Pramoedya Ananta Toer: Hasil Kerja Bangsa Ini…Korupsi

Wawancara Pramoedya Ananta Toer oleh Triyanto Triwikromo

suaramerdeka.com

SIAPA bilang sastrawan Pramoedya Ananta Toer pikun? Jika pikun, pria kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini, pasti tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masa lalu. Jika pikun, pengarang tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca ini tentu tidak mengingat sepatah pun kisah pelarangan karya-karyanya dan penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh tentara. Lalu, apa pendapat novelis yang berkali-kali dicalonkan sebagai penerima nobel kesusastraan ini? Berikut petikan perbincangan dengan dia di rumah asrinya, Jalan Warung Ulan, Bojong, Jawa Barat, belum lama ini.

Setelah mencapai usia 81 tahun, apa makna hidup dan kehidupan ini bagi Anda?

Sulit untuk dikatakan. Dari sejak sangat masih muda saya sudah mendapat panggilan menanggung kehidupan tujuh adik. Dari umur belasan, keluarga kami -ibu, ayah, adik, kemenakan, dan ipar – mati diserang oleh TBC. Karena itu pada usia yang sangat muda, saya sudah memiliki beban hidup yang sangat berat dan banyak. Kebetulan, karena sejak kecil, setara SD (Sekolah Dasar), saya sudah menulis, pada akhirnya ya saya menulis terus. Untung juga majalah-majalah mau menerbitkan karya-karya saya.

Pada waktu itu setiap tulisan dapat 30 perak. Itu bisa untuk hidup satu sampai dua minggu. Saya masih ingat, majalah yang paling membayar mahal tulisan-tulisan saya adalah Star Weekly. Dengan honor dari majalah itu, saya bisa hidup satu bulan. Itu yang saya kira meringankan beban hidup saya dan keluarga. Yang saya tanggung bukan hanya segala sesuatu yang menyangkut makan, melainkan juga biaya sekolah dan kesehatan. Tapi, akhirnya semua berjalan baik. Ya, begitulah di Jawa. Yang tertua harus menanggung semua keluarganya.

Apa simpulan Anda tentang kehidupan Anda?

Sebentar…Bukan itu saja yang membebani saya. Pemerintah juga memusuhi saya. Pada 1965, rumah dan segala macam milik kami dirampas. Sampai sekarang tidak dikembalikan. Namun semua itu saya anggap sebagai tantangan sport. Tidak ada dendam pada saya. Balasannya, saya menjawab dengan karya saja. Karya saya banyak sekali jika dibandingkan dengan pengarang lain. Dan, yang jelas, telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, kecuali Afrika. Seluruh dunia sudah menerjemahkan karya saya. Jadi, saya memang tidak punya persoalan apa-apa dengan kehidupan. Apa yang ingin saya kerjakan, telah saya kerjakan. Apa yang ingin saya miliki, telah saya miliki. Tidak ada persoalan lagi. Orang boleh memusuhi saya, silakan. Itu hak mereka. Mau membenci saya, silakan. Itu hak publik untuk membenci dan mencinta. Namun, saya tidak memiliki perasaan dendam terhadap siapa pun.

Tidak ada persoalan lagi? Tidak menulis lagi? Namun kan hidup tak hanya menulis. Apalagi yang ingin Anda kerjakan setelah menapak usia 81 tahun?

Tidak ada. Saya tidak memikirkan apa-apa lagi yang akan saya kerjakan besok pagi atau lusa. Saya mau menjalani hari tua saya sampai mati. Sampai habis. Begitu saja. Tidak ada beban apa-apa dalam hidup saya.

Anda merasa perjuangan Anda sebagai manusia dan pengarang telah selesai?

Perjuangan (kita) tidak akan pernah selesai-selesai. Terus saja. Jika saya tersinggung karena ada pelanggaran terhadap kemanusiaan, saya masih berteriak-teriak. Saya tidak punya organisasi. Saya tidak punya media massa. Biasanya, saya hanya berteriak-teriak jika teman-teman dan media massa datang ke sini.

Persoalan apa yang terakhir Anda kritik?

Persoalan Timor-Timur. Pembunuhan-pembunuhan di sana. Begitulah sikap Indonesia terhadap….Tidak-tidak jangan dikutip. Nanti publik marah kalau saya bicarakan hal itu. Saya sendiri mengalami hal-hal yang menyiksa. Apa yang belum atau tidak dilakukan pemerintah kepada saya. Saya ditahan 14 tahun tanpa tahu masalahnya apa. Semua kemudian dirampas. Semua. Perpustakaan dibakar. Buku dilarang beredar. Empat belas tahun bukan waktu sebentar.

Anda berkesan tidak mau apa-apa lagi. Anda bahkan pernah menyatakan, ”Hidup saya ini hanya tinggal menunggu maut menjemput.”. Lalu, sambil menunggu maut, Anda berbuat apa saja?

Dengan cara melepaskan semua beban pikiran. Saya ingin jadi manusia bebas dengan caranya sendiri.

Maksud Anda?

Maksudnya, saya tidak ingin mengikuti kehendak orang lain. Hanya melaksanakan segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak sendiri. Saya merasa sudah banyak berbuat. Mungkin orang lain tak menganggap saya telah berbuat atau melakukan sesuatu. Silakan saja.

Apakah Anda merasa orang lain takut kepada Anda?

Saya tidak ingin ditakuti orang.

Jika Anda ingin bebas dari orang lain, jangan-jangan itu berarti Anda takut kepada orang lain?

Maksud saya, kebanyakan tamu menuntut saya menulis, padahal saya sudah tidak bisa menulis. Ini berat. Keinginan banyak orang sungguh memberatkan saya.

