Kalimire’ng (Sungai Mendengar) “Burung Gagak dan kupu-kupu” *

Nurel Javissyarqi

Saya tahu Kota Gresik sejak duduk di bangku sekolah Mts, sewaktu pertama kali naik bus sendiri ke Surabaya, dengan maksud ke Tunjungan Plaza sekadar ingin menikmati suasana Kota Pahlawan. Saat melewati wilayahnya, saya disuguhkan berhektar-hektar tambak garam serta gudang-gudangnya; pada lintasan itu saya terpesona kerjanya kincir angin pula para petaninya yang tekun mengalirkan air laut ke ladangnya, dan kala menjelma butiran garam dikeruknya pelahan di bawah terik mentari. Waktu itu saya sudah kenal cat minyak juga kain bekas tepung teligu pengganti kanvas; saya bayangkan betapa indah ladang garam yang luas dalam bingkai lukisan, hamparan putih berskat-skat tanah pematang, sedang langit membiru terang dengan sedikit sapuan awan tipis yang tengah melayang-layang.

Usia pun bertambah, jalan menuju Kota Surabaya melalui Gresik kian banyak perbendaharaan yang patut disinggahi, dan saya termasuk tipe manusia yang lebih suka diam; mengamati pemandangan sekitar di sisi merawat ingatan dari buku-buku bacaan. Di Kota Pahlawan, saya sudah tahu Jalan Semarang yang sampai kini berderet toko-toko buku lowak (bekas) yang harganya cukup terjangkau. Dan sewaktu pulang saya biasakan mampir di depan makam salah satu penyebar ajaran Islam bersebut Walisongo yakni Sunan Giri di bukit Giri; sekadar ingin duduk sambil menghisap rokok di warung kopi, merasakan para peziarah yang berjalan kaki memasuki areal pemakaman, dengan keyakinan ngalab berkah kepada Kanjeng Sunan Giri.

Umur semakin menanjak, buku-buku karya saya yang masih stensilan mulai merambahi beberapa kota; Yogyakarta, Surabaya, Gresik, Jombang, Ponorogo, Ngawi, Madura, Jember, Malang dll. Di lain waktu saya bertemu dengan Penyair Gresik Mardi Luhung dalam acara sastra di sekolah MA Simo Sungelebak, selepas perkenalan singkat ia mampir ke rumah, meneruskan obrolan seputar sastra. Pada masa-masa itu saya kurang peduli arah perkembangan kesusastraan Indonesia, lantaran sudah kadung (terlanjur) suntuk sinahu (belajar) membaca-menulis. Setelah perjumpaan diteruskan menjalin komunikasi lewat telepon, sesekali bergantian sambang untuk sama-sama memperlihatkan karya, atau saling mempelajari tingkat kematangan dari masa ke masa.

Sedang dari undangan mengisi acara sekarang, saya sudah jarang di Lamongan apalagi ke Surabaya, Gresik, sebab tengah kembara lagi di Bumi Reog, bahasa pasnya sedang terdampar di Ponorogo demi menenangkan diri, karena kapal saya tumpangi kandas yang sebentar kemudian tenggelam ke samudra kenangan. Maka perjalanan kini sebentuk ‘diperjalankan’ dari Bumi Hasan Besari ke Bukit Giri, guna menyelami jarak waktu kepahitan serasa mengampas, ataukah akan tumbuh kembang penghibur hati. Olehnya, jika dalam catatan ini ada rasa ampang, itu pantulan batin yang menerawang, kalau terdapat kesegaran itulah cermin impian. Maka saya turunkan saja makolah-nya:
***

Saya ucapkan selamat atas terbitnya kumpulan sajak berlabel “Burung Gagak dan Kupu-kupu” yang memuat kekaryaannya; Didik Hendrik Y, B. Soeryanto, D’Panca Aulia, Ainul Khilmiah, RH Suhud, Chidir Amirullah, S. Huda, Muh Ali Sarbini, Abijar PeA, Rakai Lukman, Aji Ramadhan dan Gus Bram. Dalam pengantar buku tersebut ada tulisan ini: “Gresik, banyak melahirkan penulis dan penyair besar. Dapat kita lihat, Mardi Luhung, L. Machalli, Budi Palopo, Taqin, A. Rofiq, Tsalis Aziz, Mustakim, Dukut Imam Widodo, yang dalam gaya penulisannya mempunyai wilayah masing-masing, menjadikan Gresik sebagai kota yang patut diperhitungkan dalam ranah sastra di regional ataupun nasional, salah satu di antara mereka, merupakan penyair Asia Tenggara. Nama-nama besar tersebut, merupakan penopang keberlangsungan kehidupan sastra di Gresik.”

