Endorsement Kulya in the Niche of Philosophjy

Biografi Nurel Javissyarqi

Nurel Javissyarqi, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, 8 Maret 1976, dengan nama lahir Nur Laili Rahmat. Sejak kecil senang mendengar dongeng, terutama kisah Kuda Sembrani yang dituturkan buyutnya, Kasipah (almarhum) di dusun Kemlagi. Abahnya (pensiunan) Pengawas Pendidikan Agama Islam, Drs. H. Tarsan, emaknya Hj. Siti Khotijah berdagang di Pasar Pahing Sungelebak. Ia anak pertama dari empat bersaudara, adik-adiknya: Ismiyati Mukarromah, Iftitahur Rohmah, Arif Setiawan. Ia dikaruniahi empat anak: Ahmad Syauqillah, dari istrinya yang pertama (ia bercerai dengan Isti Anisa’), lalu menikah kembali dengan maskawin sebuah puisi, bertitel “Sajak Maskawinku Demi Lathifa Akmaliyah,” lantas dikaruniahi anak bernama Ichsa Chusnul Chotimah, Wislawa Dewi, Javissyarqi Muhammada, dari istrinya Lathifa Akmaliyah M.Pd. Bersamanya, tinggal di dusun Pilang, Tejoasri, Laren, Lamongan, Jawa Timur, pulau terpencil yang dikelilingi aliran Bengawan Solo, setengahnya lingkaran (sebelah utara) aktif arusnya, setengahnya lagi (sisi selatan) sudah tidak bergejolak.

Awalnya ingin jadi pelukis dari kegemaran menggambar sejak belia. Saat di bangku Ibtidaiyah, siangnya diisi menggembala, dimasa sekolah Madrasah Tsanawiyah, sorenya masuk di Sanggar Alam, diasuh pelukis Tarmuzie 1989. Ia sempat berpameran lukisan tahun 1990, 1991, (vakum lama, berpameran lukis lagi ditahun 2001 di Yogyakarta, dan Lamongan). Tahun 1993 hijrah ke Jombang masuk Aliyah Negeri 4, tepatnya 1994 belajar menulis secara autodidak oleh hasratnya melukis tidak tersalurkan di Pesantren Al-Aziziyah, Denanyar, pengasuh K.H.A. Aziz Masyhuri (almarhum), seorang penulis, penyunting, dan penerjemah kitab-kitab Arab klasik. Tahun 1995 akhir, mengembara ke Yogyakarta, di bidang lukis pernah dibimbing H. Harjiman (almarhum), dalam dunia kepenulisan, nyantrik kepada K.R.T. R.P.A. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum), disamping bergabung di Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM). Ia jebolan kampus UWMY. Sempat di Santren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang, dan di Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo (menapak tilas Pujangga R.Ng. Ronggowarsito). Tulisannya, sempat tersebar di Solo Pos, Minggu pagi, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Pos Kita, Majalah Kuntum, Majalah MPA, Duta Masyarakat, Republika, Lampung Post, dst. Antologi bersamanya, Embun Tajalli (DKY 2000, bernama samaran Nurla Gautama), Gemuruh Ruh (antologi puisi bersama para penyair Lamongan, PuJa 2008), dll.

Buku-buku stensilan maupun cetakannya: Sarang Ruh (antologi puisi dikomentari Suminto A. Sayuti, dipengantari R.P.A. Suryanto Sastroatmodjo, 1999), Balada-balada Takdir Terlalu Dini (pengantar K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo, FKKH, 2001), Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga (kumpulan aforisma dari tahun 1994-2004, diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Mrs. Enda Menzies, Welly Kuswanto, dan Agus B. Harianto 2004), Segenggam Debu di Langit (segugusan esai dan puisi, 2004), Sayap-sayap Sembrani (kumpulan prosa serta haiku, 2004), Kulya dalam Relung Filsafat (himpunan kata-kata mutiara, Bercermin pada Kalender Kearifan Leo Tolstoy 2004), Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana (bersusunan prosa dan esai, 2005), Batas Pasir Nadi (rangkaian puisi dan esai, 2005), Trilogi Kesadaran (esai kritik; Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak, PuJa 2006), Kitab Para Malaikat (antologi puisi dipengantari Maman S. Mahayana, PuJa 2007), Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (buku esai kritik, terbitan SastraNesia dan PuJa, 2011), Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, esai kritik sastra, diterbitkan Arti Bumi Intaran dan PUstaka puJAngga 2017, Cetakan ke 2, juga bekerjasama Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo 2018, Proses Kreatif Saya Bersama Pelukis Tarmuzie, Penerbit PuJa, dan Pustaka Ilalang Group, 2019, dll.

