MONOLOG AMIEN KAMIL: SIMFONY BELASUNGKAWA


(Amien Kami, foto oleh Antarafotodotcom)

“Kukunyah sejarah” seperti anak kecil ia mengunyahnya bagai permen karet, manis, ia tiup dan bikin gelembung bulatan bola, lantas di mulutnya muncul bola transparan menjelma bola dunia. Ia tiup kembali hingga besar makin besar sampai pecah, pyaaaaaaaaaaaarrrr… permen karet itu menerpa hidung menutupi sebagian wajahnya. Ia bersin, “Hattsyiii”

Saat itu pula dunia pecah, jutaan peristiwa melesat berkejaran lewati ruang waktu memasuki pintu-pintu rahasia sejarah manusia sejak jaman batu sampai jaman manusia makan batu
ketemu dan minum kopi dengan Sophokles
minum racun dengan Socrates
ngobrol ngalor-ngidul sama Semar
perkara hak azazi manusia di atas semesta

Semua peristiwa tercetak rapih dalam disket otaknya
hanya dengan kedipan mata, segala peristiwa bisa ia tonton kapan saja
potret buram sejarah atau potret dalam amplop coklat
berstempel merah “rahasia”

(entah, siapa lagi yang jadi korban, ribuan orang hilang
akibat penculikan menghiasi wajah Jakarta)
Semua peristiwa itu, menyerbu retina matanya
Ajaib, muncul tenaga gaib, seketika matanya berbinar
Lihat!
Bola matanya berputar bagai globe di meja ibu guru
bola itu berputar semakin kencang dan saksikanlah;
birunya langit samudra
hutan terbakar
iringan gerbong manusia ke ladang pembantaian
kepanikan warga kota jalur Gaza
saat truk berisi bom bunuh diri tabrakan badan. “Allahu Akbar!”

Ia juga saksikan antrian panjang pengangguran
dan ibu-ibu rebutan sembako di negri “Gemah ripah loh Jinawi”

Semua atmosfir peristiwa itu seakan nyata di urat nadinya,
ada magma gunung api, mangalir bersama darah
masuk sumsum tulang, lompat dan bermukim di otak
tercipta catatan sejarah tanpa cela

“Simsalabim, Abracadabra!”

Di negeri ini, orang punya peta saja bisa tersesat.
Begitu banyak tukang sulap yang merubah jejak sejarah
sesuai angka mistik atau Hongtsui atau wangsit atau
“Atas anjuran daripada sesuai petunjuk Bapak Presiden”
untuk menghapus jejak waktu, merancang peternakan kambing hitam
serta mengerahkan mobil pemadam kebakaran
menghapus jejak darah di jalan, milik demonstran atau orang bayaran
atau rakyat jelata yang terjebak skenario macan
(Apa orang yang selalu memakai kacamata hitam
di otaknya bersemayam Machiaveli?) Berdarah!

Di buku-buku sejarah banyak jejak tak tercetak
rakyat cuma berperan jadi korban atau sapi bantaian
Sejarah cuma milik Raja-Raja tambun
Apa tak pantas ada nama Sengkon, Marsinah, Udin atau siapa?
Oom Yap, misalnya!

(Nashar menulis surat-surat malam,
Usmar melintasi jam malam menerobos kawat-kawat berduri)

Lihat, ada demonstran menghadang tank di lapangan Tiannantmen
ada bhiksu membakar diri di jalan,
ada barisan tentara memukuli mahasiswa disertai gas airmata
Gandhi bilang: “semua manusia bersaudara.”
Sementara, Anne Frank, 14 tahun,
sebelum ajal menjemput menulis di buku hariannya;
“I still believe that, people are really good ad heart.”
Apa kita tak punya rasa malu?
Multatuli alias Doewes Dekker menentang V.O.C
memperjuangkan juga hak Saijah dan Adinda serta petani Lebak

“Oo, kenapa masih saja ada darah tumpah, apa manusia
sudah berubah jadi lebih nista dari serigala!” teriaknya
Ia pernah terbaring, meringkuk di balik selimut
botol infuse di nadinya
ampul obat di meja, serta belati di balik bantalnya.
Tapi selalu saja, radio transitor 2 band
di ruang piket suster penjaga meraung-raung;
“Dendam ada dimana-mana. Dendam!”

“What’s happened?”
“Ssst, off the record!”

(O, ada dusta yang disuntikkan dengan dalih vaksinasi
Over dosis! Jika manusia cuma dianggap sekrup
Jika anak bangsa cuma dianggap angka
digiring masuk labirin satu ke labirin lain di balik laci)

Almarhum Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Boedi Oetomo,
Teuku Umar, Coet Nyak Dien, Sisingamangaraja, Imam Bonjol,
Kartini, Chairil serta ribuan bunga bangsa lainnya,
apa terpatri di hati kita?

Jika tak, ribuan arwah pahlawan tanpa nama dan kuburan
kan bangkit menggumamkan himne kematian orang-orang

Awas! Angin kencang dan kobaran api kan merontokan kota-kota
Banjir bandang kan datang dan melibas sawah serta palawija
di desa-desa. Epidemi mengintai dari balik jendela tidurmu. Awas!

(Di otaknya, berkibar bendera merah putih setengah tiang
sepanjang hari. Simphony belasungkawa terdengar muram
ketika tahu ada lagi korban yang mati.
Astaga, apa kita masih merasa menjadi manusia?)

Kejadian tahun berikutnya, ia hanya ikuti lewat rangkaian mimpi
Pernah ia bermimpi menjabat erat sesama tanpa mengenal kasta,
warna kulit, apalagi bendera dan terpancarlah di wajahnya
aura kemurnian seorang manusia merdeka

Jakarta, November 1998

[Dari antologi puisi Amien Kamil “Tamsil Tubuh Terbelah”, Mata Angin Publisher, 2007. 10 besar buku puisi terbaik Khatulistiwa Literary Award 2007-2008]
http://sastra-indonesia.com/2021/02/monolog-amien-kamil-simfony-belasungkawa/

Tinggalkan Balasan