Karena baru kemarin memperoleh datanya lewat email. Jadi, tidak akan gegabah mengupas kekaryaan mereka kecuali sekilas, istilah Mh Zaelani Tammaka bisa setindak serampangan saat menilai puisi saya di TBS tahun 2001 silam. Maka hanya melihat kemungkinan terdekat yang mengisari kepala selepas baca sepintas; hitung-hitung dari masa pendek dua hari, nantinya bisa berbagi pengalaman dalam dialog ketika bedah karya tanggal 30 Desember 2012. Harapannya tidak serupa hakim konyol menentukan pilihan mematenkan nilai, tidak grusa-grusu memandang nasib karya bersama penulisnya. Olehnya, ini akan diberangkatkan dari pijakan memandang yang terlintas mengeram di antara saya, tlatah Gresik serta kehadiran para penyairnya.
***

Kala masih bocah dan barangkali hanya dalam dunia kecil saya, lubang telinga ini mendengar sekaligus mata mungil menyaksikan; Kota Gresik terkenal dengan kerajinan pembuat kopyah (songkok), tepatnya di Bungah. Ada rekaman kuat di benak, “songkok dari Bungah, sarungnya (dari) Samarinda,” dua benda itu menemani saya ke langgar (musholla). Hal tersebut mungkin juga dirasakan bebocah di jaman saya di Desa Kendal-Kemlagi, Kecamatan Karanggeneng (tetangga Kecamatan Dukun, Gresik). Bisa jadi telah merambati kawasan Jawa Timur, meluas ke pelosok negeri, seperti sarung Samarinda (nama ibu kota provinsi) di Kalimantan Timur. Di sini teringat penyebaran agama Islam oleh Raden Paku (Sunan Giri, nama lainnya Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra) yang lahir di Blambangan tahun 1442.

Dulu saya sering berkunjung ke areal Makam Sunan Giri, sekadar ngopi di warung kopi dekat parkiran kendaraan para peziarah. Biasanya selepas dari Kota Pecel Semanggi (Surabaya) Jalan Semarang, sehabis membeli buku-buku lowak. Sebelum sampai Lamongan, beberapa halaman buku sudah terbaca di warung kopi di Bukit Giri, Kebomas, Gresik. Membaca buku sambil menyeruput wedang kopi mengepulkan asap rokok di depan Makam Joko Samudra, rasanya memperoleh ketenangan tersendiri, ketentraman melestari, serupa wajah-wajah peziarah terlihat sumringah. Jarak saya, peziarah, dengan Kanjeng Sunan Giri seakan tersekat perasaan sungkan, itu memawaskan diri membetulkan jiwa menginsafi kehilafan di kemudian hari. Lain masa, lahirlah puisi yang salah satu lariknya tersemat dalam “Kitab Para Malaikat” bagian Muqaddimah: Waktu Di Sayap Malaikat, I – XXXIX, urutan ke 28-29, yang menyebut nama lain serta padepokannya Raden ‘Ainul Yaqin:

Apabila menyelami inti sadarnya alam menjernihkan mata batin,
itulah embun di idep-nya kembang Prabusetmata (XXVIII).

Sengaja melibatkan hukum-hukum langit di bukit Giri
tersebab bumi menggosok-gosokkan tubuh mentari kian renta (XXIX).

Hampir seluruh dinaya Muqaddimah yang datang itu lalu saya tempa di Makam Panji Asmoro, daerah Watucongol, Muntilan, Magelang. Sungguh melimpah kekayaan lahir-batin sejarah dataran Nusantara, yang patut dijadikan tembang-tembang syair. Yang seyogyanya mereka turut menguri-uri (merawat) keadaban, agar peradaban agung berlangsung penuh wibawa berkah dari nilai-nilai dikandungnya.