Tahun 2000, mendirikan Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia (KSTI) di Jogjakarta, lantas mendeklarasikan Lingkar Seni Budaya Muslim Indonesia, dan menjabat sekjen pada Forum Kajian Kebudayaan Hindis. Dan bersama Y. Wibowo sebagai pengkaji di Center For Social Democratic Studies (SCDS) Yogyakarta. Di tanggal 11 Juni 2001, puisi baladanya Di Bukit Pasir Prahara, dipanggungkan di Taman Budaya Surakarta, diiringi musik gamelan serta tari dibantu Komunitas Lapen 151 Yogyakarta. Naskah Teaternya dipentaskan di UNEJ dan IAIN Surabaya, dibulan Juli 2007, bertitel “ZAITUN; Cahaya di atas cahaya,” disutradarai Tomtom (almarhum, Teater Tiang Jember). Sempat mendirikan Majalah Gerbang Massa, Jurnal Sastra Timur Jauh, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Forum Sastra Lamongan, bergabung di Kostela. Sering memberi pengantar buku lain, mengisi acara diskusi, seminar, menjadi juri lomba baca-tulis puisi, dan mengikuti festival sastra Nasional pun Internasional di dalam negeri. Pemimpin Penerbit PUstaka puJAngga (PuJa) http://pustakapujangga.com/ dan pengelola web http://sastra-indonesia.com/
***

Biography of Nurel Javissyarqi
Translated by Muhammad Muhibbuddin

Nurel Javissyarqi is an assumed (pen) name of Nur Laili Rahmat. He was born at a village of Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan regency, East Java province, on March, 8th 1976. Since childhood, Nurel, used to be called, has liked to listen to fairy tale, especially a story of A Sembrani Horse (Kuda Sembrani) told by his great grand-father, Kasipah, at his village, Kemlagi. His father, Drs. H. Tarsan is a former of Supervisor of Islamic Education (Pengawas Pendidikan Agama Islam), and his mother, Hj. Siti Khotijah is a merchant in a traditional market, Pahing Market at Sungelebak. Nurel is the first of four children in his family. He has two young sisters: Ismiyati Mukarromah and Iftitahur Rohmah, as well as one young brother: Arif Setiawan.

Nurel got married twice. His first married with a women, Isti Anisa, got divorced. From the first marriage Nurel has a son, namely Ahmad Syauqillah. In the wake of one year of being a widower, he got marriage again with a woman named Lathifa Akmaliyah and has three children: Ichsa Chusnul Chotimah,Wislawa Dewi, Javissyarqi Muhammada. He married Lathifa Akmaliyah by offering a poem entitled, “My Poem of Dowry for Lathifa Akmaliyah” as his bride price. Nurel and his new wife as well as their kids stay at a village of Pilang, Tejoasri, Laren, Lamongan, a little land which is surrounded by Solo River (Bengawan Solo) of which a half of flow (in north) is still turbulent and the half of one (in south) is calm.

Initially Nurel dreamed to be a painter. Painting was his childhood hoby. When he was at elementary school, his activity was herding some goats after going home from his school. In 1989, when Nurel was at yunior high school, he started to join to Sanggar Alam, a painting community, for studying of painting under Tarmuzie’s guidance, a famous painter in Lamongan. In 1990, he once conducted a exhibition of painting, and in the long time he had vacuum, afterwards he handled exhibition of painting again at Yogyakarta and Lamongan in 2001.

In 1993, Nurel moved to Jombang, East Java, for studying in State Islamic Senior High School 4 (MAN 4) and Pondok Pesantren Denanyar led by K.H. A. Masyhuri, an ulema (kiai), writer, and translator of classical books of Islam. In this Pesantren Nurel began to learn writing as a substitute for his passion of painting that he could not express in his pesantren. The last 1995, Nurel went to Yogyakarta for studying at Widya Mataram University. At this city, he developed his talent in writing and painting by learning to some teachers including to H. Harjiman (a painter) and to K.R.T .R.PA. Suryanto Sastroatmodjo (a writer). Besides that, he also joined to Mangkubumen Literary Community (Komunitas Sastra Mangkubumen).

