Membaca Dareen Tatour dan Saut Situmorang

: Karya Sastra Apa yang Tidak Politis?!

Muhammad Yasir

Bukankah ketika Hugo Chavez mengatakan kekagumannya terhadap Eduardo Galeano kepada wartawan bahwa “The Open Veins of Latin America adalah monumen dalam sejarah Amerika Latin kita. Buku ini memungkinkan kita untuk belajar sejarah, dan kita harus membangun sejarah ini!” menunjukkan bahwa karya Eduardo Galeano yang satu ini adalah politis untuk kepentingan peradaban Amerika Latin itu?! Bukankah buku yang diterbitkan pada tahun 1971 dan telah terjual lebih dari satu juta kopi di seluruh dunia, meskipun dilarang pada tahun 1970-an oleh pemerintah militer di Chili, Argentina, dan Uruguay itu semestinya membelalak sepasang mata kita tentang bagaimana brutalitas Rezim Soeharto terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang politis?! Kemudian bagaimana kita akan mencapai kesadaran bahwa karya Sastra adalah politis? Maka, sudah semestinya kita berhenti melahirkan, membaca, dan mencoba mengikuti karya-karya yang menghibur dan berkompromi terhadap penindasan yang terjadi di Negara Dunia Ketiga ini! Tidak bisa tidak. Karya Sastra merupakan salah satu kunci terbentuknya suatu peradaban. Dengan karya Sastra, orang-orang bisa mengetahui kehidupan sebelum kita. Dengan karya Sastra, orang-orang memiliki waktu untuk menciptakan dunia mereka. Dengan karya Sastra pula, orang-orang dapat menyimpulkan romantisme kolonial dan native orientalis. Bukan begitu?

Juga diperlukan bagi kita untuk membangun sejarah abad 21 ini dengan karya Sastra yang politis dan menolak tunduk terhadap kekuasaan rezim yang bahkan telah berani-beraninya mengatur tata bahasa dan gaya bicara kita sebagai warga negara dengan Undang-Undang fasis Informasi Teknologi Elektronik (ITE). Jadi, apa sebenarnya karya Sastra yang politis itu? Dan, bagaimana kita mampu menciptakannya? Sastra yang politis adalah karya Sastra yang memiliki nilai-nilai kritik (bukan pesan moral atau oral atau onani) terhadap kekerasan kekuasaan yang menyebabkan penindasan menciptakan dunia baru, dunia yang diinginkan kapitalisme dan imperialisme, dunia yang membuat kita tertindas sedemikian rupa, bahkan kehilangan identitas individual manusia dan terjerembab dalam kesedihan pesakitan yang panjang dan sukar dilawan. Untuk menciptakan karya Sastra yang politis, kita harus meletakan tiga pertanyaan ini sebagai dasar. Pertama, apa yang kita tulis? Bagaimana kita menuliskannya? Kemudian, untuk siapa? Jika ada yang mengatakan kepadamu, jika engkau ingin menulis tulis saja tanpa menyertakan tiga pertanyaan itu, maka engkau harus berhati-hati. Pembodohan seperti ini telah menjadi pemakluman di kalangan penulis yang kukenal. Dan, di mana juga kita hidup, pembodohan akan selalu berakhir pada kehancuran, seperti pemilu.

Apakah ketika aku menulis karya Sastra tentang cintaku terhadap Istriku tidak termasuk dalam karya Sastra yang politis? Bahkan, cinta sekali pun adalah politis. Ketika aku mencintai Istriku, bukankah aku telah menggunakan kuasaku sebagai lelaki terhadap perempuan untuk “memilikinya” dan membangun keluarga bersamanya? Aku tidak naif untuk ini. Ketika kami bersepakat untuk menikah, sesungguhnya kami telah membawa diri sendiri persoalan kehidupan yang lebih kompleks dan lebih politis. Kami bercinta dalam keadaan miskin. Istriku hamil ketika aku tidak memiliki pekerjaan, selain sebagai penulis dan penyair muda yang malang dan berdiaspora ke Surabaya. Kelahiran anak pertamaku tercampuri tangan orang lain, keluarga besar Istriku, yang membantu membayar biaya persalinan. Secara tersirat, aku dan Istriku telah membawa anak kami ke dalam jalan panjang penderitaan, karena cinta kami. Bukankah ini kejahatan yang politis dan terorganisir, karena cinta kami? Jadi, apakah karya Sastra yang menghibur tidak politis? Tentu saja politis! Tetapi, klimaks dari Sastra yang menghibur membuat kita terpisah dari persoalan kehidupan orang kebanyakan; ruang hidup yang dirampas, hak-hak yang dipenjarakan, kebengisan kekuasaan seorang presiden, dan bayang-bayang pembantaian massal tanpa senjata!