Bencah tanah Gresik ada kemiripannya dengan tlatah Pulau Garam Madura, yang saya namakan Pulau Para Penyair, lantaran telah banyak melahirkan sastrawan; D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W.M., M. Faizi, Mahwi Air Tawar, R. Timur Budi Raja, Ahmad Muchlis Amrin, Halimi Zuhdy dll. Sedangkan masyarakat Gresik kalau dilihat dari sisi penghasilannya; bertambak udang, bandang, berdagang serta melestarikan tambak garam; kepada yang memandangannya menjadi jenak menikmati hembusan bayu memutari kincir angin menggaramkan air lautan.

Di Kecamatan Bungah, selain terkenal songkok juga kerajinan membuat rebana, gitar gambus dan alat-alat musik pengiring sholawat, untuk pujian kepada Kanjeng Nabi akhir jaman Saw, sang revolusioner tercepat menurut Karen Armstrong dalam bukunya “Muhammad, A Biography of the Prophet.” Tidak diragukan sebagai kota di pesisir pantai utara Jawa, Gresik termasuk Kota Santri di antara kota-kota di Pantura. Hanyalah sedikit kota di wilayah selatan tanah Jawa disebut Kota Santri; Jombang, Ponorogo, Magelang dst, pun masih ada ajaran kejawen bernafas di sana.

Gresik bersebelahan kota metropolitan kedua Indonesia setelah Ibu Kota Jakarta yakni Kota Surabaya, Gresik pun memiliki pelabuhan lawas (tua), yang sampai kini masih digunakan bagi jalur mengangkut para penumpang menuju Pulau Bawean, letak pelelangan ikan serta aktivitas lain. Tersiarlah kabar, bakal dibangun pelabuhan berkelas internasional di Kalimireng oleh pemerintahan Gresik, atas niat mengulang kejayaan semasa Maulana Ibrahim dan Sunan Giri, yang menjadikan pelabuhan sebagai denyut nadinya perdagangan untuk para saudagar yang bertebaran di bumi sholawat yang pernah didengungkan Cheng Ho.
***

Adalah setiap gerak pertumbuhan itu niscaya, tentu canangan nasib setia bakal mengunduh derajatnya. Pandangan menyebar bersama kemajuan teknologi seharum kembang informasi di dunia siber, betapa ruang-waktu renungan diringkus percepatan. Hanya “Luwih begja kang eling lawan waspada” :ujaran agung pujangga R.Ng. Ronggowarsito dalam Serat-nya Kala Tida. Dan menyimak peristiwa ini laksana mendapati pulung, oleh karena kerap membaca tanda; apakah nama tempat, sebutan desa pun bentuk lain yang bisa diserap bagi dinaya kreatif. Kebetulan kini pulang ke kampung halaman Lamongan dari Bumi Ponorogo, kehendaknya di bulan-tahun depan meneruskan kembara ke tlatah Banten. Jadi, meski ini di rumah, rasanya masih di persinggahan sementara.

Pulung keberuntungan berasal dari kata Bungah, yang dalam bahasa Jawa bermakna Seneng (Senang, Gembira). Ini menghibur diri seperti urip mung mampir ngombe di tengah-tengah pengelanaan badan-jiwa. Belajar menyelami tanda yang diperkuat pengalaman bersama almarhum guru saya KRT. Suryanto Sastroatmodjo; dulu-kala kerap berjalan kaki dengan Beliau ke desa-desa terpencil di daerah Yogyakarta.

Di Bungah, lebih luas Kuto Gresik bersederap sejarah masa silamnya menuju kekinian, sangat layak bercokolnya para intelektual di pelbagai bidang keilmuan, tidak terkecuali di pilar dunia kesusastraan. Kota-kota yang tumbuh kembang pesantrennya, dipastikan menghadirkan berpuluh jika kurang pantas dibilang ratusan penyair handal di Tanah Air Indonesia. Lantaran alam pesantren mempelajari tembang syair dalam balutan ajaran Islam pada kitab-kitabnya. Paham ini agak kenes, tapi nyatalah sumbangsih para generasinya menumbuhkan kesadaran menuntut ilmu sampai ke negeri Cina, semangat kepedulian dalam mengenyam himkah atau sinahu hingga ke liang lahat, hal tersebut tertanam kuat di benak mereka.