O, keinginan orang lainlah yang memberatkan hidup Anda?

Ya, karena saya merasa kurang mampu bisa memenuhi. Saya sudah tidak bisa menulis. Memilih kata-kata saja sulit.

Ah, kata-kata Anda masih terpilih kok…Itu berarti Anda tidak pikun.

(Pram Tertawa) Lo, saya sudah hampir sepuluh tahun tidak menulis sastra dan membalas surat orang lain. Mata mulai kabur. Pendengaran tidak beres. Ya, saya masih ingat…bagaimana saat telinga saya dipopor oleh tentara. O, ya, apakah tadi kalian mendengar saya ngorok saat tidur. Tidur itu merupakan obat bagi ”sakit tua”. Kadang-kadang saat malam tiba saya tidak bisa tidur.

Lalu apa yang Anda kerjakan saat tidak bisa tidur?

Membuat kliping dan menyusun alfabetis untuk ensiklopedi geografi yang tengah saya kerjakan. Saya kerjakan semua itu dengan sekuat mata.

Nah, itu berarti Anda belum pikun. Mengapa selalu bilang sudah pikun. Jadi, mari kita mengingat masa lalu. Masa lalu yang mungkin pahit. Saya dengan Anda pernah mau bunuh diri. Benarkah?

Ya. Pernah. Waktu itu itu tahun 1947. Saya masih sangat muda.

Apa alasan Anda waktu itu?

Saya itu punya banyak beban. Ada tujuh adik yang tak punya orang tua. Ada barang-barang yang dirampas pemerintah. Saya sudah tidak mengerti apa gunanya hidup. Tetapi nyatanya, beginilah keadaan hidup ini hingga sekarang.

Siapa yang menyadarkan Anda sehingga tidak jadi bunuh diri?

Keadaan. Keadaan kan punya tuntutan sendiri. Punya penggiringan sendiri.

Keadaan semacam apa yang membuat Anda tak jadi bunuh diri?

Ya, walaupun dengan susah payah, pers mulai mau menerbitkan cerita-cerita dan tulisan saya. Satu artikel bisa untuk hidup sebulan. Bukan itu saja. Pada masanya saya juga mulai mendapatkan kiriman luar negeri dari karya-karya yang telah diterjemahkan.

Karena itu Anda lantas memilih hidup?

Ya. Akhirnya saya memilih hidup. Ha ha ha. Sekali terjemahan saya dapat 5.000 dolar. Untuk masa itu, uang sejumlah itu sangat banyak.

Ya, dan karena terjemahan-terjemahan itu, kata orang, Anda menjadi pengarang besar. Bukan oleh karya-karya Anda dalam bahasa asli. Apa komentar Anda terhadap pendapat semacam itu?

Ya, silakan berpendapat semacam itu. Yang jelas, yang bisa dipakai untuk makan, terjemahan dari Amerika. Akhirnya saya bisa hidup sebagai pengarang. Sebelumnya, saya hidup dalam kesulitan. Apalagi banyak juga yang mengkritik karya-karya saya sebagai sastra rendah. Sekarang sebaliknya, orang-orang menganggap karya saya sebagai sastra tinggi.

Kembali ke masalah hidup mati Anda di penjara. Ada seorang tahanan yang melarang Anda menulis. Apakah Anda masih ingat peristiwa itu?

Saya tidak ingat.

Anda selalu ingin menggunakan sejarah sebagai bahan. Benarkah?

Betul. Saya kira masalah utama orang Indonesia adalah persoalan yang berkait dengan sejarah. Kita lemah setiap berurusan dengan sejarah. Dokumentasi saja belum ada, bagaimana bicara tentang historis. Apa saja tentang Indonesia, praktis yang menulis orang luar. Tradisi berdokumentasi belum berkembang di Indonesia.

Karena itu, Anda mendokumentasikan segala hal dalam karya sastra?

Ya. Dan terutama lewat kliping. Sebab karya sastra itu memang lebih dibaca ketimbang history-nya sendiri.

Namun dalam karya sastra Anda, sejarah tampil beda dari sejarah resmi. Mengapa?

Dalam sejarah resmi, kita terlampau banyak mendapatkan kekurangan. Lahirnya Budi Utomo kok dianggap Kebangkitan Nasional? Jelas keliru. Budi Utomo itu menghendaki nasionalisme Jawa.

Menurut Anda kebangkitan nasional itu ditandai oleh apa?

Ya, Partai Hindia-Belanda atau Indische Partij yang tokoh-tokohnya kemudian dibuang ke Belanda. Walau mereka berbahasa Belanda, tetapi mereka adalah nasionalis-nasionalis utama.

Anda juga meledek tokoh-tokoh sejarah resmi. Ada yang keliru dalam sejarah kita?

Ya. Misalnya tokoh semacam Tirto Adisoerjo itu perlu diperhatikan. Dia itu pembuka dunia modern Indonesia. Seperti Minke, kita harus belajar pada sesuatu yang dikuasai oleh penguasa. Ah, ternyata…sekarang hasilnya begini. Kita terlalu banyak mengonsumsi ketimbang berproduksi. Hasil kerja bangsa ini korupsi.

Anda kecewa?

Ya. Mengapa tidak ada pendidikan berproduksi. Pada zaman penjajahan kita justru berproduksi. Apa pun kita buat.

Anda malu?

Saya tidak tahu.

Anda tidak ingin membangun Museum Pramoedya di Blora?

Saya tidak keberatan membangun Museum Pram. Namun siapa yang akan mengurus membawa barang-barang saya dari Jakarta ke Blora? Siapa yang akan mengatur? Ah, terserah apa permintaan publik saja.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/03/pramoedya-ananta-toer-hasil-kerja-bangsa-inikorupsi/

Tinggalkan Balasan