Afterwards, Nurel left university and once studied shortly at Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang, Central Java and Pesantren Kiai Ageng Muhammad Besyari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo, East Java. His purpose of studying at Pondok Pesantren Kiai Khasan Besari, Ponorogo, was for retracing a great Javanis poet, R. Ng. Ronggowarsito.

A lot of Nurel’s articles were published either in local or national media such as Solo Pos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Pos Kota, Majalah Kuntum, Majalah MPA, Duta Masyarakat, Republika, Lampung Post etc. He also published some joint anthology books of poetry like The Dew of Tajalli (Embun Tajalli) (DKY, 2000) by using a assumed name Nurla Gautama, The Rumble of Spirit (Gemuruh Roh), a joint anthology of poems of Lamongan poets (PuJa, 2008), etc.

He wrote and published a lot of books either for poetry or essay, such as The Spirit Nest (Sarang Ruh), an anthology of poems with a commentary from Suminto A. Sayuti and an introduction from R.P.A. Suryanto Sastroatmodjo, Ballads of Too Early Fate (Balada-balada Takdir Terlalu Dini) with an introduction from K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo, The Poet’s Words of Life (Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga), a book of 1994-2004 aphorisms and it was translated to English by Mrs. Enda Menzies, Welly Kuswanto and Agus B. Harianto in 2004, Handful of Dust in The Sky (Segenggam Debu di Langit), a book of poetry and essay, The Wings of Sembrani (Sayap-sayap Sembrani), a book of prose, Kulya in the Niche of Philosophjy (Kulya dalam Relung Filsafat), a set of aphorisms inspired by Leo Tolstoy. A Set of Light of Rasa Ardhana (Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana), a book of prose and essay. The Border of Sand Pulse (Batas Pasir Nadi) a set of poetries and essays. Trilogy of Awareness: Crtical Essay, Semi-Culture Study, Anatomy of Awareness and Rebellion Race (Trilogi Kesadaran: Esai Kritik, Kajian Budaya-Semi, Anatomi Kesadaran dan Ras Pemberontak). (PuJa, 2006), The Book of Angels (Kitab Para Malaikat), a book of poetry with an introduction from Maman S. Mahayana (PuJa, 2007), Criticizing of Sutardji Calzoum Bachri’s Literary Responsibility, a Critical Essay (SastraNesia and PuJa, 2011), Deconstructing of Indonesian Literary Myth (Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia), a Literary Criticism (Arti Bumi Intaran and PUstaka puJAngga, 2017) The second edition of this book was published by cooperating with Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo, 2018; My Creative Process with Tarmuzie, a Painter (Proses Kreatif Saya Bersama Pelukis Tarmuzie) (PuJa and Pustaka Ilalang Group, 2019), etc.

In 2000 Nurel with his friends founded Indonesian Tugu Poets Community (Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia / KSTI) at Yogyakarta. After that, he also declared Indonesian Moslem Art and Culture Circle (Lingkar Seni dan Budaya Muslim Indonesia) and he was also pointed to be a General Secretary of Forum for Hindis Cultural Studies (Forum Kajian Kebudayaan Hindis). Besides that, he and Y. Wibowo served as researcher in Center for Social Democratic Studies (SCDS) . On June, 11th 2001, his ballad book of poetry entitled, On Tempest Sand Hill (Di Atas Bukti Pasir Prahara) was staged in Taman Budaya Surakarta, with an accompanist of Gamelan music and dancing from Lapen Community 151 Yogyakarta. His theatre script, entitled, ZAITUN: Light of the Lights, was also staged in Jember Satate University (UNEJ) and in State Islamic Institute (IAIN) Surabaya on July 2007. This perform was directed by Tomtom from Tiang Jember Theatre.