Atas kemakmuran lahir-batin sejarah Kuto Gresik; pengusaha, pelajar, seniman, sastrawannya dan yang lain, bersungguh merekam hikayat dalam jengkalan jejak-jejak tua ke arah perubahan warna kotanya. Di sadarinya persinggungan terjadi pada dunia industri, pendidikan, kesenian dll, yang menampakkan pamor kekayaannya di atas karya-karyanya yang layak dinikmati, seperti kumpulan sajak “Burung Gagak dan Kupu-kupu.” Maka simaklah tanda langit bagaimana dan awan seperti apa yang memayungi kreativitas bersastra pun dikemudian harinya.

Setiap gerak penentu perubahan, dan nama-nama penyairnya tidak bisa dipandang remeh, tersebab himpunan sajak penanda esok bakal melangkah jauh. Oleh karena cikal-bakalnya mempuni, tinggal memantangkan waktu serta usia menempa karya yang masih tersimpan; kepenuhan mereka nantikan, kepurnaan ditunggu keyakinan memeram masa pedih. Ibarat daging disayat pedang, darah semangat mengucur menderas menyembuhkan luka-luka lama. Sedangkan yang tidak dihitung mencipta daya membetot suntuk dengan paksaan ke lubang jarum keindahan bahasa.
***

Di sini saya kepincut sebutan nama Kalimireng, letak akan dibangunnya pelabuhan bertaraf internasional. Persengketaan tentu ada seperti gagasan dibangunnya ulang pelabuhan di Paciran, Lamongan. Kalimireng berasal dari dua kata; “kali” dan “mireng.” “kali” artinya sungai, “mireng” saya maknai lewat dua perkara. Dikarena perangainya terserapi bentuk penulisan bahasa Jawa juga bahasa Indonesia. Tafsiran melalui dua unsur belahan ini, demi mengurangi bentuk kecerobohan dari kehilafan-perubahan di sana, jika dirunut sampai moyangnya pembuat istilah. “Mire’ng” itu artinya “Mendengar” memakai huruf: (e’ :Jawa), kalau dengan huruf “e/i” masuk ke dalam kata bahasa Indonesia; “mireng sama halnya miring” maknanya tidak tegak/lurus (tapi doyong/condong) segaris miring semisal huruf yang dicetak miring.

Pertama, Kalimire’ng adalah “Sungai yang mendengar.” Kedua, Kalimireng diartikan “Sungai yang bidang tanahnya mireng/miring.” Ini tindakan menekan, agar tidak terjadi serampangan memaknai yang berasal dari tumpukan waktu pergeseran keadaban di sana. Kekeliruan penulisan pun silang perbedaan makna di dalam ucapan dari generasi berlanjut, atau sebutan dari warga kampungnya dengan warga lain yang menyatakan. Dan saya belum tahu, apakah di Kalimireng ada kali-nya (sungai-nya)? Umpama ada tidak jadi soal. Andai tidak, bisa terjadi sungainya tertimbun bencana di masa silam, airnya mengering, lenyap sumber mata air yang melewati tubuhnya, lalu diuruk (ditutup) tanah baru dari tempat lain, dsb.

Saya suka pengucapan Kalimireng itu dengan Kalimire’ng yang maknanya “Sungai Mendengar” yang bersimpan peristiwa makna puitika; Gejolak arus sungai mendengar segala yang dirasakan perut bumi juga yang mengambang di permukaan air. Terpetiklah suatu kisah; dulu ada seorang ibu memandikan anaknya yang masih belia, lalu terseret arus deras hingga si anak hilang. Sang ibu bersedih berat hingga tidak pulang sampai larut malam, berhari-hari mencari anaknya yang terhanyut. Kepedihan mendalam, perasaan langut seawan kembara tanpa tujuan; ibunda dari anaknya yang hilang selalu mendengarkan gemericik air kali. Kadang ada sekelebat bayangan, didorong perasaan kalut tidak tuntas penderitaan berlarut. Dia menceburkan badan berenangan, tapi tidak mendapati jasad dirindukan, anaknya yang tersayang.

