Pendidikan; Prospek Pembentuk Karakter Budaya *

Nurel Javissyarqi

Bismillahirrohmanirrohim. Sebelumnya maaf pengantarnya panjang, lantaran menyesuaikan tema yang telah tertandakan. Anggaplah sebagai musababnya materi yang kan tersampaikan atau asbabul wurud-nya demi mendapati pijakan realitas pada kata-kata yang ter-wedar-kan. Kebetulan saya tengah hijrah di bumi Reog, memang tidak jauh dari tanah kelahiran yang kini terpijak, ibunda pertiwi jiwa-raga ini. Bagaimana pun keadaan hijrah tidaklah menyenangkan, ada rindu seolah para muhajir kepada tanah suci atau anak yang mendamba surga di bawah telapak kaki ibu.

Hal mengharukan memperoleh angin segar dari tanah yang dulunya tempat bermain; adakah berkah jarak waktu berselisih? Karena ini di luar kebiasaan, apalagi dengan tema; “Guru Profesional Pembentuk Karakter Generasi Anak Bangsa.” Yang mana jauh dari pengalaman saya di masa belia, mengerti abjad saja saat kelas V Ibtidaiya. Alhamdulillah kala itu diselamatkan oleh wejangan sang guru; “Jika ingin peroleh ilmu manfaat, hormati guru dan buku,” lalu sadar pentingnya baca di bangku Aliyah, ketika gejolak pencarian jati diri keras membara.

Yang tersanjung sekaligus grogi disematkan di belakang nama saya Penyair serta Budayawan, di sebelah narasumber yang titel kesarjanaannya rangkap-rangkap, kemudian diingatkan petuah dari Gebang Tinatar Tegalsari, Jetis, Ponorogo, santrinya Kyai Ageng Hasan Besari: H.O.S. Cokroaminoto; “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Lalu terkenang keilmuan para santri Mbah Hasan Besari: Pakubuwono II, R.Ng. Ronggowarsito. Ini menegur saya sebelas tahun lewat berkelana di sana, kini pun masih bernafas di bekas wilayah kerajaan Lodaya dengan Raja Prabu Singobarong bersama Iderkala tempo dulunya.

Dan terngiang makolah Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani” : “Seorang pemimpin kudu sanggup memberi suri tauladan orang-orang sekitarnya. Yang di tengah kesibukan patutlah membangkitkan kemauan lingkungan. Yang mengikuti memberi dorongan moral semangat dalam berkarya.” Apakah masih ada ruh mutiaranya? Kita sengaja atau setengahnya abai terhadap pencetus gugusan bintang di bencah sendiri, lantaran terpukau wacana kekinian ataupun para tokoh yang belum teruji gejolak jaman?

Para imam serta iman yang melekat di dada tidak tersekat ilmu dari mana, asalkan ruhaniah bersambung kesadaran ibadah. Sepaham al Kindi dan para ulama’ tempo dulu tidak segan belajar kepada pengetahuan bangsa lain serta patut mengoreksi kemerosotannya, yang seakan diambil alih bebangsa berwatak militan terhadap nilai kebudayaannya, misalkan Jepang. Bumi Nusantara seperti kakek-nenek berpakaian necis tidak sadar datangnya senja, kekayaan negara dirampok habis dibawa keluar, kaum pribumi menggasak apa saja yang tidak mendatangkan manfaat. Ini terjadi di lembaga pendidikan pun pemerintah yang tidak pantas disandingkan dengan Dasar Negara; Kemanusiaan yang adil dan beradab? Namun tetaplah yakin, ada sekuntum kembang teratai di rawa-rawa!

Pemandangan di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah, Siman, Sekaran, tidak asing bagi saya. Setidaknya tujuh tahun silam menyebarkan buku-buku stensilan karya sendiri di sini, peristiwa itu menimbulkan rasa kepengen berbicara seperti sekarang. Perasaan kesemsem itu hampir persis ketika mendapati buku musik klasik di toko buku loak di Jalan Semarang kota Surabaya, yang ada stempel perpustakaan pribadi Setya Yuwana Sudikan (Adakah pencuri dari raknya? Buku itu sebagai referensi dalam beberapa bulan terakhir ini) yang menumbuhkan ingin berjumpa. Dan beruntung saya bertemu dirinya di STKIP PGRI Ponorogo sedang memberikan kuliah tamu, maka saya tidak segan mengikuti, namun ia bilang sungkan, olehnya saya keluar ruangan untuk menghormati.
***

Kebetulan di Bumi Reog saya bawa “Kitab Minhajul ‘Abidin,” karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, saya petik pendapatnya bagi pijakan pemikiran kini: “Ibadah merupakan buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat, bekal berharga dari para aulia, jalan yang ditempuh kaum bertaqwa, bagian bagi mereka yang mulia, tujuan bagi orang bercita-cita menggelora, syiar golongan terhormat, pencariannya orang-orang mukmin, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga.”

