KRITIK

Jakob Sumardjo

Kata kritik bagi kita mempunyai konotasi tidak menyenangkan. Orang tidak senang dinilai oleh orang lain. Akan tetapi, orang senang melihat orang lain menilai orang lain. Jadi, kritik itu hanya mengasyikkan sebagai ‘tontonan’.

Kritik memang tradisi baru dalam masyarakat Indonesia. Istilah kritik sendiri jelas tak ada padanannya dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Istilah itu berasal dari zaman Yunani Purba, dan hidup dalam tradisi kebudayaan Barat sejak zaman renaisans, awal zaman modern. Sikap modern yang selalu ingin lebih maju dari sebelumnya, membutuhkan kritik. ‘Semua kemajuan lahir dari kritik’, kata RC Kwant yang menulis buku khusus mengenai kritik. Kritik dibutuhkan lantaran untuk dapat maju dibutuhkan evaluasi, penilaian kembali. Tanpa penilaian kembali tak akan diketahui hasil yang telah dicapai, dan dengan demikian tak diketahui apakah seseorang harus maju atau memperbaiki keadaan. Kritik, penilaian kembali, evaluasi, selalu diperlukan kalau orang menginginkan perubahan ke arah kondisi yang lebih baru, lebih ‘maju’. Ambisi manusia untuk maju demi ‘kesempurnaan’ kondisinya tak akan pernah berakhir. Kritik berkaitan dengan perubahan ke arah kemajuan, yang lebih baru dari yang sudah ada.

Dalam masyarakat Indonesia yang rata-rata berinfrastruktur agraris persawahan sejak nenek moyang hadir di kepulauan ini, keseimbangan dan harmoni kehidupan lebih penting dari sekadar perubahan. Dasar pemikiran bersama perlu dimiliki oleh semua golongan. Tradisi menjadi penjaga harmoni kehidupan. Kritik? Dalam masyarakat Indonesia, kritik hanya hidup secara prapredikatif, tak diucapkan, hanya dilakukan. Dalam cerita wayang, Kumbakarna yang melancarkan kritik ketidaksetujuannya terhadap politik abangnya, Rahwana, dilakukan dengan tidur tanpa peduli rekan-rekannya sibuk berperang melawan Rama. Orang Mataram menyatakan ‘kritik’ dengan berjemur di alun-alun yang menghadap balairung raja. Istri memprotes suami dengan tidur membelakangi sang suami. Jadi, ‘kritik’ itu boleh, menilai dan tidak setuju itu boleh, asal dengan lambang-lambang. Kritik predikatif itu kurang sesuai dengan hidup harmoni. ‘Ngonoyo ngono, ning ojo ngono’ (Maksudmu begitu boleh saja begitu, tetapi jangan diucapkan secara begitu).

Tentu saja kita sudah tidak hidup lagi di zama persawahan dan kerajaan. Kita sudah memilih untuk hidup dalam kebudayaan dan sikap modern. Perspektif kita memang ke sana, tetapi beban masa lampau ini tidak begitu saja dapat dihilangkan. Pilihan itu belum genap berusia satu abad, sedangkan budaya harmoni telah hidup sekitar tiga puluh abad. Nilai-nilai kehidupan itu diperoleh manusia melalui pendidikan, entah formal, informal, atau nonformal. Pilihan hidup modern hanya dapat diperoleh lewat pendidikan formal karena masyarakat kita sebelumnya memang tidak menyediakan pendidikan semacam itu. Berapa besar pendidikan informal yang diberikan oleh masyarakat sendiri? Nilai-nilai modern hanya dapat ditanamkan lewat rekayasa secara formal oleh orang-orang yang sedang ‘belajar’ hidup secara modern pula. Generasi yang dapat kita didik secara demikian itu mungkin baru mereka yang dilahirkan setelah kemerdekaan. Orang-orang pergerakan yang hidup pada permulaan abad ini kakinya masih basah oleh warisan nilai-nilai lama.

Dalam konteks budaya yang demikian itu, apakah kritik memang diperlukan? Karena arah kita sudah jelas dan tak dapat mundur lagi, sikap kemajuan dan kebaruan harus semakin ditanamkan dan dibudayakan. Tetapi, mengapa kritik tak berkembang? Mengapa di berbagai lapangan orang mengeluh tidak ada kritik? Apakah tidak ada kritikus yang punya kemampuan untuk melakukan tugasnya?

