Pram, Buku dan Sastra Rasa Penjara

Catatan Buku Biografi Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)

Rama Prabu *
oase.kompas.com

Membincangkan Pramoedya Ananta Toer atau lebih dikenal Pram memang tak ada habis-habisnya, terbukti satu lagi buku biografi menambah khasanah dalam hal itu. Pram memang menarik untuk dibahas, dari sudut manapun terlebih jalan hidupnya yang berliku tak sewajarnya sebagai seorang tokoh perjuangan yang pada akhirnya lebih memainkan penanya dari pada terjun langsung dalam kancah politik nasional. Tapi jangan dikira, menjadi pengarang, menjadi sastrawan justru Pram telah membuat jalur sendiri dan menarik lawan politiknya untuk ikut dalam konsep permainan tinta hitamnya.

Buku Muhammad Rifai, dengan judul Pramoedya Ananta Toer ini memang tidak menghadirkan kebaruan baik data maupun fakta-fakta sejarah, dia hanya merangkumnya, meramunya serta menghimpun cerita-cerita yang berserakan disekitar Pram. Tapi ini patut diapresiasi khususnya bagi mereka yang hendak melakukan penelitian mengenai sosok pram maupun bagi Pramis sendiri. Ada beberapa yang menarik perhatian, selain sejumlah karya baik yang dapat terselamatkan ataupun karya-karya yang dihilangkan penguasa sampai cerita dinominasikannya Pram untuk hadiah Nobel Sastra, hal itu pertama, ada dua periode yang menjadi pertentangan besar kalangan sastrawan sebut saja Kelompok Manikebu dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didalamnya ada Pram, yaitu ketika Lekra memenangkan pertaruangan politik dengan ujung dilarangnya kelompok Manikebu oleh Soekarno karena menghalangi cita-cita Revolusi, satu kemenangan Pram secara nyata dengan realisme sosialisnya; dan kelompok Manikebu juga kemudian bersitegang kembali dengan Pram ketika Pram akan dianugerani hadiah Magsaysay Award, tokoh sastra seperti Muchtar Lubis, H.B. Jassin, Asrul Sani, Rendra, Taufik Ismail, Ikranagara da 26 pengarang lainnya melakukan protes terhadap keputusan Yayasan dan mendesaknya membatalkan keputusan tersebut. Alasan mereka peran terkemuka yang selama bertahun-tahun dimainkan Pram sebagai pemuka lekra dalam penindasan terhadap seniman yang tidak sepaham dengan dia, mereka juga berkata “dia memimpin penindasan kreativitas penulis, dramawan, sineas, pelukis dan musikus non komunis, melecehkan kebebasan ekpresi, menyambut pelarangan buku dan piringan hitam dan mengelu-elukan pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya.

Disebut juga sebagai faktor pemberat bahwa ‘sebegitu jauh Pramoedya tidak pernah menyesalkan peran yang dilakukannya dahulu, tidak pernah mengakui seluruh sepak-terjangnya dimasa itu sebagai tindakan pemberangusan kemerdekaan kreatif yang dilakukan secara sistematik’, saya menyangkan pendapat Rifai dalam hal ini, dia seolah memberikan simpulan dari kejadian masa lalu yang masih abu-abu itu. Rifai berkata “Pram tetap keras kepala menolak bertobat dan meminta maaf atas kelakuannya sebagai pemuka Lekra. Ia tetap penuh amarah terhadap perlakuan yang ia derita selama 20 tahun lebih.” Pernyataan ini dapat disimpulkan oleh pembaca bahwa Pram benar melakukan apa seperti yang dituduhkan kelompok Manikebu yang minus Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Ajip Rosidi karena mereka justru berada pada kelompok yang kembali memberikan ruang bagi pencarian jalan tengah.

Saya tertarik dengan pernyataan Arif Budiman yang bijaksana “kita menciptakan budaya baru di mana kita saling menghormati martabat orang lain, meskipun dia berlainan pendapat dengan kita. Saya terntu berharap bahwa karena sikap saya ini, Pram akan menjadi setuju dengan saya, bahwa bagi seorang intelektual, kebebasan manusia lebih bernilai ketimbang kekuasaan”, bahkan Goenawan Muhamad sendiri mempunyai alasan dan tidak menandatangani nota protes tersebut yaitu bahwa Pram masih belum bebas, belum dipulihkan hak-hak sipilnya, masih ada pelarangan terhadap bukunya, pelarangan bepergian ke luar negeri, dan lain-lain.

Jadi simpulan yang masih wilayah kontroversi itu malah akan membuat kontoversi lain lagi. Kedua, pelakuan penindasan, penyiksaan dan tahanan tanpa proses pengadilan yang diterima Pram baik pada masa Orde Soekarno maupun Orde Soeharto oleh Pram tidak dibalas dengan menjelek-jelekan Indonesia begitu bahasa penulis buku tersebut, dalam karya-karyanya Pram mengajak seluruh rakyat dan penguasa Indonesia untuk tidak melupakan para pahlawan yang memberikan sumbangan tenaga, pikiran, harta dan nyawanya untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia. Dengan Pram-lah nama Indonesia menjadi terkenal di dunia Internasional lewat buku-buku yang humanisnya serta sarat dengan ajaran-ajaran kemanusiaan, keadilan dan perjuangan HAM-nya. Pertanyaannya, selain Pram pada kedua era tersebut siapa lagi Sastrawan yang dapat kita banggakan, mengharumkan nama bangsanya, kelompok Manikebu yang tetap menghirup udara bebas pun tak mampu melakukannya!