Ibadah merupakan buah dari ilmu. Pendidikan kita menekankan hafalan, kulit luar hingga timbul kemandekan yang membuat malas mengetahui makna luasnya dalam memahami tujuannya, jadilah senandung merdu namun terlepas ruhaniah kerjanya. Istilah Jawa-nya hanya tahu Qur’an garing dan kurang mengetahui Qur’an teles, lincah mengurai kata-kata, tapi tidak meresap ke jantung kesadaran hayat, itu tantangan beratnya. Mungkin maksud sang guru lewat hafalan merembes jika didzikirkan di tengah kembara, namun ketika pencarian keilmuan hanya ditujukan pada kedudukan materi saja, akan fatal kemudian.

Kita kerap mendengar khatib mewanti-wanti meningkatkan iman dan taqwa, tapi bagaimana jika tiada tantangan pendewasaan, tanjakan memeras keringat otak. Oleh karena hidup ini ujian, setiap goda rayuan tipu daya kebodohan diri perangai luar, pantas ditelisik berulang, yang luput balik ke rel keselamatan. Di sini mutu terwujud atas tempaan berkali-kali; kesabaran, ketekunan, keinsyafan, ketundukan dan selalu perbaharui syahadat dari rupa syikir terhadap benda pun patung para tokoh, paham berseberangan, demi beriktikat luhur yakni bermuwajjahah kepada-Nya.

Saat ilmu sepohon kehidupan, akar-akarnya kehendak pencarian sumber mata air hayat, mencecapi saripati dasar bumi, merawat ruh di antara bencah tanah-udara sekeliling, batang menegak, dahan cecabang menjulur digoyang angin merindangkan para pengembara, daun kering terjatuh menjelmah humus. Siklus ini meneruskan kekuncup kembang bermekaran, berbuah manis pula pahit, yang kurang berwibawa digariskan tidak berbuah, sebagian diberi ketahanan batang melewati pergantian musim, tapi parahnya berbuah busuk dimakan ulat kebinasaan. Maka lelangkah keliru patut diluruskan, mewaspadai jalan-jalan nafas ruh demi rahmat sekalian alam.

Para ulama’ tempo dulu berpendapat, Ilmu hanya bisa diperoleh dengan keterbatasan dan berpayah-payah, seperti akar pohon tekun menyibak pori-pori batu pegunungan, tetesan air melubagi batu besar dengan cekungan, menyenandungkan suara merdu oleh watak keistiqomahan tetes demi tetes membaca sampai pahami keilmuan. Bahasa saya, menghajar diri sebelum memberi pelajaran, suntuk mencintai kitab-kitab kandungan ilmu, menyerap limpahan isi, mengamalkan sekiranya kuat melakoni. Sebolak-baliknya hati naik-turunya iman oleh perihal melingkupi mental, agar hanya tunduk pada kebenaran.

Kedua, ilmu berfaedah dari umur yang terus memakan usia bagai lintasan bayu mengajak kembarai mega-mega, tak tahu kapan hujan tiba, tersumbatnya uap tiada awan, meranggasnya kemarau panjang, ini berputar seperti gesekan musim perubahan. Antara itu ingatan, teguran, elusan, memberi siratan terjaga seperti mawas umur dalam tambah. Dan manfaat bacaan itu mengekang, menimbang, mengolah, jika terlepas kembali meski tertatih ke jalur bahagia.

Kita silaturrahmi kepada orang-orang berilmu meminta saran, wajah para beliau sumringah memberkah, menyuguhkan faedah kepada diri sendiri pun sesamanya. Setiap yang datang pelajaran, melintasi warna pemikiran memperoleh manfaat kesejahteraan merambahi penghayatan, menyebarkan benih-benih pepadian, tidak rela gugur sebelum mengenyangkan lambung pengertian, sepohon pisang tidak rela membusuk sedurung menumbuhkan tandanan. Pohon faedah menyerupai ondakan tangga menjulang menerobos sab-sab langit, menujah lapisan bumi menemukan inti; hati yang menjangkau kepada-Nya.