Aku tidak kenal W.S. Rendra. Aku tidak kenal Wiji Thukul. Bahwa mengenal mereka melalui karya-karyanya, itu persoalan lain yang tidak emosional. Tapi aku mengenal Dareen Tatour, teman korespondensiku dari Palestina. Kami berkorespondensi pada tahun 2018, hingga sekarang masih saling berbicara lewat Whatsapp. Dareen Tatour ditangkap pada 2015 lalu terkait dengan tiga pesannya, termasuk video yang memperlihatkan dia membaca salah satu puisinya Resist, My People, Resist Them (Lawan, Rakyatku, Lawan Mereka) dengan latar belakang gambar rekaman pengunjuk rasa. Tetapi dia bersikukuh puisinya telah disalahpahami dan sama sekali tidak berniat untuk menyerukan tindakan kekerasan. Tatour, yang telah divonis bersalah oleh pengadilan Israel pada Mei lalu, dihukum penjara selama lima bulan. Wartawan BBC di Yerusalem, Yolande Knell mengatakan, kasus yang menimpa penyair berusia 36 tahun ini menjadikan isu kebebasan berbicara di Israel menjadi perhatian kembali. Dalam dakwaannya, pengadilan Israel menyatakan puisi-puisi yang ditulis Tatour di media sosial menyebabkan terjadinya gelombang aksi penikaman, penembakan, dan penabrakan atas warga Israel.

“Saya sudah menduga bakal dibui dan itulah kenyataannya. Saya tidak mengharapkan keadilan. Tuntutan ini jelas bersifat politik karena saya orang Palestina, karena ini tentang kebebasan berbicara dan saya dipenjara karena saya orang Palestina,” kata Tatour kepada surat kabar Israel, Haaretz.

Setahun setelah penangkapan Dareen Tatour, giliran Guruku yang ditangkap, ditelanjangi, dan dihabisi. Sastrawan Saut Situmorang divonis hukuman percobaan lima bulan penjara. Vonis ini dibacakan hakim pengadilan negeri Jakarta Timur, yang menyidangkan Saut atas kasus pencemaran nama baik lewat media sosial, Facebook. Dia termasuk salah satu penyair yang protes. Dalam tulisan di akun Facebook-nya, Saut “memaki” Fatin Hamama, salah seorang yang disebut terlibat dalam penerbitan buku Pembodohan Sejarah Sastra Kita yang ditulis oleh elite politik Denny JA. Fatin lantas melaporkan Saut ke Polres Jakarta Timur dengan tuduhan pencemaran nama baik, akhir 2014 lalu. Sejak awal, aku mengikuti perjuangan dan perlawanan Saut dan kawan-kawan, serta kolektif Seni dan Sastra yang juga memiliki visi yang sama, menolak tunduk terhadap kekuasaan. Meskipun kalah, pernahkah kita melihat Saut Situmorang berhenti mengkritik dekadensi struktural Negara Dunia Ketiga ini melewati karya Sastranya yang politis? Jika engkau tidak melihat itu, maka orang sepertimu sama saja dengan para medioker dan parasite yang hidup dalam Sastra Kita dan menikmati keuntungannya seorang diri!

“Indonesia adalah mimpi, di mana aku tidak perlu lagi bermimpi seperti ini!” tegas, Saut.

Surabaya, 2021 http://sastra-indonesia.com/2021/08/karya-sastra-apa-yang-tidak-politis/

Tinggalkan Balasan