Tidak cukup itu sang suami dibantu para warga kampung turut mencari pula. Bunyi klenengan kentongan ditabuh terus bertalu-talu. Oncor (obor) dinyalakan bagi penerang dalam pencarian malam-malam, tetapi Sang Maha Kuasa telah mengukir nasibnya bersama takdir sungai. Lenyap sudah anak beserta keabadian kisah sungai, dan sang ibu senantiasa menanti keajaiban, sambil sesekali melantunkan untaian kata-kata:

Kalimire’ng
dengarlah senandung batin pedih ini,
remuk sudah harapanku kepada hidup.
Anakku, kau dipersunting dengan maut.

Kidungan selalu berkumandang dalam kesadaran pencarian, di bawah sadar penderitaan bagai lenyapnya awan-gemawan. Hikayat terekam kencang di setiap kepala masyarakat baru Kalimireng, dan tumbuhlah tugu penanda kisah lama yang patut dilestarikan, sekecilnya dalam tulisan. Meski didera bayu kelupaan, kesilapan, esok bakal dibuka kemungkinan sahaja, seturut kehendak Sang Maha Esa.

Suatu hari…, Sultan Abdul Faqih pulang ke Giri melewati desa Kalimire’ng dari lakon kembaranya. Mendengar cerita berkembang dari penduduk setempat, kalbunya terenyuh. Di temui sang ibunda yang kehilangan anaknnya, dihiburlah dengan ucapan: “Ibu, tak usah berlarut-larut dalam kesedihan. Semua mewaktu bersegenap kepemilikannya, hanya kepada Allah Swt. Kita serahkan kehadirat Allah Swt. Saya berdoa, semoga tidak lama lagi berdiri pelabuhan, demi mengenang kisah anak ibu bersama takdirnya. Karena doa-doa penerusnyalah yang memuliakan pandangan mata.” Lalu sang ibu berlinangkan air mata, berasa haru kepada harapan hampir hambar yang berangsur manisnya, bersamaan Sang Sultan terlepas dari sorot penglihatannya.
***

Jika kata “Kalimireng” bukan berarti Kalimire’ng, namun Kalimireng atau Kalimiring. Asalnya sungai tersebut menyeruakkan cerita selisih paham; pertumpahan darah memperebutkan air yang dialirkan ke ladang-ladang. Setiap lekuk tanah sungainya miring atau letak pembagian air tidak merata; seperti kisah lama perebutan kuasa, air sumber kehidupan meminta tumbal anak-anaknya. Atas kedua alir mengalur peristiwa, terpetiklah balada. Mungkin lewat jalur seirama, para penyair berpesta adonan kata, mencari rahmat-kemungkinan terdekat, merapati bebagian partikel aura kesadaran bersama anak kalimat. Senandung bunyi menyertai tuntunan inderawi, serupa pelangi melengkung di siang hari disertai gerimis. Cahaya surya, sepasang bola mata gadis desa memantulkan sungai yang belum tersentuh kelembutan bulu mata lain yang meladeni, juga menyingkap kepurnaan tirta hayati.

Sekumpulan sajak ini, pun Kalimire’ng ialah tanda, kata-kata bersimpankan peristiwa makna. Bukanlah maklumat atau pernyataan indah atas harapan, yang kemudian hari dikatakan sajak. Seperti sekelompok jahil yang menganggap Sumpah Pemuda itu puisi besar. Yang benar, mereka berbohong besar terhadap sejarah, melupa suara-suara lama yang terekam di kali-kali kehidupan, atau abai sungai-sungai hayati. Mengiranya ringan sajak-sajak mengalirkan waktu. Senjakala mengalami kebuntuan, apa saja diambil demi menambal kerapuhan. Barangkali pikun, kalau kurang pantas disebut tidak membaca pelajaran.

Sengaja di titik akhir menyentil Deklarasi Hari Puisi Indonesia yang menyoal Sumpah Pemuda di bulan November lalu. Karena dalam tahap penulisan Bagian 24: (kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden); “Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” Catatan ini dalam lingkaran waktu penggarapan buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia.” Ini saya lakukan demi tidak melupa atau terlupa proses, dan memudahkan balik fokus yang terkerjakan. Akhirnya engsung tunggu antologi puisi tunggal Sampean. Reang nanti bersama tumbuhnya rambut ikal memanjang.

*) Bahan bedah kumpulan sajak Burung Gagak dan kupu-kupu di Bungah, Gresik, Jawa Timur.

Tinggalkan Balasan