Ilmu berfaedah bagi umur rentangan masa, lencung adanya titik klimak, perjanjian di alam ruh oleh lamanya kembarai bumi. Atau kesepakatan tidak terlihat namun ditepati, ini menghadirkan waswas, kesiapan menanti jemputan maut. Putaran waktu kadang lamban di sisi terasa cepat, bergelayut lena di pinggiran kecurigaan; menempati penelitian bagi menghayati sesal haru serta cemburu. Pada gilirannya pekerti menjelma pengertian, mengunyah ke dalam kesadaran hakiki; jika ada kekecewaan ditanggulangi guna tidak ke jurang kemurungan.

Tanpa ilmu, umur hanyalah permainan; di batas tertentu sandiwara hidup menempati keilmuan bagi memikirkan pengendali kesadaran. Atau dengan sadar menemukan bentuk kesepakatan serupa tanggul kincir air, arus sungai dialirkan ke ladang waktu menyusuri malam-siang. Istilah faedah itu menempel pula bisa berpindah seperti cahaya menerangi ruang menerobos lubang kunci. Faedah diresapi lewat penerimaan tulus atau hardikan atas ketentuan. Sebagaimana ketetapan dari setiap hubungan itu naik-turunnya timbangan yang selalu terpengaruh.

Ketiga, hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat. Tanpa kesungguhan yakin para ulama’ tidak mampu menulis puluhan buku, ratusan kitab, ribuan pemikiran, yang setiap babnya menawan juga menyanggupi nalar bersuntuk menyimak dalam. Berapa waktu beliau pergunakan membentuk lelembar penghayatan? Padahal di batas peperangan serta minimnya lampu penerang, tapi berasa seluruh meresapi diri dalam rentang renungan. Pertemuan sesama pencari, mencipta ketawadhuan tanpa pamrih melampaui lampu sorot alun-alun, bak lentera abadi keikhlasan yang menerangi generasi selanjutnya.

Mereka menyalakan lentera siang-malam, menahan haus-lapar dan betapa segar jiwanya oleh keyakinan hari balasan. Di jaman keemasan, tidak hanya memegahkan bangunan tempat ibadah juga perpustakaan dengan segala kegiatan penerjemahan, penelitian dari lintasan temuan di belahan berbeda di muka bumi. Berkumpul membahas capaian agung serta pergeseran terjadi di masanya, dan tidak disibukkan kebutuhan pribadi tetapi demi kemaslahatan umat oleh panji keimanan. Ini bertolak dari sekarang yakni informasi tidak disaring kritis, alat-alat komunikasi membuat terlena menghilangkan waktu renungan. Kemalasan baca, lalu bertanya tanpa tindakan lanjut, karakter keadaban luhung berangsur lenyap di setiap pribadi mukmin.

Saya bayangkan ketika melihat tiang-tiang masjid besar, dinding-dinding gedung pesantren bertingkat tapi sunyi penghuni, namun jika sebagian harta itu dibelanjakan demi menerbitkan kitab-kitab klasik, menafsirkan pemikiran para ulama’ dan merutinkan kajian keilmuan betapa indahnya. Seyogyanya, belajar pada burung yang pandai berkicau, lihai terbang, terampil mencipta sarang. Menggratiskan biaya pendidikan kepada murid dari kelurga miskin, memfasilitasi lebih yang berprestasi, serta memberi jam pelajaran tambahan. Dan perangkat pendidikan tidak memanjakan tetapi memacu kreativitas; keindahan itu diciduk dari sumur pengetahuan, lewat lembaran peradaban dari jaman keemasan.

Kelenjar itu bekerja dengan merawat silaturahmi, saling menopang dari pemerintahan, perdagangan, pendidikan. Sesekali diperlukan kritik pedas bagi bidang yang lalai tanggung jawab, lalu melangkah mengumandangkan syiar, gaungan ini mimpi jika pohon-pohon pendidikan tidak disirami tirta nurani fitri. Dari para beliau mengaji bebulir pemikirannya, tidak hanya jadi warisan berharga juga dinikmati sanubari. Di pundak pendidik teremban pahlawan tanpa tanda saja, bukan menyogok untuk perolehan lebih tanpa memikirkan kemajuan anak-anak didiknya.
***

Ilmu bekal berharga dari para aulia, sebab kedekatan para beliau kepada Allah Swt, merintis jalur lurus di bumi, jalan menuju bahagia. Sebab hatinya disucikan atau senantiasa bersuci dengan amalan-amalan mendekatkan diri sampai gerak pandangan dan seluruh atas keridhoan-Nya. Ketika mengungkap sesuatu selaksa air mengalir bening, seluruh indera bersaksi bersegenap informasi bagai nyanyian, umpama penari mengikuti tabuhan gending-gending Ilahi. Para sahabat mencatat lekuk kearifan dan pena mengalir deras melalui arah kebenaran yang sudah tertandai dalam kitab suci, pikiran dituntun hatinya dibimbing cahaya oleh Sang Maha Cahaya.