Furthermore, Nurel once established a magazine, “Gerbang Massa”; Long East Literature Journal; a Cultural Journal, “The Sandour”; Lamongan Literary Forum, and joined to Kostela besides. Nurel often provides an introduction for some of books from other writters, and he often becomes a speaker in discussion or seminars forums, a jury for competition of poetry- writing and reading. Moreover, Nurel also often participates in either national or international literary festival at Indonesia. At the present he is editor in chief for a publisher, PUstaka puJAngga.
***

Endorsemen Kulya dalam Relung Filsafat

“Nurel Javissyarqi itu api yang tak pernah mati, hidupnya adalah bara yang terus berkobar, konsistensinya jadi energi yang tak pernah habis, teruslah menekuni dan menerangi dunia sastra Indonesia.” (Akhmad Sekhu, sastrawan)

“Yang saya lihat, Cak Nurel itu “Bahasa Perlawanan”. Karya dan komunitas yang diperjuangkannya juga “Bahasa Perlawanan”. Tapi, sebagai fenomena bahasa, ia mati sejak awal, dan menunggu pihak lain untuk menggunakannya.” (Imam Nawawi, Budayawan-Santri Madura)

“Menjadi seorang pegulat pada hal yang dicintai tidaklah mudah. Butuh konsistensi dan keteguhan. Dipenuhi ambisi dan ketekunan dalam menempa dan menempuh jalan. Sebuah panggilan hidup, jalan sunyi dan perjuangan melawan diri sendiri. Untuk sampai pada lentera ufuk timur, yang memberi sinar teduh bagi masyarakat sastra. Pejuang itu nampak pada wajah Nurel Javissyarqi. Meski badai dan kemelut sempat menerjang, mengerami nasibnya, ia selalu gigih dan mandiri. Tak pernah takut bertarung sendiri. Menjadi dirinya yang mencintai kata-kata, yang kelak menjelma mantra sunyi.” (Rakai Lukman, Sastrawan)

“Nurel Javissyarqi seorang sastrawan yang menarik. Tulisannya ceriwis. Tapi keceriwisan yang kerapkali mempersoalkan persoalan yang jarang hinggap di pikiran kita. Ia menyimpan “ketidakpercayaan” yang gawat terhadap “nama besar”. Sehingga sastra Nurel lebih pada suatu sikap “menguji nyali” menantang para pendekar sastra Indonesia dalam sebuah “pertarungan” terbuka dengan menanggalkan “mitos” dan “nama-nama besar”. Sikap itu menarik di tengah kehidupan sastra kita. Nurel membuat jalur baru, dan ia mengajak siapa saja melewati jalurnya itu.” (Taufiq Wr. Hidayat, Penulis, tinggal Banyuwangi)
***

Endorsement Kulya in the Niche of Philosophjy
Translated by Muhammad Muhibbuddin

“Nurel Javissyarqi is a fire that never dies out, his life is blazing ember and his consistency is energy that is never extinct. Explore and illuminate persistly Indonesian literature” (Akhmad Sekhu, a poet)

“I regard Cak Nurel as “a resistence language”. Works and communities that he fights for are also “a resistence language”. However, as a phenomena of language, since the beginning he has been dead and waiting for other person to use it (Imam Nawawi, a santri-humanist from Madura)

“Becoming of a fighter for something beloved is not easy. It needs consistency dan constancy; must have passion and persistence for forging and going through a way. A duty; loneliness and struggling for resisting his self. For reaching an enlightenment of eastern horizon causing to shine shady light to literary community. Thesuch warrior is on Nurel Javissyarqi’s face. Although storm and trouble once hitted and gripped his life, he always be persistent and independent. No fear to fight by himself. To be himself loving words which is going to be a silent mantra in the future.” (Rakai Lukman, a poet in East Java)

“Nurel Javissyarqi is a very interesting poet. His writing is chirping. But, the chirping of Nurel’s works much more questions something that we never think. He conceals serious “mistrust” of “repute” or “greatness”. Because of that, Nurel’s poetic performance tends to be a “test of courage” for challenging well-known Indonesian poets in the open “fighting” area as a effort to overthrow “myth” and “reputation”. This is of course an attractive performance in the midst of our literary life. Nurel created new path, and he invites whoever to pass through his such new way.” (Taufiq Wr. Hidayat, a writer at Banyuwangi)
***

Tinggalkan Balasan