyadur pada beberapa puisinya, pun tidak mengamati arus kecil yang mengisarinya yang tidak pantas disebut pelopor dari masanya. Selebihnya buku Paus memikat hati, karena tidak banyak kritikus di Indonesia yang mengulas jauh alam kesusastraan di jazirah Arab, bisalah dibuat pegangan bagi yang mau (akan) memasuki dunia sastra Islam, serta sedikit-sedikit dapat memperteguh pengetahuan, tentunya sambil menyinauhi dalam apa saja yang Aguk sampaikan, agar benar-benar kepada pemahaman tersendiri.
***

Dari halaman 179 ke 400, Aguk memperlebar ayunan dalam melempar jala pemikirannya, tidak melulu dalam negeri, juga bersangkut kepada para pemikiran luar yang akrab dengan jemari kekinian; menyapa lebih dekat Muhammad Abduh, memperkenalkan Khalil Abdul Karim di antara kaum pemikir muslim ulung lainnya. Mengenai Dr. Yusuf Qardlawi saya memilih berhati-hati, sebab iklim di Mesir berbeda dibandingkan di Indonesia, tentunya mempengaruhi geliat nalar kaum penghuninya, meski lain tempat Aguk memberi perbandingan Indonesia-Mesir, seperti pada catatan buat Ikranegera.

Ada pola nalar Aguk yang menarik, semisal memotret Mbah Maridjan seibarat posisinya Nabi Ibrahim, perihal Padusan dts, yang menampilkan kearifan lokal untuk disinauhi kembali. Dalam esainya berlabel “Kesejajaran dan Pertentangan: Sains dan Agama” Aguk banyak menyisir permukaan ahli pikir Barat yang mempelajari ihwal keilmuan dari khasana Islam, dan saya jadi tahu bagaimana pandangan Aguk menyikapi Stephen W. Hawking. Namun ada yang kelewat, mungkin Aguk abai (lalai) pada bukunya Eugene A, Myers “Arabic Thought and The Western Word” yang salah satunya mendapati penalaran Thomas Aquinas sedari temuannya al-Farabi.

Selanjutnya mempertimbangkan Sutan Takdir Alisjahbana, tentu setelah membaca jaman keemasan Yunani, kejayaan Islam, serta capaian Barat kini, untuk mencerna lemah lempung Pertiwi. Aguk pun memperkenalkan pemikiran al-Jilli antara Nietzsche dan Søren Kierkegaard, mengetengahkan teorinya Charles Sanders Peirce bersama biografinya. Kian dekat memahami posisi Ayatullah Khomeini dengan Mohammad Reza Syah (Dinasti Pahlevi), fenomena lokal Muhammad Yusman Roy, tidak luput menulis soal Adonis beserta sepak terjang kegelisahannya. Menyikapi karikatur Nabi Saw pada koran harian di Denmark Jyllands Posten (30 September 2005), lantas ditutup dengan esai “Tradisi Kenduren, Kearifan Lokal dan Identitas Budaya.”

Maka dalam buku Aguk yang dibagi 4 bagian, saya membacanya dengan 2 tarikan. Pertama lebih akrab mengenal dunia sastra di Indonesia dengan bumbu sedap sejarah kesusastraan sebelum Islam sampai turunnya ayat-ayat (al-Qur’an), teguran bagi para penyair hingga apa saja yang sepatutnya dilakukan sastrawan muslim. Di sini Aguk memukul mundur sastra wangi, dan memberikan pengajaran sejauh mana seyogyanya sastra yang Islami, bukan yang berkembang ngepop sekarang, terlepas dari sejarah pergulatan orang-orang yang melakoni hidupnya dalam masyarakat. Kedua, di sinilah perbedaan para kritikus sastra Indonesia dengan Aguk Irawan MN, yang tidak hanya berkutat dalam lingkaran dirinya sebagai penulis, tapi berani keluar menyoroti perubahan, menyikapi laju jamannya, lalu menaburkan benih unggul pengertian yang pantas dijumputi oleh para penulis setelahnya.

Olehnya dari kisaran tulisan ini dapat ditarik benang simpul, pembacaan awal menuju pertengahan cukup baik, yang tengah hingga tuntas bisa dibilang lumayan baik, sedang biografi Aguk menjanjikan terbaik, karena sebentar lagi menyandang gelar Doktor. Jadi, para mahasiswa serta kaum santri yang mengikuti diskusi kali ini, sangat merugi kalau tidak membeli bukunya; yang bagi saya adanya beberapa buku bisa cepat kadaluarsa apa yang diunggahnya, sementara bukunya Aguk tidak mempan oleh fenomena tersebut. Maka hukumnya wajib untuk kawula muda sastra Lamongan memilikinya, kalau ingin berbicara dunia sastra Islam pula para pemikir muslim beserta geliat perkembangannya. Terakhir kali mohon maaf atas pembacaan yang melaju cepat, tentu masih siap menjawab yang mungkin kelak saya genapi Insyaallah. Tersebab apalah hebatnya gerakan melesat, hanya dibantu setan lewat, maka Wallahualam bissawab…

14 Mei 2014, dekat Bengawan Solo desa Karangcangkring, Dukun, Gresik.

Tinggalkan Balasan