Selalu terjaga, dijaga kekasih-Nya dari yang merintangi dalam berkasih mesra, batinnya i’tikaf, jiwanya mengembarai alam-alam ciptaan, sukmanya keluar-masuk lapisan langit-bumi, raganya menyendiri pula ada yang berbaur tapi tidak mencederi kemurnian kasihnya dalam menyeluruh, sayangnya betapa menyentuh. Jalan aulia sepantasnya bagi landasan pendidikan demi mendewasakan iman, mengisi ruh berkeyakinan, tapak-tapak menuju kesenangan abadi membawa wajah berseri, kaki ringan sebocah girang mendamba ibundanya. Setiap yang datang-pergi menggesek perasaannya bergetar, memecah menaburi persendian jiwa, seperti bintang ambyar mengisi ruang semesta raya.

Sebagai manusia pernah ditantang keragu-raguan, namun cepat-cepat mendekapkan diri memohon petunjuk kepada Sang Pemilik Jalan, para beliau mendapat teguran kala melampaui, dipertemukan para kekasih di mimbar dzikir serupa kumpulan lebah mengambil madu kembang mengeluarkan cairah menyembuhkan. Untaian sholawat membumbung terbang laksana laron memanjati cahaya, sayap-sayap badani terlepas, tapi ruh menjumpai Pemilik Ruh. Tanpa para beliau, bumi gelap-gulita semuka malam tiada bebintang, maka tak elok jika tidak mensyukuri kehadirannya. Tanpa para beliau kita tidak dilahirkan di bumi atau tidak dicipta sama sekali. Munajat harum dari bibirnya menuntun umat kepada pengertian memudahkan menyibak duri-duri rerumputan tajam sampai mendapati taman kemenangan.

Kelima, jalan yang ditempuh kaum bertaqwa. Rasanya saya kurang pantas menuangkan kata-kata di lembaran ini dengan merujuk pemikiran Imam al Ghazali. Di depan mata setampak api menyala-nyala siap melumat, dan semoga dengan bersujud kepada-Nya, nyala membara segera sirna atau dingin sesejuk keridhoan-Nya. Ini berliku sebelum temukan jalan lurus kebenaran, ada memutari badan gunung menuju ketinggian sebelum mencapai taman kembang. Laluan licin menanjaki tebing curam berjumpa makhluk buas, bekalnya hanya ketaqwaan. Betapa hawa ketinggian menulikan telinga, mengaburkan pandangan oleh kabut padat uap belerang. Dan tidak sampai kecuali atas izin-Nya, berkat kasih sayang-Nya yang melampaui murka-Nya.

Keenam, ilmu bagian bagi mereka yang mulia. Kemuliaanya turun-temurun, keutamaannya mencahayai, kecuali yang menolak kedatangannya. Para mendidik dihiasi ketampanan ilmu, parasnya dicantikkan olehnya, para pencari dinaungi sayap-sayap malaikat membentang dari ufuk timur ke barat. Daun-daun bertasbih menyaksikan langkahnya, dan atas ilmu kebahagiaan dapat diraih di dunia pula akhirat. Ilmu perhiasan berharga, perbendaharaan tidak habis ditimba, dengan kepasrahan menderas menentramkan pemiliknya. Harta tidak dapat dicuri ialah ilmu, dan barangsiapa kikir ilmu akan disempitkan dadanya dari kegembiraan berlimpah. Ilmu mendatangkan rizki juga menyalurkannya, mengurangi marabahaya, menanggulangi celaka. Dan dalam keilmuan terkandung kelezatan menghendaki jalan suci menuju kehadirat Allah swt.

Benar bagian hidup kaum mulia, sedang wewarna jasadnya tidak tentu sembada. Sepadan dialog penghias diri memudahkan laluan rumit pun sebagai jamu mujarab. Serupa pasangan hidup pun syarat memperoleh keturunan baik dan pokok musabab, karena tanpanya kesulitan tidak akan teratasi. Dan bisa berlaku balik, kebejatan mudah dilaksanakan, penunjuk jalan lurus juga bercabang, hanya nasib baik-buruk menentukan langkahnya. Ilmu membuat kagum sesamanya atau menjadi raja meski tak bermahkota, lantaran padanya terkandung daya kekuatan, kewibawaan, kejayaan yang sanggup bertahan lama bagai benteng kerajaan.