Dramawan Arifin C Noer pernah menyatakan bahwa kita semua ini tengah belajar, belajar memerintah dan belajar diperintah, belajar mengeritik dan belajar dikritik. Ini berarti kita tengah mengalami transformasi, seperti dikatakan Umar Kayam. Masa transformasi adalah masa yang sulit serta kadang menjengkelkan, layaknya seorang akil balig yang bukan kanak-kanak lagi, tetapi belum dewasa sepenuhnya. Seperti seorang anak puber yang harus tumbuh dewasa, maka kritik pun harus ada.

Dalam tranformasi budaya demikian itu lebih banyak muncul kritik prapredikatif, kritik yang tumbuh di bawah tanah, hidup dalam gosip antarteman, yang dengan sendirinya bukan kritik sama sekali. Sebab kritik harus terbuka dan dengan demikian dapat diterima oleh yang kena kritik. Tradisi kritik kita masih bersifat budaya harmoni, budaya zaman raja-raja. Dalam soal kritik, kita belum modern.

Kalau kritik itu dilakukan secara predikatif juga, akibatnya sering menimbulkan ‘kemarahan’ bagi yang kena kritik. Mengapa marah? Ada dua kemungkinan. Pertama, si kritik sendiri tak memenuhi syarat sebagai karya kritik yang baik. Kedua, yang kena kritik merasa ‘ditelanjangi’. Inilah sebabnya kritik ‘berjarak’ yang dilakukan oleh orang luar negeri yang tradisi kritiknya telah mapan (boleh dianggap sebagai kritik yang baik) masih sering juga ‘dilarang masuk’.

Rupanya kritik harus dilakukan secara profesional. Karena tradisi kritik baru saja tumbuh bersama maraknya budaya modern, sikap profesional ini juga masih dalam taraf belajar, taraf transformasi. Kepercayaan kepada kritik dari dalam negeri sering amat tipis. Kondisi demikian itu dapat dipahami, sebab lembaga kritik memang belum mapan di Indonesia sehingga dapat saja menjadi ajang petualangan bagi yang kurang mampu memberikan kritik. Orang dapat memprotes wasit di lapangan. Orang dapat menyatakan belum ada kritik seni. Sudah adakah lembaga kritik kenegaraan?

Yang menerima kritik pun masih dalam taraf transformasi pula. Yang diinginkan adalah kritik positif, kritik yang sesuai antara norma kritik dan kenyataan yang dikritik. Kritik negatif tidak diinginkan karena hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara norma yang dipilih kritikus dan kenyataan yang dikritik. Sebuah kenyataan itu dapat dinilai dari berbagai sudut dengan norma-normanya sendiri. Dari satu sudut mungkin saja tampak hidungnya tidak mancung, tetapi dari sudut lain justru ketidakmancungan itu memberi aksentuasi kemanisan wajahnya. Kalau masih mau memelihara cinta lebih baik melihatnya dari sudut yang positif. Akan tetapi, jelas ini tidak menunjukkan sikap cinta kebenaran. Kita tidak mau hanya dipuji dari satu sisi, sementara diam-diam orang mentertawakan kenyataan kita. Ya, siapa yang sempurna? Tetapi, semua orang maunya pergi ke sana.

Lembaga kritik tetap harus dibangun, meskipun sekarang ini kita sedang akil balig. Di satu pihak persyaratan kritik harus semakin ditingkatkan, dan di pihak lain orang harus belajar hidup dengan kritik kalau mau maju. Sebab, kritik bukanlah kata final. Ia hanya melihat dari satu sisi. Padahal, kenyataan itu bersisi banyak. Orang tidak mau mengawini wanita yang hanya dilihatnya melalui foto yang dikirimkan oleh ibunya. Ia baru bisa memutuskan mengawini atau tidak apabila telah melihat kenyataan seutuhnya, baik yang dapat direkam, difoto maupun yang tidak dapat direkam oleh alat apa pun.

Jadi, kawinlah dengan kenyataan, bukan dengan kritik.
***

[Dalam Kumpulan Esai “Orang Baik Sulit Dicari”, Penerbit ITB: 1997] http://sastra-indonesia.com/2020/12/kritik-2/

Tinggalkan Balasan