Potret Pramoedya Sehari-hari

Judul Buku: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali
Penulis: Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: I, Juli 2006
Tebal: xiv + 266 halaman
Peresensi: Bagja Hidayat
ruangbaca.com

Pramoedya Ananta Toer, penulis Indonesia paling terkenal itu, punya ilmu kebal. Ilmu itu didapatnya ketika muda dari seorang dukun di Tanah Abang. Pram dan seorang pamannya datang ke sana sengaja untuk meminta kekuatan tubuh dalam menghadapi gonjang-ganjing revolusi. Pram pernah bekerja di dinas militer sepanjang 1945- 1947 yang bermarkas di Cikampek. Sebagai staf perhubungan, Pram bertugas mengirim berita dari medan perang.

Pram ikut-ikutan para tentara itu pergi ke dukun. Tapi ia menurut juga ketika si dukun memandikannya sembari melafalkan doa. Setelah pemandian selesai, semua orang diberi jimat berupa tulisan Arab berwarna merah. Kertas itu dijahit di topi.

Si dukun langsung menguji para ”muridnya”. Ia menggorok bibir, lidah dan leher lalu membacokkan pedang ke punggung semua orang. Tak ada yang mengaduh atau menjerit, kecuali Pram. Setiap kali mata pedang menyentuh punggungnya, ia berteriak, ”Aduh, yungngng!” Ia menjerit karena tak percaya jimat itu bisa bikin kebal.

”Simpan jimat ini baik-baik,” kata si dukun, ”kalau terkepung musuh ingatlah jimat itu.”

Pembuktian itu tiba. Pram terjebak dalam sebuah pertempuran di Kranji, ketika ikut-ikutan mengawal Jenderal Sudirman yang akan ke Jakarta. Ia ikut karena ingin bertemu Aryati, seorang petugas di koran Merdeka yang menerima setiap berita yang dikirimnya. Ia kesengsem oleh suara merdu Aryati, selain menagih honorarium. Belakangan, setelah bisa mampir ke kantor Merdeka, semua orang menyangkal ada nama Aryati di sana.

Tak ada celah untuk lari dari kepungan musuh itu. Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah menerobos barikade. Pram melakukannya. Ia belari kencang menyeruak pagar berduri dan ratusan peluru yang berhamburan menyongsongnya. Ajaib. Ia selamat. Tak segores pun kulitnya terluka. Ia menyangka itu hanya kebetulan.

Tapi di Stasiun Kemayoran ada bukti lain. Pram tertangkap pasukan Inggris. Seorang tentara KNIL asal Ambon menghujamkan bayonet ke pelipisnya. Ajaib lagi. Ujung pisau itu mental. Pram meraba-raba kepalanya karena meyangka otaknya sudah amburadul. ”Ini betul terjadi,” kata Pram, memberi tekanan, meski ia masih tak percaya apakah itu karena jimat. Soalnya, kalau mengijak paku kakinya sakit juga.

Pram kerap menceritakan ilmu kebal ini kepada Koesalah Soebagyo Toer, adik tersayang. Koesalah mencatat, obrolan itu terjadi pada 19 Juli 1987 lalu diulang pada 11 Juni 1996.

Koes, yang dipanggil Liliek oleh Pram, tekun mencatat setiap obrolan dengan kakaknya. Yang unik, yang aneh, yang lucu, yang mengharukan. Dari catatan- catatan Koes sejak 1981 yang sekarang dibukukan ini, tergambar jelas bagaimana Pramoedya dalam potret sehari-hari.

Koes menyebut dirinya sebagai ”keranjang sampah Mas Pram”. Ia selalu menjadi teman bicara kakaknya itu dalam pelbagai kesempatan untuk pelbagai soal. Koes agaknya menjadi satusatunya adik yang paham dengan sikap dan jalan pikiran Pram. Tujuh puluh lima tulisan dalam buku ini layak disebut sebagai bahan biografi Pramoedya yang komplit. Tentang sisi lain seorang Pram yang sangat detail.

Misalnya soal anekdot Pram yang sukar ditebak. Pram yang perokok berat itu selalu minta izin jika akan menyulut rokok kalau sedang mengobrol dengan orang lain. Jika tamunya itu tidak merokok, dia akan bilang, ”Yang tidak merokok memang tidak adil,” katanya, ”maunya dirokok terus.” Pram mengatakannya dengan lurus. Tamunya seringkali bingung.

Dalam obrolan soal surat-surat tanah di Blora, Pram tiba-tiba berkata, ”Aku dapat bonanza bakalnya, Liek.” Bonanza itu adalah dokumen sepuluh halaman berisi surat-surat pribadi Soekarno, Tjipto Mangoennkoesoemo dan MH Thamrin kepada seorang Belanda bernama JE Stokvis. Suratsurat itu ditulis pada 1931. Itu masa kritis Soekarno karena ia ditahan tahun 1929.

Soekarno berterima kasih kepada Stokvis yang sudah membantu membebaskannya dari tahanan. Pram mendapat dokumen itu dari seseorang di Kanada. Ia menunjukkan kebanggaannya bisa mendapat dokumen penting itu. Jika diterbitkan, katanya, dokumen itu bakal laku keras.

Pram masih menunggu dokumen pendukung lainnya yaitu tentang peran Haji Agus Salim. Salimlah, menurut Pram, yang melapor ke Belanda hingga Soekarno ditahan. ”Memang dulu sudah ada yang menuduh dia sebagai cecunguk,” kata Pram, ”cuma nggak ada buktinya. Kalau bukti itu ada, bakal geger semuanya.”

Fotokopi surat-surat itu belum pernah diterbitkan. Tak ada yang tahu apakah Pram sudah memperoleh dokumen tentang Agus Salim itu. ”Saya tidak ngecek lagi,” kata Koes kepada Tempo pekan lalu.

Perseteruan Pram dengan para penulis lain juga disinggugn. Koes menyampaikan kabar bahwa DS Moeljanto dan Taufik Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya pada 1995 yang mengungkap bagaimana perseteruan penulis kubu Manifes Kebudayaan dan Lekra di tahun 1965.

Taufik menuding Pram berdusta karena mengaku hanya kroco di kepengurusan Lekra. Bahannya diambil dari wawancara Pram dengan wartawan majalah mahasiswa UGM, Balairung. Pram menampiknya dengan mengatakan ia hanya ditunjuk sebagai anggota pleno di lembaga itu. ”Orang bilang aku Wakil Ketua Lekra segala macam. Orang-orang Lekra sendiri sinis sama aku,” katanya, ”Nyoto itu sinisnya bukan main.”

Begitulah kisah-kisah lain seorang Pramoedya Ananta Toer. Hidupnya memang bergemuruh. Sayangnya buku yang bagus ini tak dilengkapi dengan indeks. Sebagaimana halnya obrolan sehari- hari, setiap tema mencantumkan begitu banyak nama pendek atau panggilan. Karena itu agak susah jika akan melacak suatu obrolan tanpa indeks yang bisa membantu langsung ke halaman yang dituju.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/11/potret-pramoedya-sehari-hari/

Tinggalkan Balasan