Ketuju, tujuan bagi orang bercita-cita menggelora. Awalnya belajar lalu temukan perihal luar biasa, indahnya baca lezatnya paham nikmatnya menganalisa. Sebab menyenangkan batin gembirakan jiwa, diulang hingga temukan sudut-sudut kemilau, sukma gemetar, ruh keluar-masuk bercampur membuai sampai ketagikan meminta jatah. Mula penasaran lalu timbul pertanyaan, kemudian pemilahan tempat-waktu, ketundukan, kekhusyukan, menyetiai; pemberontakan, perjuangan, gairah melapangkan jalan, mencipta jalur sesuai empunya. Karenanya, jiwa pembawanya senantiasa muda, lantaran tahu hukum masa mengabadikannya. Darinya alam dijangkau oleh indera, pemampu memendek-panjangkan jarak, meringkas-mengurai sesukanya, tidak lepas berapa tetesan air hikmah jatuh sedari jari kekuasaan-Nya.

Keanggunannya melebihi candu, sanggup menarik harta paling berharga; waktu, usia, kesempatan dalam pertukaran kasih, atau tiada kerugian dalam perdagangan keilmuan. Telah banyak kaum bangsawan, para pedagang mengurbankan miliknya demi meraih untaian indahnya, dan diberkahi kebangsawanan serta kejayaan jiwa. Dengan tongkatnya mampu kembalikan yang sirna, sebab sabdanya melampaui masa, bulir-bukir mutiaranya membahayai kesewenang-wenangan, tiran. Meski dibakar lelembaran karyanya, hakikatnya kembali, sejauh penerusnya tabah menelusuri jalanan sunyi kala para pendahulunya melalui.

Kepribadiannya dikjaya menanamkan kepercayaan diri pencari. Inti hidup sudah bersemayam dalam pengejawantahan, para pembawanya tidak gentar melintasi batas negara, batasan nalar pun batas iman, dituntun meski penuh pergolakan. Adanya tarik-menarik energi semesta dalam dirinya, sepeleburan gula dipanasi air di panci, diaduk serupa membikin kembang gula yang bertambah manis atas pusaran masalah yang bergerak cepat. Keadaan itu menyadari sunatullah, juga hubungan alam raya lebih luas. Kesungguhan mencari menyentuh dinding kodrati dan betapa mengerahkan seluruh tenaga menyadari kelemahan manusiawi; menemukan pandangan menjadi pelajaran bernilai pengembaraan menggelora.

Kedelapan, syiar golongan terhormat. Ini upah sepadan yang diperjuangkan; berontak kepada penjajahan, bergerilya di medan tempur sebelum berjuang terang-terangan, setelah dirasakan sanggup menguasai tanah-waktu perjanjian yang dijanjikan. Kehormatan ini tidak dicarinya, seperti tidak memilih ‘nasib buruk’ pernah menimpanya; mula kesadaran menimbang, meramu menjadi kukuh bertahan atau hampir semua dihitung, sehingga tidak berpribadi pangling oleh kejutan perubahan. Ini ruhaniah judul yang bisa diudar menguraikan nilai pengajaran, membentuk kepribadian umat atas kesadaran inti yang dibetot dari akar niat yang ditanam di ladang lain, tentu sudah mempelajari kebutuhan tanaman serta tanahnya, agar tumbuh subur sesuai harapan.

Para beliau dalam perkumpulan masing-masing sesuai bidang ditekuni, ada dipayungi plakat, ada pengembara tidak terikat identitas. Tahap tingkatannya sealur kedalaman pencarian dan Tuhan Swt pertemukan sesuai gelombang, meski sebagian terpental keluar atau sedikit bergayuh seirama ombak pencarian luhur. Lebih terang kesungguhan, kekhusyukan bisa dirasai yang sama mengalami. Dari itu menjadi pelajaran naiknya tingkatan menginsyafi seberapa kembara, jelasnya tidak terikat kedudukan pandangan indrawi, namun lebih derajat batin temuan yang dilewati. Bahasa lain, mereka petarung di hutan belantara alam raya, sudah jauh langkahnya dari gua pertapaan. Hanyalah sekali tempo teringat datang sebentar di tanah permenungan, jika goyah. Namun lekas keluar menuju pasar peradaban demi menguji jurus-jurus terbaru mematangkan hukum yang tengah disibaknya.