Itu fakta sejarah yang harus dicatat dengan tinta emas, bahwa bangsa Indonesia bangga pernah memiliki seorang sastrawan yang mencapai tingkatan paripurna. Dan bagi saya, bintang mahaputra itu harus segera disematkan pada dada kirinya walau beliau kini telah tiada, penghargaan terbaik dari bangsa untuk sastrawan yang jadi pahlawan. Jadi, gelar pahlawan itu tak hanya kita berikan pada mereka yang pernah mengangkat senjata bertempur walau jadi tukang bawa peluru tapi bagi sastrawan yang benar-benar telah berjasa memberikan pencerahan dan petunjuk jalan, jadi lentera bagi bangsanya, dalam hal ini saya setuju dengan yang dikemukakan penulis dalam hal nasionalisme Pram yaitu Pram tidak menyetujui penjajahan karena penjajahan telah merusak sendi kehidupan masyarakat, berbangsa termasuk sendi kehidupan keluarga dan menyengsarakan kehidupan manusia, konsepsi nasionalisme Pram dipengaruhi oleh pemikiran revolusi sosialis atau nasionalisme kiri, hal tersebut terlihat dari aspek humanisme, sosialisme, kebencian terhadap barat-asing nasionalisme dari spirit rakyat yang minoritas dan tertindas.

Dan perkembangan konsepsi nasionalisme Pram di era Orba bagaimana nasionalisme keindonesiaan dikontektualkan dengan perlawanan atau penentangan adanya kekuasaan yang absolut, tiran, korup, formalis, dan administratif, dimana Pram berkeinginan kekuasaan yang memberikan kebebasan berekspresi dan berkreasi dan terutama memikirkan kemiskinan warganya; ketiga, berkaitan dengan pelarangan buku yang pernah diderita Pram selama perode kepengaranganya, yang dalam hal ini dimulai semenjak penyerbuan rumah yang sekaligus perpustakaannya pada medio Oktober 1965 dan beberapa buku yang dilarang pihak Kejaksaan, dalam buku ini masih ditulis adanya pelarangan buku tetapi semenjak diumumkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada 13 Oktober lalu, pelarangan barang cetakan, termasuk buku, kini hanya dapat dilakukan melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan. Putusan ini merupakan tanggapan Mahkamah Konstitusi atas permintaan uji materi terhadap UU No 4/PNPS/1963 yang diajukan oleh sejumlah penulis, penerbit, dan peminat bahan bacaan sejak akhir tahun lalu sampai awal tahun ini.

Menanggapi hal tersbeut, saya sependapat dengan Atmakusumah (Kompas, 18 Oktober 2010) bahwa larangan peredaran buku tidak pernah efektif dalam situasi politik apa pun. Termasuk pada 30 tahun masa pemerintahan otoriter Orde Baru dan dalam suasana yang sama selama 10 tahun terakhir masa Orde Lama. Buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, beredar luas di negeri kita pada masa Orde Baru walaupun dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meski seorang penjual eceran buku Pramoedya di Yogyakarta ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan negeri, ada keluarga pembaca yang memiliki tiga sampai empat eksemplar dari setiap karya Pramoedya. Ini karena semua anggota keluarga berminat membaca buku—yang terbit selama masa pelarangan—pada waktu bersamaan tanpa harus bergiliran. Kita lihat saja faktanya, buku-buku Pramoedya yang dilarang beredar di Indonesia pada masa Orde Baru menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa jurusan sastra di Malaysia. Salah satu novelnya, yang diterbitkan di Malaysia, memasang foto Wakil Presiden Adam Malik di halaman kulit belakang dan komentarnya yang memuji karya sastra Pramoedya. Jadi seperti dikatakan Dr. Yudi Latif yang tampil sebagai ahli dalam persidangan putusan tentang nasib buku, beliau mengatakan “[Hari ini kita menarik] garis batas antara masa lalu dan masa depan, antara otoritarianisme dan demokrasi, antara masyarakat beradab dan masyarakat biadab.” Dan kini saatnya buku-buku Pram menjadi bacaan wajib juga anak-anak negeri ini, tentunya dengan satu tujuan agar jika kelak jadi penguasa tak berlaku keliru bahkan salah seperti yang pernah dilakukan masa Orde Lama maupun Orde Baru dan terakhir Orde Reformasi.
***

*) Peneliti di Dewantara Institute, Dewan Pembaca Indonesia Buku.
http://sastra-indonesia.com/2010/11/pram-buku-dan-sastra-rasa-penjara/

Tinggalkan Balasan