Kesembilan, pencariannya orang-orang mukmin. Ilmu tidak sekadar jalan pengetahuan, penglihatan hukum disaksikan, pandangan di alam pemikiran juga laku pencarian di atas kaki realitas, nalar turun sebagai hijab, yang sebelumnya mengikuti jalur penelusuran. Dengan pelbagai ilmu pengetahuan, hati disucikan memancarkan permenungan, akar-akar halus menembus pori-pori batu. Langkahnya laksana kilat, semacam pecahan cahaya tertabur di udara, wewarna dan titik-titik jadi sejarak bintang-gemintang berdaya tarik sesuai ketentuan. Lalu dari pancangannya hati membaca, langkah memahami lewat uraian menandai capaian, sungai mengalir melewati cela-cela batu, mengangkut ranting, dedaun kering, hanyut tidak melampaui tradisi alam hukum Tuhan, dimana jika berbentuk ujaran bagi bekal pencari kebenaran.

Karena ilmu mendatangkan bahagia mengundang kemenangan, menarik kejayaan dunia-akhirat. Maka para beliau tidak gusar menumpas keragu-raguan, memukul kejahiliaan, mengangkat cahaya menyinari sekeliling, dan tidak takabur oleh kebaikan-keburukan dari Sang Maha Kuasa, melalui pintu pertaubatan, pensucian diri berulang, istikomah dalam keikhlasan. Di sini hanya berteguh niat, berdoa demi mencapai jalan keyakinan. Pada derajat ini ilmu tidak sekadar nikmat badani, lezat ruhani, bacaan dijadikan amalan menerus dalam pembelajaran, karena tiada yang sempurna. Maka bukalah pintu lebar-lebar, bentangkan ruang lapang, suguhkan rasa hormat dan menerima yang pahit, karena itu salah satu jalan kenikmatan.

Sepuluh, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar. Ini hadir lantaran tahu jalan ketentuan-ketetapan yang memungkinkan langkah menuju pandangan benar. Nada iramanya dipercepat, dipelankan, dipotong melintas memandang sorot cahaya. Ialah dialog batin antara pandangan mata, lebih dekat dari urat leher sendiri; detakan nadi, deraian jantung, mata lurus pada letak bersudut, dan hati sebagai punjernya arah. Medan yang ditempuh tidak mudah meski tahu tanjakan, menurun, licin, sudut cadas meruncing, mudah rumpil menjatuhan ingatan. Kiranya kehati-hatian, kewaspadaan, mengulang niat tertanam dalam agar hujaman mendalam. Jika dilukis melalui cela sempit antara tebing curam dikejar srigala hitam; dengan kemantapan tekat keyakinan bulat, sebilah keris berlekuk iman atau telunjuk bersyahadat pada kesaksian.

Sebelum menemukan itu, batin digusarkan angin keragu-raguan, waswas tidak tenangkan gerak, bingung arah, buyar pandangan, telinga buntu, tidak terasa selain kebingungan memuncak. Namun dengan telaten mengudar benang sengkarut, mengurai jalinan rumit, mengulur menemukan ketentuan menggembirakan, yang tidak tercapai kecuali atas kehendak Allah Swt. Senafas senjakala mematangkan iman pada selimut petang menabur ketentraman, desahan pekerti, hembusan angin dari taman kegembiraan. Aliran sungai mengalir jernih, airnya nikmat diteguk tenggorokan, kedahagaan merindu manfaat tidak hanya bagi diri-sesama juga sekalian alam yang dirawat setiap kaum beriman.

Akhirnya sebagai jalan kebahagiaan menuju surga. Maka sepatutnya para pendidik mencecapi ayat-ayat teles, di sisi ayat-ayat garing, ditempuh sungguh dihayati yakin, diimani mendarah daging-ruh, sehingga bersambung ke generasi mendatang. Pendidikan membentuk karakter umat yang tangguh dari benturan keras di dalam pertempuran akhir jaman. Semoga ini tidak sebatas renungan, terus dipelajari dalam diri, setiap gerak tidak lepas ilmu yang diraih, kaidah disinauhi mencapai gaung pujian kehadirat Ilahi Robbi.

Akhir Nisfu Sya’ban 1433 H / 5 Juli 2012 Ponorogo.
*) Makalah Seminar Pendidikan di kampus STITAF Siman, Sekaran, Lamongan 15 Juli 2012.

Tinggalkan Balasan